Dua Semesta (1)
Di semesta dimana Satria dan Maya ditakdirkan bersama.
Ia
mengerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya ruangan yang lebih
terang sejak ia tidur semalam. Rupanya sinar matahari sudah menyinari ruangan,
masuk dari sela-sela ventilasi jendela.
Kemudian
ia mendadak tersadar, dan langsung menoleh secepat kilat ke arah kirinya.
Perempuan itu masih ada, membelakanginya, bahunya naik turun perlahan sesuai ritme napasnya.
Satria
menghela napas lega. Ia menatap langit-langit, terdiam sejenak untuk
mengumpulkan nyawa, sebelum ia merangkul tubuh perempuan di sampingnya, yang
bergerak begitu ia mengeratkan pelukannya.
“Hm,”
gumam perempuan itu, tampaknya protes karena terbangun.
“Sori,”
kata Satria, membenamkan mukanya ke dalam rambut Maya. “Mimpi buruk.”
Maya
tidak menjawab – sepertinya ia kembali tidur setelah membuat dirinya nyaman di
pelukan Satria. Satria mendengus geli.
Benar. Itu semua hanya mimpi.
* * *
Satria
kembali dari supermarket dan menemukan Maya di dapur, sedang memandangi isi
kulkas dan kelihatannya bicara pada diri sendiri untuk memutuskan apakah sawi
yang dibelinya dua minggu yang lalu itu masih layak untuk dimakan.
“Kubelikan
tomat,” kata Satria, menaruh kresek-kresek berisi belanjaannya di lantai. “Maaf
lama, tadi isi bensin.”
Tetapi
Maya sepertinya tidak ambil pusing dengan Satria yang terlambat pulang. “Aku
bingung mau masak apa,” curhat Maya, duduk di lantai dan membongkar belanjaan
setelah mengeluarkan sawi dan menutup kulkas.
Satria
mengambil sawi dan menimbang-nimbang apakah tanaman itu tidak akan membunuh
dirinya dan Maya jika mereka benar-benar akan memasaknya. “Menurutku nggak
apa-apa,” komentar Satria, lalu beranjak ke wastafel untuk mencuci sawi. “Ditumis
saja?”
Maya
mengangguk, lalu mulai mengatur sayur mayur di dalam kulkasnya yang nyaris
kosong. Satria membelikan semua yang ia minta, tetapi Maya menemukan dua
bungkus es krim di plastik yang berbeda dari plastik sayur. Perempuan itu
tersenyum simpul, lalu menaruhnya di dalam freezer.
Didekatinya
Satria yang sedang memotong-motong sawi, kemudian ia menyelipkan kedua
tangannya ke sisi Satria, memeluknya hati-hati dari belakang.
“Eh,
aku lagi pegang pisau,” ucap Satria yang benar-benar kaget. Ia menjauhkan pisau
dari dirinya dan Maya. “Kenapa?”
Maya
mengeratkan pelukannya. “Aku yang coklat, ya.”
Oh. Kedua sudut bibir Satria naik.
* * *
“Tadi
malam mimpi apa?”
Satria
harus memutar otaknya selama sekian detik untuk menyadari apa yang dibicarakan perempuan
yang sedang menyeruput teh hangat di sampingnya ini.
“Lho,
kamu ingat? Aku pikir kamu belum bangun tadi,” jawab Satria. “Bukan... bukan
sesuatu yang penting.”
Bohong. Kau terus mengingatnya seharian ini, karena mimpi itu terasa nyata.
Maya
menatapnya lama. Satria tidak berani menatap Maya lama-lama, dan mengalihkan
perhatiannya pada televisi yang menyala.
“Lihat,
kamu mengalihkan pandangan.”
Suara
Maya mulai bergetar, dan Satria menangkapnya sebagai tanda awal ia akan marah.
Hanya tanda awal. Satria bisa mengatasi ini.
“Aku...
mimpi kamu dan aku tidak saling kenal.”
Maya
mengedikkan kepalanya. “Hm?”
“Di
semesta yang lain. Dunia terbalik?” Satria menertawakan leluconnya sendiri. “Kamu
tidak kenal aku, aku tidak kenal kamu, dan entah kenapa dunia kita masih
berjalan sebagaimana mestinya.”
Ini adalah hal yang paling ditakutkan Satria.
Tidak logis rasanya ia tidak mengenal
Maya, hanya memandangnya dari kejauhan, tanpa Maya tahu Satria melihatnya,
tanpa Maya tahu Satria menginginkannya, tetapi tidak ada yang aneh dari
hidupnya. Tidak ada rasa kehilangan
dari dirinya.
Maya
terdiam. “Dan... dan itu mimpi buruk buat kamu?” tanyanya, matanya menunduk
memandang gelas teh hangat di genggamannya.
Lelaki
itu mengangguk pelan. “Bagaimana... bagaimana aku bisa hidup tanpa kamu, May?”
Maya
mengelus pipi Satria pelan. Satria bersandar pada sentuhan itu.
Satria
tidak tahu kenapa Maya hanya tersenyum sedih memandangnya.
* * *
Di semesta dimana dunia Satria dan Maya berjalan sebagaimana mestinya.
Ia
mengerjapkan matanya, menyesuaikan penglihatannya dengan ruangan yang terang
itu. Baru saja ada yang memukul punggungnya, membuat ia terkejut dan bingung
mendapati dirinya duduk menelungkup di kursi. Satria merasa punggungnya pegal
dan ia menyesal kenapa tertidur dengan posisi tidak nyaman seperti itu.
“Udah
bangun, Sat?” sindir temannya, geli. Ia menaruh gelas berisi kopi hangat di
meja Satria.
“Trims,
Bow.” Satria buru-buru menyeruput kopi itu karena ia butuh kafein untuk meneruskan
pekerjaannya malam ini. “Yang lain mana?” tanya Satria, melihat ruangan itu
nyaris kosong.
“Cari
makan,” jawab Bowo singkat, duduk di kursinya sendiri di seberang meja Satria
dan meneguk kopinya sendiri.
Satria
mengangguk-angguk, meski ia ragu teman-teman kantornya akan bisa menemukan
penjual makanan di luar dini hari begini. Mungkin jika mereka beruntung,
penjual nasi goreng di sudut jalan masih buka, ah... nasi goreng dengan sawi kayaknya enak...
Kemudian
ia mendadak tersadar. Dipandanginya tangan kirinya. Diliriknya bingkai foto di
meja kerjanya. Diperiksanya daftar kontak di dalam ponselnya.
Tanpa-cincin.
Tanpa-Maya.
Satria
menghela napas, lalu mengacak rambutnya.
Benar. Itu semua hanya mimpi.
* * *
Songs:
DAY6 – Afraid
Monsta X – Find You
Moonbyul – Absence