2 Jun 2020

Di semesta dimana Satria dan Maya ditakdirkan bersama.

Ia mengerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya ruangan yang lebih terang sejak ia tidur semalam. Rupanya sinar matahari sudah menyinari ruangan, masuk dari sela-sela ventilasi jendela.

Kemudian ia mendadak tersadar, dan langsung menoleh secepat kilat ke arah kirinya.

Perempuan itu masih ada, membelakanginya, bahunya naik turun perlahan sesuai ritme napasnya.

Satria menghela napas lega. Ia menatap langit-langit, terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawa, sebelum ia merangkul tubuh perempuan di sampingnya, yang bergerak begitu ia mengeratkan pelukannya.

“Hm,” gumam perempuan itu, tampaknya protes karena terbangun.

“Sori,” kata Satria, membenamkan mukanya ke dalam rambut Maya. “Mimpi buruk.”

Maya tidak menjawab – sepertinya ia kembali tidur setelah membuat dirinya nyaman di pelukan Satria. Satria mendengus geli.

Benar. Itu semua hanya mimpi.

* * *

Satria kembali dari supermarket dan menemukan Maya di dapur, sedang memandangi isi kulkas dan kelihatannya bicara pada diri sendiri untuk memutuskan apakah sawi yang dibelinya dua minggu yang lalu itu masih layak untuk dimakan.

“Kubelikan tomat,” kata Satria, menaruh kresek-kresek berisi belanjaannya di lantai. “Maaf lama, tadi isi bensin.”

Tetapi Maya sepertinya tidak ambil pusing dengan Satria yang terlambat pulang. “Aku bingung mau masak apa,” curhat Maya, duduk di lantai dan membongkar belanjaan setelah mengeluarkan sawi dan menutup kulkas.  

Satria mengambil sawi dan menimbang-nimbang apakah tanaman itu tidak akan membunuh dirinya dan Maya jika mereka benar-benar akan memasaknya. “Menurutku nggak apa-apa,” komentar Satria, lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci sawi. “Ditumis saja?”

Maya mengangguk, lalu mulai mengatur sayur mayur di dalam kulkasnya yang nyaris kosong. Satria membelikan semua yang ia minta, tetapi Maya menemukan dua bungkus es krim di plastik yang berbeda dari plastik sayur. Perempuan itu tersenyum simpul, lalu menaruhnya di dalam freezer.

Didekatinya Satria yang sedang memotong-motong sawi, kemudian ia menyelipkan kedua tangannya ke sisi Satria, memeluknya hati-hati dari belakang.

“Eh, aku lagi pegang pisau,” ucap Satria yang benar-benar kaget. Ia menjauhkan pisau dari dirinya dan Maya. “Kenapa?”

Maya mengeratkan pelukannya. “Aku yang coklat, ya.”

Oh. Kedua sudut bibir Satria naik.

* * *

“Tadi malam mimpi apa?”

Satria harus memutar otaknya selama sekian detik untuk menyadari apa yang dibicarakan perempuan yang sedang menyeruput teh hangat di sampingnya ini.

“Lho, kamu ingat? Aku pikir kamu belum bangun tadi,” jawab Satria. “Bukan... bukan sesuatu yang penting.”

Bohong. Kau terus mengingatnya seharian ini, karena mimpi itu terasa nyata.

Maya menatapnya lama. Satria tidak berani menatap Maya lama-lama, dan mengalihkan perhatiannya pada televisi yang menyala.

“Lihat, kamu mengalihkan pandangan.”

Suara Maya mulai bergetar, dan Satria menangkapnya sebagai tanda awal ia akan marah. Hanya tanda awal. Satria bisa mengatasi ini.

“Aku... mimpi kamu dan aku tidak saling kenal.”

Maya mengedikkan kepalanya. “Hm?”

“Di semesta yang lain. Dunia terbalik?” Satria menertawakan leluconnya sendiri. “Kamu tidak kenal aku, aku tidak kenal kamu, dan entah kenapa dunia kita masih berjalan sebagaimana mestinya.”

Ini adalah hal yang paling ditakutkan Satria. Tidak logis rasanya ia tidak mengenal Maya, hanya memandangnya dari kejauhan, tanpa Maya tahu Satria melihatnya, tanpa Maya tahu Satria menginginkannya, tetapi tidak ada yang aneh dari hidupnya. Tidak ada rasa kehilangan dari dirinya.

Maya terdiam. “Dan... dan itu mimpi buruk buat kamu?” tanyanya, matanya menunduk memandang gelas teh hangat di genggamannya.

Lelaki itu mengangguk pelan. “Bagaimana... bagaimana aku bisa hidup tanpa kamu, May?”

Maya mengelus pipi Satria pelan. Satria bersandar pada sentuhan itu.

Satria tidak tahu kenapa Maya hanya tersenyum sedih memandangnya.  

* * *

Di semesta dimana dunia Satria dan Maya berjalan sebagaimana mestinya.

Ia mengerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan ruangan yang terang itu. Baru saja ada yang memukul punggungnya, membuat ia terkejut dan bingung mendapati dirinya duduk menelungkup di kursi. Satria merasa punggungnya pegal dan ia menyesal kenapa tertidur dengan posisi tidak nyaman seperti itu.

“Udah bangun, Sat?” sindir temannya, geli. Ia menaruh gelas berisi kopi hangat di meja Satria.

“Trims, Bow.” Satria buru-buru menyeruput kopi itu karena ia butuh kafein untuk meneruskan pekerjaannya malam ini. “Yang lain mana?” tanya Satria, melihat ruangan itu nyaris kosong.

“Cari makan,” jawab Bowo singkat, duduk di kursinya sendiri di seberang meja Satria dan meneguk kopinya sendiri.

Satria mengangguk-angguk, meski ia ragu teman-teman kantornya akan bisa menemukan penjual makanan di luar dini hari begini. Mungkin jika mereka beruntung, penjual nasi goreng di sudut jalan masih buka, ah... nasi goreng dengan sawi kayaknya enak...

Kemudian ia mendadak tersadar. Dipandanginya tangan kirinya. Diliriknya bingkai foto di meja kerjanya. Diperiksanya daftar kontak di dalam ponselnya.

Tanpa-cincin.

Tanpa-Maya.

Satria menghela napas, lalu mengacak rambutnya.

Benar. Itu semua hanya mimpi.

* * *

 

Songs:

DAY6 – Afraid

Monsta X – Find You

Moonbyul – Absence

 

 

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates