7 Des 2011

(lanjutan) 

“Bukannya membela Feri, sih,” kata Pita. “Tapi kupikir dia ada benarnya juga.”
“Mungkin dia cuma mau tanggung jawab karena sudah mengotori kemejamu,” kata Azka. “Ingat Ras, dia punya pacar...”
“Aku tahu, kok, aku tahu... nggak usah diulang-ulang, aku nggak suka.”
Kulihat, dari sudut mataku, Azka dan Pita berpandangan.
“Kuulang ya, aku nggak suka. Kenapa sih kalian nggak pernah sedikitpun ngedukung aku suka yang suka sama Kak Oki? Kenapa sih kalian nggak pernah sedikitpun, terlihat, bereaksi positif sama cerita-ceritaku tentang Kak Oki?”


“Gini ya, Ras,” kata Azka, dan aku membenci nada suaranya. “Kak Oki sudah punya pacar...”
“Aku tahu! AKU TAHU! Tapi kalian juga setuju kan kalau Grace nggak cocok sama Kak Oki? Terus kenapa kalian nggak mendukungku? KENAPA?”
“Ras, kita cuma nggak mau kamu suka sama seseorang dengan ekspektasi yang berlebihan...” ujar Pita.
“Kamu harus membatasi rasa suka kamu sama Kak Oki, Ras...” tambah Azka.
“Kalau kamu ngebiarin ini berkembang, kamu bakal makin sakit...” sambut Pita.
“Dan kita nggak mau lihat kamu jatuh lagi,” ujar Azka mengakhiri. “Seperti waktu kamu suka sama Kak Pras.”
“Dan aku nggak mau liat kalian dulu,” kataku, bangkit dengan marah. “Maaf, bukan niatku marah-marah seperti ini.”
“Ras, kita ngelakuin ini karena kita sayang sama kamu, dan kamu bersikap kayak gini?” tanya Pita tak percaya.
“Pit,” tegur Azka. “She needs time. Not now.”
“Berapa lama? Selamanya?”
Nada suara Pita yang naik membuatku semakin jengkel dengan pembicaraan ini.
“Makasih buat rasa sayangnya,” aku menyambar tasku.
Dan bahkan aku tidak berpamitan pada mereka berdua ketika berjalan dengan cepat menuju tempat sepedaku diparkir.
Air mataku mengalir sepanjang perjalanan pulangku ke kosan. Tanpa sadar aku mengusap mataku dengan lengan jaket Kak Oki. Ketika sadar, aku menangis lebih keras, lebih kencang, dan tidak memedulikan pandangan aneh orang-orang pengendara motor yang melihatku bercucuran air mata. Mereka tidak tahu perasaanku. Seperti Azka dan Pita. Hari itu aku kecewa sekali pada mereka.
Sesampainya di kamar kos, aku mengambil ponselku dan melakukan panggilan ke nomor ponsel Feri. Aku menangis habis-habisan padanya. Seperti biasanya, Feri berperan sebagai pendengar yang baik, kadang mengomentari, kalau kalimatku terputus karena sesenggukan.
“Fer... kamu... di pihakku... kan?” isakku, sambil susah payah mengusap mataku yang penuh air.
“Aku tidak bisa dibilang ada di pihakmu, Ras. Aku hanya bisa bilang ini: kadang kita terlalu memikirkan orang yang tidak mencintai kita, dan tidak memikirkan perasaan orang yang benar-benar mencintai kita. Teman-temanmu menyayangimu, Ras. Termasuk aku.”
Lagi-lagi, aku dibuat terdiam oleh perkataan Feri barusan.
“Ayo Ras, bagaimana perasaanmu sebenarnya pada Kak Oki. Kamu sudah memikirkannya?” tanya Feri.
“Belum,” kataku, masih sesenggukan. “Aku suka dia, Fer... aku suka dia...”
“Oke, kamu suka dia. Itu bagus. Tapi, hargailah perasaanmu sendiri. Dan pikirkanlah perasaan orang-orang yang menyayangimu.”
Aku membuang ingus.
“LARAS,” tegur Feri keras.
Aku tertawa dalam air mataku. “Iya. I’ll try. Thanks ya Fer... you’re my best friend.”
“And Azka and Pita, too.”
Aku tersenyum, tetapi merasa masih belum bisa memaafkan Azka dan Pita.
Kemudian telepon itu terputus.
Lalu aku tersadar bahwa sedari tadi aku berguling-guling di kasur dengan masih memakai jaket hitam kebesaran yang dipinjamkan Kak Oki padaku.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
* * *
Dua hari kemudian,
Aku masih belum bicara dengan Azka dan Pita, dan mereka juga tidak menunjukkan tanda-tanda mau bicara denganku, jadi aku juga tidak memedulikannya. Sama-sama tidak peduli.
Akan tetapi, Feri bilang itu karena kami sama-sama peduli.
“Ayolah, Ras,” kata Feri tanpa lelah. “Masa hanya gara-gara hal ini kalian mesti diam-diaman.”
“Bukan masalah ‘hal ini’ saja, Fer.”
“Lalu apa?”
Aku diam. Entah, aku lebih banyak diam ketika sudah akan berdebat dengan Feri. Mungkin karena aku tahu aku akan kalah, maka aku mengalah sebelum berperang. Diam sebelum didebat.
Yang aku sukai dari Feri adalah, dia tidak pernah berkata ‘sudah kubilang, kan’ atau ‘tuh, kan’ ketika aku terdiam menyadari kekeliruanku atau ketika aku menyadari apa yang dia katakan ternyata benar. Dan menurutku memang begitulah seharusnya orang-orang bersikap.
“Jaketnya sudah kamu kembalikan?” tanya Feri, mengangkat topik yang sedari tadi aku ingin bicarakan.
“Belum, masih aku bawa di tasku.”
“Dan tasmu...”
“Di kelas.”
Kami sedang berada di ruang internet kampus dengan hanya membawa laptop dan flash disk.
“Eh,” kata Feri. “Panjang umur.”
Hatiku langsung berdebar tak karuan, ketika melihat Kak Oki memasuki ruang internet dan menghampiri kawan-kawannya.
“Tuh, panggil,” kata Feri.
“NGGAK.”
“Aku yang panggil, kalo gitu. KAK OKI!”
“FER!”
Aku terlambat, Kak Oki sudah menoleh karena panggilan Feri.
“Oh, hai,” kata Kak Oki, yang, entah kenapa, malah menghampiri kami. Aku harus susah payah menenangkan diriku agar tidak kalah oleh debaran jantungku.
Aku buru-buru berdiri. “Ng... kak, itu... jaketnya... mau saya kembalikan... tapi jaketnya masih di tas saya... tas saya di kelas...”
“Ooh,” ujar Kak Oki santai. “Nggak apa-apa. Kita ambil sekarang?”
JDER. Kalimat barusan itu benar-benar menyambar hatiku. Kita? Sekarang?
“Ide bagus, Kak,” ujar Feri, aku ingin sekali melemparnya dengan sneaker-ku. “Kita juga sudah selesai internetan kan, Laras?” Feri menatap tajam padaku.
“Yuk,” ujar Kak Oki.
Aku tak bisa bicara apa-apa lagi.
“Ini, Kak,” kataku sesampainya di kelas, setelah dengan terburu-buru mengambil jaketnya dari tasku, kemudian menyodorkan jaket hitamnya yang sudah terlipat rapi, bersih, dan wangi padanya.
“Terima kasih, ya,” senyumnya.
“Aku yang harusnya berterima kasih, Kak,” kataku.
Kak Oki tersenyum.
Lalu atmosfernya mulai aneh.
“Sudah, ya...” kata Kak Oki, lalu terlihat memikirkan sesuatu. “Ngng, siapa namamu tadi?”
Lalu aku tertegun sejenak. Bukankah tadi Feri sudah menyebutkan namaku?
“Laras, Kak...”
“Oh... oke, sudah dulu ya, Laras,” Kak Oki lalu pergi sambil melambaikan tangannya padaku.
Meninggalkan aku yang terdiam membisu, memandangi punggungnya seperti biasa, hanya saja kali ini tanpa senyum.
* * *
“Dia bahkan nggak ingat namaku,” kataku, memandang tanpa melihat pada latte di meja di depanku.
Sesudah kejadian itu, Feri segera menghubungi Azka dan Pita, yang langsung membawaku keluar kampus dan mengunjungi cafe langganan kami. Azka memesankan aku kentang goreng dan latte. Pita merangkulku. Feri, duduk di depanku, memandangku dalam-dalam.
“Padahal Feri menyebutkan namaku di depannya. Tapi dia tidak mengingat namaku.”
“Sudah, Ras, mungkin memang Feri tidak cukup keras menyebut namamu...” kata Azka pelan.
“Tapi padahal dia berdiri di dekat Feri...”
“Mungkin dia sedang tidak memperhatikan...”
“Nah! Itu dia masalahnya!” aku menyela Pita. “Masalahnya adalah dia TIDAK MEMPERHATIKAN!”
Tidak ada yang bicara, maka aku melanjutkan. “Dia tidak sedikitpun memperhatikanku. Dia tidak sedikitpun mengingatku... nggak sedikitpun...”
Aku benar-benar tidak menginginkan ini, tetapi ternyata air mataku turun. Bahkan tidak disadari oleh orang yang kau sukai adalah sebuah hal yang menyedihkan. Sungguh.
“Ras...” kata Pita. “Sudahlah.”
“Kamu nggak pantes nangisin dia,” tambah Feri.
“Kamu harusnya dapat yang lebih baik daripada dia...” kata Azka. “Serius. Kamu. Pantas. Dapat. Yang. Lebih. Baik.”
Aku menengadah. “Kak Oki baik...”
“Laki-laki yang bahkan tidak bisa mengingat namamu padahal ada kejadian seperti itu bukanlah laki-laki yang baik untukmu,” tegas Azka.
“Dia nggak cukup baik buat kamu,” tambah Pita.
Beneran? Tapi... Kak Oki itu baik...” aku masih konsisten.
“Ras, please. Coba kamu lihat dulu, kamu itu kagum atau naksir, atau beneran suka? Kalau menurutku kamu itu belum sampai ke tahap ‘cinta’ tapi kamu itu baru kagum, karena dia baik, pintar, dan... yah, tipe cowok idola. Nah sekarang karena masih ‘kagum’, jangan dibiarkan berkembang. Nanti kamu tambah sakit. Dan kita nggak mau liat kamu kayak gitu lagi. Bahkan kita nggak mau liat kamu kayak gini...” Azka berargumen.
“Kenapa sih...” aku menangis, “aku selalu suka sama orang yang suka sama orang lain?”
“Kebetulan,” gumam Feri. “Jangan salahkan dirimu, apalagi keadaan.”
“Karena cinta kan memang nggak bisa memilih,” ujar Pita, tersenyum, mengelus rambutku. “Cinta itu tumbuh karena kebiasaan...”
“Kalau kamu mau, yah... rebut Kak Oki dari Grace... eh...” Feri buru-buru terdiam, melihat tatapan tajam dari Azka dan Pita.
Aku tertawa dengan air mata masih mengalir. “Tidak, ah, aku tidak akan sejahat itu... aku, sampai kapanpun, nggak akan merebut cowok orang, apalagi suami orang...”
“Semangat yang bagus,” Feri mengacungkan jempolnya. “Yuk, sekarang kamu mau makan kentangnya? Aku lapar sekali.”
“Makanlah,” aku tertawa. “Jadi dari tadi kamu menunggu itu?”
“Ahoy,” kata Feri, memasukkan empat kentang sekaligus ke mulutnya.
“Fer,” kata Pita, ekspresinya jijik.
“Ya?”
“Jijik ah.”
Gomen ne,” aku membungkukkan badanku di depan mereka bertiga ketika kami keluar cafe.
Gomen?” tanya Azka bingung.
“Maaf,” kata Pita memberitahu. “No probs, no need to say sorry, dear,” kemudian Pita mencium pipiku, dan Azka memelukku.
Feri mengacak rambutku, lalu menaikkan kacamatanya. “Pilihlah manusia yang lain untuk jatuh cinta.”
“Tadi katanya cinta nggak bisa milih?”
“Itu kan kata Pita,” Feri nyengir, Pita ngamuk.
Aku tertawa.
Dan aku sadar, bahwa sahabat-sahabatku punya lebih banyak cinta untukku daripada cintaku untuk Kak Oki... cinta yang tak akan usai, cinta antar sahabat, cinta yang tulus ikhlas, dan cinta yang suci. 
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates