9 Jun 2020

Di semesta dimana dunia Satria dan Maya berjalan sebagaimana mestinya. 

Sebuah botol maskara menggelinding keluar dari pouch make up Maya, tak sempat ditangkap dan jatuh ke lantai. Maya juga tidak segera mengambilnya, karena ia sedang sibuk menggarisi kelopak matanya dengan eyeliner. Ia hanya melirik sekilas sebelum maskara itu menggelinding di lantai kamarnya, kemudian berhenti di kaki seseorang yang baru masuk kamar.

Maya bisa melihat sosok itu dari cerminnya, tetapi ia masih disibukkan dengan eyeliner, kini beralih menggambar kelopak kiri.

“Hai,” sapa orang itu, menghampiri Maya yang duduk di meja rias, lalu meletakkan maskara di atas meja. Ia kemudian duduk di tepi ranjang Maya, mengawasi perempuan itu penuh perhatian.

“Hai...” balas Maya pelan, mulutnya masih terbuka, menandakan ia sedang berkonsentrasi penuh. “Sebentar ya, Ga.”

“Santai,” jawab Raga, merebahkan diri di ranjang Maya, meski ia tahu batiknya akan kusut lagi setelah ia menghabiskan waktu seperempat jam menyetrika.

Maya melirik sejenak ke arah Raga, yang sudah memejamkan matanya. “Jangan tidur,” pinta Maya sebelum meneruskan berdandan.

Tidak sampai lima menit kemudian, Raga mendengkur. Maya menyemprot muka Raga dengan face mist agar ia terbangun.

* * *

Raga mendekati bufet makanan – atau lebih tepatnya mencoba mendekat, karena Maya menarik lengannya sebelum ia bergerak lebih jauh. Ketika ia memandang ke gadis itu, meminta penjelasan, Maya mengedikkan kepalanya ke arah pelaminan.

“Masih ngantri,” protes Raga, menunjuk ke barisan memanjang di karpet merah di samping pelaminan, menunggu giliran bersalaman dengan pengantin. “Nanti saja habis makan.”

Maya menghela napas. Ini resepsi pernikahan teman lamanya, dan ia sebenarnya ingin menyapa mereka dulu sebelum menyantap makanan yang disediakan. Untuk sopan santun, mengingat waktu yang lama pernah memisahkan mereka.

Tetapi Maya bersabar, dan mengangguk pada Raga yang tersenyum senang dan mengambilkan Maya piring untuk menaruh makanan.

Mereka menyantap nasi dan sate ayam sambil berdiri, dan ketika Raga selesai menghabiskan makanannya, ia meninggalkan Maya untuk mengambil empal gentong. Maya mendekati bufet minuman dan sedang mengisi gelas kaca kecil dengan jus jeruk, ketika ia mendengar seseorang memanggilnya.

“May? Maya, kan?”

Gadis itu menoleh dan menemukan seorang perempuan berdiri di hadapannya, wajahnya tampak girang. “Ya ampun. Sudah lama tidak ketemu!” mendadak Maya dipeluk oleh perempuan ini, yang Maya sedang berusaha mengingat-ingat namanya.

“Eh... apa kabar?” ujar Maya gelagapan, begitu pelukan mereka selesai. Siapa ya... pasti ini anak klub panahan... angkatan si Raga...

“Baik! Wah, aku sudah menduga akan ketemu kamu disini! Bareng Raga, kah?”

Maya mengangguk. “Sedang ambil empal gentong,” jawabnya, “kamu sudah ambil makan?”

“Jenny!” seru seseorang, dan perempuan yang sedang bicara dengan Maya itu menoleh, tidak jadi menjawab pertanyaan Maya.

Oh, betul, namanya Jenny. Dan Maya sepertinya kenal suara orang yang berseru barusan, kini berjalan mendekati mereka, ekspresinya bingung.

“Oh... hai, May. Lama tidak ketemu. Apa kabar?”

Maya memandang pria itu lama.

“Baik, Sat.”

* * *

Di semesta dimana Satria dan Maya ditakdirkan bersama. 

Suara guntur di luar mengagetkan Maya, yang terbangun dan bingung mendapati dirinya tengah sendirian, berbaring di dalam selimut di sofa ruang tengah. Ia menoleh ke arah televisi yang menyala, garis-garis dan bintik-bintik hitam putih memenuhi layarnya.

“Sat?” tanyanya panik, yang ditelan suara hujan deras. Maya turun dari sofa dan bergidik ketika semilir angin masuk dari ventilasi. Ia mengambil selimut yang tadi ia kenakan, meskipun ia tidak ingat mengenakannya sebelum tertidur. Maya menyelubungi dirinya, mematikan televisi, dan memanggil Satria lagi, lebih keras. “Sat!”

“Di kamar!” terdengar jawaban Satria yang teredam dinding. Maya setengah berlari menuju kamar, dan menemukan Satria sedang menggeser kasur, menjauhkannya dari dinding yang tampak rembesan air mengalir. Maya melempar selimut dan membantu Satria.

Beberapa baskom dan lap lantai kemudian, Maya dan Satria selesai dan memandangi hasil kerja mereka. Maya menoleh ke arah Satria, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tetapi Satria sudah menjawabnya.

“Nanti kubilang Pak Jordi lagi,” sahut Satria, menghela napas. Maya menepuk punggung Satria pelan.

“Aku ketiduran ya, tadi?” tanya Maya, beranjak ke dapur. Satria mengikutinya.

Kita,” jawab Satria, tertawa. “Kamu sudah lapar? Ayo makan sate ayam nanti malam.”

“Mau bikin teh,” jawab Maya, tetapi ia teringat sesuatu. Maya menghentikan kegiatannya mengisi ketel dengan air dari wastafel. Ia meletakkan ketelnya, kemudian memandang punggung Satria dalam-dalam. Pria itu sedang mengambil mug dari rak.

“Sat,” panggil Maya pelan. Satria menoleh, tangannya yang memegang mug terhenti di udara.

Ini bukan Satria yang mengenakan jas abu-abu tua, rapi dengan celana dan pantofel, wangi parfum mahal menguar dari dirinya.

Ini Satria dengan rambut berantakan, kaos oblong, dan celana basket yang sudah lama tidak dipakai.

Ini Satria-nya.

“Kenapa?”

Maya memandang pria itu lama.

“Nanti makan bakso saja, yuk.”

* * *


The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates