10 Okt 2012


Malam minggu yang menyedihkan, karena aku menonton Running Man episode terbaru sendirian (ada Akane, sih), tertawa-tawa sambil bertepuk tangan, bahagia sendirian. Bahagia untuk mengusir kesedihan. Tetapi rupanya Running Man tidak berefek terlalu lama, karena beberapa menit setelah aku mematikan laptop dan beringsut ke kasur, aku terdiam lagi, dan aku menangis diam-diam lagi. Aku merasa menyedihkan. Itu saja.
Pukul sebelas keesokan harinya aku keluar setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam setengah bicara dengan Mama di telepon (tentu saja kami tidak membicarakan Satria atau Raga atau bahkan pacar Satria). Sambil menguatkan diri, kupasang headphone berwarna hitam dengan garis merah yang kebetulan sama dengan milik Satria itu di kepalaku. Kemudian kuputar lagu LeeSSang untuk menemaniku mengayuh sepeda menuju S-Mart, sebuah hypermarket di dekat perumahanku.


“Mama pergi dulu ya,” kataku pada Akane yang mengeong dari dalam rumahnya.
Kupijakkan kakiku (yang sudah sembuh) di pedal sepeda, dan mulai meluncur dengan santai keluar rumah, melewati taman yang masih ramai orang, kemudian keluar gerbang perumahan.
Sekitar lima-enam menit kemudian aku sudah sampai di S-Mart. Aku langsung mengambil keranjang warna ungu setelah memarkir sepedaku di tempat parkir sepeda.
Hypermart itu tidak terlalu ramai di pagi menjelang siang hari. Aku membuka handphone, melihat catatan belanjaan yang sudah kubikin tadi pagi.

Facial foam
Sereal
Buku tulis (buat diari)
Mouthwash
Madu
Pewangi baju

Menuju rak-rak peralatan mandi, aku menelusuri deretan facial foam dengan jariku, mencari merek yang biasanya kupakai. Setelah ketemu, tanpa berpikir panjang aku langsung memasukkannya ke keranjang dan langsung pergi mencari mouthwash tanpa melirik ke rak lain. Dengan cara ini biasanya aku akan terfokus pada barang-barang yang aku butuhkan saja dan tidak kepingin membeli barang yang tidak perlu.
Mouthwash berada di balik rak facial foam, sederet dengan sikat gigi dan pasta gigi. Nah, khusus bagian ini, aku biasanya membandingkan kandungan fluoride pasta gigi ini dan itu, terutama yang di iklan dikatakan kalau pasta gigi anu bisa memutihkan gigi setelah sekali gosok gigi. Tidak penting memang, tapi aku senang melakukannya.
Kupilih mouthwash yang tidak mengandung alkohol dan memasukkannya ke keranjang belanja.
“Sereal... sereal... sereal!” aku menemukan rak sereal. Kutaruh sekotak sereal cokelat ke keranjang, memberinya sedikit jarak dengan facial foam dan mouthwash.
Selanjutnya aku mencari madu. Aku selalu lupa dimana tempat madu-madu diletakkan, karena aku jarang membeli madu. Aku menjelajahi rak-rak yang kupikir ada madunya, tetapi tidak ketemu. Dan aku pun kebingungan.
“Mau cari apa, Mbak?” tanya seorang laki-laki.
“Madu, Mas...” jawabku otomatis, sambil memandang si penanya yang baik hati. Wajah itu menampilkan eye smile yang mengagumkan. Raga.
“Lho, Raga? Kamu kerja disini?” aku heran sekali, tetapi tak bisa dipungkiri, senang. Setidaknya aku tahu bahwa ada orang di duniaku yang akhir-akhir ini cuma sendirian.
Raga terbahak. “Nggak Kak, aku mau beli cukuran jenggot,” dia mengelus-elus dagunya.
“Nggak ada jenggotnya gitu,” kataku bingung.
“Ya nanti kalau udah tumbuh.” Dia tersenyum. “Tadi mau cari apa?”
“Madu.”
“Oh, aku tahu tempatnya.”
Raga menggamitku menuju rak-rak makanan. Sebenarnya ia tidak perlu melakukan itu, karena mbak-mbak yang berseragam di tepi rak terlihat senyum-senyum melihat perlakuan Raga padaku.
Raga mempertemukanku dengan sebotol madu yang biasa kubeli. Tersenyum, aku melihat tanggal kedaluwarsanya, lalu meletakkannya di keranjang.
“Apa lagi?” tanya Raga, melongok ke layar handphone-ku.
“Ngng, pewangi. Buat setrika,” kataku membaca daftar.
“Oke oke,” aku dibawa lagi oleh Raga.
“Kok kamu hapal jalan sih?” tanyaku.
Dia mendengus. “Nggak juga, kok. Ini dia,” dia menunjuk ke rak berisi deretan pewangi dan pelembut. Lagi-lagi aku mengambil merek yang biasa kupakai.
“Kamu cuma mau beli cukuran?” tanyaku lagi, ketika kami menyusuri rak.
“Ada lagi sih...”
“Ya beli punya kamu juga dulu deh,” aku melihat keranjang Raga yang masih kosong. Mungkin dia baru saja datang dan langsung bertemu denganku.
Tanpa suara, Raga berjalan menuju rak-rak susu yang ada di seberang rak sereal tempat aku mengambil sereal cokelatku tadi. Ia mendadak berbalik, lalu nyengir padaku.
“Kenapa?” tanyaku bingung, tak mengerti.
Dia menggeleng dan tersenyum, lalu menghadap ke kotak-kotak susu khusus cowok yang membantu mereka membentuk badan yang bagus. Tahu kan, susu-susu semacam itu. Stimulan otot atau apalah. Aku tak heran melihatnya, karena ada kotak susu itu juga di meja makanku di rumah orangtuaku, milik Kak Nathan.
“Kamu minum itu juga rupanya,” ujarku menyimpulkan.
“Mm, iya,” dia tampak malu. Aku mengawasinya memilih-milih.
“Kamu nge-gym juga kah?”
Raga mengangguk. “Tapi nggak rutin, gara-gara semester ini padet banget.” Dia memasukkan sekotak susu ke keranjangnya. “Cuma sekali seminggu...”
“Itu udah cukup, lagian kamu juga main basket kan,” komentarku, dan kami berjalan lagi mencari barang-barang yang hendak dibeli. “Mau beli apa lagi?”
“Parfum,” katanya, dan tepat waktu kami berbelok, deretan parfum muncul.
Secara otomatis aku meraih sebotol parfum cowok dan menciumnya. “Wangi Papa...” kataku tanpa sadar.
“Ng?” Raga menoleh padaku. “Papa?”
Aku meletakkan parfum kembali ke raknya. “Iya, Papa sering pake parfum itu. Kalau Kak Nathan...” mataku menyusuri deretan parfum, “...yang ini.” Tersenyum tanpa sadar, aku mencium wangi kakakku di botol parfum itu.
Dengusan seseorang membuatku menoleh. Raga sedang tersenyum memandangku.
“Kenapa ketawa?” tanyaku pura-pura kesal.
Raga menggeleng, masih tersenyum. “Enak ya, punya saudara? Bisa berbagi apa aja...”
Aku lupa kalau Raga anak tunggal.
“Kamu anak tunggal ya?” tanyaku, agar tak terkesan kalau aku sudah tahu sebelumnya dari hasil stalking.
“Iya,” katanya.
“Dimanja, dong?” ujarku spontan.
“Nggak juga, soalnya aku cowok,” Raga menciumi botol-botol parfum, memilih wangi yang pas. “Disuruh mandiri...”
Aku manggut-manggut. “Wajar, sih...”
“Yang ini aja,” katanya puas, “wangi nggak Kak?” dia menyodorkan botol itu padaku.
“Wangi lah, namanya parfum,” aku tertawa, tetapi tetap mencium botol itu. Wanginya lembut, tidak terlalu menyengat. Aku menyukainya. Parfumnya, maksudku. Kuanggukkan kepalaku tanda setuju.
“Kakak mau beli apa lagi?”
“Buku tulis,” jawabku. “Atau note-note gitu deh. Kamu?”           
“Kopi... sama mi instan.”
Standarnya anak cowok yang ngekos sendirian.
Kami berjalan lagi menuju rak minuman sachet. Raga mengambil lima sachet kopi hitam. Aku mengusulkannya membeli gula, tetapi dia bilang gulanya masih banyak.
“Lagian, nggak usah pake gula pun, sambil liat Kakak aja pasti udah manis...”
Kupukul bahunya.
Setelah mengambil beberapa bungkus mi instan, kami menemukan testing corner sebuah bakery, yang dipenuhi orang-orang.
“Mari Mbak, Mas, dicoba...” kata petugasnya ramah, menyodorkan nampan berisi potongan-potongan croissant yang masih berasap.
Aku selalu tidak tahan dengan wangi bakery–rasanya ingin kuborong semua roti-roti itu, dan menghabiskannya di rumah. Kucomot sepotong dan kumasukkan ke mulut. Bagian luar rotinya keras, tetapi bagian dalamnya lembut sekali, dan ternyata ada isi cokelatnya, yang lumer di mulutku.
“Mmm, cokelatnya enak,” komentarku.
“Lho? Punyaku keju,” kata Raga bingung, sementara dia memandangi potongan roti di nampan. Ternyata croissant itu dipisahkan menjadi dua bagian, bagian kiri nampan berisi roti keju dan di sebelah kanan berisi roti cokelat.
“Eh, mau mau,” kataku langsung, memandangi nampan, memilih-milih croissant.
“Nih, Kak,” mendadak Raga mencomot satu potong dari bagian kiri nampan dan menyodorkannya padaku, nyaris mendekati mulutku. Petugas yang membawa nampan tersenyum penuh arti melihat tindakan Raga. Aku bisa merasakan tatapan banyak orang yang ada di testing corner seolah mengharapkan reaksiku yang tepat.
Agak kaget, tetapi aku membiarkan Raga menyuapiku. Wajah manisnya terlihat puas.
“Enak ya?” kata Raga memastikan.
Aku mengangguk. “Saya mau cokelat sama keju masing-masing dua bungkus ya, Mbak,” pintaku pada petugas yang ramah itu.
“Kok banyak banget?” tanya Raga bingung.
“Setengah buat kamu,” kataku. “Jangan makan mi instan terus.”
“Tapi...”
“Nih,” aku mengangsurkan kantung plastik putih yang berisi sebungkus croissant cokelat, dan sebungkus croissant keju. “Buat makan malam ini.”
“Trims, Kak,” Raga nyengir, meraih plastiknya.
Aku tersenyum. Lalu mataku tak bisa menahan keinginan untuk melihat-lihat deretan cake di rak berpendingin. Warnanya menggoda sekali. Kupandangi dengan mata berbinar-binar. Tetapi aku langsung menyadarkan diriku sendiri dan aku mundur perlahan. Kususul Raga yang sedang memandangi beaugette.
Setelah menghabiskan banyak waktu di bagian alat tulis untuk memilih note yang bagus, akhirnya pilihanku tertuju pada sebuah note dengan ukuran A3, halaman cukup tebal, dengan sampul artistik dan harga yang masih tergolong murah. Sambil menertawakan sebuah pulpen dengan hiasan SpongeBob yang berwajah aneh yang ditemukan Raga, kami berjalan menuju kasir untuk membayar.
 “Bayarnya digabung, Mas?” tanya kasir yang melayani Raga. Aku yang antri di belakang Raga mengernyit heran.
“Oh, enggak, Mas,” kata Raga tersenyum.
Mas-mas itu tersenyum balik. Entah apa yang dipikirkannya.
Sementara aku sedang menunggu belanjaanku dibungkus di kasir, Raga menunggu di dekatku. Aku agak merasa risih karena tak tahan dengan pandangan orang-orang atau karena aku memikirkan apa yang orang-orang pikirkan tentang dua anak yang berbelanja bersama ini.
“Kakak mau langsung pulang?” tanya Raga begitu kami keluar dari S-Mart yang dingin dan kembali merasakan panas matahari.
Aku mengangguk sambil mengerutkan kening, mengurangi intensitas cahaya matahari yang menyilaukan.
“Nggak mau makan siang dulu bareng aku?” tanya Raga.
“Aku bawa sepeda. Gimana caranya?”
“Diiket di bagasi mobilku...”
Aku mendengus tertawa, tak percaya dengan usul Raga.
“Yuk, Kak. Lagipula, panas gini...”
Iya sih. Aku sih juga malas kalau terik-terik begini bersepeda menyusuri jalan raya.
“Emang kamu punya tali?” tanyaku ragu.
Anehnya, Raga mengangguk dengan pasti. “Ada.”
Tali itu, tergulung rapi, terletak di sudut bagasi mobilnya.
Well-prepared,” komentarku.
Susah payah, aku dan Raga memasukkan sepedaku ke dalam bagasi mobil Raga. Untung saja dua orang tukang parkir S-Mart melihat, dan langsung membantu kami mengikat sepeda itu dengan tali hingga kencang. Raga berterima kasih dan memberi uang parkir tambahan, yang ditolak tukang parkir itu.
Di dalam mobil memang selalu dingin. Tetapi dengan ada Raga di sampingku, malah membuatku hangat... aku hanya bercanda, kok!
“Kakak... nangis lagi ya semalem?” tanya Raga selagi dia membelokkan mobilnya ke kiri.
Aku menoleh dengan cepat. Kupandangi bayanganku sendiri di spion luar mobil yang terlihat dari dalam. Untuk memperjelas, kugunakan layar handphone-ku yang memantulkan bayangan. Lingkaran hitam di mataku ternyata masih ada. “Begadang doang, kok,” kataku menjawab pertanyaan Raga.
“Begitu?” kata Raga manggut-manggut, tidak memandangku dan berkonsentrasi ke jalanan di depannya, tetapi tersenyum.
“Oke, aku ngaku, aku nangis seharian, karena aku nggak tahu harus ngapain,” kataku.
“Masih belum rela, ya?”
“Nggak akan pernah.”
Aku membenci percakapan ini, dan aku memandang keluar jendela. “Kita mau kemana?” tanyaku. “Dengan sepeda terikat di bagasimu, dan kita berputar-putar keliling Jogja...”
“Nasi goreng deket kampus,” jawab Raga pelan. “Pernah?”
Aku mengangguk. “Nggak takut... ketemu anak-anak?”
“Buat apa?” kata Raga tertawa. “Buat apa... mikirin kata-kata orang. Hidup ini kita yang ngejalanin...”
Aku langsung suka pada kalimat terakhirnya.
* * *
Warung nasi goreng itu masih sama seperti terakhir kali aku berkunjung untuk makan disana. Masih ramai, penjualnya masih ramah, dan porsinya masih besar. Tapi nafsu makanku masih sedikit. Sehingga aku meminta pada penjual untuk mengurangi porsi menjadi setengah saja.
“Nggak nafsu makan ya?” tanya Raga.
“Akan kucoba untuk makan,” jawabku.
Aku mengunyah pelan-pelan sekali. Mataku memandang tumpukan kerupuk di depanku, tetapi pikiranku kosong. Aku melamun.
“Aku nggak bisa bayangin kalau Kakak kayak gini pas lagi ngayuh sepeda...” celetuk Raga tiba-tiba.
Aku tersentak. “Iya ya,” senyumku. “Bahaya...”
Kusuapkan sesendok nasi goreng lagi ke mulutku. Kukunyah dengan amat pelan. Ternyata setengah porsi nasi gorengku habis juga, dalam waktu tiga puluh menit. Raga menungguku dengan sabar, tersenyum ketika aku mendongak melihatnya dan menyadari bahwa dia memandangiku.
“Sudah?” tanya Raga, begitu aku meletakkan tisu bekasku mengusap mulutku di piring yang kosong.
Aku mengangguk.
“Bayarnya gabung, Mbak?” tanya penjual begitu kami menghampirinya. Lagi-lagi pertanyaan yang sama.
“Oh, sendiri-sendiri aja, Mbak,” kataku, mengeluarkan dompet dan membayar makanan yang sudah kumakan sendiri.
Tanpa suara aku memasuki mobil Raga, disusul pemiliknya yang masuk dan duduk di sebelahku.
“Capek ya, Kak?” tanya Raga. “Langsung pulang, ya...”
“Iya,” kataku, memakai seatbelt.
Keheningan menyelimuti perjalanan pulang kami. Aku menghela napas panjang.
“Kenapa, Kak?”
“Aku... minta maaf ya karena kayak gini seharian. Bukan maksudku...”
“Nggak apa-apa. Aku ngerti kok perasaan Kakak...”
“Maaf ya aku nggak mikirin perasaanmu,” kataku bersalah.
“Nggak apa-apa, Kak,” Raga tersenyum padaku. “Nah, kita sudah sampai.”
Dia menghentikan mobilnya tepat di depan pagar rumahku. Dia langsung turun dan beranjak ke bagasi untuk melepaskan sepedaku dari ikatan yang kencang. Aku membantunya, tapi dia menolak dan hanya menyuruhku tenang saja.
“Aku bukain pager, ya,” kataku, lalu melangkah menuju pagar dan membuka gemboknya. Kubuka sedikit pagarnya, lalu masuk ke halaman, naik ke teras dan membuka pintu. Akane mengeong-ngeong waktu aku masuk ruang tamu. Rupanya dia tidak tidur.
“Halo, Akane,” aku menggendongnya ketika dia menghampiriku di pintu depan. “Sepi?”
Karena Raga tidak muncul-muncul juga, maka aku keluar lagi, penasaran apakah dia tidak bisa menurunkan sepedaku. Ternyata dia sudah masuk halamanku, dengan sepedaku disisinya, dan ada sebuket bunga mawar pink di keranjangku.
“Apa...” aku terpaku di terasku.
Raga mendadak mendorong sepedaku mendekati teras, memarkirnya, mengambil bunga dari keranjang, dan berjalan menuju terasku.
“Apa...”
“Aku tidak pernah meminta secara benar,” kata Raga kemudian, setelah dia berada di hadapanku. “Kuharap ini bisa menunjukkan kalau aku...”
“Aku juga tidak pernah meminta, Raga,” kataku setengah berteriak.
“Aku sayang Kakak,” kata Raga pelan. “Serius.”
“...”
And I missed your smile.”
Salahkan seseorang yang sudah menghilangkan senyumanku.
Noona, please let me be yours,” ujar Raga, menyodorkan buket bunga padaku.
Akane mengeong dalam keheningan yang menyusul.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates