My Mood Booster
Siang yang panas sekali. Bad mood sepanjang hari, aku berniat tak
mau kemana-mana sepulang kuliah keesokan harinya. Kutebar muka muram ke seisi
kelas, hingga tak ada satupun teman yang mau menegurku. Rasanya setiap gerakan
kecil yang mereka lakukan ataupun ucapan yang mereka katakan bisa mengusikku
dan membuatku murka. Apapun yang tidak berjalan sesuai dengan keinginanku bisa
tiba-tiba menyalakan pengaktif bom waktuku.
Jadi, aku menghindari meledaknya
bom waktu dalam tubuhku, dan berdiam terus sepanjang hari, ketika kuliah,
ketika kelompokku harus presentasi tugas Konservasi di depan kelas. Aku tak
melakukan apa-apa ketika mereka berebut bertanya dan memberi jawaban, aku hanya
duduk di pojok, dengan lengan tersilang di depan dada, dan mulut terkunci. Aku
tidak peduli tentang nilai atau apalah.
Yang kupikirkan hanyalah kembali
pulang ke rumah, memeluk Akane, dan tertidur. Atau mungkin melihat-lihat lagi
video-video reality show atau variety show Infinite atau B1A4, atau
menonton Running Man lagi dan lagi. Apa saja, untuk membuat mood-ku naik sedikit.
Raga, seperti biasa, tanpa beban,
dan senyuman di bibirnya, menghampiriku ketika jam istirahat pukul 12 siang, dengan
berani sekali mengajakku bicara. Aku kagum juga dengan tindakannya padaku,
padahal biasanya orang-orang akan menganggapku tidak ada ketika aku sudah mulai
masuk periode bad mood dan cemberut
seperti ini.
“Noona,” katanya padaku, ketika aku berpapasan dengannya keluar dari
ruang kelasku. “Waeyo*? Makan siang
yuk?”
Ajakan Raga untuk makan siang
kutolak, begitu juga dengan permintaannya untuk menemaninya belajar Histologi.
Aku tak ingin merusak mood Raga juga,
dengan mood yang berantakan seharian
ini.
Kupikir Raga akan kecewa, atau
apa. Tetapi dia tersenyum seolah mengerti.
“Arasseoyo*. Go home, get some
sleep,” katanya bijak.
“Oke. Thanks for your consider...” ujarku tersenyum, kemudian berbalik. Belum
sempat aku melangkah, kusadari lengan Raga meraup kepalaku dari belakang, menutupi
mataku untuk memandang dunia luar, dan dia berbisik padaku.
“Jangan nangis disini, noona,” katanya pelan.
Apa
katanya tadi? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sudah akan menangis begitu
meninggalkannya tadi? Bagaimana...
“Aku...” kataku perlahan. “Capek.
Mau pulang.”
“Lagi bete ya?” tebak Raga tepat,
melepaskan lengannya dari mataku.
Aku mengangguk. “Dunia... lagi
nggak berputar di sekelilingku sekarang.”
“But my whole world is on you, noona.”
Oke, yang barusan terdengar
gombal–banget, malahan–tetapi lumayan berhasil menumbuhkan bunga-bunga pink di
hatiku, dan memaksa bibirku untuk tersenyum. Kupandangi wajah Raga yang sedang
tersenyum bangga.
“Hati-hati pulangnya, Kak,” kata
Raga, yang dengan baik hati mengantarku sampai ke parkiran sepeda. “Jangan lupa
makan!”
Aku tersenyum, entah kenapa
kehilangan semangat untuk bicara satu kata saja. Aku ingin sekali berterima
kasih pada Raga, tetapi aku terlalu lesu akibat siklus bulanan yang rasanya menguras
semua energi dan mood-ku.
*
* *
Pulang kuliah aku lega sekali
mendapatkan jus mangga segar tersaji di meja makan, bikinan Mbok Yati. Kutenggak
habis-habisan, kemudian setelah berganti baju, aku dan Mbok Yati makan siang di
dapur. Hari itu makanan kami tumis tahu tempe. Mbok Yati bercerita tentang
anaknya yang masih SD, yang menolak makan makanan manis-manis. Aku kagum sekali
pada anak Mbok Yati yang satu itu.
Setelah lima belas menit menonton
siaran berita di televisi, kutuang makanan ke tempat makanan Akane (yang sedang
bergelung tertidur di kasurku), kemudian sambil berusaha tidak membangunkannya,
aku merebahkan diri di kasur, hendak mengikuti saran Raga tadi. Aku tidur selama
beberapa saat–beberapa jam, sebenarnya. Bermimpi tentang member-member
Infinite, menghabiskan waktu di pantai bersama mereka. Sedikit yang kuingat.
Ketika aku terbangun, Mbok Yati sedang
memandikan Akane. Kupandangi mereka sambil berjongkok di depan pintu kamar
mandi.
Bel rumah berdering. Mbok Yati
tersentak, lalu aku mengusulkan diri untuk membuka pintu.
“Oh?” gumamku kaget. Raga berada
di depan pagarku, tersenyum, dan membawa sekotak kue.
“Noona! Mau strawberry
cheesecake?” teriaknya riang–mungkin bisa membangunkan anak-anak tetangga
yang sedang tidur siang.
Strawberry
cheesecake adalah
favoritku sepanjang masa, tak akan bisa terkalahkan oleh rainbow cake atau red velvet
cake yang sedang ngetren hari-hari ini.
“Tentu saja,” kataku senang, lalu
menuruni teras untuk membuka pagar.
Cake ukuran sedang itu
kupotong-potong. Raga sedang berkenalan dengan Mbok Yati, yang kelabakan
menjabat tangan Raga sewaktu masih basah sehabis memandikan Akane. Akane
melompat sebelum dikeringkan, lalu mengibas-ngibaskan tubuhnya, membuat Mbok
Yati dan Raga yang ada disana basah. Mbok Yati memanaskan air, kemudian membuat
seteko penuh teh hangat. Aku membungkuskan empat potong cake untuk Mbok Yati
sebelum ia pulang ke rumahnya.
Raga dan aku menyantap cake di
ruang depan.
“Makasih ya cake-nya,” ujarku
gembira.
“Udah nggak bete, kan?” tanya
Raga tersenyum.
Aku mengangguk. “Strawberry-nya
enak...”
“Nih,” Raga memberiku satu buah strawberry
dari kuenya sendiri. “It does suit you.”
Dan kalimatnya barusan membuatku
terngiang akan tweet Satria beberapa
minggu lalu (atau beberapa bulan? Aku tak ingat), tentang strawberry, dan roti.
Dan aku.
“Gimana histo?” tanyaku
mengalihkan pembicaraan.
“Okelah. Ada beberapa preparat
yang aku lupa, tapi ya udah sih ya.”
Aku tertawa. “Ini baru pra
responsi... belajar lagi di responsi ya.”
“Kakak kayak asisten histo aja.”
“Minggu tenang nanti kamu pulang
ke Bandung?” tanyaku ragu.
“Ngng, iya. Habis responsi Histo sama
TKG,” jawab Raga. “Kakak nggak apa-apa kan disini?”
“Nggak apa-apa kok,” kataku tanpa
berpikir. “Lagian kalo aku pulang sekarang... udah jauh, beda pulau, tiket
pesawat mahal... mending nanti aja habis remed sekalian.”
“Mau aku cariin tiket, Kak?”
saran Raga.
“Nggak usah, aku belum tahu mau
pulang tanggal berapa. Ntar kalo pas aku pulang ternyata aku kena remed kan
berabe.”
“Hehe, jangan sampe remed dong,
Kak.”
Kami mengobrol tak jelas hingga petang
menjelang.
“Kakak... kalau lagi bosen,
telepon aku aja,” senyum Raga sebelum dia masuk ke mobilnya. “I’ll be glad to relieve your stress.”
“Terima kasih,” kataku formal,
kemudian melepas kepergian Raga. “Terima kasih banyak.”
*
* *
Parade responsi FKG dimulai–sebenarnya
sudah dimulai sejak minggu lalu–dan wajah-wajah mahasiswa dan mahasiswi pun
berubah serius. Buku praktikum bertebaran dimana-mana, tulang-tulang palsu dan
atlas anatomi kadang ditemukan tertinggal di depan laboratorium anatomi, orang-orang
dengan jas praktikum berseliweran di kampus atau RSGM.
Semua presentasi mata kuliah
(Konservasi, Biologi Mulut, Radiologi Dental, dan lain-lain) untuk semester
empat sudah selesai. Praktikum Prostodonsia mencapai puncaknya, plat-plat resin
yang sudah disambung kini sudah berada di tangan para dosen pembimbing untuk keperluan
nilai akhir. Anak-anak semester empat yang sudah melewati responsi Farmakologi
dan Patologi Klinik, kini tinggal menghabiskan waktu membaca buku praktikum
Radiologi Dental untuk responsi mendatang. Sementara Raga bercerita bahwa dia
kurang responsi Histologi dan TKG II. Saking padatnya jadwal, sampai-sampai kedua
responsi ini diadakan pada minggu tenang.
Responsi Radiologi Dental-ku cukup
suram. Setelah menghabiskan malam sebelum responsi dengan menonton Running Man
episode terbaru yang diberikan Raga dan bukannya membaca slide Radiologi Dasar tentang kesalahan-kesalahan yang bisa terjadi
pada prosesing manual radiograf, aku melupakan tiga prinsip radiologi yang
dikeluarkan ICRP. Aku juga melupakan nama gambaran berbentuk tulang ikan atau
ban yang muncul pada gambaran radiograf. Tidak terlalu optimis juga. Tetapi
sebagian besar soalnya cukup bisa aku mengerti.
Teman-temanku yang lain menyesali
kenapa mereka bisa melupakan materi tertentu yang keluar waktu responsi tadi.
“Yang radiograf gigi itu lho,
aduh, bingung itu atas apa bawah, kanan apa kiri...” cerita Kelly padaku.
“Yang kayak remote itu apaan
sih?” tanya Alva.
“Aku juga nggak tahu, aku
mikirnya controller,” kataku geli.
Kami menghentikan pembicaraan
tentang responsi Radiologi Dental dan pergi ke kantin untuk makan siang. Berempat
dengan Yuna, kami menempati satu meja yang kosong di kantin yang sepi itu.
“Si Raga lagi responsi, May?”
tanya Yuna.
“Ha?” aku tersedak soto. “Nggak,
kuliah kok dia. Responsinya pas minggu tenang...”
“Kayak kita dulu nggak sih,
responsi Histo pas minggu tenang...” kata Kelly.
“Iya, iya, aku inget banget, aku
nggak jadi pulang waktu itu, langsung batalin tiket kereta,” cerita Yuna sambil
terkekeh, mencomot satu kerupuk dari piring nasi goreng Alva.
Kemudian kami makan dalam diam.
“Si Fazzie itu,” mendadak Alva
bicara, “kayak gimana sih orangnya?”
“He?” Yuna mendongak dari atas
mangkuk sotonya. “Kayak gimana-gimana?”
“Baik, kok,” kata Kelly. “Dia
temen makrabku.”
“Kok si Satria kayaknya stres
habis jadian sama Fazzie,” kata Alva.
Aku berusaha tidak tertarik pada
pembicaraan ini, meski sebenarnya aku sangat tertarik sekali. “Stres gimana
maksudmu?” tanyaku santai.
“Coba deh liat,” ujar Alva,
mendadak berbisik, membuat kami bertiga harus mendekat untuk mendengarkan
suaranya. Satria baru saja datang, ditemani Wahyu. Mereka berdua tadi satu shift responsi Raden dengan kami
berempat.
“Satria kelihatan bahagia sekali
sama Wahyu. Waktu sama Fazzie, Satria muram terus,” kata Alva, mengutarakan
hasil pengamatannya.
“Kamu ini perhatian sekali.
Jangan-jangan suka sama Satria, ya?” tebak Yuna, tertawa. Alva buru-buru
menggeleng, tertawa.
Aku hanya terdiam, menyaksikan
Satria dan Wahyu tertawa-tawa. Benarkah
seperti itu?
“Fazzie itu katanya
tempramental,” kata Alva lagi. “Meski aku nggak percaya sih. Mukanya kalem
gitu...”
“Agak jutek sih,” ujar Kelly
menyetujui.
“Kalo mereka berantem katanya
ngeri. Sampe lempar-lempar barang gitu. Mobilnya Ara kan pernah berantakan
gara-gara mereka berantem di dalemnya.”
“Baru berapa minggu jadian,
padahal,” gumamku tanpa sadar.
“Makanya itu... kasihan Satria,” kata
Alva, meneguk es jeruknya. “Aku juga nggak tau Fazzie kayak gimana orangnya.”
“Aku pribadi lebih setuju Satria
bareng Marisa, lho. Aku malah heran kenapa Satria bisa jadian sama Fazzie waktu
itu,” kata Yuna. “Marisa anaknya oke juga.”
Kalau
aku tidak setuju Satria sama siapa-siapa, kataku dalam hati.
“Nah ini orangnya datang,” bisik
Alva, begitu melihat Satria dan Wahyu
memasuki kantin.
“Hei!” teriak Wahyu, yang sudah
melihat kami berempat duduk di meja di sudut kantin. Dia dan orang yang
diperbincangkan barusan menghampiri kami.
“Kok belum pulang kalian?” tanya
Kelly.
“Dia nih nungguin ceweknya,” sindir
Wahyu pada Satria.
Fazzie masih responsi Raden.
Wahyu dan Satria mengambil meja
di sebelah kami.
Aku berusaha menghindari tatapan
Satria, dan memfokuskan pikiranku pada soto yang hampir habis. Tidak nyaman
rasanya berada dekat dengan orang yang pernah kau sukai yang sekarang sudah
punya pacar. Karena itu begitu sotoku habis, aku pamit pada Alva, Kelly, dan
Yuna yang masih menggosip.
“Lho, udah mau pergi?” tanya Yuna
heran.
“Memangnya kenapa?” tanyaku,
lebih heran lagi.
“Kirain mau nungguin Raga selesai
kuliah,” ujar Alva nyengir.
Aku tertawa. “Nggak lah, dia
selesai jam dua, sekarang baru jam... setengah dua,” ujarku, melirik arloji.
“Kamu naik sepeda?” tanya Kelly.
“Memangnya kenapa?” tanyaku,
heran lagi.
“Kirain bareng Raga,” ujar Kelly
nyengir.
Aku mendengus tertawa. “Enggak
lah, aku kan mau diet,” sahutku ngasal.
“Kurus begitu kamu mau diet?” tanya
Alva tak percaya.
“Kurus darimana!” kataku
frustasi, dan tanpa disadari aku duduk lagi di kursiku. “Gendut. Paha. Perut.
Bokong. Banyak lemaknya.”
“Kamu kan udah sepedaan lama,”
kata Yuna.
“Aku juga bingung.”
Kami berempat jadi membicarakan
hal-hal tak penting lainnya (selayaknya cewek-cewek) dan tanpa terasa setengah
jam sudah berlalu.
Wahyu dan Satria masih ada di
meja sebelah kami, mengobrol, dan minum jus. Tidak ada rokok di meja mereka–karena
ini fakultas kesehatan–tentu saja. Salah satu yang aku kagumi dari Satria.
Raga juga tidak merokok, sih.
Tepat ketika aku memikirkan Raga
sementara ketiga temanku mengomentari anak-anak co-ass, cowok itu muncul dari
balik bangunan kecil di depan kantin, bersama teman-temannya, tampak bahagia
seusai kuliah siang itu.
“May, May, Raga tuh,” seru Alva,
terlalu keras.
Sebenarnya
tanpa diteriaki pun aku sudah memandanginya selama semenit terakhir ini.
“Samperin, noh...” kata Kelly.
“Aku sekalian pulang, deh,”
kataku, bangkit dari kursi dan mengambil tas, begitu kulihat anak-anak
angkatanku yang baru selesai responsi juga sudah muncul. Aku tak mau mengambil
resiko melihat Fazzie dan Satria bersama-sama. “Duluan, ya...”
Aku juga menegur Wahyu
(perhatikan: bukan Satria!) dan ijin pulang duluan.
“Raga!”
“Noona!”
Dia tampak tersenyum-senyum
memandangiku yang berlari ke arahnya. Aku tersenyum juga, melihat eye smile Raga.
“Kenapa kamu senyum-senyum?”
“Nggak apa-apa. Mau es krim?” tembaknya
langsung. “Makan es krim yuk.”
“Sepedaku...”
“Kakak pulang dulu. Nanti aku
jemput. Oke?”
“Boleh deh,” aku tersenyum,
sedikit berdebar.
Aku membuka kunci sepedaku, dan
waktu itu pula kulihat Fazzie dan Satria berjalan beriringan menuju parkiran motor–mungkin
mereka akan pulang bersama-sama.
Mau tak mau aku melihat wajah
Satria, teringat akan cerita Alva, sang biang gosip itu, bahwa Satria terlihat
muram ketika sedang bersama dengan Fazzie.
Mereka terlihat sedang
bertengkar. Wajah Fazzie terlihat jengkel sekali, sementara Satria di
belakangnya, bingung bagaimana harus menyikapi kelakukan pacarnya. Mereka
melewatiku tanpa menyapaku.
Aku sendiri juga bingung
bagaimana harus bersikap: bahagia, atau kasihan pada Satria.
*
* *
Setibanya di rumah aku bingung
sendiri mau mengenakan baju macam apa untuk makan es krim bersama Raga. Padahal
ini bukan kali pertama aku pergi berdua dengan Raga. Aku tidak mungkin
menggunakan baju kuliahku barusan, karena aku telah membasahinya dengan
keringat – aku telah mengayuh sepeda lebih cepat daripada biasanya.
Aku berkonsultasi dengan Mbok
Yati, yang menyarankan aku mengenakan rok. Katanya, sekali-sekali feminin juga
tidak apa-apa. Akhirnya kusambar kaus dan kardigan, serta rok biru dengan bunga-bunga
putih di pinggirannya – yang baru disetrika oleh Mbok Yati.
“Tumben Mbak bingung mau pake
baju apa,” ujar Mbok Yati terkekeh.
“Iya Mbok, saya juga heran,”
kataku setelah berganti baju, dan duduk di kursi meja makan menemani Mbok Yati membuat
puding cokelat.
Raga datang dengan mobilnya
sepuluh menit kemudian. Dia masuk rumah, menyapa Mbok Yati. Kami menunggu Mbok
Yati dijemput oleh suaminya, baru meluncur meninggalkan rumahku menuju restoran
terkenal yang menjual dessert, Ice Castle. Aku baru dua kali kesana dan
benar-benar ingin mencicipi es krimnya lagi. Mereka juga menjual cake es krim,
yang harganya cukup murah.
“Oh? Kita barengan pake baju
biru,” cengir Raga begitu kami keluar dari mobil dan terkena angin panas.
Aku melirik kemeja Raga. Aku
tidak memperhatikan tadi bahwa Raga mengenakan kemeja biru kotak-kotak dan jins
hitam. Ini benar-benar kebetulan.
“Oh iya,” kataku senang. “Padahal
aku nggak merhatiin bajumu tadi, lho...”
Raga tertawa. Dia menggandengku
masuk restoran bergaya dongeng klasik itu.
Sore itu aku diperlakukan seperti
putri di negeri dongeng oleh Raga. Dia menarik kursiku sebelum aku duduk di
atasnya, kemudian menungguku duduk sebelum dia sendiri duduk. Memesankan aku dua
scoop es krim strawberry dengan
potongan-potongan strawberry asli. Mengusap pipiku yang terkena es krim dengan jarinya
sendiri. Tertawa mendengar ceritaku tentang responsi Raden tadi. Ikut tertawa,
bukan menertawai.
Ada debaran yang muncul lagi di
hatiku, dan di saat yang bersamaan aku merasa senang sekali. Karena aku merasa
dicintai. Merasa dipedulikan.
Mungkin aku sudah benar-benar
jatuh hati pada Raga.
*
* *