25 Apr 2012


Pagi tanggal 12 Mei 2012. Pukul tujuh pagi, aku terbangun karena telepon dari Mama yang membangunkanku. Dengan kepala super berat dan suara serak aku menjawab telepon itu, yang penuh dengan pembicaraan penuh-kasih-sayang khas Mama. Aku masih malas-malasan di tempat tidur, tidak berniat sama sekali untuk bangun. Mendadak aku merasakan serangan mual yang teramat sangat, sampai aku benar-benar berlari menuju kamar mandi.
Ah, makan malamku kemarin keluar semua. Morning sickness? Tidak, ini terjadi di setiap waktu.
Setelah puas, aku membersihkan diriku sendiri – aku baru ingat aku belum mandi sejak kemarin pagi – dengan air hangat, karena aku langsung menggigil tak karuan begitu tersiram air dingin. Kuambil panci besar, kuisi dengan air biasa, lalu kunyalakan kompor dan memasak air hingga mendidih. Sembari menunggu, aku membuat teh hangat untuk paling tidak menenangkan perasaanku yang masih berdebar gara-gara kejadian barusan.
Di hari Sabtu seperti ini biasanya Mpok Imah datang pukul delapan tepat – dia selalu tepat waktu – dan langsung membersihkan rumah atau memasak. Aku memutuskan untuk menunggu Mpok Imah datang dan memintanya membuatkanku bubur, atau sesuatu untuk kumakan.
Air hangatku sudah jadi. Aku mandi, berganti baju, dan duduk manis di sofa menonton televisi.
Jam setengah delapan lewat, bel rumahku berbunyi. Kupikir Mpok Imah memutuskan untuk datang lebih awal.
Namun betapa kagetnya aku ketika tidak melihat Mpok Imah di depan pagar rumahku. Malah sesosok pemuda yang ada di depan pagarku. Bukan Oki. Bukan juga Kakak – meski aku sangat mengharapkannya.
“Oh, Maya,” sapa Satria, nyengir.
Aku hanya bisa terbengong-bengong, mendadak diserang sakit kepala. Dia, cowok itu, membawa bungkusan plastik di tangan kanannya. Mungkin ini tidak seperti yang aku pikirkan.
“Kamu ngapain?” tanyaku tak ramah.
“Hee,” Satria mendengus. “Sudah datang pagi-pagi, disambut dengan nada seperti itu...”
“Kamu ngapain?” tanyaku, lebih ramah.
“Buka dulu deh pagernya.”
Aku baru sadar kalau aku belum membukakan pagar untuk Satria yang sudah menunggu di luar dengan udara dingin sehabis hujan pagi tadi.
“Haa,” dia masuk rumahku dengan senang. “Gimana, udah mendingan?”
Aku menggeleng. “Aku muntah lagi tadi,” kataku.
“Lagi? Yang pertama kapan?”
“Kemarin siang.”
Satria mendecak. “Kalau gini kamu mestinya nggak usah maksain bilang mau dateng nanti.”
“Aku kan udah janji.”
As expected, from you...
“Itu maksudnya apa sih?” tanyaku, tak mengerti kenapa Satria senang sekali menggunakan kalimat itu untuk mengomentari tindakanku.
Nope,” Satria tersenyum. “Aku bawa bubur.”
“HAH?” aku tercengang. Seorang Satria, membawa bubur panas untukku? Ini benar-benar seperti  yang aku pikirkan.
“Kupikir kamu pasti malas sarapan, jadi...”
“Memang,” ujarku. “Tapi nggak perlu gini juga.”
“Aku kebetulan emang mau ada urusan juga, jadi ya sekalian keluar aja...”
Dia sudah mendekati meja makanku dan meletakkan bungkusan plastik yang dibawanya di meja. “Pinjem mangkuk...” pintanya. “Dua.”
Aku mengambilkannya dua mangkuk melanin.
“Kamu belum sarapan?” tanyaku bingung.
“Belum,” jawabnya santai, menuang bubur dari plastik ke mangkukku. Diambilnya sendok dari tempat sendok di atas meja dan ditaruhnya di mangkuk. “Nih.”
“Aku cuma makan sedikit, lho,” kataku, menerima mangkuk berisi bubur itu. “Mungkin ini nggak habis, lho.”
“Ya nggak papa, kan buat minum obat,” ujarnya riang.
“Kamu kayak Oki,” kataku, melangkah menuju ruang televisi. Sofa di ruang ini adalah tempat favoritku untuk makan.
“Oh, ya?” dia tampak tak terlalu peduli.
“Hmm.”
Aku menyuap sesendok bubur itu. Mimpi apa aku semalam sampai didatangi Satria yang dengan baik hatinya membawakan bubur untukku?
Oh, aku ingat, aku mimpi pergi ke karnaval bersama Satria. Bukan hal penting.
Satria selesai menuang buburnya sendiri dan dia bergabung denganku di sofa ruang televisi. Dia duduk di sebelahku, tidak duduk di karpet seperti yang biasa Oki lakukan.
Setengah bahagia setengah bingung, aku ternyata berhasil menyelesaikan buburku – meski dalam waktu setengah jam. Satria, yang sudah selesai lima belas menit yang lalu, tidak bergerak dari duduknya untuk menaruh mangkuk kosongnya di bak cuci piring, tetapi tetap menungguku sampai aku menghabiskan buburku. Ketika aku memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutku, dia bertepuk tangan.
Well done,” katanya senang, entah apa yang membuatnya senang. “Tuh, habis juga kan?”
Tentu saja, kamu memandangiku terus.
Aku nyaris saja mengutarakan perasaanku padanya, tetapi aku tertahan teh hangat yang sedang kuminum. Satria menaruh mangkuk-mangkuk di atas meja makan, dan dia menenggak segelas air di dapurku. Aku mengawasinya dengan senang. Pemandangan Satria yang mendongak untuk meneguk segelas air itu cukup untuk mengalihkan perhatianku selama sekian menit.
Mpok Imah sudah datang, dan dia langsung masuk kamarku untuk membereskannya. Dia juga mencuci baju-baju, dan menjemurnya di halaman belakang.
“Mbak udah makan ya?” dia bertanya hanya untuk memastikan, karena aku tahu pasti, ketika Mpok Imah datang dia melihat kami berdua makan dalam diam di ruang televisi. Bahkan tidak ada pembicaraan di antara kami berdua.
Aku mengangguk sembari merobek bungkus obat yang harus kuminum setelah makan. Satria bermain dengan Akane di ruang televisi sementara televisiku menyiarkan acara masak rutin setiap Sabtu pagi.
Aku tak tahu perasaanku sekarang bagaimana. Kurasa ini seperti mimpi. Tapi rasa sakit yang kurasakan ini nyata.
“Pusing?” tanya Satria samar-samar, ketika aku membenamkan mukaku ke bantal sofa.
Aku keluar dari bantal dan menggeleng. “Nggak.”
“Tidur lagi aja?” saran Satria, dan dia bangkit seolah bersiap pergi.
“Tidur kebanyakan juga nggak bagus, kali,” kataku, setengah berharap bisa berani mengatakan sesuatu untuk menahannya pergi secepat ini.
