Dua Semesta (2)
Di semesta dimana dunia Satria dan Maya berjalan sebagaimana mestinya.
Sebuah botol maskara menggelinding keluar dari pouch make up Maya, tak sempat ditangkap dan jatuh ke lantai. Maya juga tidak segera mengambilnya, karena ia sedang sibuk menggarisi kelopak matanya dengan eyeliner. Ia hanya melirik sekilas sebelum maskara itu menggelinding di lantai kamarnya, kemudian berhenti di kaki seseorang yang baru masuk kamar.
Maya bisa melihat sosok itu dari
cerminnya, tetapi ia masih disibukkan dengan eyeliner, kini beralih menggambar kelopak kiri.
“Hai,” sapa orang itu, menghampiri
Maya yang duduk di meja rias, lalu meletakkan maskara di atas meja. Ia kemudian
duduk di tepi ranjang Maya, mengawasi perempuan itu penuh perhatian.
“Hai...” balas Maya pelan, mulutnya
masih terbuka, menandakan ia sedang berkonsentrasi penuh. “Sebentar ya, Ga.”
“Santai,” jawab Raga, merebahkan diri
di ranjang Maya, meski ia tahu batiknya akan kusut lagi setelah ia menghabiskan
waktu seperempat jam menyetrika.
Maya melirik sejenak ke arah Raga,
yang sudah memejamkan matanya. “Jangan tidur,” pinta Maya sebelum meneruskan
berdandan.
Tidak sampai lima menit kemudian, Raga
mendengkur. Maya menyemprot muka Raga dengan face mist agar ia terbangun.
* * *
Raga mendekati bufet makanan – atau
lebih tepatnya mencoba mendekat,
karena Maya menarik lengannya sebelum ia bergerak lebih jauh. Ketika ia
memandang ke gadis itu, meminta penjelasan, Maya mengedikkan kepalanya ke arah
pelaminan.
“Masih ngantri,” protes Raga,
menunjuk ke barisan memanjang di karpet merah di samping pelaminan, menunggu
giliran bersalaman dengan pengantin. “Nanti saja habis makan.”
Maya menghela napas. Ini resepsi
pernikahan teman lamanya, dan ia sebenarnya ingin menyapa mereka dulu sebelum
menyantap makanan yang disediakan. Untuk sopan santun, mengingat waktu yang
lama pernah memisahkan mereka.
Tetapi Maya bersabar, dan mengangguk
pada Raga yang tersenyum senang dan mengambilkan Maya piring untuk menaruh
makanan.
Mereka menyantap nasi dan sate ayam
sambil berdiri, dan ketika Raga selesai menghabiskan makanannya, ia
meninggalkan Maya untuk mengambil empal gentong. Maya mendekati bufet minuman
dan sedang mengisi gelas kaca kecil dengan jus jeruk, ketika ia mendengar
seseorang memanggilnya.
“May? Maya, kan?”
Gadis itu menoleh dan menemukan seorang
perempuan berdiri di hadapannya, wajahnya tampak girang. “Ya ampun. Sudah lama
tidak ketemu!” mendadak Maya dipeluk oleh perempuan ini, yang Maya sedang
berusaha mengingat-ingat namanya.
“Eh... apa kabar?” ujar Maya
gelagapan, begitu pelukan mereka selesai. Siapa
ya... pasti ini anak klub panahan... angkatan si Raga...
“Baik! Wah, aku sudah menduga akan
ketemu kamu disini! Bareng Raga, kah?”
Maya mengangguk. “Sedang ambil empal
gentong,” jawabnya, “kamu sudah ambil makan?”
“Jenny!” seru seseorang, dan
perempuan yang sedang bicara dengan Maya itu menoleh, tidak jadi menjawab
pertanyaan Maya.
Oh, betul, namanya Jenny. Dan Maya sepertinya kenal suara orang yang berseru barusan,
kini berjalan mendekati mereka, ekspresinya bingung.
“Oh... hai, May. Lama tidak ketemu. Apa
kabar?”
Maya memandang pria itu lama.
“Baik, Sat.”
* * *
Di semesta dimana Satria dan Maya ditakdirkan bersama.
Suara guntur di luar mengagetkan
Maya, yang terbangun dan bingung mendapati dirinya tengah sendirian, berbaring
di dalam selimut di sofa ruang tengah. Ia menoleh ke arah televisi yang
menyala, garis-garis dan bintik-bintik hitam putih memenuhi layarnya.
“Sat?” tanyanya panik, yang ditelan
suara hujan deras. Maya turun dari sofa dan bergidik ketika semilir angin masuk
dari ventilasi. Ia mengambil selimut yang tadi ia kenakan, meskipun ia tidak
ingat mengenakannya sebelum tertidur. Maya menyelubungi dirinya, mematikan
televisi, dan memanggil Satria lagi, lebih keras. “Sat!”
“Di kamar!” terdengar jawaban Satria
yang teredam dinding. Maya setengah berlari menuju kamar, dan menemukan Satria
sedang menggeser kasur, menjauhkannya dari dinding yang tampak rembesan air
mengalir. Maya melempar selimut dan membantu Satria.
Beberapa baskom dan lap lantai
kemudian, Maya dan Satria selesai dan memandangi hasil kerja mereka. Maya
menoleh ke arah Satria, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tetapi
Satria sudah menjawabnya.
“Nanti kubilang Pak Jordi lagi,” sahut Satria, menghela napas. Maya
menepuk punggung Satria pelan.
“Aku ketiduran ya, tadi?” tanya Maya,
beranjak ke dapur. Satria mengikutinya.
“Kita,”
jawab Satria, tertawa. “Kamu sudah lapar? Ayo makan sate ayam nanti malam.”
“Mau bikin teh,” jawab Maya, tetapi
ia teringat sesuatu. Maya menghentikan kegiatannya mengisi ketel dengan air
dari wastafel. Ia meletakkan ketelnya, kemudian memandang punggung Satria
dalam-dalam. Pria itu sedang mengambil mug dari rak.
“Sat,” panggil Maya pelan. Satria
menoleh, tangannya yang memegang mug terhenti di udara.
Ini bukan Satria yang mengenakan jas abu-abu tua, rapi dengan celana dan
pantofel, wangi parfum mahal menguar dari dirinya.
Ini Satria dengan rambut berantakan, kaos oblong, dan celana basket yang
sudah lama tidak dipakai.
Ini Satria-nya.
“Kenapa?”
Maya memandang pria itu lama.
“Nanti makan bakso saja, yuk.”
* * *