Haircut
(yang lupa, bisa baca bab sebelumnya disini)
Pertandingan semifinal basket
yang sensasional kemarin menjadi topik hangat pembicaraan anak-anak FKG–terutama
angkatanku dan angkatan Raga. Anak-anak yang tidak sempat menonton sekarang
sudah tahu detail kejadiannya, karena cuma di FKG, bahkan tembok pun berbicara.
Intinya sih gosipnya sangat cepat
menyebar di kampus ini.
Aku, terbatuk-batuk, keluar kelas
untuk membuang dahakku di toilet. Kuliah belum dimulai, seperti biasa para
mahasiswa turun ke kantin membeli makanan untuk dimakan di sela waktu sejam
sebelum kuliah Radiologi Dental (a.k.a. Raden) siang ini. Seperti biasa juga
Oki menawarkan diri untuk membelikanku makanan di bawah–dengan kecepatan
berjalanku yang sekarang, bisa-bisa menghabiskan waktu setengah jam sendiri
untukku menuruni tangga dan sampai di kantin.
Tetapi aku sudah mengatasi ini,
jadi aku menyiapkan bekal yang kumasak sendiri di rumah. Sederhana saja sih,
kotak makanku berisi nasi dengan dadar gulung dengan potongan daging asap serta
sosis yang kubentuk seperti gurita. Tak lupa kusertakan kailan tumis bawang
putih.
Aku menyendokkan sesuap nasi ke
mulutku. Anyep. Alias sudah dingin.
Tapi aku tetap menyantap bekalku tanpa menghiraukan hiruk pikuk yang ada di
sekitarku. Sembari mengunyah aku memerhatikan beberapa teman sedang mengerjakan
tugas Raden yang diberikan dokter seminggu lalu. Tugas itu menyuruh kami
menginterpretasikan beberapa radiograf–hasil foto rontgen–gigi geligi; mendeteksi
apakah si pemilik gigi itu mengalami kista, abses, atau apapun, dari gambaran
hitam putih dan abu-abu yang ada di radiograf.
“Oi,” tepukan Oki di punggungku
mengagetkanku. Nyaris saja aku tersedak telur.
“Eh, sori sori,” cengirnya begitu
aku mengeluarkan pandangan sinisku padanya (aku-lagi-makan-woi-nggak-liat-ya?).
Kulanjutkan makan siangku yang tertunda. Tinggal beberapa sendok lagi dan aku
akan selesai.
“Minta dong,” kata Satria, yang
datang berbarengan dengan Oki dan yang lain-lain.
Kejadian beberapa minggu lalu–waktu
Satria meminta omrice-ku dan dengan
sengaja mengambil makanan langsung dari sendok yang kusodorkan–membuatku
trauma, maka aku meletakkan sendokku dan berharap dia sendiri yang menyendokkan
apa yang dia mau. Dia mengambil separuh nasi, sedikit sayur, dan mencomot dadar
gulung.
“Enak,” gumamnya.
“Makasih.”
“Siang-siang udah mesra ye,”
cibir Ary.
“Cemburu?” tanya Oki yang sudah
mengeluarkan PSP-nya dan bersiap memulai permainan baru.
Kubiarkan para cowok itu ribut
dengan dunianya sendiri dan aku dengan tenang menghabiskan makan siangku. Tak
kuacuhkan pula ketika jantungku berdetak kencang mengingat sendok yang kupakai
baru saja dipakai Satria.
Terus
kenapa?
*
* *
Headphone-ku menggaungkan lagu baru dari
SNSD-TTS, Twinkle. Lagu Kpop beraroma
retro ini menarik perhatianku sejak pertama kali video-nya dikeluarkan. Rasanya
aku ingin sekali bergoyang mengikuti melodinya–kalau saja aku tidak berada
dalam mobil Oki di perjalanan pulang sore itu. Jadi aku hanya bernyanyi–bukan,
bergumam–asal-asalan mengikuti lirik yang bisa kudengar dengan telingaku.
Dengan santai tetapi mengebut,
Oki mengendalikan mobilnya menuju komplek tempat rumahku dan rumahnya berada.
“Oki,” kataku, sebelum Oki
berbelok ke kanan.
“Ya?”
“Mau temenin dulu nggak?”
pintaku.
“Ke?”
“Menurutmu rambutku udah terlalu
panjang nggak sih?” kataku, memberi tanda, sembari mengusap-usap ujung
rambutku.
Oki menoleh. “Panjang, sih, tapi
bagus kok.”
Bukan jawaban itu yang
kuharapkan. Aku manyun. Dia memang benar-benar tidak peka.
“Nggak rapih,” alasanku. “Temenin
potong rambut ya?”
Oki mendesah malas.
“Gini deh, aku potong rambut,
kamu kemana gitu.”
“Kalo gitu ke game center deket salon apa itu ya,”
saran Oki.
“Angela Salon and Spa itu?”
“Apalah.”
Aku mengangguk-angguk senang.
Begitu sampai di depan salon, Oki menurunkanku.
“Bisa jalan?” tanyanya. “Satu jam
lagi, ya?”
“Oke oke.”
Beruntungnya aku, datang di saat
salon sedang sepi. Biasanya salon ini ramai orang, sehingga harus mengantri.
Aku dengan segera ditangani oleh salah seorang petugas yang langsung mencuci
rambutku. Aku selalu suka wangi shampoo di salon.
“Mau model kayak gimana Mbak?”
tanya petugasnya ramah, begitu aku sudah duduk di kursi di depan kaca.
“Poninya dipotong depan ya,
Mbak,” kataku. “Rambutnya dipotong se... semana ya,” aku mengira-ngira.
“Sepuluh senti di bawah bahu, kira-kira disini, Mbak,” aku meletakkan tanganku
sedikit di atas dadaku.
“Oke, Mbak...”
Dan satu genggam demi satu
genggam rambutku dipotong, dengan pelan turun ke lantai. Sedikit dramatis, aku
melihat mereka jatuh dengan pelan, dan aku sedikit menyesal. Tetapi apa boleh
buat, rambutku sudah terlalu panjang dan aku kehabisan ide untuk mengutak-atik
rambutku.
Kuperhatikan rambutku di kaca.
Warnanya ternyata berubah dari terakhir kali aku benar-benar memerhatikan
rambutku. Sinar matahari telah mengubah warnanya menjadi kecoklatan. Tak hanya
rambutku, tetapi juga kulitku, yang berubah eksotis.
Mengantuk, kulirik arlojiku.
Sudah lima belas menit berlalu sejak Oki meninggalkanku di salon. Kuambil
sebuah majalah lama yang tergeletak di atas meja yang penuh sisir dan gunting.
Majalah lama yang belum pernah kubaca selalu punya artikel baru yang bisa
kubaca.
“Kuliah dimana, Mbak?” tanya
wanita yang memotong rambutku dengan telaten.
Aku menyebutkan kampusku.
“Jurusan apa?”
“Kedokteran gigi...”
“Oh, dokter...”
“Hehe, iya, Mbak...”
“Sering kena sinar matahari ya
Mbak, rambutnya?”
“Kok tahu sih Mbak?”
“Warnanya cokelat...”
Aku hanya tertawa pasrah,
menyetujui perempuan ini.
Ketika akhirnya rambutku kering
oleh hair dryer, aku menemukan
rambutku yang bergelombang panjang tak rapi telah dipotong sesuai dengan
keinginanku. Poniku yang selama ini menutupi mata dan membuatku lelah karena
harus mengibaskannya, sudah dipotong rata di atas alis. Aku puas, dan
tersenyum, melihat diriku sendiri di kaca.
Aku membayar jasa pemotongan
rambutku di kasir dan lalu keluar salon dengan perasaan ringan. Rasanya
beban-beban yang selama ini kupikul telah hilang seiring dengan hilangnya
beberapa helai rambutku.
Kupanggil nomor ponsel Oki. Tidak
dijawab. Kupikir dia keasyikan main.
Aku tidak mau mengambil resiko
bertemu orang-orang (baca: cowok-cowok) tidak kukenal kalau aku memutuskan
untuk masuk ke game center itu. Sama
sekali tidak.
Maka aku terus-terusan melakukan
panggilan ke nomor Oki, berharap sakunya bergetar dan dia sadar bahwa temannya
ini frustasi di depan salon. Ketika akhirnya terdengar bunyi ‘trek’ aku
langsung menghela napas lega.
“Halo?”
Terdengar suara ribut-ribut dan
seruan Oki yang terburu-buru. “Halo, halo, Maya? Bentar bentar ya!”
Klik.
Aku paham, lalu menduduki kursi
yang ada di teras salon. Untunglah aku tidak meninggalkan headphone dan MP3 player-ku
di mobil Oki. Maka kudengarkan lagu terbaru dari Infinite yang berjudul The Chaser, favoritku yang baru selama
bulan ini. Aku nyaris menangis ketika melihat video terbaru mereka–aku
benar-benar merindukan mereka.
Oh, oke, jiwa fangirl-ku muncul lagi.
Tepat setelah lagu selesai, mobil
Oki muncul dari sudut kanan jalan. Aku berdiri menyambutnya. Kubuka pintu mobil
dan kudapati Oki dalam keadaan berantakan dan bibirnya terluka.
“HABIS NGAPAIN KAMU?” teriakku.
“Tadi ada yang berantem,
berantem,” ujar Oki nyengir. “Aku cuma mau melerai, eh malah kena bogem
mentah.”
“BERANTEM KENAPA?”
“Nggak ngerti lah, anak kecil,”
kata Oki. “Anak SMA.”
Aku ternganga. “Astaga, Ki...”
“Ngomong-ngomong, lucu juga tuh,”
ujar Oki.
“Apanya?” tanyaku setengah
membentak.
“Rambutnya,” dia mengacungkan
satu ibu jarinya.
Tanpa sadar kuusap rambutku.
“Mampir dulu lah ke rumah, aku bersihin lukanya.”
“Yes, Ma’am.”
Di perjalanan pulang yang
sebentar Oki menceritakan ulang kejadian pertengkaran anak SMA yang berujung
pada perkelahian itu. Kusimpulkan itu hanya salah paham biasa–ada yang tanpa
sengaja menabrak seseorang dari SMA lain, yang sayang sekali, mengiranya
sebagai tanda peperangan.
“Gitu doang?”
“Iya, kebetulan mereka ada di
deketku–padahal lagi main, sialan. Aku pikir aku bisa memisahkan mereka terus
lanjut main lagi, tapi mereka malah marah dan mukul pipiku,” sahut Oki,
meringis. “Aku menyerah dan akhirnya sekuriti datang memisahkan mereka. Tadinya
aku mau dibawa ke pos satpam juga untuk diobatin, tapi aku bilang aku harus
jemput temen dan buru-buru.”
Aku menggeleng-gelengkan
kepalaku. “Untung tadi aku nggak ikut masuk sana... tadinya aku mau nyusul kamu
lho.”
“Emang berani?” cibir Oki.
“Enggak.”
“Jangan jalan-jalan sendirian di
depan cowok-cowok berandalan tanpa aku deh.”
“Iya iya, aku ngerti.”
*
* *
Oki muncul di kampus keesokan
paginya dengan sudut bibir masih tertempel plester yang kutempelkan sore
kemarin. Aku muncul di kampus dengan potongan rambut baru yang sudah lama
kuidam-idamkan. Hari ini adalah hari terakhirku berangkat bersama Oki ke
kampus, sesuai perjanjian seminggu-ku dengannya.
“Maya, potong rambut?”
“Segeran deh.”
Aku tersenyum berterima kasih
pada kedua cewek teman sekelasku yang berpapasan di pintu kelas.
“Bibirnya kenapa, Ki?”
“Nyipok tangan orang,” jawab Oki,
yang ditanya Selva, cewek yang dulu sering pergi bareng mereka.
Selva tertawa.
Kunyalakan MP3 player dan kupasang headphone-ku–senjata andalanku mengusir suntuk di pagi hari. Pagi
itu Only Learn The Bad Things milik
B1A4 sukses membuat aku tersenyum-senyum. Terutama sih suara Jinyoung-nya, ya.
Ketika itu mendadak ponselku
berbunyi, silent mode-nya belum
kuaktifkan, ternyata. Buru-buru kujawab panggilan yang masuk.
“Halo?”
“Noona, bisa ketemu?”
“Hah? Ketemu dimana?”
“Di depan kelas Kakak.”
Otomatis aku menoleh ke depan
kelas, dan kudapati sesosok pemuda berbadan tinggi dengan postur tegap ada
disana. Entah sejak kapan dia berdiri disitu, aku tidak menyadarinya.
“Kamu dari kapan ada disana?”
tidak memutuskan sambungan telepon, aku bergerak, bangkit dari kursiku perlahan
dan menghampiri Raga di depan kelas.
“Dari tadi,” cengir Raga, bahkan
ketika aku sudah ada di hadapannya, dia tidak mematikan ponselnya.
Kutekan tombol pemutus sambungan
telepon di ponselku selagi aku masih mendekatkan ponsel ke telingaku. Raga
menurunkan ponsel dari telinganya.
Mau
apa lagi anak ini? Mau menguatkan gosip yang dihembuskan angin ke setiap pasang
telinga anak-anak FKG yang berkeliaran?
“Noona, besok final, nonton ya?” katanya langsung, begitu aku
menghempaskan pantatku ke salah satu kursi empuk yang berderet di depan kelas.
“He? Tentu saja. Lawan siapa?”
tanyaku.
“FEB,” jawab Raga.
“Ooh...” aku mengangguk-angguk,
langsung mengasosiasikan nama fakultas itu dengan Mandy, dan teman-teman Yudha
yang dulu. Mungkin kalau aku beruntung, aku bisa bertemu dengan mereka, dan
berkata, ‘Hei, masih inget aku nggak?’
dengan senyum manis.
“Perbannya masih harus dipakai,
Kak?” tanyanya.
“Besok mungkin dilepas...” ujarku
senang.
“Syukurlah,” sahutnya, tersenyum
cemerlang.
Aku mengangguk-angguk mengagumi
keindahan makhluk Tuhan di sebelahku ini.
“Pagi ini kuliah Fisiologi
bukannya?” tanyaku memastikan.
“Iya, aku bosen di kelas, jadi
keluar deh,” dia melirik arlojinya. “Sebentar lagi juga habis jamnya.” Dia
nyengir. Mengingatkanku pada Oki.
“Kamu... gimana?” aku balik
bertanya, melihat kepala Raga sudah tidak dibalut perban. “Kepalamu?”
“Oke oke saja,” kata Raga santai.
“Cuma luka di superfisial.”
Dia tertawa melihatku manyun
mendengar kata ‘superfisial’ yang digunakannya untuk mengganti kata
‘permukaan’.
“Calon asisten Histo nih Kak,”
ujarnya bangga.
“Kamu pengen jadi asisten Histo
ya,” kataku tertawa. “Semangat deh.”
“Iya, kalau anatomi pasti banyak
yang daftar.”
“Lalu? Kamu malas bersaing, gitu?
Histo juga banyak kali,” ujarku, mengingat open
recruitment asisten Histologi dulu yang diikuti puluhan orang, hanya dari
angkatanku saja.
“Oh, gitu ya?” kata Raga. “Ah... semester
dua parah, suram...”
“Semangat aja,” ujarku serius.
“Pasti bisa kok.”
Raga mengangguk. “Waah, aku
semangat lagi!”
Aku heran. “Kenapa mendadak?”
“Soalnya disemangatin noona,” dia nyengir lebar. Aku tak tahu
bagaimana harus bersikap.
Raga melirik arlojinya lagi. “Ah,
aku harus pergi,” ujarnya, bangkit dari kursinya. “Oh iya, noona, ngomong-ngomong,” dia terlihat seperti baru ingat akan
sesuatu yang hendak dia ucapkan padaku, “that
haircut looks cute.”
Eye
smile Raga yang
mengagumkan muncul lagi, seiring dengan dia berlari pergi menuju kelasnya
sendiri. Kuraih pita yang tadi pagi sengaja kuselipkan di rambutku. Cute, katanya.
Aku tidak bisa menyembunyikan
kegembiraanku ketika memasuki kelas begitu arlojiku menunjukkan pukul delapan
tepat.
“Eyy... yang diapelin...”
“May, tadi itu junior kita, kan?
Raga bukan sih?”
“Tadi dia bilang cute bukan sih May? Aku nggak sengaja
denger pas mau ke toilet tadi.”
“May, kok bisa deket sama Raga
sih, gimana ceritanya?”
“Pagi-pagi gini...”
“Nggak, itu...” aku tak bisa
memikirkan alasan untuk meluruskan berita-berita yang benar itu. Saking
benarnya aku sampai tak rela kalau orang-orang mengetahuinya.
Aku hanya tak ingin Raga dan aku
menjadi bahan gosipan di kampus. Iya kalau pada akhirnya kami benar-benar
pacaran, kalau tidak? Hanya akan menyakiti kedua belah pihak, kan?
Tetapi siang itu Raga sudah
selangkah lebih maju. Ketika aku turun ke kantin untuk membeli makanan, aku
melewati Raga dan teman-temannya di salah satu meja di luar kantin. Dan ketika
aku hendak kembali ke perpustakaan untuk mencari bahan presentasi Biologi Mulut,
Raga memanggilku.
“Noona!”
Aku langsung menoleh, wajahku
memerah, karena tahu pasti siapa yang memanggilku begitu. Hanya ada satu orang
di FKG. Di kota ini. Atau mungkin di dunia ini.
Raga melakukannya; sign yang sama seperti yang dia lakukan
kemarin di pertandingan basket.
Malu karena kejadian itu
benar-benar menarik perhatian orang-orang sekitar, aku hanya bisa mendengus
tersenyum, buru-buru memalingkan wajahku, dan berjalan secepat kakiku bisa
membawaku ke perpustakaan. Tak kuhiraukan sorakan ramai dari kantin, yang
berasal dari teman-teman Raga.
Oki berkali-kali berkata padaku
di perjalanan pulang, bahwa tak lama lagi Raga akan benar-benar menembakku. Ini
juga kuabaikan. Oki juga bicara tentang pengalihan perhatian, pelarian, dan
menyebut-nyebut nama Satria. Sebuah kalimat lagi diutarakan Oki sebelum aku
menutup pintu mobilnya di depan rumahku.
“Siap-siap ya, May,” dia nyengir.
“Aku siap-siap nerima pajak jadian.”
Kubanting pintu mobilnya.
Aku membenamkan mukaku ke kasur,
pikiranku memutar-ulang kejadian-kejadian konyol yang terjadi hari ini. Aku
tidak ingat melihat Satria hari ini. Ah, mungkin aku melihat sekilas, tetapi
sesuatu menahanku untuk tidak terus-terusan melihat Satria.
Rasa
bersalahkah ini, yang kurasakan pada Satria?
Tapi Satria toh suka pada Marisa.
Akan lebih baik kalau dia memusatkan perhatiannya pada gadis cantik yang
seangkatan dengan Raga itu, daripada dia terus-terusan melakukan sesuatu
untukku, yang akan membuatku salah paham.
Setidaknya Raga menyatakan
perasaannya dengan jelas...
Aku mendesah jengkel, kemudian
membuka kulkas untuk meminum jus jeruk, meningkatkan mood. Dering ponsel
mengagetkanku yang sedang mengaca di cermin, mengagumi rambutku sendiri. Tidak
terburu-buru, aku membuka pesan yang masuk dari nomor tak dikenal itu.
From:+62897544xxxxx
15:00
Pernahkah
aku berkata kalau kau sering sekali memberiku alasan untuk memandangmu
berkali-kali?
Jantungku berdebar tak keruan.
Tak bisa menebak ini siapa.
*
* *