6 Okt 2012

(yang lupa, bisa baca bab sebelumnya disini)


Pertandingan semifinal basket yang sensasional kemarin menjadi topik hangat pembicaraan anak-anak FKG–terutama angkatanku dan angkatan Raga. Anak-anak yang tidak sempat menonton sekarang sudah tahu detail kejadiannya, karena cuma di FKG, bahkan tembok pun berbicara.
Intinya sih gosipnya sangat cepat menyebar di kampus ini.
Aku, terbatuk-batuk, keluar kelas untuk membuang dahakku di toilet. Kuliah belum dimulai, seperti biasa para mahasiswa turun ke kantin membeli makanan untuk dimakan di sela waktu sejam sebelum kuliah Radiologi Dental (a.k.a. Raden) siang ini. Seperti biasa juga Oki menawarkan diri untuk membelikanku makanan di bawah–dengan kecepatan berjalanku yang sekarang, bisa-bisa menghabiskan waktu setengah jam sendiri untukku menuruni tangga dan sampai di kantin.


Tetapi aku sudah mengatasi ini, jadi aku menyiapkan bekal yang kumasak sendiri di rumah. Sederhana saja sih, kotak makanku berisi nasi dengan dadar gulung dengan potongan daging asap serta sosis yang kubentuk seperti gurita. Tak lupa kusertakan kailan tumis bawang putih.
Aku menyendokkan sesuap nasi ke mulutku. Anyep. Alias sudah dingin. Tapi aku tetap menyantap bekalku tanpa menghiraukan hiruk pikuk yang ada di sekitarku. Sembari mengunyah aku memerhatikan beberapa teman sedang mengerjakan tugas Raden yang diberikan dokter seminggu lalu. Tugas itu menyuruh kami menginterpretasikan beberapa radiograf–hasil foto rontgen–gigi geligi; mendeteksi apakah si pemilik gigi itu mengalami kista, abses, atau apapun, dari gambaran hitam putih dan abu-abu yang ada di radiograf.
“Oi,” tepukan Oki di punggungku mengagetkanku. Nyaris saja aku tersedak telur.
“Eh, sori sori,” cengirnya begitu aku mengeluarkan pandangan sinisku padanya (aku-lagi-makan-woi-nggak-liat-ya?). Kulanjutkan makan siangku yang tertunda. Tinggal beberapa sendok lagi dan aku akan selesai.
“Minta dong,” kata Satria, yang datang berbarengan dengan Oki dan yang lain-lain.
Kejadian beberapa minggu lalu–waktu Satria meminta omrice-ku dan dengan sengaja mengambil makanan langsung dari sendok yang kusodorkan–membuatku trauma, maka aku meletakkan sendokku dan berharap dia sendiri yang menyendokkan apa yang dia mau. Dia mengambil separuh nasi, sedikit sayur, dan mencomot dadar gulung.
“Enak,” gumamnya.
“Makasih.”
“Siang-siang udah mesra ye,” cibir Ary.
“Cemburu?” tanya Oki yang sudah mengeluarkan PSP-nya dan bersiap memulai permainan baru.
Kubiarkan para cowok itu ribut dengan dunianya sendiri dan aku dengan tenang menghabiskan makan siangku. Tak kuacuhkan pula ketika jantungku berdetak kencang mengingat sendok yang kupakai baru saja dipakai Satria.
Terus kenapa?
* * *
Headphone-ku menggaungkan lagu baru dari SNSD-TTS, Twinkle. Lagu Kpop beraroma retro ini menarik perhatianku sejak pertama kali video-nya dikeluarkan. Rasanya aku ingin sekali bergoyang mengikuti melodinya–kalau saja aku tidak berada dalam mobil Oki di perjalanan pulang sore itu. Jadi aku hanya bernyanyi–bukan, bergumam–asal-asalan mengikuti lirik yang bisa kudengar dengan telingaku.
Dengan santai tetapi mengebut, Oki mengendalikan mobilnya menuju komplek tempat rumahku dan rumahnya berada.
“Oki,” kataku, sebelum Oki berbelok ke kanan.
“Ya?”
“Mau temenin dulu nggak?” pintaku.
“Ke?”
“Menurutmu rambutku udah terlalu panjang nggak sih?” kataku, memberi tanda, sembari mengusap-usap ujung rambutku.
Oki menoleh. “Panjang, sih, tapi bagus kok.”
Bukan jawaban itu yang kuharapkan. Aku manyun. Dia memang benar-benar tidak peka.
“Nggak rapih,” alasanku. “Temenin potong rambut ya?”
Oki mendesah malas.
“Gini deh, aku potong rambut, kamu kemana gitu.”
“Kalo gitu ke game center deket salon apa itu ya,” saran Oki.
Angela Salon and Spa itu?”
“Apalah.”
Aku mengangguk-angguk senang. Begitu sampai di depan salon, Oki menurunkanku.
“Bisa jalan?” tanyanya. “Satu jam lagi, ya?”
“Oke oke.”
Beruntungnya aku, datang di saat salon sedang sepi. Biasanya salon ini ramai orang, sehingga harus mengantri. Aku dengan segera ditangani oleh salah seorang petugas yang langsung mencuci rambutku. Aku selalu suka wangi shampoo di salon.
“Mau model kayak gimana Mbak?” tanya petugasnya ramah, begitu aku sudah duduk di kursi di depan kaca.
“Poninya dipotong depan ya, Mbak,” kataku. “Rambutnya dipotong se... semana ya,” aku mengira-ngira. “Sepuluh senti di bawah bahu, kira-kira disini, Mbak,” aku meletakkan tanganku sedikit di atas dadaku.
“Oke, Mbak...”
Dan satu genggam demi satu genggam rambutku dipotong, dengan pelan turun ke lantai. Sedikit dramatis, aku melihat mereka jatuh dengan pelan, dan aku sedikit menyesal. Tetapi apa boleh buat, rambutku sudah terlalu panjang dan aku kehabisan ide untuk mengutak-atik rambutku.
Kuperhatikan rambutku di kaca. Warnanya ternyata berubah dari terakhir kali aku benar-benar memerhatikan rambutku. Sinar matahari telah mengubah warnanya menjadi kecoklatan. Tak hanya rambutku, tetapi juga kulitku, yang berubah eksotis.
Mengantuk, kulirik arlojiku. Sudah lima belas menit berlalu sejak Oki meninggalkanku di salon. Kuambil sebuah majalah lama yang tergeletak di atas meja yang penuh sisir dan gunting. Majalah lama yang belum pernah kubaca selalu punya artikel baru yang bisa kubaca.
“Kuliah dimana, Mbak?” tanya wanita yang memotong rambutku dengan telaten.
Aku menyebutkan kampusku.
“Jurusan apa?”
“Kedokteran gigi...”
“Oh, dokter...”
“Hehe, iya, Mbak...”
“Sering kena sinar matahari ya Mbak, rambutnya?”
“Kok tahu sih Mbak?”
“Warnanya cokelat...”
Aku hanya tertawa pasrah, menyetujui perempuan ini.
Ketika akhirnya rambutku kering oleh hair dryer, aku menemukan rambutku yang bergelombang panjang tak rapi telah dipotong sesuai dengan keinginanku. Poniku yang selama ini menutupi mata dan membuatku lelah karena harus mengibaskannya, sudah dipotong rata di atas alis. Aku puas, dan tersenyum, melihat diriku sendiri di kaca.
Aku membayar jasa pemotongan rambutku di kasir dan lalu keluar salon dengan perasaan ringan. Rasanya beban-beban yang selama ini kupikul telah hilang seiring dengan hilangnya beberapa helai rambutku.
Kupanggil nomor ponsel Oki. Tidak dijawab. Kupikir dia keasyikan main.
Aku tidak mau mengambil resiko bertemu orang-orang (baca: cowok-cowok) tidak kukenal kalau aku memutuskan untuk masuk ke game center itu. Sama sekali tidak.
Maka aku terus-terusan melakukan panggilan ke nomor Oki, berharap sakunya bergetar dan dia sadar bahwa temannya ini frustasi di depan salon. Ketika akhirnya terdengar bunyi ‘trek’ aku langsung menghela napas lega.
“Halo?”
Terdengar suara ribut-ribut dan seruan Oki yang terburu-buru. “Halo, halo, Maya? Bentar bentar ya!”
Klik.
Aku paham, lalu menduduki kursi yang ada di teras salon. Untunglah aku tidak meninggalkan headphone dan MP3 player-ku di mobil Oki. Maka kudengarkan lagu terbaru dari Infinite yang berjudul The Chaser, favoritku yang baru selama bulan ini. Aku nyaris menangis ketika melihat video terbaru mereka–aku benar-benar merindukan mereka.
Oh, oke, jiwa fangirl-ku muncul lagi.
Tepat setelah lagu selesai, mobil Oki muncul dari sudut kanan jalan. Aku berdiri menyambutnya. Kubuka pintu mobil dan kudapati Oki dalam keadaan berantakan dan bibirnya terluka.
“HABIS NGAPAIN KAMU?” teriakku.
“Tadi ada yang berantem, berantem,” ujar Oki nyengir. “Aku cuma mau melerai, eh malah kena bogem mentah.”
“BERANTEM KENAPA?”
“Nggak ngerti lah, anak kecil,” kata Oki. “Anak SMA.”
Aku ternganga. “Astaga, Ki...”
“Ngomong-ngomong, lucu juga tuh,” ujar Oki.
“Apanya?” tanyaku setengah membentak.
“Rambutnya,” dia mengacungkan satu ibu jarinya.
Tanpa sadar kuusap rambutku. “Mampir dulu lah ke rumah, aku bersihin lukanya.”
Yes, Ma’am.”
Di perjalanan pulang yang sebentar Oki menceritakan ulang kejadian pertengkaran anak SMA yang berujung pada perkelahian itu. Kusimpulkan itu hanya salah paham biasa–ada yang tanpa sengaja menabrak seseorang dari SMA lain, yang sayang sekali, mengiranya sebagai tanda peperangan.
“Gitu doang?”
“Iya, kebetulan mereka ada di deketku–padahal lagi main, sialan. Aku pikir aku bisa memisahkan mereka terus lanjut main lagi, tapi mereka malah marah dan mukul pipiku,” sahut Oki, meringis. “Aku menyerah dan akhirnya sekuriti datang memisahkan mereka. Tadinya aku mau dibawa ke pos satpam juga untuk diobatin, tapi aku bilang aku harus jemput temen dan buru-buru.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. “Untung tadi aku nggak ikut masuk sana... tadinya aku mau nyusul kamu lho.”
“Emang berani?” cibir Oki.
“Enggak.”
“Jangan jalan-jalan sendirian di depan cowok-cowok berandalan tanpa aku deh.”
“Iya iya, aku ngerti.”
* * *
Oki muncul di kampus keesokan paginya dengan sudut bibir masih tertempel plester yang kutempelkan sore kemarin. Aku muncul di kampus dengan potongan rambut baru yang sudah lama kuidam-idamkan. Hari ini adalah hari terakhirku berangkat bersama Oki ke kampus, sesuai perjanjian seminggu-ku dengannya.
“Maya, potong rambut?”
“Segeran deh.”
Aku tersenyum berterima kasih pada kedua cewek teman sekelasku yang berpapasan di pintu kelas.
“Bibirnya kenapa, Ki?”
“Nyipok tangan orang,” jawab Oki, yang ditanya Selva, cewek yang dulu sering pergi bareng mereka.
Selva tertawa.
Kunyalakan MP3 player dan kupasang headphone-ku–senjata andalanku mengusir suntuk di pagi hari. Pagi itu Only Learn The Bad Things milik B1A4 sukses membuat aku tersenyum-senyum. Terutama sih suara Jinyoung-nya, ya.
Ketika itu mendadak ponselku berbunyi, silent mode-nya belum kuaktifkan, ternyata. Buru-buru kujawab panggilan yang masuk.
“Halo?”
Noona, bisa ketemu?”
“Hah? Ketemu dimana?”
“Di depan kelas Kakak.”
Otomatis aku menoleh ke depan kelas, dan kudapati sesosok pemuda berbadan tinggi dengan postur tegap ada disana. Entah sejak kapan dia berdiri disitu, aku tidak menyadarinya.
“Kamu dari kapan ada disana?” tidak memutuskan sambungan telepon, aku bergerak, bangkit dari kursiku perlahan dan menghampiri Raga di depan kelas.
“Dari tadi,” cengir Raga, bahkan ketika aku sudah ada di hadapannya, dia tidak mematikan ponselnya.
Kutekan tombol pemutus sambungan telepon di ponselku selagi aku masih mendekatkan ponsel ke telingaku. Raga menurunkan ponsel dari telinganya.
Mau apa lagi anak ini? Mau menguatkan gosip yang dihembuskan angin ke setiap pasang telinga anak-anak FKG yang berkeliaran?
Noona, besok final, nonton ya?” katanya langsung, begitu aku menghempaskan pantatku ke salah satu kursi empuk yang berderet di depan kelas.
“He? Tentu saja. Lawan siapa?” tanyaku.
“FEB,” jawab Raga.
“Ooh...” aku mengangguk-angguk, langsung mengasosiasikan nama fakultas itu dengan Mandy, dan teman-teman Yudha yang dulu. Mungkin kalau aku beruntung, aku bisa bertemu dengan mereka, dan berkata, ‘Hei, masih inget aku nggak?’ dengan senyum manis.
“Perbannya masih harus dipakai, Kak?” tanyanya.
“Besok mungkin dilepas...” ujarku senang.
“Syukurlah,” sahutnya, tersenyum cemerlang.
Aku mengangguk-angguk mengagumi keindahan makhluk Tuhan di sebelahku ini.
“Pagi ini kuliah Fisiologi bukannya?” tanyaku memastikan.
“Iya, aku bosen di kelas, jadi keluar deh,” dia melirik arlojinya. “Sebentar lagi juga habis jamnya.” Dia nyengir. Mengingatkanku pada Oki.
“Kamu... gimana?” aku balik bertanya, melihat kepala Raga sudah tidak dibalut perban. “Kepalamu?”
“Oke oke saja,” kata Raga santai. “Cuma luka di superfisial.”
Dia tertawa melihatku manyun mendengar kata ‘superfisial’ yang digunakannya untuk mengganti kata ‘permukaan’.
“Calon asisten Histo nih Kak,” ujarnya bangga.
“Kamu pengen jadi asisten Histo ya,” kataku tertawa. “Semangat deh.”
“Iya, kalau anatomi pasti banyak yang daftar.”
“Lalu? Kamu malas bersaing, gitu? Histo juga banyak kali,” ujarku, mengingat open recruitment asisten Histologi dulu yang diikuti puluhan orang, hanya dari angkatanku saja.
“Oh, gitu ya?” kata Raga. “Ah... semester dua parah, suram...”
“Semangat aja,” ujarku serius. “Pasti bisa kok.”
Raga mengangguk. “Waah, aku semangat lagi!”
Aku heran. “Kenapa mendadak?”
“Soalnya disemangatin noona,” dia nyengir lebar. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap.
Raga melirik arlojinya lagi. “Ah, aku harus pergi,” ujarnya, bangkit dari kursinya. “Oh iya, noona, ngomong-ngomong,” dia terlihat seperti baru ingat akan sesuatu yang hendak dia ucapkan padaku, “that haircut looks cute.”
Eye smile Raga yang mengagumkan muncul lagi, seiring dengan dia berlari pergi menuju kelasnya sendiri. Kuraih pita yang tadi pagi sengaja kuselipkan di rambutku. Cute, katanya.
Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku ketika memasuki kelas begitu arlojiku menunjukkan pukul delapan tepat.
“Eyy... yang diapelin...”
“May, tadi itu junior kita, kan? Raga bukan sih?”
“Tadi dia bilang cute bukan sih May? Aku nggak sengaja denger pas mau ke toilet tadi.”
“May, kok bisa deket sama Raga sih, gimana ceritanya?”
“Pagi-pagi gini...”
“Nggak, itu...” aku tak bisa memikirkan alasan untuk meluruskan berita-berita yang benar itu. Saking benarnya aku sampai tak rela kalau orang-orang mengetahuinya.
Aku hanya tak ingin Raga dan aku menjadi bahan gosipan di kampus. Iya kalau pada akhirnya kami benar-benar pacaran, kalau tidak? Hanya akan menyakiti kedua belah pihak, kan?
Tetapi siang itu Raga sudah selangkah lebih maju. Ketika aku turun ke kantin untuk membeli makanan, aku melewati Raga dan teman-temannya di salah satu meja di luar kantin. Dan ketika aku hendak kembali ke perpustakaan untuk mencari bahan presentasi Biologi Mulut, Raga memanggilku.
Noona!
Aku langsung menoleh, wajahku memerah, karena tahu pasti siapa yang memanggilku begitu. Hanya ada satu orang di FKG. Di kota ini. Atau mungkin di dunia ini.
Raga melakukannya; sign yang sama seperti yang dia lakukan kemarin di pertandingan basket.
Malu karena kejadian itu benar-benar menarik perhatian orang-orang sekitar, aku hanya bisa mendengus tersenyum, buru-buru memalingkan wajahku, dan berjalan secepat kakiku bisa membawaku ke perpustakaan. Tak kuhiraukan sorakan ramai dari kantin, yang berasal dari teman-teman Raga.
Oki berkali-kali berkata padaku di perjalanan pulang, bahwa tak lama lagi Raga akan benar-benar menembakku. Ini juga kuabaikan. Oki juga bicara tentang pengalihan perhatian, pelarian, dan menyebut-nyebut nama Satria. Sebuah kalimat lagi diutarakan Oki sebelum aku menutup pintu mobilnya di depan rumahku.
“Siap-siap ya, May,” dia nyengir. “Aku siap-siap nerima pajak jadian.”
Kubanting pintu mobilnya.
Aku membenamkan mukaku ke kasur, pikiranku memutar-ulang kejadian-kejadian konyol yang terjadi hari ini. Aku tidak ingat melihat Satria hari ini. Ah, mungkin aku melihat sekilas, tetapi sesuatu menahanku untuk tidak terus-terusan melihat Satria.
Rasa bersalahkah ini, yang kurasakan pada Satria?
Tapi Satria toh suka pada Marisa. Akan lebih baik kalau dia memusatkan perhatiannya pada gadis cantik yang seangkatan dengan Raga itu, daripada dia terus-terusan melakukan sesuatu untukku, yang akan membuatku salah paham.
Setidaknya Raga menyatakan perasaannya dengan jelas...
Aku mendesah jengkel, kemudian membuka kulkas untuk meminum jus jeruk, meningkatkan mood. Dering ponsel mengagetkanku yang sedang mengaca di cermin, mengagumi rambutku sendiri. Tidak terburu-buru, aku membuka pesan yang masuk dari nomor tak dikenal itu.

From:+62897544xxxxx
15:00
Pernahkah aku berkata kalau kau sering sekali memberiku alasan untuk memandangmu berkali-kali?

Jantungku berdebar tak keruan. Tak bisa menebak ini siapa.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates