6 Des 2011

dari kisah cinta yang nyata, tapi, tak pernah tersampaikan.

Sepagian itu moodku rusak, gara-gara melihat salah satu tweet yang muncul di timeline-ku. Salahku juga sih, mem-follow orang itu. Maksudku, sudah jelas dia sainganku, lalu kenapa aku mem-follow-nya?
Kemudian aku ingat – setelah marah-marah dan membanting-banting benda apapun yang bisa kucapai dari tempatku duduk di depan laptop – orang itu, kakak angkatanku. Jauh, jauh sebelum aku mengenal dia, aku sudah mengenal kakak angkatanku ini. Hari pertama MOS SMA. Jadi, dia kakak kelas, sekaligus kakak angkatanku. Aku angkatan 2010, sementara ia 2009.
Which is, pacar dari orang yang kusukai.

Sayang sekali ya, aku harus jatuh cinta pada orang yang sudah punya pacar...
Dia itu – bagaimana ya mendeskripsikannya – pemuda yang tampan, jelas, aku tak pernah mencintai orang yang, ehm, kurang tampan. Dia itu baik, baik sekali, malah. Dia juga pintar. Kudengar, karya tulis ilmiahnya, pernah menang lomba tingkat nasional. Sayang dia tidak lolos ketika harus melaju ke tingkat internasional – gosipnya, kelompok mereka mengalami pergolakan dan harus bubar, sehingga penelitian itu tidak selesai dengan sempurna.
Dan tentang kakak kelasku itu...
Semacam... entahlah, tante-tante genit. Kau tahulah, tipe mahasiswi semester atas yang berdandan maksimal  ke kampus. Maskara, blush-on, dan sebagainya – aku tak terlalu tertarik dengan hal-hal semacam itu, aku hanya memulas selapis bedak tipis ke mukaku untuk pergi kemana-mana. Dan maksudku memang kemana-mana. Sementara kakak kelasku, sebut saja namanya Grace – dan namanya memang Grace – sudah sejak SMA berdandan menor seperti itu. Aku sempat menebak umurnya ketika aku kelas 1 SMA dan dia kelas 2, aku menebak umurnya 19. Ternyata dia seumuran denganku. Gosh!
Hanya satu yang aku iri padanya: dia tampaknya tidak pernah mengalami bad hair day. Oh, ralat, dua. Satu lagi: pacarnya.
Kupikir, kakak angkatan 2008 yang kusukai – Kak Oki – tidak pantas mendapatkan Grace (maaf karena tidak menggunakan kata panggil ‘Kak’ toh aku dan dia seumuran), demi apapun juga. Demi omelet keju terenak di muka bumi ini. Kak Oki itu seperti pemuda yang sempurna. Oke; nyaris sempurna.
Dan, back to reality, setelah kenanganku merebak kemana-mana. Hari itu pukul 8.00 seharusnya aku ada kuliah. Tapi yang kulakukan adalah duduk manis di depan laptop dengan secangkir latte hangat dan roti isi keju yang sudah kubuat pagi tadi. Sarapan yang manis, dan cukup, untuk ukuran anak kos.
“Laras,” kata suara di pintuku. Kemudian ada suara ketukan.
“Ya, Kak Norma.”
Aku bangkit dari dudukku kemudian membuka pintu kamar. Kak Norma, angkatan 2008, teman sekosanku, kamarnya berjarak dua pintu dari kamarku. Aku suka Kak Norma, baik sekali. Senyumnya renyah.
“Pinjam sapu lidi dong,” cengir Kak Norma.
Aku ikutan nyengir, lalu mengambil sapu lidi dari bawah ranjang.
“Kamu kenapa?” tanya Kak Norma.
“Hah? Apanya?”
“Mukamu cemberut.”
Kak Norma, hebatnya, selalu bisa menebak perasaanku meski aku sudah susah payah menyembunyikan ekspresiku. Menurutku, dia punya indra keenam.
“Itu, Grace...”
“Kenapa lagi dia? Dia sms kamu?”
Nggak, dia nge-tweet. Parah deh pokoknya. Sayang-sayangan gitu sama Kak Oki.”
“Lah, kamu masih follow dia aja. Ya udah sih. Unfollow. Gitu aja susah.”
Aku tersenyum lemah. “Dia kakak kelasku, Kak.”
Kak Norma manggut-manggut. “Well, hak kamu sebenarnya untuk mem-follow atau tidak seseorang. Tapi kamu terlanjur follow dia, kan. Itu masalahnya.”
Aku memonyongkan bibirku. “Kak Oki nggak pernah nge-tweet,” aku memberitakan informasi yang tidak relevan dengan ceritaku sebelumnya.
Kak Norma bersikap seolah sudah mendengar info ini sebelumnya. “Terus?”
FYI.”
“Kamu mengulanginya sekitar sepuluh kali sehari.”
Alasan utama aku menyukai Kak Norma adalah, dia teman curhat yang amat sangat baik. Dia juga tidak pernah mengeluhkan kamarku yang berantakan ketika ia berkunjung ke kamarku untuk sekedar makan bersama atau melihat video-video yang kupunya.
Sebut saja aku fangirl. Ya, aku pecinta musik Korea. Alias K-Pop. Akhir-akhir ini aku sedang jatuh cinta pada satu boyband Korea bernama INFINITE. Sementara Kak Norma menyukai – tidak, dia bilang dia mencintai – boyband Korea yang lain: B1A4.
Kak Norma mengacak rambutku. “Thanks ya sapu lidi-nya. Kamu cepatlah mandi. Itu kamar mandinya kosong.”
Aye aye Captain.”
* * *
Aku mengayuh sepedaku kuat-kuat menuju kampus tercintaku. Capek sih, memang. Tapi aku toh mendukung program dari universitas tempat aku belajar. Program pengurangan polusi. Lagipula, aku juga ingin kurus.
“Laraaaaassssssss!”
Suara kedua temanku yang berteriak bersamaan: Azka dan Pita.
Aku memasang pita kotak-kotak pink-ku di rambut, kemudian tersenyum pada mereka. “Halo.”
“Kamu sudah sarapan?” tanya Azka. Temanku yang ini berambut panjang sekali, sepinggang. Dia biasanya mengikat rambutnya menjadi dua benjolan di kepalanya – sebut saja itu cepol. Kadang ia membuat kepang, yang aku dan Pita larang, karena membuatnya seperti gadis desa. Kadang ia membuat kuncir kuda yang sangat panjang di belakang kepalanya. Pita sering sekali bermain dengan rambut panjangnya.
“Sudah dong,” kataku santai.
“Tuh kan, apa kubilang,” sahut Pita. Meski namanya Pita, dia tidak menyukai pita – akulah yang sangat menyukai pita. Pita berambut pendek sebahu dan biasanya tidak melakukan apa-apa pada rambutnya. Pita sangat cantik, matanya besar dan bulat. Dia juga sering sekali tersenyum. Dia seperti aku, tidak begitu menyukai make-up. Tidak seperti aku, Pita tidak menyisir rambutnya sejam sekali.
“Pasti roti keju dan cappuccino?” tebak Azka.
“Bukan, pasti latte,” tebak Pita.
“Keju dan latte,” aku nyengir. “Jadi, kalian belum makan?”
“Belum,” jawab Pita sedih. “Kami menunggumu.”
“Wah, maaf, aku sarapan duluan,” kataku agak bersalah.
Tiba-tiba ponselku berdering, intro lagu 2PM – Hands Up terdengar keras di halaman kampus.
“Untung belum masuk kelas,” komentar Azka.
“Halo?” sapaku.
“Kamu dimana?”
“Baru nyampe kampus, aku masuk jam delapan.”
“Pesananku kamu bawa kan?”
“Ah!” aku berpura-pura lupa. “Sorry, sorry, sorry, aku lupa, ketinggalan di kamar kos...”
“Jangan bohong deh, Ras.”
Kok tau kalo aku boong,” aku tertawa. “Aku sama Azka sama Pita mau ke kantin nih jajan bentar.”
“Oke, aku ke kantin deh.”
“Sip.”
Aku memutus pembicaraan.
“Feri?” tanya Pita. “Kalian bicara apa?”
“Dia mau pinjam novelku...”
“Ras,” panggil Azka, dan aku menoleh kearahnya, dan dia mengangguk ke suatu tempat, menyuruhku melihat kesana.
Dan disanalah, aku melihat, sesosok pemuda, yang, sungguh, tak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata. Kak Oki.
Kupandangi, kupandangi terus Kak Oki, sendirian, berjalan santai, dengan tas selempang warna coklat, kemeja hitam, celana jins, dan sneakers putih. Aku tak memikirkan apapun, aku mengabaikan Azka dan Pita. Bahkan aku merasa waktu berjalan lebih lambat ketika aku memandangi Kak Oki dengan begitu rupa. Aku tak sadar bahwa mataku tidak berkedip sedikitpun ketika melihat Kak Oki. Aku juga tak sadar bahwa bibirku terangkat, membentuk senyuman, mensyukuri pemandangan indah yang sudah kudapatkan sepagi ini. Angin semillir dan daun-daun yang berguguran membuat pemandangan itu kian indah, ditambah lagi suara musik yang mengalun lembut...
“Laras, kamu senyum-senyum sendiri.”
Mendadak suara musik yang berdengung di kepalaku berhenti. Aku manyun pada Azka, yang nyengir minta maaf. Ketika aku menoleh ke arah Kak Oki, dia sudah pergi.
“Kamu selalu begitu, ya,” kata Pita, geleng-geleng kepala.
“Aku suka dia, Pit,” kataku memberi alasan. “Ngomong-ngomong, pagi ini Grace nge-tweet. Bikin sebel pagi-pagi.”
“Nge-tweet apa dia?” tanya Azka.
“Biasa, mention Kak Oki. Gini: ‘morning @okioki sayang, semangat kuliahnya ya :*’. Pake emoticon cium-cium juga.”
“Hmmm,” kata Azka. “Wajar sih, Kak Oki kan pacarnya.”
“Iya, tapi kan...”
Aku tak bisa berdebat.
Fakta itu semakin menegaskan bahwa aku telah salah menyukai Kak Oki sebegini dalam.
* * *
“Fer, aku salah ya suka sama Kak Oki?” tanyaku serius siang itu, ketika makan siang di kantin dan bertemu dengan Feri. Feri ini temanku yang lain, beda kelas, dan dia kutu buku. Dia membaca apa saja, termasuk novel-novelku.
Feri mendongak dari novel Paulo Coelho yang tadi pagi dipinjamnya dariku dan menaikkan kacamatanya. “Tidak,” jawabnya singkat.
“Tapi dia sudah punya pacar.”
“Apa itu mengubah perasaanmu padanya?”
“Tidak.”
“Kalau begitu kamu tidak salah mencintainya.”
“Keadaan yang salah?”
“Kita juga tidak bisa menyalahkan keadaan.”
“Nah, lalu?”
“Kamu harus mengklasifikasi perasaan sukamu, itu kagum, suka ngeliat doang, naksir, atau sayang.”
Aku tertegun. Lalu terdiam lama.
“Itu kan yang kamu katakan padaku beberapa bulan yang lalu? Ketika aku bilang aku suka Kak Lola.”
Kak Lola, angkatan 2009, gadis blasteran Spanyol-Jawa. Feri, yang sudah punya pacar, yang berjarak ribuan kilometer jauhnya, menyukainya. Aku mati-matian menegur Feri waktu itu. Untungnya, Feri sadar dan mengatakan bahwa ia hanya senang melihat gadis secantik Kak Lola.
Lalu aku masih terdiam, terperangah, sedikit terharu, karena seseorang mengingat kalimatku dan mengingatkannya kembali padaku.
“Oh iya, kamu nggak beli minum?” tanya Feri, melihat makananku.
“Ha? Ngng, iya.”
Aku bangkit berdiri, mengambil langkah ke kanan, berbalik, dan langsung menabrak seseorang yang sedang membawa minuman. Untungnya, itu Kak Oki.
Sayangnya, kemeja pink-ku basah. Es kopi yang dibawa Kak Oki tumpah ke kemeja kami berdua. Mendadak kantin hening.
Aku terperangah, ternganga, tidak menyangka keberuntungan (?) yang aku alami ini.
“Ah, maaf,” gumam Kak Oki panik. “Maaf, kemejamu jadi kotor.”
“Tidak apa-apa, Kak,” kataku, lima detik setelah ia berhenti bicara. “Benar-benar tidak apa-apa.”
“Ras, nggak apa-apa?” tanya Feri, yang sudah berdiri dari kursinya dan melihat tempat kejadian perkara.
Aku nyengir pada Feri. “Nggak apa-apa.”
“Sebentar,” Kak Oki buru-buru berlari ke mejanya, menyambar jaket yang tersampir di kursinya. Jaket warna hitam yang biasanya kupuja-puja.
“Pakailah ini,” kata Kak Oki ketika kembali berhadapan denganku. “Kamu tidak bisa berkeliling dengan kemeja kotor seperti itu.”
“Oh,” kataku, masih tak sadar, masih bingung, kemudian lenganku dicubit Feri. “Aw! Eh... kakak sendiri bagaimana?”
I’m fine,” senyum Kak Oki, yang langsung membuatku lemas. “Kemejaku kan warna hitam,” lalu dia tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang tidak rapi, tapi putih cemerlang, dan membuatnya semakin  manis.
Aku meraih jaket hitam itu dari tangannya. Dan tak sengaja jariku menyentuh punggung tangannya, dan tak sengaja pula mataku bertatapan dengan matanya, dan entah sengaja atau tidak, jantungku mendadak berdebar lebih kencang. Maksudku, hei, sedari tadi ia sudah bekerja lebih cepat, kalau seperti ini terus bisa-bisa dia loncat ke tenggorokan.
“Makasih ya, Kak,” ujarku tersenyum, senyum terbaikku yang bisa aku lakukan mengalahkan debar jantung yang membuatku gemetaran. “Saya cuci dulu baru nanti saya kembalikan ke Kakak...”
Kak Oki mengangguk dan tersenyum dengan keren, kemudian kembali ke mejanya, tempat teman-temannya sudah menunggu.
Aku kembali ke kursiku bersama Feri.
“Ingat, jangan salahartikan perhatian-perhatian kecil darinya...” kata Feri pelan sekali, hingga hanya aku yang bisa mendengar.
Aku ingat, itu juga yang pernah kukatakan pada Feri berminggu-minggu lalu.
Mendadak aku dirasuki entah-apa, yang membuatku agak marah pada Feri.
“Aku beli minum dulu,” kataku singkat, padat, dan jelas. Apapun, untuk menghindari Feri. Aku sedang tidak ingin melihatnya, atau berdebat dengannya.
* * *
(bersambung)

3 komentar

kata temenmu bener sweeekkk
biasa org lgi fallin in love sukanya menebak-nebak :)

by @reebastian :)

REPLY

ditunggu sweeeeeek lanjutannya =D

tiq kamu jago ya baca-baca perasaan orang
jago bikin masalah dan ngasih solusi

................tapi kamu galau terus e...
HAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHAAHA

REPLY

@reebastian: iya, suka menebak-nebak dan berharap yang tak pasti #eaaa hahahaha :p

@tita: lanjutannya udah ada tuh :p HAHAHAHAHAHA sial lo bener banget ta :)) ah tapi aku nggak galau koook --"

REPLY

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates