10 Okt 2012


Aku tidak pernah bermaksud menggetarkan suaraku atau apa, tetapi di telepon Raga menyuruhku untuk tenang sejenak, dan membiarkan suaraku kembali seperti semula. Aku mengikuti usulnya, lalu menghela napas panjang.
“Minum air dulu,” saran Raga di telepon.
Sebagai kakak yang penurut aku mematuhinya. Kuraih gelas yang ada di meja makan dan mengisinya dengan air, lalu meneguknya dengan pelan.
“Air selalu punya efek menenangkan,” ujar Raga.
“Trims,” kataku. “Aku takut...”
“Tenang, Kak, itu cuma mimpi. Jangan dipikirin...”
“Tapi tetep aja... mimpi buruk,” aku bergidik.
“Sesekali, Kak...” sahut Raga. “Bukan berarti sesuatu yang buruk akan terjadi pada Kak Satria atau apa...”


I hope so...” ujarku, dan di dalam hati menambahkan, mungkin hal buruk tidak terjadi pada Satria, tetapi padaku. Satria jadian dengan Fazzie, misalnya.
“Sekali lagi Kak, itu cuma mimpi. Hanya mimpi. Kakak nggak boleh terlalu percaya, harusnya.”
Aku manggut-manggut. “Iya. Aku cuma... udah lama nggak mimpiin dia, dan sekalinya mimpi...” aku berhenti, meneguk ludah.
“Sejak ada aku ya?” kudengar Raga tertawa.
“Iya mungkin,” aku mendengus tersenyum.
“Udah tenang Kak?”
“Lumayan... trims ya? Maaf, lho...” entah kenapa aku merasa harus minta maaf.
“Lho, maaf untuk apa,” gumam Raga. “Aku senang bisa jadi orang yang Kakak hubungi waktu lagi sedih.”
“Mmm...” kataku, kehilangan kata-kata.
“Nggak ke tempat futsal, Kak?”
“Aku nungguin Hannah... janjian jam setengah empat, sih.”
I’ll be there too,” ujar Raga, memberi informasi yang sudah kuketahui.
I know,” kataku bingung.
Well, that supposed to be... meet me there’, Noona,” cengir Raga.
Aku tersenyum lagi. “Okay then, see you there...”
Dan kami memutuskan sambungan telepon itu.
Berharap tidak terjadi apa-apa pada Satria, aku bersiap-siap dengan gelisah ketika menunggu Hannah datang ke rumahku.
“Meong,” Akane terdengar sedih.
“Ya?” kataku padanya. “Mau ikut?”
Dia mengeong lagi. Kuputuskan untuk membawanya ke tempat pertandingan, siapa tahu dia bisa ikut excited melihat pertandingan futsal nanti. Sudah terlalu lama Akane kesepian di rumah.
Hannah berseru-seru melihat Akane di pelukanku.
“Kucing!” katanya histeris, menunjuk Akane. “KUCING!”
“Iya, Hannah,” kataku heran. “Kamu takut kucing?”
Hannah menggeleng. “Aku sukaaaaaa sekaliiiiiii!”
Dan dia merampas Akane dari pelukanku sementara aku memasukkan kandang Akane ke mobil Hannah.
Cute! Super cute!” seru Hannah tiada henti di perjalanan.
Duduk di kedua lututku, Akane mengeong dengan bangga. Dia lalu melongok ke depan untuk melihat pemandangan dari dalam mobil.
Sesampainya kami di tempat futsal, aku menemukan motor Satria yang bisa kukenali bahkan dari jauh. Ada beberapa motor dengan stiker FKG yang ditempel di badannya, dan helm-helm dengan stiker yang sama. Mungkin anak-anak futsal sudah ada di dalam lapangan futsal indoor itu.
Benar saja, tempat duduk penonton yang cukup dekat dengan lapangan futsal itu sudah ditempati teman-teman seangkatanku, beberapa kakak angkatan, dan beberapa adik angkatan. Raga belum kelihatan. Ada Marisa dan teman-temannya disana, bercengkrama. Sesaat aku ingat mimpiku dan ingin sekali melabrak Marisa, tetapi sesuatu menahanku.
“Maya!” seru Kelly yang ada disana. Aku berjalan ke arahnya, dan duduk tepat disebelahnya.
“Eh, kok bawa kucing, May?”
“Kucing siapa, May?”
Nemu di jalan, gumamku dalam hati.
“Punyaku, namanya Akane,” kuperkenalkan Akane pada cewek-cewek yang mengisi deretan terdepan bangku penonton, dan dalam sekejap Akane jadi idola. Beberapa yang takut kucing berteriak ketika Kelly menyodorkan Akane pada mereka. Seorang diantaranya adalah Fazzie.
“KYAAAAA!” lengkingan Fazzie bergaung, dan hampir semua orang menoleh ke arah kami. Satria, Oki, Brian, Ary, Wira dan yang lain yang ada di sisi lapangan juga menoleh.
Aku mencibir tanpa suara. Astaga, berlebihan sekali.
“Sana! Sana!” kata Fazzie ngeri.
Aku mengambil Akane dari tangan Kelly yang tertawa-tawa dan memeluknya erat. Hannah meminta izin untuk bermain dengan Akane sebentar dan aku mengizinkannya.
Tiba-tiba saja tanpa kami ketahui, pertandingan sudah akan dimulai. Anak-anak tim futsal membentuk lingkaran, melakukan yel-yel mereka yang biasa, lalu diiringi tepuk tangan dan teriakan dari penontonnya, lima orang dari mereka memasuki lapangan.
Noona,” panggil seseorang dari belakangku. Aku menoleh dengan sudah mengetahui siapa yang memanggilku.
“Ah, noona membawa Akane?” tunjuk Raga pada Akane yang sedang mengangkat-turunkan Akane.
Aku nyengir. “Iya.”
Cute,” Raga tersenyum.
Mendadak aku deja vu, sekali lagi. Siapa ya yang dulu pernah mengomentari Akane, seperti ini juga?
Pertandingan final itu resmi dimulai dengan tendangan dari FISIPOL yang menang suit tadi. Dengan segera tim lawan melakukan serangan ke gawang FKG. Bisa kudengar pelatih tim futsal FKG menyerukan tindakan yang harus dilakukan–atau meneriakkan nama Oki atau Satria untuk memblok lawan yang sedang melaju.
“BUANG! BUANG!” adalah salah satu kata yang kudengar, dan tepat pada saat itu Wira yang ada di depan gawang menendang bola keluar lapangan.
“NICE!”
Pendukung FKG bertepuk tangan. Kami ribut-ribut lagi ketika bola sudah sampai di dekat gawang FISIPOL dan terjadi pertarungan sengit disana, berharap ada seseorang yang menendang bola itu ke gawang lawan, dan...
“GOOOOOOOOOOOL!!” keras terdengar dari pendukung FKG ketika entah-siapa (aku tidak melihatnya) memasukkan bola ke gawang FISIPOL. Detik berikutnya aku tahu–Satria-lah pencetak gol pertama. Nama Satria digaung-gaungkan.
Dari garis tengah bola digulirkan lagi. Kali ini tanpa ragu-ragu Satria menendang langsung ke gawang–tapi sayangnya ada yang menendang bola itu ke belakang, ke arah gawang FKG. Daerah gawang itu kosong! Hanya ada dua orang yang ada di daerah sana.
Kiper FKG, Brian, berteriak-teriak meminta temannya kembali ke belakang. Ary melakukan defense tetapi lawan berhasil melewatinya. Yang lain terlalu terlambat untuk berlari ke belakang... sekarang mahasiswa FISIPOL itu bertanding satu-satu dengan kiper. Dia melakukan tendangan yang indah menurutku, dan sayang sekali Brian gagal mengantisipasinya, bolanya masuk melewati daerah kosong yang tidak disangka-sangka Brian. Giliran pendukung FISIPOL yang berseru-seru.
“BRIAAAANNN!” teriak kami dari bangku penonton.
Jantungku berdebar kencang setiap kali terjadi pertempuran di depan gawang–sedikit saja salah langkah, bisa-bisa gawang kebobolan.
Di menit-menit berikutnya tidak ada gol-gol yang diharapkan. Kedua belah pihak sama-sama punya pertahanan yang bagus, menurutku, yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang olahraga ini. Sedikit saja bola itu hampir mendekati gawang, seseorang akan segera membuangnya, atau menendangnya kembali ke depan. Skor masih 1-1 di babak pertama yang menegangkan.
Begitu memasuki babak kedua, setelah ada pergantian pemain dari FISIPOL, tampaknya serangan mereka semakin bertubi-tubi. Mereka juga menjaga pemain-pemain FKG yang dirasa berbahaya. Satria diapit terus-terusan oleh seorang mahasiswa FISIPOL.
Ingin rasanya aku berada di posisi mahasiswa itu.
“SATRIAAAAA!” teriak Fazzie, membuatku mengerling padanya, tapi tak kentara.
Sebuah corner kick di gawang FKG berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh tim futsal FISIPOL untuk memasukkan satu gol lagi ke gawang FKG. Keluhan keras terdengar dari suporter FKG, sementara suporter FISIPOL berteriak-teriak senang dan melayangkan tinju mereka ke udara.
Tuhan... setidaknya bisa menyamakan kedudukan... setidaknya penalti... aku berdoa dalam hati, sembari memeluk Akane erat-erat.
Tetapi entah kenapa pertahanan kami kendur di babak kedua. Brian telat maju untuk menangkap bola yang bergulir–bola itu langsung ditendang oleh lawan ke gawang yang kosong. Skor 3-1.
Akane yang kupeluk mengeong-ngeong gelisah.
Aku mulai pupus harapan. Inikah pertanda buruk yang dimunculkan di mimpiku tadi sore?
Tidak, bodoh, ini sama sekali tidak berhubungan.
Tak berani memerhatikan pertandingan sama sekali, aku memusatkan pandanganku pada satu sosok saja. Kuperhatikan bagaimana dia berlari, menyampaikan tanda-tanda pada teman-teman setimnya, meneriakkan pada teman-temannya mereka harus apa, dan waktu bola yang tadinya ia giring direbut, kuperhatikan perubahan ekspresinya, dan terakhir ketika seseorang dari FISIPOL menggulirkan bola masuk gawang FKG.
Skornya 4-1, dan ini sudah babak kedua... tinggal tunggu waktu...
Aku merasa kasihan pada Satria. Tampaknya dia sendiri sudah kehilangan harapan.
Dan begitu peluit panjang berbunyi, serentak dengan teriakan suporter FISIPOL yang turun dari bangku mereka. Tak mau kalah, kami juga berteriak dan bertepuk tangan bangga akan tim futsal kami.
Kedua tim bersalaman di tengah lapangan diiringi tepuk tangan dari orang-orang yang menonton.
“Ah,” kata Raga kecewa. “Sayang...”
“Iya,” sahutku. “Tapi sampai final udah bagus...”
Raga mengangguk-angguk. “Yuk, pulang, pulang, responsi, responsi!” serunya pada teman-temannya yang langsung disambut dengan tertawa yang penuh arti.
Hannah mengambil alih menggendong Akane sementara aku berjalan berdampingan dengan Raga keluar tempat olahraga itu.
Kalau mau mengikuti skenario yang kubuat tentang prosesi penembakan Fazzie yang diduga akan terjadi hari ini–harusnya sih kejadiannya terjadi sekarang. Mestinya, kalau menurut skenarioku, Satria akan memenangkan pertandingan ini, lalu dengan bangga dia menerima piala, dan ketika mereka sudah sampai di luar, Satria akan menembak Fazzie sembari berkata, ‘kemenangan ini buat kamu’.
Ck.
Sejak keluar dari tempat futsal, entah kenapa hatiku tidak tenang. Perasaan seperti ini biasanya muncul diikuti dengan kejadian buruk atau kejadian yang tidak sesuai dengan ekspektasiku. Aku memang terlalu sensitif, sampai kadang aku direpotkan oleh perasaan ini.
Sebenarnya sejak tadi hatiku sudah gelisah sekali soal pertandingan ini. Maka aku tidak heran ketika final dimenangkan oleh FISIPOL.
Tokoh perempuan di dalam skenarioku tidak tampak dimana-mana, tetapi geng cantiknya berkumpul di dekat mobil salah satu dari mereka–mobil Ara, kalau aku tidak salah ingat. Sementara si tokoh pria menurut dugaanku masih ada di dalam gedung.
“Pulang... yuk?” ajakku pada Hannah, tak sanggup kalau mendadak melihat Satria dan Fazzie datang dengan bergandengan tangan.
“Sebentar ya, Kak...” kata Hannah yang tampaknya sedang berbicara dengan teman sekelompoknya tentang tugas-entah-apa.
Maka aku menunggu, di sebelah Hannah, dengan Akane di gendongan Raga.
“Satria!”
Aku menoleh mendengar panggilan salah satu teman sekelasku itu. Satria baru keluar, membawa ranselnya, tanpa-Fazzie. Cowok itu berlari melewatiku, dan mengangguk sedikit pada Raga, hanya pada Raga. Dia tidak melihatku.
Yah, aku juga tidak berharap apa-apa, sih.
Tapi kan, tetap saja, dulu...
Satria sudah berkumpul dengan teman-temannya. Kuacuhkan mereka, dan mengulum pipiku. Raga tidak mengajakku bicara, dia hanya menemaniku.
Beberapa saat kemudian aku melihat sesosok gadis cantik dengan pipi memerah dan senyuman malu-malu tersungging di bibir–Fazzie, muncul dari dalam gedung dan langsung dihampiri teman-temannya. Mereka kelihatan histeris begitu Fazzie bicara, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang aku tahu adalah mereka mengerling berkali-kali ke arah gerombolan cowok di tempat parkir, di belakangku.
Tetapi tidak perlu mata-mata untuk tahu apa yang baru saja Fazzie katakan, karena teman-teman Satria di belakangku mendadak bersorak-sorai norak.
“Jadi, Sat?”
DEG. Jantungku rasanya berhenti berdetak. Jadi...?
Fazzie dan teman-temannya berjalan mendekatiku–bukan, ke belakangku, ke tempat Satria dan yang lain. Penasaran, aku mengalihkan pandanganku kesana.
“Kenapa sih mereka ramai sekali?” tanyaku kesal.
Mendadak Raga menarikku ke arahnya, lengannya menutupi mataku, tangannya menutupi telingaku sehingga suara dari luar terdengar samar-samar.
“Raga...?” kataku bingung. “Kenapa...”
“Nggak,” ujar Raga.
Hanya ada satu kemungkinan yang bisa membuat Raga tiba-tiba memutuskan untuk mencegahku melihat (atau memahami) peristiwa yang terjadi.
“Raga,” kataku. “Mereka jadian, ya?”
“Hm?”
“Bilang aja iya atau enggak,” ujarku menantang.
Raga tidak menjawab segera.
“Aku nggak apa-apa,” ujarku, lebih kepada diriku sendiri. “Nggak apa-apa...”
You are not,” sahut Raga.
“Mereka jadian, ya?” bisikku.
“...iya,” jawab Raga, dan aku membasahi lengan Raga dengan airmataku.
* * *
Aku nyaris berteriak melihat pantulan diriku sendiri di cermin keesokan harinya. Ada bengkak dan lingkaran hitam tak diharapkan muncul di kedua mataku. Hidungku memerah seperti badut. Suaraku serak. Kucoba mengucapkan namaku sendiri. Nyaris tak terdengar.
Mbok Yati datang tergopoh-gopoh begitu melihatku di pagar. “Kenapa, Mbak? Sakit lagi?”
Aku menggumamkan ‘nggak, Mbok’ dengan menyedihkan.
“Saya buatin teh anget, ya.”
Aku tidak menolak, tidak bisa menolak.
“Habis nangis ya, Mbak?” tebak Mbok Yati ketika aku sedang mengamatinya mencelupkan teh ke teko. Aku hanya tertawa tanpa suara.
“Ini Mbak, buat kompres matanya...” Mbok Yati menyodorkan dua teh celup bekas yang barusan digunakan untuk membuat teh hangat. Aku berbaring di sofa, dan dengan patuh menempelkan teh celup itu ke kedua mataku. Rasanya panas. Meskipun begitu, mataku tidak berair. Pada saat yang bersamaan aku merasa kantung air mataku tidak akan mengeluarkan air lagi, selama mungkin seminggu ke depan.
Handphone-ku berdering. Sambil berusaha tetap menempelkan teh celup, aku menahan keduanya di mataku selagi berjalan menuju kamar untuk mengambil handphone. Ternyata Oki meneleponku.
Gwaenchana?” tanyanya begitu aku mengangkat teleponnya.
“Menurutmu?” bisikku serak.
“Kenapa suaramu?” gumam Oki. “Nangis?”
“Gitu deh.”
“Untung hari Sabtu.”
“Hmm.”
“Istirahatlah...”
“Hmm.”
Annyeong,” kata Oki, lalu memutuskan sambungan telepon.
Aku menyalakan televisi dan tidak bisa tertawa menonton episode terbaru SpongeBob. Akane melompat ke atas sofa dan menggangguku, berputar-putar di atas bantal.
“Ngapain sih kamu,” aku tertawa sembari mencubitnya pelan.
“Meong!” katanya kaget.
Handphone-ku berdering lagi. Kali ini Raga. Dia bahkan tidak mengucapkan ‘halo’ pada detik pertama.
Noona?”
“Ng?”
“Kok suaranya serak? Habis nangis? Noona nggak apa-apa?”
“Aku oke,” kataku, sebisa mungkin mempersingkat kata-kata yang kugunakan.
Noona... I’m sorry.”
For?”
For them.”
Aku tidak mengerti.
“Ya... intinya aku menyesal... kenapa mereka...”
“Sudahlah,” selaku serak.
Raga terdiam. “Well... okay. Aku mau ke kampus hari ini Kak, latihan basket,” kata Raga kemudian.
“Jangan lupa makan,” tambahku, sebelum dia menutup teleponnya.
 Sarapanku pagi itu sup krim jagung. Tidak berniat kemana-mana hari ini, aku makan dengan amat pelan dan tidak terburu-buru. Aku juga tidak ingin membuka situs Twitter (dan melihat timeline yang penuh dengan ucapan selamat atas bersatunya dua insan itu) atau Facebook (dan menemukan tulisan Satria Maheswara Pambudi is in a relationship with Fazyra Sastranty). Tidak. Tidak akan.
Air mataku, yang kukira tidak akan bisa keluar lagi, mendadak mengalir ketika aku sedang mengunyah roti kering. Terisak, aku menyuap sup krimku.
“Mbak...” kata Mbok Yati melihatku. “Saya nggak tahu, Mbak kenapa, tapi kalau mau nangis, nangis aja... jangan ditahan...”
“Saya udah nangis semalaman, Mbok...” kataku membela diri. “Saya capek nangis semalaman...”
“Aduh, Mbak... saya telponin Mama, ya?”
Aku buru-buru menggeleng. “Nggak usah Mbok,” ujarku. “Ini nggak ada hubungannya sama Mama...”
“Telpon temen-temen Mbak, minta temenin...” saran Mbok Yati.
“Saya...” aku hendak meneruskan dengan ‘saya nggak punya temen’ tapi kedengarannya immature sekali, maka aku memilih kata yang tepat, “...mereka pasti masih tidur...”
“Aduh, Mbak...” Mbok Yati kelihatan kebingungan sekali, dan aku merasa bersalah.
“Mbok... makan aja dulu, saya nggak apa-apa...” kataku tersenyum. “Beneran.”
Mbok Yati tampak tak percaya, tetapi aku mengeluarkan jurus jitu pandangan aku-baik-baik-saja-ku yang biasanya berhasil untuk semua orang kecuali Mama.
Aku bukanlah tipe anak yang bercerita semalam suntuk kepada Mama tentang kehidupan percintaanku yang berantakan (ehm, seperti sekarang). Mama memang secara rutin bertanya ‘Siapa pacarmu sekarang?’ ketika meneleponku, dan aku selalu bilang ‘belum ada’, dan Mama tidak bertanya lagi. Mama juga tidak tahu tentang Satria. Tetapi aku memberitahunya bahwa ada adik angkatan yang menyatakan perasaannya padaku. Mama cuma bilang terserah (“Ya kalau kamu suka, apa salahnya?”), setelah aku menceritakan asal-usul Raga yang merupakan tipe anak baik.
Sekarang ketika rupanya Satria dan cewek itu jadian, aku tidak ingin membawa-bawa perasaanku yang kacau balau ketika sedang ditelepon Mama atau Papa.
Menurutku kegalauanku tidaklah perlu diangkat menjadi masalah keluarga, lagipula aku tak ingin menambah Mama kerepotan dengan ikut memikirkan masalah pribadiku. Kak Nathan itu pengecualian, karena dia sendiri yang mendesakku untuk cerita.
Karena itulah satu-satunya yang menjadi pelampiasanku secara penuh cuma diariku. Diariku sekarang nyaris penuh setelah kuisi secara rutin selama dua semester terakhir. Nama Satria masih bertengger di halaman-halaman terakhir, tetapi biasanya diikuti dengan misuh-misuhku tentang pacarnya sekarang.
Pacarnya yang itu. Yang cantik jelita itu.
Kulempar buku diari yang sedang kubaca-baca itu ke kasur. Napasku terengah, jengkel. Air mataku mengalir. Selalu, kalau aku sedang marah. Aku tidak bisa marah-marah, dan sebagai gantinya, aku menangis dengan napas tersengal-sengal.
Suara Akane terdengar dekat, dan kusadari bahwa dia sedang duduk di bawah kursiku, memandangiku. Kuangkat dia dan mendudukkannya di pangkuanku.
“Akane,” kataku.
Akane mengeong. Kugaruk-garuk dagunya, dan dia mendengkur.
Aku tersenyum. “Cuma kamu yang setia...”
Akane menemaniku di dapur, menyiapkan makan siangku. Aku berniat membuat sayur bayam dan tahu goreng tepung. Kusiapkan bahan-bahannya, dan ketika memotong-motong tahu, mendadak mataku menghangat lagi. Merasa benci pada diri sendiri, tetapi aku tak bisa menahan air mata yang terus keluar. Kupotong-potong tahu dengan kasar, menimbulkan suara ‘drak’ keras ketika pisauku beradu dengan talenan.
Aku berniat menghabiskan seharian itu untuk tidur dengan tenang, dan berharap tidak akan mimpi buruk lagi. Nyatanya, setelah makan siang (yang dipenuhi dengan tetesan air mata tak diharapkan) aku menelepon Kak Nathan (yang sedang libur) dan menangis-nangis padanya. Kak Nathan tidak bicara apa-apa, hanya mendengarkanku berkeluh-kesah dan menangis.
“Kukira aku bakal bisa terima, Kak...” kataku pelan. “Tapi ternyata...” tangisku meledak lagi. “Kenapa aku sekesal ini ya? Kenapa...”
 “Cewek itu... seenaknya bilang Satria suka sama dia... aku nggak percaya... tapi kenapa malah mereka berdua jadian...”
“AKU BENCI, KAK, BENCI...”
“Terus maksudnya Satria ngapa-ngapain aku kemarin-kemarin itu apa? APA? NGASIH SAPUTANGAN WAKTU AKU MIMISAN ITU APA MAKSUDNYA? DATENG KE RUMAH NEMENIN PAS AKU SAKIT ITU APA MAKSUDNYA? MAKAN SIANG BARENG? NGASIH AKU PLESTER WAKTU AKU JATUH ITU? APA? SMS-SMS WAKTU ITU APA?”
“MAKSUDNYA AKU CUMA SELINGAN, GITU?”
“IYALAH, FAZZIE CANTIK, AKU APALAH...”
“Heh, jangan gitu...” Kak Nathan angkat bicara. “Kamu cantik.”
“Cuma Kakak yang bilang gitu,” aku mengusap mataku. “Kak...” aku mulai menangis lagi.
“Cup, cup,” kata Kak Nathan. “Sabar, ya... aku tahu ini berat... tapi... kamu pasti bisa... kamu udah mengalami yang lebih berat... dan kamu bisa bertahan...”
“Ini bukan masalah bertahan atau apa, Kak, ini masalah perasaanku terhadap Satria yang diombang-ambing kayak kapal sama dia!”
“Ya jangan mau diombang-ambing dong. Setir sendiri makanya.”
“SI SATRIA BODOH ITU,” aku tak bisa menahan lagi, “NGGAK SADAR APA ADA YANG SUKA SAMA DIA...”
“Hush,” Kak Nathan tertawa. “Mungkin dia emang nggak peka...”
“Masa sih dia nggak tahu kalau ada yang merhatiin dia terus-terusan... khawatir waktu dia sakit...”
“Dia emang nggak sadar, mungkin...”
“Tapi... tapi... Marisa... Fazzie... cewek-cewek itu...”
Kak Nathan diam.
Aku meneruskan. “Bisa dengan mudah deket sama Satria... gimana aku pengen banget kayak mereka... rela ngelakuin apa aja, ngasih apa aja, apa aja, biar gampang deket sama Satria... tapi dari dulu, nggak pernah, nggak pernah bisa...”
“...selalu nyalahin diri sendiri yang nggak berani maju... nggak maju-maju... tapi Satria terus dateng... nggak sengaja... kebetulan... kebetulan yang menyenangkan...”
“...dan kebetulannya diterusin... Satria nggak tau apa aku seneng banget waktu itu...”
“...terus semuanya ilang gitu aja, menjauh, menghindar, yang bahkan nggak tahu alasannya apa... nggak pernah sms lagi... gara-gara aku ngeliat status BBMnya si Marisa itu...”
“...gara-gara Fazzie, Fazzie yang dengan mudahnya bilang Satria suka sama dia, koar-koar ke semua orang, ke temen-temennya, kalo Satria sama dia sering disorakin norak sama anak-anak... dasar childish, kayak gitu aja ditanggepin...”
“...dan bodohnya aku... aku bego ya Kak, suka sama dia...”
“Maya,” kudengar suara tegas Kak Nathan, dan aku terdiam sesenggukan. “Nggak ada ya yang namanya bodoh karena naksir orang. Dan jangan nyalahin dirimu sendiri! Kamu udah cukup sakit karena hal-hal ini dan jangan tambah nyakitin dirimu sendiri! Udahlah.”
“Kakak...”
“Udah, jangan nangis...” kata Kak Nathan. “Malu tuh sama Akane.”
Aku memandangi Akane yang sedang makan dengan lahap. “Kenapa emangnya?” tanyaku heran, tetapi berhenti menangis.
“Nggak apa-apa sih...”
Aku mendengus.
“Sabar dulu May. Kamu pasti bisa. Udah nggak usah ngurusin mereka-mereka dulu hari-hari ini. Fokus kuliah dulu aja, nggak usah keluar-keluar rumah, di rumah aja ngapain gitu. Nulis, baca, nge-dance, apalah. Mainin Akane. Tenangin dirimu aja. Nggak usah peduliin kata-kata orang. Live your life...”
“...imma live my life. After School’s song... how could you know that?” kataku, menyela sebelum Kak Nathan menyelesaikan kalimatnya.
How could I forget? You spent three years telling me some quotes you’ve found from Kpop songs.”
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates