Sebuah Tanda
Gedung
olahraga ramai orang. Mahasiswa dan mahasiswi dari segala jurusan di kampusku
datang berduyun-duyun. Pertandingan semifinal basket antar fakultas akan segera
dimulai. Fakultas Kedokteran Gigi melawan Fakultas Hukum, cukup menarik untuk
ditonton, karena masuknya FKG ke semifinal bahkan tidak diprediksi. Raga
sendiri yang bercerita padaku bahwa dia sama sekali tidak menyangka kemarin
bisa mengalahkan Fakultas Teknik yang tampaknya merupakan calon kuat juara umum
bulan olahraga tahun ini.
Tanpa-tongkat,
aku keluar dari mobil Hannah, dibantu Hannah yang sudah keluar duluan dan
membanting pintu pengemudi cepat-cepat. Kami buru-buru membeli tiket masuk
gedung olahraga dan mencari posisi yang enak untuk menonton dari dekat.
Tim
basket FKG sudah berkumpul di sisi lapangan. Di bangku penonton aku melihat
mahasiswa dan mahasiswi yang kukenal, berseru-seru ramai. Mereka bahkan membawa
spanduk dan poster besar-besar bertuliskan ‘DENTISTRY’. Aku tersenyum. Paling
tidak kami menang suporter.
Ada
Marisa dan kawan-kawannya juga. Mereka membawa pom-pom dan entah bagaimana
mengenakan kaus yang sama, kaus warna merah dengan gambar peri gigi di
depannya. Mungkin mereka sudah janjian.
Memang
sehari sebelum pertandingan, ada pesan singkat dari nomor temanku yang biasanya
mengirimkan kabar duka (ada kelas pengganti orto, misalnya) atau kabar gembira
(presentasi bedah mulut diundur jadi minggu depan) kepada anak-anak sekelas.
Alias tukang jarkom (jaringan komunikasi). Pesan singkat itu menghimbau agar
kami semua mendukung tim basket di pertandingan semifinal, dan juga agar kami
yang menonton mengenakan baju berwarna merah.
Jadi
disanalah aku dan Hannah, duduk, diantara puluhan mahasiswa FKG lain yang
notabene adalah teman dan kakak angkatan kami.
Kulihat
rombongan Oki yang merah-merah datang, dan kupanggil Oki menuju tempat duduk di
sebelahku yang masih kosong.
“Kok
telat?” tanyaku.
“Makan
dulu tadi,” jawab Oki.
“Kakimu
nggak apa-apa?” tanya Satria, dari balik Oki.
Aku
mengangguk, menolak melihat mata Satria. Satria mengenakan kaus merah darah
dengan gambar garuda emas di depannya – ketat di tempat-tempat yang tepat.
Kupalingkan mataku dari badan Satria dan beralih memandangi lapangan.
Anak-anak
yang lain mengambil posisi duduk mereka. Sebagian duduk di kursi belakangku,
sebagian duduk di kursi di sebelahku. Oki duduk tepat di sebelah kiriku.
“Udah
ketemu Raga?” tanya Oki.
“Belum,
aku tadi dateng dia udah ngumpul disitu...”
Kutunjuk
tim basket FKG yang sedang berdiskusi di pinggir lapangan. Tampak Raga,
menjulang tinggi, memukau dengan wajah putih dan chubby-nya, dan tampang seriusnya muncul. Pikiranku saja, atau aku
memang menyukai wajah serius Raga?
Pendukung
Fakultas Hukum, yang ada di seberang kami, mungkin tidak berpikir untuk
mengenakan baju dengan warna senada, karena aku bisa melihat warna-warni baju
yang dikenakan mereka. Sebagian besar lelaki. Kupandangi tim suporter FKG
sendiri. Sebagian besar wanita. Ada yang menunjuk-nunjuk ke arah suporter tim
FH.
Reasonable. Fakultas
kami kekurangan lelaki, wajar kan kalau mendadak melihat serombongan
wajah-wajah baru lelaki dari fakultas lain dan tidak bisa menahan antusiasme
yang muncul. Sayang sekali perempat final kemarin aku tidak nonton, padahal FKG
kan lawan Teknik. Rasanya lumayan... untuk cuci mata sejenak.
Dengan
segera aku kembali ke dunia nyata, dan ternyata kedua tim sudah masuk lapangan,
diiringi teriakan keras pendukungnya. Bola dilempar ke atas – dan Raga yang
tinggi langsung dapat mencapainya. Dribble
keras dilakukannya sembari berlari kencang menuju ring basket lawan.
“RAGAAAAA!”
Terdengar
pekikan kencang itu dari arah tempat duduk Marisa dan teman-temannya – tentu
saja, Raga kan dari angkatan mereka. Mereka menyahut-nyahutkan nama Raga,
mendesaknya untuk segera memasukkan bola ke ring.
Tetapi
perjalanan Raga tidak semudah itu. Seseorang dari FH memblokirnya, membuat Raga
tak bisa terus maju. Dilemparnya bola ke arah Wahyu, yang sedari tadi tidak
dijaga.
“WAHYUUUUUUUUUUU!”
Kali
ini teriakan nama itu terdengar dari tempat duduk di sebelah kananku – tempat
angkatanku berkumpul dan meneriakkan nama-nama anggota angkatan kami yang
bermain.
Lagi-lagi
pendukung FKG kecewa – bola dengan cepat diambil oleh salah satu pemain FH dan
dengan mulus dia berlari menuju ring basket FKG; yang kosong tak terjaga. Terdengar riuhan keras dari pendukung tim FH.
Aku
melihat Raga mengerahkan kecepatannya untuk berlari menuju ringnya sembari
meneriakkan nama salah satu pemainnya untuk mencegah lawan memasukkan bola.
Sayang
sekali – bola itu masuk dengan lay up sempurna
dari lawan. Pendukung FH berteriak-teriak, sementara pendukung FKG mengeluh
keras. Skor pertama dicetak oleh FH.
Saking
ramainya suasana dalam gedung olahraga, aku hampir tak dapat mendengar suara
Hannah yang membisikkan sesuatu ke telingaku.
“APA?”
teriakku, mataku mengawasi Raga yang sedang bergulat dengan pemain FH
memperebutkan bola.
“RAGA
GANTENG YA KAK?”
“HAH?”
aku langsung menatap Hannah. “Kamu ini tiba-tiba...”
Hannah
tertawa. “Habisnya Kakak serius banget nontonnya...”
“Ya...
kan... FKG...” elakku.
Bola
yang sedari tadi diperebutkan Raga akhirnya lepas dan bergulir, dan dengan
segera diambil oleh salah seorang pemain FH. Dia berlari lagi ke ring FKG,
diiringi seruan antusias pendukung FH, dan pekikan tak rela pendukung FKG.
Tetapi dia ternyata tidak berlari ke ring – dia berhenti di sisi lapangan dan
bersiap-siap menembak – masa sih dia mau melakukan three point... seseorang cepat cegah dia...
“RAGA!”
teriakku keras. “RAGAAAAAAAAAAA!”
Kupikir
Raga baru saja ada di dekat ring lawan. Tetapi entah bagaimana dia berlari
dengan cepat menuju pemain lawan yang hendak melakukan three point, melompat tinggi-tinggi – dan lemparan itu bisa
diblokirnya. Dengan cepat bola itu berpindah tangan ke Robi.
“RAGA
KEREEEEEEEENNNN!” pekikku kencang sekali. “KEREEEEEEEEN!”
“Hee...”
terdengar dari sisi kanan dan kiriku, dan belakangku. Anak-anak sekelas
memandangiku manyun – beberapa dari mereka sudah tahu kalau aku dekat dengan
Raga.
“Iya,
iya, Raga keren...” kata Oki.
Aku
nyengir malu.
Raga
(yang keren) berlari menyeberangi lapangan dan dalam sekejap sudah berada di
sisi lapangan, menunggu seseorang melempar bola padanya. Tampaknya dia juga
berniat melakukan three point. Dengan
badan setinggi itu, tampaknya three point
bukan hal yang susah...
Dan
bola akhirnya berada di tangan Raga, setelah dilempar oleh salah satu temannya.
Tanpa berpikir panjang Raga melakukan posisi menembak, melepas bola dengan
lembut, dan bola itu MASUK dengan mulus ke dalam ring.
Pikiranku
saja, atau barusan Raga melakukan senyum mata-nya lagi dengan sangat manis?
Teriakan
kencang terdengar di kursi pendukung FKG. Marisa – aku tidak sengaja meliriknya
– melompat-lompat sembari menggoyang-goyang pom-pomnya. Yel-yel yang biasa
hanya muncul ketika ada pertandingan antar angkatan di FKG, kali itu terdengar
di GOR.
Every morning days and night!
Go DENTISTRY go to FIGHT!
Cause we, we’re DENTISTRY, we,
we’re DENTISTRY!
Aku
terbawa suasana, dan sejenak ikut meneriakkan yel-yel itu. Ada rasa bangga yang
tak bisa dijelaskan ketika menggaungkan yel-yel dengan nama FKG di luar FKG.
Fanatik? Rasanya bukan. Ini lebih ke rasa kebersamaan.
Yel-yel
itu tampaknya bekerja juga untuk tim basket FKG – yang ketika set pertama
selesai sudah berhasil meraih skor 16-10.
Beberapa
juniorku mendadak berdiri dari kursi mereka dan bangkit, kemudian mengucapkan
pamit pada kakak angkatan mereka.
“Mau
kemana?” tanya Hannah.
“Asistensi
Histologi,” kata mereka menyesal.
“Ah...
semangat ya?” kata Hannah.
“Duluan,
Kak...” ujar mereka ketika melewati kursi-kursi yang diisi mahasiswa
angkatanku.
Hannah
kemudian bercerita bahwa dia dan kelompoknya sudah melakukan asistensi kemarin.
Kulihat Yuna – yang notabene adalah asisten Histologi untuk kelompok Hannah –
dengan riang membagi-bagikan snack
jualannya ke teman-temannya.
Sebal
sekali rasanya kalau harus berhenti melakukan kegiatan yang menyenangkan karena
disela oleh urusan nilai. Tapi ya apa boleh buat.
Untung
saja masa-masa berat itu sudah kulewati.
Sesaat
pikiranku melayang ke plat resin akrilik tugas praktikum Prosto yang belum
kukerjakan karena malas.
“Ngelamun?”
tanya Oki tepat.
“Prosto
nih, belum selesai...”
“Ah,
santai...” ujar Oki. “Aku juga belum kok.”
“Udah
dimasukin ke tekniker?” tanyaku.
“Baru
kemarin.”
Tekniker
yang kubicarakan ini akan memproses model malam dan anasir gigi (gigi palsu)
serta kawat klamer yang dibentuk diatas model gigi dari gips menjadi plat dari
resin akrilik. Tentu saja begitu plat itu sampai di tanganku, platnya sudah hooglans (mengilat seperti kaca!). Aku
tidak perlu repot-repot menghaluskan plat dan memolesnya seperti yang kulakukan
waktu semester dua lalu.
Waktu
istirahat sudah habis.
“DENTISTRY!”
teriak tim basket FKG di pinggir lapangan, disambut teriakan riuh pendukungnya.
Satu-persatu anggota tim masuk lapangan.
“KAK
MAYA!” kudengar suara Raga memanggilku di sela-sela keramaian.
Aku
menoleh ke bawah.
Raga
mengepalkan tangan kanannya, mengetukkan ke dada sebelah kirinya dua kali,
kemudian membentuk tangannya seperti pistol, menyentuhkan ujung telunjuknya ke
pelipis, dan diarahkannya tangan kanannya padaku. Dan dia tersenyum manis lagi
padaku, matanya seperti mengatakan ‘Pertandingan
ini pasti kumenangkan!’, memandangku beberapa saat sembari berjalan mundur,
sebelum berbalik berlari menuju tengah lapangan.
Sebuah
tanda. Tanda yang diberikan Raga padaku...
Tingkah
Raga yang terang-terangan bisa dilihat semua orang tadi membuat pendukung FKG
riuh rendah. Oki bertepuk tangan sembari tertawa, Hannah ternganga tak percaya,
teman-teman ribut menyoraki.
“Sudah
sejauh itu, May?” tanya Brian di belakangku.
Aku
buru-buru meluruskan. “Nggak, itu... tadi... nggak tau kenapa dia tiba-tiba
begitu...”
Brian
dan teman-temannya tertawa menyorakiku bersahut-sahutan. Kulihat Satria
tersenyum dari sudut mataku.
“Cieee
Maya...”
Jangan kayak anak kecil deh!
Pikirku dalam hati, mencela mereka semua. Tapi ternyata aku kepikiran juga.
Kututup wajahku dengan kedua tangan dan menunduk, menyembunyikan senyumku.
“Kenapa
May, kepikiran ya?” ujar Oki, masih tertawa senang.
Kukepalkan
tinjuku, tidak senang karena pikiranku mudah sekali ditebak.
Pada
saat itu kulihat Robi men-dribble
bola menuju ring – sayang sekali lawan mencegatnya di tengah jalan dan dia
melempar bola keluar lapangan. Pertandingan berlanjut lagi setelah lawan dari
sisi luar lapangan melempar bola masuk dan langsung direbut oleh juniorku yang
aku tidak tahu namanya.
Tetapi
sedetik kemudian aku tahu namanya. “JUN!” Raga meneriakkan namanya. Dia sendiri
sedang berlari, tidak dijaga, dan Jun – atau siapa tadi namanya – segera
melempar bola, begitu tahu ada lawan yang menyongsongnya.
Raga
berhenti tepat di lingkaran, langsung melompat dan melempar bola ke ring tanpa
ada yang bisa mencegahnya – lompatan tim lawan tidak bisa menjangkau bola yang
dilempar Raga – dan tentu saja bola itu masuk lagi. Tampaknya Raga adalah
spesialis three point.
“DENTISTRY!
DENTISTRY!” terdengar di tempat duduk kami. Teriakan semakin riuh ketika Raga
berlari menyeberangi lapangan setelah menyentuhkan telunjuk ke bibirnya dan
mengacungkannya. Ini bukan sepakbola, Dik, aku tertawa dalam hati, tapi... Raga
terlihat keren... baru saja aku
berpikir begitu ketika mendadak pekikan keras bergaung di stadion – rupanya
banyak yang berpikir sama denganku. Raga tampaknya menjadi idola selama
pertandingan ini. Terang saja, kemampuannya bermain basket plus gelar kapten
tim dibungkus oleh wajah manis dengan mata nyaris sipit yang indah – cukup
untuk menarik perhatian para penonton wanita. Beberapa cewek dari seberang kami
yang jelas-jelas bukan anak FKG, menjerit-jerit kesenangan ketika Raga berlari
melewati lapangan di bawah kursi mereka.
Oki
menyenggolku. Kupandangi ia. Dia hanya mengangkat alisnya berkali-kali, dan
tersenyum seolah bertanya pendapatku tentang cewek-cewek tak dikenal yang
meneriaki Raga.
“Apaan
sih,” kataku mengelak.
“Cemburu
ya? Cemburu?”
“Enggak...”
Aku
sadar betul ada Satria di belakangku, entah bagaimana ekspresinya, entah dia
memandangiku ketika sedang digodai oleh Oki, atau apalah, dan aku tidak ingin
lebih menarik perhatiannya dengan gerakan-gerakan tak perlu.
Mendadak
sesuatu terjadi di tengah-tengah pertandingan. Raga dan lawannya tiba-tiba
bertabrakan keras. Pekikan kaget terdengar dari cewek-cewek yang menonton, dan
‘AH’ keras bergaung di GOR.
Aku
berdiri, kaget melihat kejadian yang mendadak itu. Bukan apa-apa, aku mendengar
bunyi aneh ketika tabrakan itu terjadi. Pastilah tabrakannya cukup keras sampai
menghasilkan bunyi itu. Apalagi kulihat Raga dan lawannya masih terbaring di
lapangan.
“RAGA!”
teriakku. Aku, dikuasai oleh entah-apa, berjalan cepat ke samping menuju tangga
turun, bahkan lupa kalau kakiku masih diperban. Aku menuruni tangga selagi
mengawasi kejadian yang terjadi di lapangan – P3K sudah turun tangan menangani
Raga dan anak FH itu. Aku berhenti di depan pagar pembatas di atas tembok yang
mengelilingi lapangan.
“RAGAAAA!”
pekikku kencang. Kemudian Raga bangun, dan duduk sementara tim P3K
memeriksanya. Lawannya, justru tidak bergerak, tampaknya pingsan. Tabrakan
antar pemain macam apa yang bisa menyebabkan seseorang pingsan?
Kupikir
aku lega karena Raga tidak apa-apa. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa ada
darah yang mengalir di pelipis Raga. Aku menutup mulutku, pening karena melihat
warna merah itu. Terdengar napas tertahan dari seisi GOR begitu mereka
menyadari hal yang sama.
Mahasiswa
FH lawan Raga tidak bisa bangun dan dia diangkat di atas tandu sementara Raga
hanya dibalut kepalanya. Dia masih bisa melompat-lompat ketika tim P3K
meninggalkannya. Padahal aku benar-benar berharap Raga tidak masuk lapangan
lagi, dan memutuskan untuk beristirahat di pinggir lapangan saja...
Aku
menyebut-nyebut namanya, hanya dalam hati, berharap dia mendengarnya. Begitu
dia menoleh, dia pasti melihatku yang pucat berdiri di dekat pagar, benci
karena tidak bisa melakukan apa-apa, dan dia tersenyum, kali ini menunjukkan
gigi-giginya yang rapi. Senyumnya seolah berkata, ‘aku nggak apa-apa, jangan cemas’ senyum yang menenangkan.
Para
pendukung yang dari tadi berdengung membicarakan kejadian barusan bertepuk
tangan menyemangati kedua tim yang telah mengalami pukulan besar. Khususnya
para mahasiswa FH, yang kulihat cemas setengah mati melihat salah seorang
mahasiswanya ditandu menuju ambulan.
“Yuk,”
aku menyadari bahwa Oki sudah ada di sebelahku, memintaku untuk kembali duduk
di tempat semula. Aku meremas tanganku yang berkeringat, dan menenangkan jantungku
yang berdebar cukup kencang.
“Raga
nggak apa-apa kan...?” gumamku gelisah. “Raga...” kupandangi punggung bernomor
8 itu berlari-lari memberi instruksi kepada anggotanya untuk berkeliaran
menjaga lawan.
“Nggak
apa, dia kuat kok pasti,” tanpa diminta Satria menyahut. Kutolehkan kepalaku ke
belakang, memandang mata Satria mencari keyakinan. Ketika kulihat Satria balas
memandangku, aku mengangguk.
Kemudian
kulihat Satria mengulurkan tangannya ke arahku – aku tidak bisa bergerak, atau
lebih tepatnya menunggu apa yang hendak dia lakukan – dan dia menepuk-nepuk
kepalaku.
“He’ll be okay,” ujar Satria. “I know him.”
Aku
sudah bertahan untuk tidak menangis sejak melihat darah di pelipis Raga, dan
seorang Satria dengan begitu saja merobohkan pertahananku. Dari dulu, aku
selalu, selalu, luluh ketika ada
orang yang menepuk-nepuk kepala untuk menenangkanku. Kak Nathan, Yuda...
Satria...
“Don’t cry,” kata Hannah di sebelahku,
melihat aku berusaha setengah mati mengulum bibirku agar tidak kelepasan
menangis keras-keras. “Kakak...” Hannah menarik pipiku dengan kedua tangannya
ke arahnya dan memelukku.
Aku
melepas tangis tanpa suara di bahu Hannah.
“Kak,
jangan nangis, kita belum menang,” ujar Hannah, mengelus punggungku.
Aku
tertawa. “Oh, iya ya,” kuhapus air mata yang menggenang di mataku dan melepas
pelukanku dari Hannah. Kupusatkan lagi perhatianku pada pertandingan, yang
selama ini tidak kulihat – atau aku mungkin hanya memandang, tanpa melihat –
papan skor sudah menunjukkan 27-18. Tampaknya tim lawan mengalami cobaan yang
cukup berat.
Ada
yang melakukan foul. Wahyu diberi kesempatan untuk melakukan free throw.
“WAHYU!
WAHYU! WAHYU!” terdengar berkali-kali di tempat duduk pendukung FKG.
Wahyu
bersiap menembak... dan lawan-lawannya langsung memblokir bola yang bergulir di
udara. Bolanya lepas lagi, dan dibawa oleh salah satu anak FH menuju ring FKG.
Mereka berhasil melakukan slam dunk dan
mengubah skor menjadi 27-20.
Tetapi
rupanya sudah tidak cukup waktu untuk membalikkan keadaan – bel panjang
berbunyi tanda pertandingan usai. Pendukung FKG yang merah-merah berdiri
serentak, berteriak-teriak kesenangan. Aku hanya bertepuk tangan di kursiku,
baru sadar kalau kakiku sakit. Hannah meloncat-loncat kegirangan, rambut
pirangnya berkibar.
“RAGAAA!
JUNNN! DONI!!! KEREEENN!” dia menyebutkan nama teman-temannya.
Angkatanku
tak mau kalah, mereka juga menyahuti Wahyu dan Robi.
Kedua
tim berhadapan dan bersalaman. Raga yang sekarang mudah sekali dikenali karena
perban putih yang membalut kepalanya, mendapat tepuk tangan dari kebanyakan
penonton perempuan.
“DENTISTRY!
DENTISTRY!”
“FINAL!”
teriak cowok-cowok di belakangku. “Final, final, final, final...”
Aku
membiarkan air mataku mengalir sementara aku tersenyum bertepuk tangan. Aku
berjalan ke samping lagi, melewati teman-teman yang berdiri, menuruni tangga,
dan berdiri di dekat pagar lagi.
“RAGA!”
aku berteriak, memanggil cowok yang sedang minum air di pinggir lapangan.
Dia
menoleh, tak tampak raut kesakitan di matanya. Malah, dia nyengir lebar padaku.
“Dasar...”
gumamku kesal, tapi gembira. “Bikin orang cemas saja...”
“FINAL!
MINGGU BESOK! HARUS NONTON!” kata Hannah berulang-ulang, ketika kami berjalan
keluar GOR.
“Iya,
Han...” kataku sabar.
Aku
berjalan pelan, membiarkan para penonton lain mendahuluiku. Sengaja, aku
menunggu sampai tim basket keluar dari GOR. Setidaknya aku harus mengatakan
sesuatu pada Raga.
Anak-anak
FKG di depanku masih ramai membicarakan pertandingan barusan dan
bercanda-canda, seperti besok tidak pernah ada yang namanya praktikum atau
presentasi tugas dari dosen. Aku malah mendengar Oki dan teman-temannya hendak
pergi menonton film action terbaru – yang mana tidak aku suka. Aku menolak
ketika Oki mengajakku (sesaat mataku menangkap mata Satria, dan kuturunkan
pandanganku, dan memalingkan mataku dari badan Satria yang tampak indah dengan
kaus merah itu) tetapi Hannah mengajakku ikut. Aku sedang sibuk menolak dan
merengek, ketika kulihat tim basket FKG keluar dari GOR.
Mereka
disambut dengan tepukan tangan dari mahasiswa-mahasiswi FKG yang lain. Punggung
mereka ditepuki, pujian-pujian bermunculan. Kalimat-kalimat khawatir muncul
untuk Raga, yang tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa – seolah kekhawatiran
mereka tidak beralasan.
Tapi,
aku punya alasan untuk khawatir.
Aku
melepaskan diriku dari Hannah dan Oki dan yang lain, kemudian berjalan menuju
Raga. Tepat di depannya. Dia bahkan sudah tersenyum sebelum aku sampai di
depannya.
“Apa
noona deg-degan?” adalah kata-kata
pertamanya.
“Ya
iyalah, adegan tabrakan itu nggak ada di skrip,” kataku kesal. “Kamu oke?”
Dia
mengangguk. “I’m fine.”
Dan
aku terdiam. Ternyata aku tak punya kata-kata lain untuk diucapkan. Entah
karena aku terlalu kesal, gelisah, atau senang, atau karena ternyata Raga memang bisa membuatku berdebar ketika
menonton pertandingan basket.
“Aku
nggak akan bilang ‘sudah kubilang, kan?’, Kak,” ujar Raga, nyengir, selagi kami
berjalan beriringan di belakang yang lain.
Ingin
rasanya kuacak rambutnya, kupukul kepalanya, tetapi perban itu mencegahku
berbuat lebih lanjut. Sebelum kuangkat tanganku, mendadak sudah ada yang
menahannya.
Raga
menggenggam tanganku. Aku terkejut, karena ternyata tangannya gemetaran.
Sungguh jauh berbeda dari tampilan sebelumnya – yang tegar dan menenangkan
semua orang. Tak ada yang bisa kulakukan, selain membalas genggamannya dan
menyalurkan kekuatanku padanya.
“Kupikir
aku pingsan,” bisiknya, hanya aku yang bisa mendengar, “kupikir aku kalah,”
katanya. “Tapi terus aku denger suara noona...”
Teriakanku
yang itu.
“Gomawoyo, noona,” ujarnya lagi. “We won because of you.”
“No need to say thanks,” kataku. “Aku
tidak berpengaruh apa-apa... kalianlah yang main hebat...”
Raga
tersenyum, pipinya naik.
“Sakitkah?”
tanyaku.
Raga
mengangguk. Mungkin ini pertama kalinya dia bersikap jujur setelah sekian lama
dia menahan rasa sakit di depan semua orang.
“Istirahatlah,”
gumamku.
Raga
mengangguk lagi.
Kami
masih bergandengan sesampainya di tempat parkir. Aku sudah melihat Hannah
memanggilku untuk pergi bersamanya. Aku hendak melepas tanganku, tetapi Raga
sendiri masih mencengkeramnya. Aku memandanginya.
“Noona,” ujarnya, perlahan melepas
tanganku.
“Ya?”
Dia
tertawa, lalu menggeleng. “Have fun,”
katanya.
Aku
mengangguk tersenyum. Lalu melangkah pelan menuju tempat Hannah dan yang lain
bercengkrama.
“Noona!” teriak Raga ketika aku sudah
berjalan cukup jauh.
Teriakan
itu – aduh, memalukan sekali –
menarik perhatian semua orang di sekitarnya.
Begitu
berbalik, kulihat Raga melakukan itu
sekali lagi – menepuk dada kiri dengan kepalan tangan kanannya, menyentuhkan
telunjuknya yang berbentuk seperti pistol ke pelipisnya, dan mengarahkannya
padaku.
Dan
Raga mengucap tanpa suara, gerak bibirnya yang tebal jelas sekali:
”I’m yours.”
* * *