Right,”  katanya, dan dia memutar-mutar badannya yang bagus.
Aku berkedip beberapa kali agar tidak mengkhayal dengan badan indah Satria.
“Nggak latihan futsal?” tanyaku.
“Nanti jam sepuluh...” jawab Satria, fokus memandangi Farah Quinn di televisi. “Pie apel enak juga, ya...” dia berkomentar soal masakan yang dibuat Farah hari itu.
“Mau aku bikinin? Buat nanti...” usulku.
“Eh, nggak usah...” tolak Satria halus. “Asal ngomong, kok.”
“Aku ada sih bahan-bahannya...”
“Nggak usah,” kali ini Satria menolak dengan tegas. “Kamu istirahat saja. Hannah dateng kan?”
“Dateng, tapi kan janjinya Hannah dateng bareng aku...” ujarku, mengernyitkan dahi. “Nanti aku bawain smoothies apel deh, biar sepaket sama pie apel...”
“Aku nggak tahu gimana caranya buat nahan kamu,” Satria mengangkat bahu, mengalah.
Aku tertawa.
“Cek bahan dulu deh,” aku bangkit dari sofa dan (niatnya) berjalan menuju kulkas dan lemari penyimpananku di dapur. Sayang sekali niat ini tidak kesampaian, karena begitu berjalan lima langkah, kepalaku mendadak berat dan kakiku tak kuasa menahan berat badanku. Aku terjatuh begitu saja, terduduk di lantai.
“May?” aku tidak ingin berharap, tetapi rasanya aku mendengar nada cemas di suara Satria barusan. “Nggak papa?” dia membantuku berdiri.
“Ngng,” gumamku, menahan kepalaku yang semakin aku pikirkan, semakin pening.
“Lho, kenapa Mbak? Kenapa Mas?” terdengar suara Mpok Imah yang datang dari halaman belakang, melihatku dituntun Satria menuju sofaku.
“Cuma jatuh, Mpok...” jawabku, mencoba terdengar tenang.
“Nggak papa, Mbak? Pusing ya?” tanya Mpok Imah cemas.
“Nggak papa, Mpok...”
“Saya bikinkan kompres, ya...”
“Iya, tolong ya Mpok,” Satria menyahut duluan sebelum aku bisa mencegah.
Manisnya Satria, dia memegangi kedua bahuku seolah aku ini orang tua berusia lanjut yang tidak bisa berjalan sendiri menuju sofa. Dia lalu mendudukkan aku di sofa.
“Oke?” tanya Satria.
Aku menggeleng, memejamkan mataku, menahan sakit di kepalaku. Kenapa sih aku? Masa hanya masuk angin saja sampai seperti ini.
“Ngantuk?” tanya Satria lagi.
Aku mengangguk.
“Obatnya ada efek sampingnya,” terdengar suara Satria kemudian, dari kejauhan. Aku membuka mataku. Satria ada di meja makan, sedang melihat bungkus obat yang dibelikan Oki kemarin, yang kuminum setelah makan. “Ngantuk... kamu disuruh tidur tuh.”
Aku mengerutkan dahi. “Aku baru bangun.” Tetapi kemudian aku berselonjor di sofa, dengan lengan terjuntai mengelus-elus Akane.
Mpok Imah muncul membawa sebaskom air dan handuk kecil. Dia menyuruhku berbaring di sofa, kemudian dengan telaten mengompresku. Satria memandangi dari meja makan.
Mungkin efek obatnya memang bekerja, atau kompres Mpok Imah yang merilekskanku, atau – aku tak tahu – pandangan hangat Satria yang sekarang duduk di karpet, membuat mataku berat dan perlahan menutup. Aku tak ingat apa-apa lagi.
Pagi itu aku benar-benar tidak tahu apa mimpiku, atau aku memang tidak bermimpi, dan mengalami tidur yang sangat nyenyak. Ketika aku bangun, aku masih ada di sofa, tetapi dengan Satria yang duduk di sampingku, Mpok Imah tidak terlihat di jarak pandangku, tampaknya Satria yang gantian mengompresku sementara Mpok Imah membereskan rumah. Seseorang juga telah menyelimutiku dengan selimut favoritku. Kuharap itu Mpok Imah, karena aku tidak bisa membayangkan Satria masuk kamarku dan mengambil selimutku lalu menyelimutiku. Benar-benar tidak bisa, meskipun aku sungguh-sungguh berharap.
“Halo,” sapa Satria. “Tidur nyenyak?”
“Ng?” aku mengernyitkan dahi, separuh terbangun dan masih bingung. “Ngng.”
Satria mengangkat handuk basah dari dahiku dan merendamnya dalam baskom, memerasnya, lalu kembali meletakkannya pada posisi semula – dahiku. Kutarik selimutku sampai ke leher, lalu menguap kecil.
Tak ada yang bicara sementara menunggu kompresnya bekerja. Satria dan aku sama-sama memandangi acara televisi, sesekali diselingi suara Akane.
“Udah setengah sebelas,” kataku serak, ketika program televisi yang kami tonton diselingi iklan. Aku melirik jam dinding di atas televisi. “Sori...”
“Sori apa?” tanya Satria, mengganti kompresku lagi.
“Latihannya?”
“Bisa ditunda,” kata Satria kalem.
“Kamu kan kapten.”
“Justru itu, jadwal latihannya kan jadi terserah aku,” ujar Satria, nyengir.
“Nggak bisa gitu, dong...”
“Aku juga nggak bisa ninggalin kamu, kan.”
Aku kehilangan minat berdebat dengannya begitu mendengar kalimatnya yang terakhir.
“Ada Mpok Imah...” kataku pelan. “Pergilah.”
Tepat ketika aku mengatakan itu, kudengar dering telepon. Rupanya ponsel Satria.
“Ary,” Satria memberi info, membaca pesan singkatnya. “Dia nanya aku dimana...”
“Pergilah...” gumamku, merasa tak enak hati, “nanti mereka marah sama kamu.”
Mungkin Satria menganggap kalimatku barusan terdengar lucu, karena dia tertawa.
“Oke, oke...” ujar Satria. “Aku pergi dulu.”
“Pergilah, jangan balik lagi kesini, bertanding yang benar,” kataku jengkel, karena dia terdengar seperti hanya akan pergi sesaat lalu kembali lagi ke rumahku.
Fine,” ujar Satria. “Get well soon...” dia mencari Mpok Imah, pamit padanya, lalu kudengar suara motornya di luar.
Aku masih mengira aku bermimpi. Kemudian mendengar dering telepon yang lain, intro Baby I’m Sorry, aku bangkit perlahan dan mencari-cari ponselku.
Hannah yang meneleponku. Kubilang aku benar-benar sakit – aku juga tidak pernah mengharapkan ini terjadi tepat di hari pertandingan – dan tidak bisa datang ke pertandingan. Hannah menyesalkan ini. Dia bilang akan menjengukku sebelum dia pergi ke tempat pertandingan. Aku mengiyakan.
Beberapa saat kemudian setelah Hannah selesai meneleponku, muncul pesan singkat dari Oki, menanyakan keadaanku. Aku baru saja hendak menekan tombol kirim untuk membalas pesan Oki, ketika Oki meneleponku langsung.
“Aku baru mau bales,” kataku, menjawab telepon Oki.
“Kata Satria kamu muntah lagi pagi ini, kata Hannah kamu nggak bisa dateng nanti,” sahut Oki dari ujung sana. “Satria dari rumahmu?” tanyanya.
“Kamu nggak lewat rumahku ya?” aku balas bertanya, karena kalau Oki melewati rumahku pasti dia akan melihat motor Satria terparkir di halaman depan rumahku.
“Aku muter, beli minum dulu tadi. Jadi iya atau tidak?”
“Iya, dia bawa bubur. Aku nggak bisa dateng kayaknya...” ujarku menyesal. “Maaf...”
“Sudah kubilang jangan memaksakan. Istirahat, May... kalau perlu tidur seharian.”
“Iya. Satria udah disana ya.”
“Pantesan kenapa dia telat banget, ternyata ngurusin kamu.”
“Aduh, maaf ya, maaf banget...” aku semakin tak enak hati. “Aku bikinin smoothies deh. Nanti aku titipin Hannah...”
“Nggak usah,”  tolak Oki. “Kamu istirahat aja.”
Bagaimanapun, aku harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku membuat Satria telat datang latihan untuk pertandingan penting hari ini.
Maka dengan perlahan aku bangkit – tidak ingin bangkit mendadak dan membuat kepalaku pening lagi – dan menuju dapur untuk membuat smoothies. Dibantu Mpok Imah, smoothies apel itu jadi kubuat.
Aku merangkak menuju tempat tidur untuk mengistirahatkan pikiranku dari dunia nyata. Aku juga tak ingin mengingat peristiwa tadi pagi, atau mimpiku, atau apapun, aku hanya ingin pikiranku kosong.
“Mbak, ada mas yang tadi pagi,” Mpok Imah mengetuk pintu kamarku.
Mas yang tadi pagi? Satria?
Kulirik jam di ponselku. Jam setengah dua belas. Mereka jelas hanya latihan sekali, lalu kembali pulang untuk bersiap-siap.
Aku mendapati Satria muncul di ruang tamuku dengan wajah suram.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak apa-apa, cuma ngecek...” kata Satria. “Kan udah janji mau balik lagi?”
Dia memang bilang ‘aku pergi dulu’ tadi.
“Cepet siap-siap,” aku setengah mendorongnya keluar ruang tamu. “Nanti telat.”
Satria pergi dengan motornya, setelah mengucapkan semoga lekas sembuh dan banyak-banyak istirahat (lagi) padaku.
Tak lama setelah aku melihat motor Satria meninggalkan rumahku, sebuah mobil menghampiri pagarku.
“Kak Maya!” kata Hannah, keluar dari mobil dengan aura tuan putri-nya. “Kakak nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa...” ujarku, menyilakan Hannah masuk ke rumah. “Kamu masak apa?”
“Sandwich,” katanya, sesuai dengan cerita Oki kemarin. “Kakak baik-baik aja?”
Aku mengangguk. “Aku bikin smoothies...” ceritaku.
“Kakak nggak perlu...”
“Aku harus,” selaku. “Itu ada di kulkas, bawain ya buat mereka.”
Aku melambaikan tangan pada gadis pirang itu ketika dia melaju dengan mobilnya menuju tempat pertandingan futsal jam satu siang nanti.
Kuharap hasilnya bagus.
* * *
Pukul tiga sore, aku terbangun karena getar dan dering sms masuk. Ketika aku mengecek ponselku yang kusimpan di bawah bantal, ada delapan sms yang masuk. Aku tidak ingat terakhir kali aku mendapat lima atau lebih pesan singkat di ponselku, maka aku membuka pesan itu satu-satu dengan senang.

Hannah
13/05/12 14:00
Kita menang, Kak! Kak Oki menang! ><

Oki
13/05/12 14:12
WE WIN! \(^^)/

Satria
13/05/12 14:28
7-3... pertandingan yang keras buat teknik :p

Hannah
13/05/12 14:30
Smoothies-nya abis, Kak... -___-“
tapi sandwichnya masih ada, aku sisain buat Kak Maya yang cantik ^^

Satria
13/05/12 14:50
Sayang kamu nggak ikut, rame banget tadi yang nonton.
Anyway, smoothiesnya enak.

+6285664134xx
13/05/12 14:56
MAKASIH SMOOTHIESNYA. WE WIN. \m/
-WIRA-

+628954653xx
13/05/12 15:00
Smoothiesnya enak, May! Makasih yaa :D
Kita menang lho!
Oh iya, ini Wahyu ._.

+628547436xx
13/05/12 15:04
May, ini Robi. Lagi sakit ya? Sayang banget nggak dateng... kita menang loh :p
Cepet sembuh ya, bikinin smoothies lagi nanti :D

Aku senang mendapat pesan-pesan itu, tapi heran juga kenapa Wira, Wahyu, dan Robi memutuskan untuk mengirimiku pesan singkat juga tentang smoothies-ku. Mungkin Oki atau Satria atau Hannah menyuruh anak-anak tim futsal berterima kasih karena aku sudah membuatkan mereka smoothies.
Aku sampai bingung harus membalas pesan yang mana duluan. Tapi rupanya aku tak harus membalas mereka, karena mendadak bel rumahku berbunyi. Mpok Imah, yang masih tinggal untuk menjagaku, membukakan pintu rumah. Lalu terdengar bunyi-bunyian ramai di ruang tamu, suara cowok dan terdengar suara Hannah. Akane juga mengeong, sepertinya untuk menyambut mereka.
“Mayaaaaa!” teriak Oki.
“Mbak Maya,” Mpok Imah tiba di pintu kamarku, tempat aku sedang berusaha turun dari tempat tidur. “Temen-temennya dateng...”
Mendadak pusingku hilang, dan aku nyaris berlari menuju ruang tamu. Tujuh orang cowok berdiri disana, Hannah dengan rambut pirang yang dikuncir dua duduk di kursi, Akane di pangkuannya.
“Hai,” ujarku.
Hannah bangkit dan memelukku erat sekali. “Kakaak,” katanya dengan suara melengking. “Miracle banget lho kita bisa menang...”
“Pertandingannya...?”
“Tadinya seri, 3-3, terus Kak Satria dijegal anak teknik sampe jatuh,” cerita Hannah, membuatku cemas. “Panas banget tadi pertandingannya...”
“Terus?”
“Tapi terus Kak Oki,” aku bisa melihat rona merah di pipi Hannah ketika dia menyebutkan nama cowok yang ditaksirnya itu dan melirik Oki sedikit, “dia ngegolin lagi dua, habis itu pertandingannya kita yang kuasai,” cerita Hannah bahagia.
“Syukurlah,” kataku, senang. “Baguslah...”
“Kamu oke?” tanya Oki.
Aku mengangguk.
Anak-anak tim futsal beramai-ramai mengucapkan terima kasih padaku atas smoothies yang sengaja kubuat meski aku sedang sakit. Dan ternyata setelah itu mereka tidak berniat langsung pulang, tetapi malah menyetel DVD playerku dan memutar video SNSD. Mendadak ruang televisiku jadi arena dance. Aku menghindar dan duduk di kursi ruang tamu.
Mpok Imah membuatkan es jeruk untuk mereka semua – Oki tidak mengizinkan aku ikut minum es jeruk – dan es jeruk itu habis dalam waktu semenit. Mpok Imah tergesa-gesa membuat es teh – yang lebih gampang dibuat.
Aku menyeruput teh hijau panas dan duduk dengan posisi favoritku di sofa – duduk memeluk lutut. Kupandangi Oki dan Hannah yang sedang bernyanyi riang, dan aku ikut senang melihat mereka.
Tak lama, Satria muncul membawa segelas es teh. Tampaknya ia juga berniat menghindari keramaian dan duduk di sebelahku di ruang tamu.  
“Udah baikan?” tanya Satria duluan, sebelum aku mengangkat topik dirinya yang dijegal lawan.
“Aku tidur seharian, kayaknya sih oke,” kataku. “Nggak enak juga tapi tidur seharian...”
Dia menenggak es tehnya.
“Kakimu... nggak apa-apa?” tanyaku.
Kaki Satria dibalut perban.
“Terkilir sedikit,” jawab Satria pelan. “But I’m fine.
You told me not to hurt myself,” kataku, “tapi kamu sendiri...”
“Ini kan kecelakaan,” Satria nyengir.
“Tapi tetap saja,” ujarku, jengkel, menyeruput teh hijauku.
“Tetap saja?”
Aku menggeleng, tapi menjawab dalam hati: Tetap saja membuatku cemas.
Kami berdua duduk dalam diam, sesekali terdengar dia yang meneguk es tehnya, dan aku yang menyeruput teh hijauku. Sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing, sama-sama melihat kegaduhan di ruang televisiku, sama-sama tertawa melihat Ary menarikan Sorry, Sorry.
Tapi memang tak ada hal lain yang aku inginkan selain ini.
Just stay here, please. And don’t go anywhere.
* * *

Done at 11:12, Rabu, 25 April 2012

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates