18 Jul 2012

Leysa tak sabar menunggu kedatangan Raka ke cafe itu, dan selama lima menit terakhir sejak menutup ponsel, dia masih tersenyum. Sudah lama sekali rasanya, nyaris setahun yang lalu, ketika perpisahan SMA mereka yang penuh tangis air mata, pelukan yang membuat semua baju basah di bagian bahu. Ketika Raka (yang pada waktu itu sudah putus dari Leysa) mengatakan dengan dramatis bahwa ia akan kuliah di Singapore, dan Leysa (yang waktu itu sudah diterima di sebuah universitas di Jogja) yang mendengarnya secara dramatis langsung berurai air mata. Mereka memang masih saling sayang. Sebagai sahabat tentu saja.

Tetapi Leysa tidak mempercayai hubungan persahabatan pria-wanita. Karena dia sendiri masih menyayangi Raka, meski Raka tidak peka dan tidak paham perasaan Leysa. Raka terlalu easy-going. Dalam hubungan mereka mungkin hanya Raka yang menganggap mereka bersahabat.
Leysa? Dia masih berharap pada Raka.
Menyedihkan, memang. Tetapi Leysa cukup senang dengan sikap Raka yang tidak menolak Leysa mengiriminya pesan sewaktu-waktu, atau Skype-an, atau chatting dini hari. Raka selalu bisa ada untuk Leysa.
Mana, mana, pikir Leysa gelisah, memandang dari jendelanya. Dia bisa melihat kondisi jalanan di luar, bisa melihat siapa yang masuk dan keluar cafe, dan itu malah membuatnya berdebar.
Ini Raka. Betulan Raka. Raka-ku.
“Kentang goreng dan frozen cappuccino, Mbak?” mendadak Leysa dikejutkan dengan pelayan yang muncul membawa pesanannya tadi.
“Oh!” Leysa nyaris terlonjak. “Iya, Mas.”
Pelayan cafe meletakkan pesanannya di meja. “Menunggu seseorang ya, Mbak?”
“Emm, semacam itu,” gumam Leysa tersenyum. “Makasih, Mas.”
Sedetik setelah pelayan cafe pergi, Leysa melihat sesosok pria berjaket biru donker mengendarai sepeda motor memasuki halaman cafe. Senyuman Leysa tersungging. Meski sepeda motor dan helm-nya bukan miliknya, tetapi Leysa kenal postur itu. Jaket itu. Dan sepatunya, adalah sneakers yang dibeli Raka bersama Leysa.
Menakjubkan ya, kekuatan cinta.
Leysa menyedot frozen cappuccino-nya sedikit, menelan kekhawatiran yang muncul. Berbagai kalimat sapaan muncul di benaknya, beserta reaksi Raka untuk masing-masing kalimat. Leysa terlalu sibuk  memikirkan ini ketika tiba-tiba saja pria berjaket biru donker itu sudah muncul di depannya.
“Hai,” ujarnya, nyengir lebar. “Apa kabar?”
Leysa bangkit dari duduk, menahan air mata, dan menghambur memeluk cowok di hadapannya. “I’m fine,” gumamnya tersedu. “I’m fine...” mendadak skenario kalimat-kalimat sapaan yang tadi ia susun musnah.
Raka mengelus punggung Leysa, dan tersenyum. “Sa, diliatin orang nih.”
Leysa mengeratkan pelukannya sejenak, dan menghirup wangi Raka. Masih wangi yang sama. Parfum Raka memang tak pernah ganti sejak Leysa mengenalnya kelas satu SMP.
“Dingin ya, di luar?” komentar Raka begitu duduk di kursi di depan Leysa, setelah menyingkirkan jaket dan tas Leysa.
Leysa menatap Raka lemas.

* * *

Shota menyaksikan peristiwa yang terjadi secara runtut. Pertama, Leysa yang tak henti-hentinya memandang keluar jendela dengan wajah gembira. Ia jelas menunggu seseorang. Kedua, wajah Leysa yang mendadak berbinar begitu ada sebuah motor memasuki halaman cafe. Ketiga, Leysa yang melamun dan tidak perhatian dengan keadaan di sekelilingnya. Keempat, reaksi Leysa begitu melihat cowok yang menaiki motor tadi ada di hadapannya. Kelima, air mata Leysa (hanya Shota yang bisa melihatnya dari kejauhan, karena mata Shota sangat tajam) yang menetes pelan ketika ia memeluk cowok itu.
Shota mengira-ngira siapa cowok itu. Penasaran. Bingung. Dan kesal juga, karena cowok itu membuat Leysa menangis, secara teknis. Setidaknya, itu yang dia lihat.
Seingat Shota, belum pernah sekalipun Leysa menampakkan wajah cerianya seperti ini di kampus. Leysa yang diingat Shota adalah Leysa yang berwajah murung, irit bicara, dan hanya tersenyum kalau diperlukan. Leysa tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.
“...jadi, temen-temen, udah tau ya pembagian tugasnya. Bahannya dikirim ke email gue paling lambat dua hari lagi jam delapan malam. Oke?” samar-samar Shota mendengar Tami bicara, dan ia berpaling.
“Gue ngapain?” tanyanya pada Bram, yang langsung menjelaskan tugas Shota.
“Lo ngapain aja sih dari tadi?” Bram bersungut-sungut, menghisap batang rokoknya yang kedua. “Masih ngeliatin Leysa-Leysa lo itu?”
“Gila, kayaknya dia disamperin cowoknya deh. Seneng banget...” Shota melirik lagi ke meja Leysa.
Bram berdiri, menyampirkan tas ke bahunya, kemudian memandangi meja Leysa juga. “Kayaknya sih. Gue mau cabut. Ciao!” tanpa berlama-lama Bram langsung pamit pada Tami (bagaimanapun Bram merasa nilai untuk tugasnya agak bergantung pada ketua kelompoknya ini, maka tidak ada salahnya bersikap agak ramah pada nenek sihir itu) yang masih membereskan laptopnya, dan keluar dari cafe dengan santai.
Shota masih tinggal di meja, menghabiskan es tehnya, sementara teman-teman sekelompoknya pulang.
“Sho, duluan!” kata Dara riang.
Shota mengangguk.
“Nggak pulang, Sho?” tegur Tami. “Nggak nyusul temen lo si gamer itu?”
“Bentar lagi,” kata Tami. “Lo agak sinis ya, sama temen kecil lo sendiri...”
“Karena dia temen kecil gue lah makanya gue sinis,” kata Tami tak acuh. “Duluan.”
“Yo.”
“Leysa!” mendadak Tami memanggil Leysa keras. Yang dipanggil tentu saja menoleh, di tengah-tengah pembicaraannya dengan cowok yang duduk di depannya. Leysa tampak sedang mengadakan obrolan-penuh-canda-tawa ketika ia berhenti dengan wajah berbinar, melihat Tami melambai padanya.
“Oh,” gumam Leysa, tersenyum.
“Duluan, ya...” kata Tami.
“Iya!” Leysa membalas dengan senang, lalu kembali pada obrolannya.
Tami tersenyum bingung, menelengkan kepalanya. “Hm? Tumben...” gumam Tami, yang terdengar oleh Shota.
Shota sama sekali tidak berniat untuk pulang. Dia masih penasaran dengan cowok yang membuat Leysa seperti itu.

* * *

Nah, itu mereka sudah pada pulang, pikir Leysa senang.
“Mikirin apa?” tanya Raka, menyedot frozen cappuccino-nya sendiri. Dia memang punya selera yang sama dengan Leysa, anehnya.
Leysa menggeleng, memandang Raka dengan penuh kasih sayang. Dia tambah ganteng...
“Lo lagi nyari tugas, bukan?” tanya Raka kemudian, sama sekali tidak sadar dipandangi seperti itu.
“Ha? Iya,” ujar Leysa gelagapan. “Gara-gara lo, sih... jadi nggak konsen.”
“Oh, iya? Maaf, deh,” kata Raka, dan dia kelihatan benar-benar minta maaf.
Leysa menatap Raka lagi, pandangan tidak percaya. “Bercanda, Ka...”
“Sini deh gue bantuin,” ujar Raka, menggeser kursinya ke dekat Leysa, untuk memandangi layar laptop berbarengan. “Mau nyari apa?”
Leysa merasa jantungnya berdebar kencang, dan dia berharap Raka mendengarnya. “Eh... itu...” Leysa membalik-balik buku catatannya cepat. Raka mengetik materi yang harus dicari Leysa di Google Books.
“Pengennya jurnal, sih...” pinta Leysa, ketika Raka mendapatkan e-book yang berisi materinya.
“Oh, pake Google Scholar aja kali, ya...”
Mata Leysa sama sekali tidak bisa menatap layar laptop terus-terusan. Pemandangan Raka yang sedang serius dari samping benar-benar mengalihkan perhatiannya.
“...sial, harus di-purchase nih,” komentar Raka, yang tidak didengar Leysa. “Ganti, ganti...”
Raka memilih satu jurnal yang kelihatannya free. “Nah, gimana kalo ini?” Raka menoleh ke samping dan mendapati Leysa memandanginya lekat-lekat. “Kenapa?” tanya Raka tersenyum.
Leysa tidak melepaskan pandangannya. Ia menggeleng. “Nggak apa-apa...” Leysa mendekati Raka sedikit. “Mana, tadi?” akhirnya Leysa menyerah, tak bisa berlama-lama memandang mata Raka, yang balik memandangnya.
Raka menaikkan sudut bibirnya, kemudian menatap layar laptop lagi. “Yang ini, gimana?”
Kali ini mata Leysa tertuju sepenuhnya pada judul jurnal dan abstrak yang sedang dibacanya.
“Bagus juga, aku pake ini deh,” Leysa tersenyum senang, berterima kasih pada Raka, dan perlahan menoleh ke cowok di sampingnya. Giliran mata Raka memandanginya dalam-dalam. “Kenapa?” tanya Leysa tersenyum.
I miss you,” ujar Raka, mengelus kepala Leysa, menariknya ke arahnya.
“LEYSA!”
Raka buru-buru menarik badannya, menjauhkan bibirnya dari dahi Leysa. Leysa membuka matanya. Menyesal.
“Ngerjain tugas juga, ya?” Shota menghampiri meja Leysa dengan senang.
Emosi Leysa sedang berada dalam keadaan yang amat baik hingga Leysa tidak mau merusaknya dengan bersikap dingin pada Shota. Meskipun begitu, dia tidak tersenyum. “Menurut lo?”
“Yaa, kirain mau janjian ketemu doang,” kata Shota, masih dengan senyum cerianya. “Halo,” dia beralih pada Raka, yang memerhatikan Shota sedari tadi. “Gue Shota, temen sekelas Leysa. Lo?” Shota mengulurkan tangannya di depan Raka.
Leysa kebingungan, dan dia sudah hampir menahan Raka, ketika Raka sudah menyambut tangan Shota. “Gue Raka,” katanya. “Mantan temen sekelas Leysa.”
“Oh, temen SMA?” kata Shota menyimpulkan. “Kuliah dimana?”
Kok jadi dia yang rese, pikir Leysa kesal. “Raka kuliah di Singapore. Lo nggak pulang?” ujar Leysa setengah mengusir.
Shota mengangguk-angguk, sadar kalau dirinya diminta pergi, tetapi tetap tersenyum. “Oh.  Ini aku mau balik. Kan mau nyapa kamu dulu,” sahut Shota dengan senyum yang membuat Ingrid terpesona, tetapi tidak dengan Leysa.
Leysa tak acuh. Raka yang berada dalam posisi netral, kebingungan dan hanya bisa mengawasi mereka berdua. Mantan pacarnya yang dingin, serta cowok teman sekelas mantannya itu yang tampaknya mengejar-ngejar Leysa.
“Aku pulang dulu, ya,” kata Shota kemudian. “Yo, Raka.” Dia mengangkat satu tangannya dan Raka mengangguk ramah.
Shota bersiul-siul gembira keluar dari cafe.
“Tadi ngapain ya?” tanya Leysa, mendadak dengan suara yang ramah dan manis. Dipandanginya Raka lekat-lekat.
“Cowok tadi,” kata Raka, setelah diam beberapa saat, “dia bukan cuma temen sekelas lo, kan?”
“Maksud lo apa?” tanya Leysa sambil tertawa sinis. “Dia memang cuma temen sekelas gue. Nggak lebih.”
“Dia menggunakan ‘aku-kamu’ waktu bicara sama lo, dan ‘gue-lo’ waktu bicara sama gue. Menurut lo gimana?”
Leysa menghela napas. “Menurut gue, bukan apa-apa, karena dia emang selalu kayak gitu dari awal gue sekelas sama dia...”
“Menurut gue, cowok itu suka sama lo...” sela Raka.
Kena juga akhirnya. Padahal Leysa sudah berusaha menghindari mengatakan fakta bahwa Shota merepet padanya hampir setiap hari selama setahun ini. Leysa berharap ada bumbu-bumbu cemburu yang menguar dari kalimat-kalimat Raka selanjutnya.
“...dan  menurut pandangan gue, cowok itu ga jelek-jelek amat.”
HAH?
“...kayaknya sih cowok baik-baik, ya...”
GIMANA, GIMANA?
“...blasteran Jepang ya, kayaknya? Matanya sipit gitu...”
APAAN NIH?
“...lo nggak pernah memikirkan kemungkinan jadian sama dia?”
Harapan Leysa musnah seketika.                
“Gimana, Ka?” gumam Leysa gelagapan.
Raka tersenyum. “Lo nggak bisa nerima dia di kehidupan lo, ya?”
Leysa tidak mengerti. Bukannya Raka jauh-jauh datang dari Singapore untuk menemuinya? Bukannya Raka datang untuk... memintanya kembali menjadi pacarnya? Bukan?
Bukan... ya?
“Gue... gue...”
“Sayang lho, Sa. Cowok baik-baik dateng malah disinisin. Ntar kamu nyesel...”
“Gue nggak pernah semenyesal waktu melepas lo pergi ke Singapore, Ka.”
Raka menghela napas. Senyumnya hilang dari bibirnya. “Leysa,” kata Raka kemudian. “Gue... ke Singapore... bukan cuma buat kuliah...”
“Hah? Maksud lo?”
“Gue kesana buat nemuin orang.”
Leysa tertawa. “Iya, orang-orang akademik kampus lo, kan? Lo nggak usah bercanda yang nggak lucu gini deh. Bosen tau.”
“Gue nggak pernah seserius ini sejak membicarakan keputusan kita buat pisah. Lo inget?” kata Raka, matanya memandang mata Leysa.
Tentu saja Leysa mengingatnya. Raka yang biasanya ‘terserah kamu saja, Sayang’ dengan senyuman, kali itu benar-benar memerhatikan setiap kalimat yang dikatakan Leysa, dan mengutarakan pendapat-pendapatnya dengan serius. Bagaimana Leysa bisa melupakannya?
Leysa menolak melihat mata Raka. “Jadi sebenernya lo ke Jogja mau ngapain?”
“Tentu saja buat nemuin lo,” kata Raka, senyumnya muncul lagi. Menenangkan. “Nemuin sahabat gue yang paling baik sedunia...”
Sahabat? Leysa merasa ada yang salah. Perasaannya mendadak gelisah, dan jantungnya berdebar lebih cepat.
“...dan mengatakan padanya, kalau...”
Leysa merasa ingin muntah.
“...I’m getting married, Sa.”

* * *

2 komentar

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates