19 Okt 2012


Siang yang panas sekali. Bad mood sepanjang hari, aku berniat tak mau kemana-mana sepulang kuliah keesokan harinya. Kutebar muka muram ke seisi kelas, hingga tak ada satupun teman yang mau menegurku. Rasanya setiap gerakan kecil yang mereka lakukan ataupun ucapan yang mereka katakan bisa mengusikku dan membuatku murka. Apapun yang tidak berjalan sesuai dengan keinginanku bisa tiba-tiba menyalakan pengaktif bom waktuku.
Jadi, aku menghindari meledaknya bom waktu dalam tubuhku, dan berdiam terus sepanjang hari, ketika kuliah, ketika kelompokku harus presentasi tugas Konservasi di depan kelas. Aku tak melakukan apa-apa ketika mereka berebut bertanya dan memberi jawaban, aku hanya duduk di pojok, dengan lengan tersilang di depan dada, dan mulut terkunci. Aku tidak peduli tentang nilai atau apalah.


Yang kupikirkan hanyalah kembali pulang ke rumah, memeluk Akane, dan tertidur. Atau mungkin melihat-lihat lagi video-video reality show atau variety show Infinite atau B1A4, atau menonton Running Man lagi dan lagi. Apa saja, untuk membuat mood-ku naik sedikit.
Raga, seperti biasa, tanpa beban, dan senyuman di bibirnya, menghampiriku ketika jam istirahat pukul 12 siang, dengan berani sekali mengajakku bicara. Aku kagum juga dengan tindakannya padaku, padahal biasanya orang-orang akan menganggapku tidak ada ketika aku sudah mulai masuk periode bad mood dan cemberut seperti ini.
Noona,” katanya padaku, ketika aku berpapasan dengannya keluar dari ruang kelasku. “Waeyo*? Makan siang yuk?”
Ajakan Raga untuk makan siang kutolak, begitu juga dengan permintaannya untuk menemaninya belajar Histologi. Aku tak ingin merusak mood Raga juga, dengan mood yang berantakan seharian ini.
Kupikir Raga akan kecewa, atau apa. Tetapi dia tersenyum seolah mengerti.
Arasseoyo*. Go home, get some sleep,” katanya bijak.
“Oke. Thanks for your consider...” ujarku tersenyum, kemudian berbalik. Belum sempat aku melangkah, kusadari lengan Raga meraup kepalaku dari belakang, menutupi mataku untuk memandang dunia luar, dan dia berbisik padaku.
“Jangan nangis disini, noona,” katanya pelan.
Apa katanya tadi? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sudah akan menangis begitu meninggalkannya tadi? Bagaimana...
“Aku...” kataku perlahan. “Capek. Mau pulang.”
“Lagi bete ya?” tebak Raga tepat, melepaskan lengannya dari mataku.
Aku mengangguk. “Dunia... lagi nggak berputar di sekelilingku sekarang.”
But my whole world is on you, noona.”
Oke, yang barusan terdengar gombal–banget, malahan–tetapi lumayan berhasil menumbuhkan bunga-bunga pink di hatiku, dan memaksa bibirku untuk tersenyum. Kupandangi wajah Raga yang sedang tersenyum bangga.
“Hati-hati pulangnya, Kak,” kata Raga, yang dengan baik hati mengantarku sampai ke parkiran sepeda. “Jangan lupa makan!”
Aku tersenyum, entah kenapa kehilangan semangat untuk bicara satu kata saja. Aku ingin sekali berterima kasih pada Raga, tetapi aku terlalu lesu akibat siklus bulanan yang rasanya menguras semua energi dan mood­-ku.  
* * *
Pulang kuliah aku lega sekali mendapatkan jus mangga segar tersaji di meja makan, bikinan Mbok Yati. Kutenggak habis-habisan, kemudian setelah berganti baju, aku dan Mbok Yati makan siang di dapur. Hari itu makanan kami tumis tahu tempe. Mbok Yati bercerita tentang anaknya yang masih SD, yang menolak makan makanan manis-manis. Aku kagum sekali pada anak Mbok Yati yang satu itu.
Setelah lima belas menit menonton siaran berita di televisi, kutuang makanan ke tempat makanan Akane (yang sedang bergelung tertidur di kasurku), kemudian sambil berusaha tidak membangunkannya, aku merebahkan diri di kasur, hendak mengikuti saran Raga tadi. Aku tidur selama beberapa saat–beberapa jam, sebenarnya. Bermimpi tentang member-member Infinite, menghabiskan waktu di pantai bersama mereka. Sedikit yang kuingat.
Ketika aku terbangun, Mbok Yati sedang memandikan Akane. Kupandangi mereka sambil berjongkok di depan pintu kamar mandi.
Bel rumah berdering. Mbok Yati tersentak, lalu aku mengusulkan diri untuk membuka pintu.
“Oh?” gumamku kaget. Raga berada di depan pagarku, tersenyum, dan membawa sekotak kue.
Noona! Mau strawberry cheesecake?” teriaknya riang–mungkin bisa membangunkan anak-anak tetangga yang sedang tidur siang.
Strawberry cheesecake adalah favoritku sepanjang masa, tak akan bisa terkalahkan oleh rainbow cake atau red velvet cake yang sedang ngetren hari-hari ini.
“Tentu saja,” kataku senang, lalu menuruni teras untuk membuka pagar.
Cake ukuran sedang itu kupotong-potong. Raga sedang berkenalan dengan Mbok Yati, yang kelabakan menjabat tangan Raga sewaktu masih basah sehabis memandikan Akane. Akane melompat sebelum dikeringkan, lalu mengibas-ngibaskan tubuhnya, membuat Mbok Yati dan Raga yang ada disana basah. Mbok Yati memanaskan air, kemudian membuat seteko penuh teh hangat. Aku membungkuskan empat potong cake untuk Mbok Yati sebelum ia pulang ke rumahnya.
Raga dan aku menyantap cake di ruang depan.
“Makasih ya cake-nya,” ujarku gembira.
“Udah nggak bete, kan?” tanya Raga tersenyum.
Aku mengangguk. “Strawberry-nya enak...”
“Nih,” Raga memberiku satu buah strawberry dari kuenya sendiri. “It does suit you.”
Dan kalimatnya barusan membuatku terngiang akan tweet Satria beberapa minggu lalu (atau beberapa bulan? Aku tak ingat), tentang strawberry, dan roti. Dan aku.
“Gimana histo?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Okelah. Ada beberapa preparat yang aku lupa, tapi ya udah sih ya.”
Aku tertawa. “Ini baru pra responsi... belajar lagi di responsi ya.”
“Kakak kayak asisten histo aja.”
“Minggu tenang nanti kamu pulang ke Bandung?” tanyaku ragu.
“Ngng, iya. Habis responsi Histo sama TKG,” jawab Raga. “Kakak nggak apa-apa kan disini?”
“Nggak apa-apa kok,” kataku tanpa berpikir. “Lagian kalo aku pulang sekarang... udah jauh, beda pulau, tiket pesawat mahal... mending nanti aja habis remed sekalian.”
“Mau aku cariin tiket, Kak?” saran Raga.
“Nggak usah, aku belum tahu mau pulang tanggal berapa. Ntar kalo pas aku pulang ternyata aku kena remed kan berabe.”
“Hehe, jangan sampe remed dong, Kak.”
Kami mengobrol tak jelas hingga petang menjelang.
“Kakak... kalau lagi bosen, telepon aku aja,” senyum Raga sebelum dia masuk ke mobilnya. “I’ll be glad to relieve your stress.”
“Terima kasih,” kataku formal, kemudian melepas kepergian Raga. “Terima kasih banyak.”
* * *
Parade responsi FKG dimulai–sebenarnya sudah dimulai sejak minggu lalu–dan wajah-wajah mahasiswa dan mahasiswi pun berubah serius. Buku praktikum bertebaran dimana-mana, tulang-tulang palsu dan atlas anatomi kadang ditemukan tertinggal di depan laboratorium anatomi, orang-orang dengan jas praktikum berseliweran di kampus atau RSGM.
Semua presentasi mata kuliah (Konservasi, Biologi Mulut, Radiologi Dental, dan lain-lain) untuk semester empat sudah selesai. Praktikum Prostodonsia mencapai puncaknya, plat-plat resin yang sudah disambung kini sudah berada di tangan para dosen pembimbing untuk keperluan nilai akhir. Anak-anak semester empat yang sudah melewati responsi Farmakologi dan Patologi Klinik, kini tinggal menghabiskan waktu membaca buku praktikum Radiologi Dental untuk responsi mendatang. Sementara Raga bercerita bahwa dia kurang responsi Histologi dan TKG II. Saking padatnya jadwal, sampai-sampai kedua responsi ini diadakan pada minggu tenang.
Responsi Radiologi Dental-ku cukup suram. Setelah menghabiskan malam sebelum responsi dengan menonton Running Man episode terbaru yang diberikan Raga dan bukannya membaca slide Radiologi Dasar tentang kesalahan-kesalahan yang bisa terjadi pada prosesing manual radiograf, aku melupakan tiga prinsip radiologi yang dikeluarkan ICRP. Aku juga melupakan nama gambaran berbentuk tulang ikan atau ban yang muncul pada gambaran radiograf. Tidak terlalu optimis juga. Tetapi sebagian besar soalnya cukup bisa aku mengerti.
Teman-temanku yang lain menyesali kenapa mereka bisa melupakan materi tertentu yang keluar waktu responsi tadi.
“Yang radiograf gigi itu lho, aduh, bingung itu atas apa bawah, kanan apa kiri...” cerita Kelly padaku.
“Yang kayak remote itu apaan sih?” tanya Alva.
“Aku juga nggak tahu, aku mikirnya controller,” kataku geli.
Kami menghentikan pembicaraan tentang responsi Radiologi Dental dan pergi ke kantin untuk makan siang. Berempat dengan Yuna, kami menempati satu meja yang kosong di kantin yang sepi itu.
“Si Raga lagi responsi, May?” tanya Yuna.
“Ha?” aku tersedak soto. “Nggak, kuliah kok dia. Responsinya pas minggu tenang...”
“Kayak kita dulu nggak sih, responsi Histo pas minggu tenang...” kata Kelly.
“Iya, iya, aku inget banget, aku nggak jadi pulang waktu itu, langsung batalin tiket kereta,” cerita Yuna sambil terkekeh, mencomot satu kerupuk dari piring nasi goreng Alva.
Kemudian kami makan dalam diam.
“Si Fazzie itu,” mendadak Alva bicara, “kayak gimana sih orangnya?”
“He?” Yuna mendongak dari atas mangkuk sotonya. “Kayak gimana-gimana?”
“Baik, kok,” kata Kelly. “Dia temen makrabku.”
“Kok si Satria kayaknya stres habis jadian sama Fazzie,” kata Alva.
Aku berusaha tidak tertarik pada pembicaraan ini, meski sebenarnya aku sangat tertarik sekali. “Stres gimana maksudmu?” tanyaku santai.
“Coba deh liat,” ujar Alva, mendadak berbisik, membuat kami bertiga harus mendekat untuk mendengarkan suaranya. Satria baru saja datang, ditemani Wahyu. Mereka berdua tadi satu shift responsi Raden dengan kami berempat.
“Satria kelihatan bahagia sekali sama Wahyu. Waktu sama Fazzie, Satria muram terus,” kata Alva, mengutarakan hasil pengamatannya.
“Kamu ini perhatian sekali. Jangan-jangan suka sama Satria, ya?” tebak Yuna, tertawa. Alva buru-buru menggeleng, tertawa.
Aku hanya terdiam, menyaksikan Satria dan Wahyu tertawa-tawa. Benarkah seperti itu?
“Fazzie itu katanya tempramental,” kata Alva lagi. “Meski aku nggak percaya sih. Mukanya kalem gitu...”
“Agak jutek sih,” ujar Kelly menyetujui.
“Kalo mereka berantem katanya ngeri. Sampe lempar-lempar barang gitu. Mobilnya Ara kan pernah berantakan gara-gara mereka berantem di dalemnya.”
“Baru berapa minggu jadian, padahal,” gumamku tanpa sadar.
“Makanya itu... kasihan Satria,” kata Alva, meneguk es jeruknya. “Aku juga nggak tau Fazzie kayak gimana orangnya.”
“Aku pribadi lebih setuju Satria bareng Marisa, lho. Aku malah heran kenapa Satria bisa jadian sama Fazzie waktu itu,” kata Yuna. “Marisa anaknya oke juga.”
Kalau aku tidak setuju Satria sama siapa-siapa, kataku dalam hati.
“Nah ini orangnya datang,” bisik Alva, begitu melihat  Satria dan Wahyu memasuki kantin.
“Hei!” teriak Wahyu, yang sudah melihat kami berempat duduk di meja di sudut kantin. Dia dan orang yang diperbincangkan barusan menghampiri kami.
“Kok belum pulang kalian?” tanya Kelly.
“Dia nih nungguin ceweknya,” sindir Wahyu pada Satria.
Fazzie masih responsi Raden.
Wahyu dan Satria mengambil meja di sebelah kami.
Aku berusaha menghindari tatapan Satria, dan memfokuskan pikiranku pada soto yang hampir habis. Tidak nyaman rasanya berada dekat dengan orang yang pernah kau sukai yang sekarang sudah punya pacar. Karena itu begitu sotoku habis, aku pamit pada Alva, Kelly, dan Yuna yang masih menggosip.
“Lho, udah mau pergi?” tanya Yuna heran.
“Memangnya kenapa?” tanyaku, lebih heran lagi.
“Kirain mau nungguin Raga selesai kuliah,” ujar Alva nyengir.
Aku tertawa. “Nggak lah, dia selesai jam dua, sekarang baru jam... setengah dua,” ujarku, melirik arloji.
“Kamu naik sepeda?” tanya Kelly.
“Memangnya kenapa?” tanyaku, heran lagi.
“Kirain bareng Raga,” ujar Kelly nyengir.
Aku mendengus tertawa. “Enggak lah, aku kan mau diet,” sahutku ngasal.
“Kurus begitu kamu mau diet?” tanya Alva tak percaya.
“Kurus darimana!” kataku frustasi, dan tanpa disadari aku duduk lagi di kursiku. “Gendut. Paha. Perut. Bokong. Banyak lemaknya.”
“Kamu kan udah sepedaan lama,” kata Yuna.
“Aku juga bingung.”
Kami berempat jadi membicarakan hal-hal tak penting lainnya (selayaknya cewek-cewek) dan tanpa terasa setengah jam sudah berlalu.
Wahyu dan Satria masih ada di meja sebelah kami, mengobrol, dan minum jus. Tidak ada rokok di meja mereka–karena ini fakultas kesehatan–tentu saja. Salah satu yang aku kagumi dari Satria.
Raga juga tidak merokok, sih.
Tepat ketika aku memikirkan Raga sementara ketiga temanku mengomentari anak-anak co-ass, cowok itu muncul dari balik bangunan kecil di depan kantin, bersama teman-temannya, tampak bahagia seusai kuliah siang itu.
“May, May, Raga tuh,” seru Alva, terlalu keras.
Sebenarnya tanpa diteriaki pun aku sudah memandanginya selama semenit terakhir ini.
“Samperin, noh...” kata Kelly.
“Aku sekalian pulang, deh,” kataku, bangkit dari kursi dan mengambil tas, begitu kulihat anak-anak angkatanku yang baru selesai responsi juga sudah muncul. Aku tak mau mengambil resiko melihat Fazzie dan Satria bersama-sama. “Duluan, ya...”
Aku juga menegur Wahyu (perhatikan: bukan Satria!) dan ijin pulang duluan.
“Raga!”
Noona!”
Dia tampak tersenyum-senyum memandangiku yang berlari ke arahnya. Aku tersenyum juga, melihat eye smile Raga.
“Kenapa kamu senyum-senyum?”
“Nggak apa-apa. Mau es krim?” tembaknya langsung. “Makan es krim yuk.”
“Sepedaku...”
“Kakak pulang dulu. Nanti aku jemput. Oke?”
“Boleh deh,” aku tersenyum, sedikit berdebar.
Aku membuka kunci sepedaku, dan waktu itu pula kulihat Fazzie dan Satria berjalan beriringan menuju parkiran motor–mungkin mereka akan pulang bersama-sama.
Mau tak mau aku melihat wajah Satria, teringat akan cerita Alva, sang biang gosip itu, bahwa Satria terlihat muram ketika sedang bersama dengan Fazzie.
Mereka terlihat sedang bertengkar. Wajah Fazzie terlihat jengkel sekali, sementara Satria di belakangnya, bingung bagaimana harus menyikapi kelakukan pacarnya. Mereka melewatiku tanpa menyapaku.
Aku sendiri juga bingung bagaimana harus bersikap: bahagia, atau kasihan pada Satria.
* * *
Setibanya di rumah aku bingung sendiri mau mengenakan baju macam apa untuk makan es krim bersama Raga. Padahal ini bukan kali pertama aku pergi berdua dengan Raga. Aku tidak mungkin menggunakan baju kuliahku barusan, karena aku telah membasahinya dengan keringat – aku telah mengayuh sepeda lebih cepat daripada biasanya.
Aku berkonsultasi dengan Mbok Yati, yang menyarankan aku mengenakan rok. Katanya, sekali-sekali feminin juga tidak apa-apa. Akhirnya kusambar kaus dan kardigan, serta rok biru dengan bunga-bunga putih di pinggirannya – yang baru disetrika oleh Mbok Yati.
“Tumben Mbak bingung mau pake baju apa,” ujar Mbok Yati terkekeh.
“Iya Mbok, saya juga heran,” kataku setelah berganti baju, dan duduk di kursi meja makan menemani Mbok Yati membuat puding cokelat.
Raga datang dengan mobilnya sepuluh menit kemudian. Dia masuk rumah, menyapa Mbok Yati. Kami menunggu Mbok Yati dijemput oleh suaminya, baru meluncur meninggalkan rumahku menuju restoran terkenal yang menjual dessert, Ice Castle. Aku baru dua kali kesana dan benar-benar ingin mencicipi es krimnya lagi. Mereka juga menjual cake es krim, yang harganya cukup murah.
“Oh? Kita barengan pake baju biru,” cengir Raga begitu kami keluar dari mobil dan terkena angin panas.
Aku melirik kemeja Raga. Aku tidak memperhatikan tadi bahwa Raga mengenakan kemeja biru kotak-kotak dan jins hitam. Ini benar-benar kebetulan.
“Oh iya,” kataku senang. “Padahal aku nggak merhatiin bajumu tadi, lho...”
Raga tertawa. Dia menggandengku masuk restoran bergaya dongeng klasik itu.
Sore itu aku diperlakukan seperti putri di negeri dongeng oleh Raga. Dia menarik kursiku sebelum aku duduk di atasnya, kemudian menungguku duduk sebelum dia sendiri duduk. Memesankan aku dua scoop es krim strawberry dengan potongan-potongan strawberry asli. Mengusap pipiku yang terkena es krim dengan jarinya sendiri. Tertawa mendengar ceritaku tentang responsi Raden tadi. Ikut tertawa, bukan menertawai.
Ada debaran yang muncul lagi di hatiku, dan di saat yang bersamaan aku merasa senang sekali. Karena aku merasa dicintai. Merasa dipedulikan.
Mungkin aku sudah benar-benar jatuh hati pada Raga.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates