19 Apr 2012


Attention: when you’re going to read this, you’d better listen to Song Ji Eun’s Going Crazy and EXO’s El Dorado. If you don’t have these songs on your music player... well then keep reading :p


Akane menjerit keras di telingaku – tidak, bukan menjerit, dia mengeong – dan membangunkanku seketika yang sedang terlelap di karpet, pingsan seusai membereskan rumah.
“Kenapa, Akane-sama?” tanyaku kesal. Kupandangi kotak kotorannya yang penuh. Oh, benar, aku lupa membersihkan kotak kotoran Akane sebelum tertidur di karpet dengan iringan lagu Infinite.
“Oh, maaf, maaf,” kataku, mengelus Akane yang mendengkur.
Aku bangkit dengan enggan, menggeliat, kemudian menenggak segelas penuh air yang sebelumnya kusimpan di kulkas – mendadak tenggorokanku jadi super gatal dan aku terbatuk-batuk. Sial, padahal Senin depan aku harus menjalani ujian tengah semester. Aku tidak boleh sakit.
Karena kalau aku sakit, aku pasti merepotkan banyak orang. Hal ini tidak sesuai dengan prinsipku yang tidak ingin merepotkan orang lain, minta tolong orang lain kalau aku sendiri masih bisa melakukannya. Aku tidak ingin tergantung pada orang lain – lagi.
Sudah sekitar setahun ini aku belajar – tentang kemandirian. Bahwa yang dikatakan oleh Jodie Starling di Detective Conan itu benar: jangan keburu mengandalkan seseorang dulu, kalau kita masih bisa lakukan sendiri; bagaimana kalau suatu saat tidak ada orang yang bisa kita andalkan? Pernyataan ini sungguh benar adanya, meski aku terlambat menyadarinya. Kehilangan seseorang yang dulu sangat aku andalkan membuatku benar-benar terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam, dan nyaris tak ada orang yang bisa membantuku keluar dari lubang itu. Butuh waktu lama untukku belajar memanjat sendiri, dan itupun aku harus berkali-kali terjatuh, dan terluka, bahkan ketika aku sudah sanggup memanjat hingga setengah kedalaman lubang itu. Hingga akhirnya, aku, sendirian, berhasil mencapai atas lubang itu; kau tak tahu betapa bahagianya aku melihat cahaya putih terang yang biasanya hanya aku lihat setitik dari dasar lubang. Keluar dari lubang itu, aku benar-benar menjadi seorang yang baru, orang yang dikenal oleh teman-temanku akhir-akhir ini.
Mereka bilang aku berubah, dan aku tidak memprotes mereka dengan mengatakan ‘AKU NGGAK BERUBAH, KOK’ – tidak, aku memang berubah, aku sendiri menyadarinya. Yes, I’ve changed. Pain does that to people. Sebuah quote yang kutemukan di internet, dan aku menyukainya tanpa bahkan mengetahui dari siapa quote itu berasal.
Aku mengecek stok madu di kulkas. Masih cukup banyak, mungkin sampai akhir bulan. Kuminum dua sendok madu penuh-penuh, lalu kuambil buku kuliahku. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu, apalagi kalau badanku sedang tidak enak begini.
Dulu, aku biasanya belajar dengan ditemani sekotak coklat yang senantiasa dikirimkan oleh – yah, kau tahulah – seseorang yang dulu kuandalkan, sampai aku sadar bahwa coklat-coklat itu membuat berat badanku naik 3 kilo dalam sebulan. Maksudku, kalau begitu apa gunanya aku bersepeda sementara aku makan coklat setiap hari? Memang sih, coklat-coklatnya enak dan membuatku senang terus, apalagi kalau yang mengirimkan adalah...
Baiklah, bagaimana kalau kita mulai cerita ini? Mendadak kenangan tentang ini muncul di kepalaku ketika aku sedang membaca tanggal di binderku.
Pacarku waktu SMA, namanya Yuda – atau haruskah kusebut mantan pacar? – kebetulan berada di kota yang sama denganku, disini, di kampus yang sama, hanya saja dengan jurusan yang berbeda. Segalanya masih berjalan lancar selama bulan-bulan awal kami berkuliah – seperti yang kubilang tadi, dia selalu mengirimkan kotak cokelat ke rumahku, dia sering mengagetkanku dengan sebuket mawar di depan pintuku ketika aku membuka pintu rumah untuk memasukkan udara segar di pagi buta. Dia juga pernah membuatku melting, super melting, dengan berada di depan pagarku membawa gitarnya dan menyanyikan Love Light milik CN Blue, yang dulu benar-benar aku sukai. Dia datang ke rumah, membawakanku bubur ayam panas, ketika aku mengeluh di telepon tentang tidak enak badan.
Intinya, dia itu romantis. Super romantis.
Sewaktu masih pacaran, aku dan dia selalu menghabiskan waktu bersama-sama. Aku selalu meminta tolong dia mengantarku kalau aku ada acara di kampus, meminta dia menemaniku belanja, meminta dia mengantarku membeli kado untuk temanku... aku benar-benar tergantung padanya, satu hal yang sangat kusesalkan. Seharusnya aku tidak selalu bersandar padanya untuk semua hal, karena kalau Yuda tidak ada, aku harus bersandar pada siapa?
Suatu hari ia menghilang.
Aku benar-benar bingung waktu itu, dia tak mengabariku selama seharian penuh, padahal biasanya ponselku tak pernah berhenti berbunyi, mengabarkan kalau aku mendapat sms dari dia. Kutelepon semua temannya, teman-teman SMA-ku yang masih dekat dengan dia, tapi benar-benar tak ada yang tahu. Akhirnya sebuah telepon masuk ke ponselku.
Telepon itu dari rumah sakit, mengabarkan bahwa Yuda kecelakaan. Dengan segera aku memanggil taksi dan meminta sopir taksi itu melaju kencang ke rumah sakit. Bercucuran air mata, tapi menangis tanpa suara, aku menanyakan kondisi Yuda pada suster di UGD. Suster itu berkata bahwa kondisi Yuda parah sekali, dan aku memaksa masuk, yang tentu saja tidak diperbolehkan oleh suster itu. Perasaanku campur aduk, aku tak tahu harus bagaimana, aku tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa berdoa, dan berharap, waktu itu. Aku juga tak bisa memikirkan kenapa Yuda bisa sampai kecelakaan, padahal biasanya dia sangat berhati-hati mengendarai motornya – kencang, memang, tapi tetap dalam batas aman.
Kemudian, waktu aku masih dalam kondisi shock berat, muncullah seorang gadis yang tak kukenal, bersama dua orang cowok teman sejurusan Yuda, yang juga teman SMA-ku. Aku heran melihat gadis itu sepertinya sama shock-nya denganku, bahkan wajahnya juga memerah, meski air matanya belum separah air mataku.
Salah seorang teman Yuda, entah kenapa, tampak terkejut melihatku duduk di UGD. Dia bahkan bertanya kenapa aku disini. Aku dengan jelas, dan terisak, menjelaskan bahwa telepon dari rumah sakit-lah yang memanggilku kesini. Kemudian aku balik bertanya padanya kenapa mereka ada disini. Dia juga bilang bahwa ada telepon dari rumah sakit juga yang menelepon... ke nomor ponsel gadis yang tak kukenal itu. Dengan mata tajam aku memandangi gadis itu, mencoba menebak apa hubungannya dengan Yuda, dan aku tahu pasti bahwa mereka lebih dari sekedar teman.
Teman Yuda yang lain menanyakan hal yang membuatku terkesiap selama sekian detik.
“Kamu masih pacaran sama Yuda?”
Aku mengernyit tak mengerti. “YA IYALAH!” teriakku.
“Tapi... kata Yuda...”
Dia disenggol oleh temannya yang lain.
“Kata Yuda apa?” tanyaku pada mereka berdua – bertiga sebenarnya, karena gadis yang tampaknya juga teman sejurusan mereka tadi sudah bergabung.
Tapi aku tak sempat mengetahui apa yang Yuda ucapkan, dengan tiba-tiba pintu UGD terbuka dan seorang dokter muncul, membawa berita amat buruk. Hal yang paling kutakutkan ternyata terjadi...
Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya duduk terdiam, menghela napas, bengong untuk beberapa saat. Kedua teman Yuda berteriak-teriak pada dokter, memintanya untuk mengembalikan Yuda pada mereka, tapi dokter itu benar-benar menggeleng, wajahnya terlihat amat sedih. Gadis yang tadi menangis di kursinya.
Aku tak ingat apa-apa lagi, kemudian aku sadar di sebelahku sudah duduk gadis yang sudah kubenci bahkan saat dia baru masuk UGD tadi.
“Maya...?” tanyanya perlahan, wajahnya yang cantik dibasahi air mata.
Aku mengangguk singkat.
“Aku Mandy,” ujarnya, mengulurkan tangan, yang tidak kusambut. Dia menariknya lagi dengan cepat. “Kamu... pacarnya Yuda?”
“Sepertinya begitu.”
“Maaf. Aku...” dia mulai menangis lagi, yang aku benci melihatnya. “Aku tak tahu...”
“Jangan menangis. Aku nggak bisa denger,” kataku jujur, meski aku tak berniat sama sekali mendengar curhatan gadis cantik ini.
“Aku... aku sama saja dengan membunuh Yuda...”
Mendengar ini aku menoleh padanya. “APA?”
“Yuda... Yuda kecelakaan... waktu mau membuat kejutan untuk ulang tahunku sore ini...” isak Mandy. “Dia... dia... buru-buru dari toko kue... begitu cerita Wira...”
Aku memandang Wira, salah satu dari teman Yuda yang sekarang sedang memukul-mukul dinding, tak percaya kalau teman dekatnya sudah tidak ada.
“Yuda... pedekate denganku, sudah tiga bulan ini...” cerita Mandy yang terisak berlanjut. “Dia bilang... dia sudah putus denganmu... maaf... aku...”
Bahkan Mandy belum lagi selesai, aku sudah bangun perlahan dari dudukku, pikiranku kosong, tak mengindahkan Mandy yang memanggil-manggilku, dan berjalan, pelan sekali, keluar UGD. Air mataku merebak seketika, ketika melihat Oki yang berlari dari arah tempat parkir menuju UGD. Aku ingat aku terjatuh tepat ketika Oki sampai di pintu UGD, aku ingat aku menangis sekeras-kerasnya di bahunya, aku ingat Oki menepuk-nepuk kepalaku, memelukku. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi. Oki bilang aku pingsan.
Setelah kejadian itu aku tak masuk kuliah selama lima hari – bukannya aku menginginkan ini, tapi aku benar-benar menghabiskan waktu di rumah dengan menangis, menangis, dan menangis. Aku jatuh sakit di hari ketiga, demamku sampai 40oC, ibu Oki-lah yang dengan baik hati merawatku hingga aku sembuh total di minggu berikutnya.
Fisikku memang sembuh, tapi tidak dengan psikisku, yang terguncang oleh beban yang bertubi-tubi menimpaku dalam satu hari – bahkan tidak satu hari, beberapa jam – tentang Yuda, dan Mandy, dan semuanya... aku sempat menyesal kenapa semua ini terjadi padaku.
Hampir setiap malam dalam sisa bulan itu aku menghabiskannya dengan menangisi Yuda – aku heran sendiri kenapa aku bisa menangisi orang yang pergi meninggalkanku untuk menemui orang lain. Tapi jauh, jauh di dalam hatiku, aku bisa merasakan dia memanggil-manggil Yuda, untuk kembali, untuk menyanyikan lagi Love Light, untuk meletakkan lagi sebuket mawar, untuk membawakanku bubur – atau membuatkan bubur super asin lagi, untuk mengirimkan lagi coklat-coklat yang membuat aku gendut itu, untuk... untuk menyayangiku lagi seperti sebelumnya.
Rasa sakit yang berlipat-lipat. Itu yang membuatku jatuh ke dalam lubang yang dalam.
Ketika aku masuk ke lubang itu, aku merasa aku sudah tidak bisa merasakan sakit lagi. Aku tertawa bahkan, ketika jariku teriris pisau roti. Tapi sedetik kemudian aku menangis, karena teringat – siapa lagi? – Yuda, yang pasti langsung panik mencarikan plester dan betadine di kotak P3K-ku. Waktu itu, entah bagaimana Oki merangsek masuk rumahku dan menemukanku terduduk di lantai dapur, dengan jari masih berdarah dan wajah basah penuh air mata.
“Aku mendengar Akane,” kata Oki, selagi dia menempelkan plester pada lukaku.
Akane tadi mengeong keras-keras begitu dia melihat aku menangis.
“Pintu depanmu tidak terkunci. Kamu ini kenapa sih?” tanya Oki. “Kupanggilkan Ibu, ya?”
Aku menggeleng. “Aku... nggak mau ngerepotin...”
“Kamu nggak ngerepotin, Maya...” ujar Oki, sabar, seperti kakakku.
“Aku mau Kakak...” kataku, mendadak, tanpa sadar.
“Aku teleponin Kakak,” kata Oki, lalu dia menelepon kakakku.
Sekitar satu jam lebih aku menggunakan ponsel Oki untuk bercakap-cakap – ah, bukan, lebih tepatnya menangis pada Kakak. Oki tidak melakukan apa-apa, dia hanya duduk di sebelahku di sofa, mendengarkanku, bermain dengan Akane. Ketika akhirnya aku harus menghentikan percakapanku dengan Kakak, barulah Oki bergerak ke dapurku.
“Nih,” katanya, menyodorkanku air.
“Kakak mau kesini,” ujarku, menyodorkan ponselnya. “Trims.”
“Sama-sama. Kapan?”
“Malem ini.”
Oki tertawa. “Dasar sister complex...”
Aku mengusap air mataku, tertawa. Kalau kuingat itu adalah pertama kalinya aku tertawa dengan tulus setelah empat minggu sejak kejadian itu.
Smile, please,” pinta Oki. “You’re the prettiest when you smile...
Sebelum dia selesai bicara aku sudah menggebuknya dengan bantal, keras-keras. “Jangan gombal pake liriknya Jinyoung, dong!”
“Lho, itu kan gombal yang biasa...”
Aku bersyukur memiliki Oki (dan keluarganya) di sisiku di saat-saat terkelamku itu.
Bagaimanapun Oki, Kakak, kedua orang tuaku, kedua orang tua Oki, dan yang lain-lain membantuku menerima kenyataan, tetap saja, sakit hatiku belum bisa disembuhkan. Teman-temanku bilang sejak kejadian itu aku menjadi lebih pendiam, dan lebih penyendiri – aku sebenarnya lebih suka menyebutnya lebih mandiri, karena aku belajar untuk tidak mengandalkan orang lain lagi, termasuk Oki. Aku tak mau kehilangan orang yang bisa kuandalkan lagi.
“Meong,” Akane naik ke meja dimana aku menelungkup di dalam lenganku, terbawa masa lalu. Kurasakan kaki Akane menginjak punggungku. Kubiarkan dia lewat.
Aku bangun, mendapati mejaku yang penuh kertas-kertas. Mendadak aku tak ingin membaca catatan kuliah lagi. Kupasrahkan saja lah UTS besok pada Yang Maha Kuasa.
Biasanya juga begitu.
* * *
APA-APAAN INI!
Aku berteriak dalam hati, mengutuk soal UTS hari itu. Semua soalnya benar-benar diluar perkiraanku, yang mempelajari text book karena dosen pernah bilang bahan UTS adalah seluruh materi sampai UAS – aku sendiri bingung ketika dosenku bilang begitu – TAPI NYATANYA, soal UTS diambil benar-benar dari materi kuliah sebelum UTS, dan seluruhnya ada di slide dosen – YANG MANA TIDAK KUBACA DI MALAM SEBELUMNYA.
Kulihat teman-temanku yang lain juga berseru-seru kesal, ada yang sambil tertawa pasrah, cemberut, tentang soal UTS barusan. Aku sendiri, sambil mengomel pada teman di sebelahku, sedang membetulkan tali sepatuku yang terlepas sebelum ada orang yang menginjaknya dan membuatku terjatuh karena sepatuku sendiri.
Ketika aku mendongak dan berdiri, kudapati Satria dan teman-temannya sedang berkumpul – seperti biasalah – di depan ruang kuliah, memblokir jalan.
“Misii,” aku berseru, meminta jalan untuk lewat.
Mendadak sepi, karena tadinya mereka ramai berkicau. Sekarang mereka semua menoleh padaku.
“Eeh, silakan Mbak...” kata Brian.
Aku memandangnya heran. Kemudian lewat dengan menaikkan daguku, percaya diri seperti biasa.
Karena aku tahu, seperti biasa dari sudut mataku, ada Satria yang memandangku. Kau tahu kan, kau harus terlihat percaya diri apapun yang kau kenakan – apalagi di depan orang yang kau sukai. Akhir-akhir ini aku membaca artikel-artikel semacam itu, lumayan berguna juga untuk membuat dirimu sendiri dihargai orang lain.
Aku memutar lagu-lagu yang bisa membangkitkan semangatku, bukan lagu-lagu galau seperti yang sering kudengarkan setahun yang lalu, ketika aku masih berada dalam fase gelap. Lagipula, di saat seperti ini yang kubutuhkan adalah suara Kim Myungsoo dan Jung Jinyoung. Mereka selalu bisa membuat mood-ku yang sehancur apapun menjadi naik lagi. Bukan lagu-lagu galau yang kubutuhkan sekarang, yang bisa membuatku kembali mengingat masa-masa itu, dan kemudian membanjiri timeline followers twitter-ku dengan status-status galau yang dipertanyakan semua orang, dan semua orang memberitahuku agar tidak galau lagi, semua orang menyampaikan ucapan turut berduka cita, tapi mereka tidak tahu perasaanku.
“Habis nangis?” tanya Oki, terdengar jelas meski aku sedang mengenakan headphone.
“Hem?”
“Inget Yuda?”
Aku tidak menjawab, karena aku merasa mataku mulai menghangat.
“Hari ini hari peringatan kematiannya...” kata Oki kemudian, setelah kami berjalan dalam diam.
Tentu saja aku tahu. Tidak perlu menggunakan alarm di ponsel sekalipun. Aku selalu ingat. Tanggal keramat itu. Tanggal dimana aku mengetahui segalanya sekaligus kehilangan segalanya.
“Mau nyekar?” ajak Oki.
“Mau.”
Di makam Yuda ternyata sudah ada karangan bunga, tampak-baru. Tanahnya juga basah, jelas sekali barusan ada yang berkunjung kesini juga.
Aku dan Oki berdoa di sisi makam. Bagaimanapun air mataku menetes tanpa bisa kutahan. Rasanya ingatan yang kemarin kukenang itu jelas sekali. Seperti baru terjadi kemarin, padahal sudah satu tahun setengah, kurang-lebih.
Ketika bangkit untuk menabur bunga dan menyiram tanah, aku memperhatikan ada secarik surat di atas makam Yuda, dari kertas berwarna pink. Sepertinya aku bisa menebak siapa yang baru saja menyekar ke makam Yuda.
“Dari Mandy,” baca Oki, membuka surat itu. “Mau baca...?”
“Nggak,” aku menggeleng, tersenyum. “Cukup...”
“Oke.”
Di perjalanan pulang menyusuri deretan makam, Oki menggenggam tanganku.
“Takut?” sindirku bercanda.
“Kamu bercanda.”
Aku tahu dia hanya berusaha menguatkanku.
Di dekat pintu masuk makam, kami bertemu dengan beberapa alumni SMA kami, yang tampaknya juga hendak menyekar Yuda. Mereka mengenaliku sebagai – entahlah, mantan pacar? Tapi kami tidak pernah benar-benar putus – orang yang dekat dengan Yuda, maka mereka mengucapkan belasungkawa padaku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Mau makan?” tanya Oki, di perjalanan pulang.
“Nggak.”
“Mau pulang?”
“Iya.”
“Makan dulu ya.”
“Nggak mau.”
“Maya.”
Dan itulah, suara Oki yang selalu bisa membuatku takut – untuk melawannya. Seperti nada suara Ayah ketika memanggilku untuk dimarahi – ditegur. Aku pun mengkeret, dan membiarkan Oki membawaku ke sebuah warung makan untuk makan siang.
“Sepedaku di kampus,” kataku begitu sampai di warung itu. “Aku...” aku terdiam. Mataku membelalak melihat orang-orang yang memasuki warung itu.
Satria dan teman-temannya, mungkin bermaksud makan di warung itu juga. Tentu saja, Maya. Tampaknya otakku sesaat tidak bisa berpikir jernih.
“Sat!” panggil Oki, tampak bahagia melihat teman-teman yang dikenalnya.
“Weeeh dia pacaran disini...” ejek Brian, menghampiri Oki duluan.
Aku hanya tersenyum lemah.
“Tumben nih berduaan? Ada angin apa?” tanya Wahyu.
“Habis nyekar temen SMA,” jawab Oki, tersenyum bijak.
Mendadak gerombolan itu hening.
“Oh,” tampaknya Sony tahu sesuatu, dan dia melirik tanggal di arlojinya.
“Mantanku,” jawabku, memecah awkwardness yang terjadi diantara kami. “Hari ini peringatan kematian dia.”
“Turut berduka cita,” ujar Satria, setelah sepuluh detik – aku benar-benar menghitung. Kemudian mendadak yang lain ikut menyampaikan duka cita mereka.
Aku memandang Satria, berterima kasih.
“Pantesan sedih banget tadi, gara-gara inikah?” tanya Satria kemudian, membuatku kaget.
“Nggak juga, kan udah setahun lebih,” aku dengan cepat menyesuaikan debaran jantungku yang maksimal, “aku juga udah move on kali,” kataku tertawa.
“Merhatiin Sat?” sindir Wira.
“Anjir lo Sat, udah Marisa, sekarang Maya...” tawa Robi.
“Pilih satu lah!” seru Iman.
“Suka banget ya sama cewek yang depannya M?” tambah Ary.
“Sialan,” Satria tertawa.
Mereka tertawa. Aku berusaha keras tidak mengeluarkan suara apapun dari jantungku yang sekarang berdetak kencang. Mereka benar-benar tidak memikirkan perasannku.
“Tapi iya May, kamu bete banget tadi pas bilang ‘misiii’ gitu,” kata Brian.
“Gara-gara soal UTS kali tuh,” kata Sony.
“Sial banget ya soal tadi?”
“Gue nggak nyentuh handout slide dosen sama sekali padahal...”
Dan begitulah topik tentang soal UTS tadi pagi muncul ke permukaan dan disambar semua orang. Aku mengamati menu warung makan dengan seksama, sesekali melirik Satria yang duduk di seberang kananku.
Benarkah aku terlihat sedih seharian? Aku? Apa benar cuma gara-gara soal UTS? Atau gara-gara kemarin seharian aku mengenang Yuda?
Tapi kenapa Satria menanyakan ini padaku? Bukankah hal ini berarti sama saja dengan... Satria memperhatikanku?
Jangan, Maya, jangan terpengaruh. Mungkin saja dia heran melihatmu yang biasanya gembira terlihat sedih. Siapa saja bisa menanyakan hal seperti itu. Itu biasa, Maya. Biasa. Pertanyaan biasa.
Aku memesan sup ayam, tanpa nasi. Oki memaksaku makan nasi, tapi aku benar-benar tidak nafsu makan siang itu, setelah berkunjung ke makam Yuda dan menemukan karangan bunga serta surat dari gadis lain di atasnya.
“Setengah dari nasiku aja ya?” tawar Oki.
Aku mengernyit.
“Makan lah, May... kamu nanti naik sepeda kan, pulang ke rumah?”
“Aku nggak laper, Ki...”
“May.”
“Iya, iya.”
Kutuang separo nasi dari piring Oki ke mangkuk supku.
“Kamu sakit ya?” tanya Oki kemudian.
“Nggak kok,” aku menyuap supku. “Kenapa?”
“Pucet.”
“Biasa, pancaroba...”
“Nanti beli obat flu...”
“....iya.”
Aku tahu tak ada gunanya membantah. Kedua orang tuaku sepertinya sudah mewanti-wanti Oki – mungkin sejak kejadian Yuda – agar dia merawatku baik-baik seperti di rumah.
“Iri ya, iri...” kata Wahyu tiba-tiba.
“Cepetan jadian, Ki...” saran Brian.
“Mumpung udah move on, Ki...” tambah Satria.
Mereka tertawa-tawa.
“Nggak lah,” kata Oki, setelah menumbuk Wira di lengannya. “Maya punya orang lain yang dia suka.”
Mereka membicarakanku seolah-olah aku tidak ada disana. Wajar lah, toh biasanya pun aku tidak mungkin ada di antara mereka, seperti ini. Aku jadi ingat, aku pernah menulis di diariku, rela memberikan segalanya – apa saja – untuk bisa berada di antara Satria dan teman-temannya.
“Eh? Siapa?”
“Siapa, SIAPA?”
Antusiasme mereka mengingatkanku pada gerombolan gadis yang sedang mengelilingi cewek yang sedang bercerita tentang seorang cowok cakep dari angkatan atas.
“Tau Infinite? Boyband Korea... Maya suka Kim Myungsoo, personilnya...”
“Hee.”
Oki dilempari gumpalan tisu. Aku tertawa.
“Penting banget ya tahu siapa cowok yang aku suka?” kataku.
“Penting dong, May, biar Oki nggak galau,” sambar Ary.
Aku tertawa. Tapi tidak melanjutkan kalimatku. Kubiarkan para lelaki itu mengobrol bebas sesuka hati mereka. Aku tidak berhak masuk dalam dunia mereka.
Aku juga tak mungkin mengatakan pada mereka kalau Satria adalah cowok yang sedang aku sukai, kan?
“Habisin tehnya,” kata Oki, yang tadi memesankan teh hangat untukku. Dia tahu betul kalau aku flu, pasti akibat tenggorokanku yang meradang. Kakakku sudah mengajarkan kepadanya segala hal tentangku. Aku mengangguk. Kuseruput tehku, lalu kutopang pipi kiriku dengan tangan kiri, memandang ke arah kanan dimana Satria dan yang lain sedang mengobrol seru.
Pemandangan yang indah. Kuharap aku bisa melihat pemandangan ini lagi lain kali.
“...tanya Maya tuh tanya Maya!”
Aku mendengar namaku dipanggil.
“May, Jocelyn udah putus belum?” tanya Iman.
“Hah? Jocelyn? Mana aku tahu,” kataku jujur. “Lagipula, kalian ini mengharapkan dia putus sama cowoknya?”
“Si Robi ngantri nih,” kata Brian, menyikut perut Robi, ditertawakan semuanya.
“Kamu sendiri masih ngegantung cewekmu,” tegurku.
Terdengar bunyi ‘wooo’ di meja kami.
“Nanti, tunggu saat yang tepat...” kata Brian santai.
“Kamu juga, Sat,” kataku, memberanikan diri memandang mata Satria, yang balik memandangiku. Astaga... rasanya seperti masuk ke laut yang amat dalam, di saat yang bersamaan memberikan ketenangan. Dipandangi begitu membuat pipiku menghangat. Dengan segera kualihkan pandanganku.
“Marisa?” kata Satria, memainkan sedotan es jeruknya. “Yah, liat dulu lah...”
“Jangan digantung kelamaan, ntar kering,” senyumku.
“Kamu lagi sakit bisa aja ngomong gitu,” ujar Oki.
Satria tersenyum. Kemudian tak sengaja aku melihat dia mengeluarkan ponselnya dan melakukan sesuatu dengan ponselnya.
Ini mungkin saatnya. Kalau dia mengetik sms dan mengirimkannya ke nomorku, aku pasti akan langsung mendapat sms. Buru-buru kuambil ponselku dari dalam tas, karena hari itu aku tidak menyimpan ponsel di saku baju atau celanaku.
Tapi ternyata sudah ada satu sms yang belum kubaca. Kupandangi Satria, dia masih mengutak-atik ponselnya.
Ah, mungkin bukan dia. Sudah kubilang sia-sia saja berharap, Maya.

+628693003xxxx
18/04/12 11:01

Seriously, I’m curious.

* * *

Theme song: Song Ji Eun – Going Crazy, EXO – El Dorado, 2NE1 – It Hurts
Created by Antiq
18 April 2012 

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates