Story of Leysa (Part II)
Leysa tak sabar
menunggu kedatangan Raka ke cafe itu, dan selama lima menit terakhir sejak
menutup ponsel, dia masih tersenyum. Sudah lama sekali rasanya, nyaris setahun
yang lalu, ketika perpisahan SMA mereka yang penuh tangis air mata, pelukan
yang membuat semua baju basah di bagian bahu. Ketika Raka (yang pada waktu itu
sudah putus dari Leysa) mengatakan dengan dramatis bahwa ia akan kuliah di Singapore,
dan Leysa (yang waktu itu sudah diterima di sebuah universitas di Jogja) yang
mendengarnya secara dramatis langsung berurai air mata. Mereka memang masih
saling sayang. Sebagai sahabat tentu saja.
Tetapi Leysa tidak mempercayai hubungan persahabatan pria-wanita. Karena dia sendiri masih menyayangi Raka, meski Raka tidak peka dan tidak paham perasaan Leysa. Raka terlalu easy-going. Dalam hubungan mereka mungkin hanya Raka yang menganggap mereka bersahabat.
Leysa? Dia masih
berharap pada Raka.
Menyedihkan, memang. Tetapi
Leysa cukup senang dengan sikap Raka yang tidak menolak Leysa mengiriminya
pesan sewaktu-waktu, atau Skype-an, atau chatting dini hari. Raka selalu bisa ada untuk Leysa.
Mana, mana, pikir Leysa gelisah, memandang dari jendelanya. Dia
bisa melihat kondisi jalanan di luar, bisa melihat siapa yang masuk dan keluar
cafe, dan itu malah membuatnya berdebar.
Ini Raka. Betulan Raka. Raka-ku.
“Kentang goreng dan frozen cappuccino, Mbak?” mendadak Leysa
dikejutkan dengan pelayan yang muncul membawa pesanannya tadi.
“Oh!” Leysa nyaris
terlonjak. “Iya, Mas.”
Pelayan cafe meletakkan
pesanannya di meja. “Menunggu seseorang ya, Mbak?”
“Emm, semacam itu,”
gumam Leysa tersenyum. “Makasih, Mas.”
Sedetik setelah pelayan
cafe pergi, Leysa melihat sesosok pria berjaket biru donker mengendarai sepeda
motor memasuki halaman cafe. Senyuman Leysa tersungging. Meski sepeda motor dan
helm-nya bukan miliknya, tetapi Leysa kenal postur itu. Jaket itu. Dan sepatunya,
adalah sneakers yang dibeli Raka bersama Leysa.
Menakjubkan ya,
kekuatan cinta.
Leysa menyedot frozen cappuccino-nya sedikit, menelan
kekhawatiran yang muncul. Berbagai kalimat sapaan muncul di benaknya, beserta
reaksi Raka untuk masing-masing kalimat. Leysa terlalu sibuk memikirkan ini ketika tiba-tiba saja pria
berjaket biru donker itu sudah muncul di depannya.
“Hai,” ujarnya, nyengir
lebar. “Apa kabar?”
Leysa bangkit dari
duduk, menahan air mata, dan menghambur memeluk cowok di hadapannya. “I’m fine,” gumamnya tersedu. “I’m fine...” mendadak skenario
kalimat-kalimat sapaan yang tadi ia susun musnah.
Raka mengelus punggung
Leysa, dan tersenyum. “Sa, diliatin orang nih.”
Leysa mengeratkan
pelukannya sejenak, dan menghirup wangi Raka. Masih wangi yang sama. Parfum
Raka memang tak pernah ganti sejak Leysa mengenalnya kelas satu SMP.
“Dingin ya, di luar?” komentar
Raka begitu duduk di kursi di depan Leysa, setelah menyingkirkan jaket dan tas
Leysa.
Leysa menatap Raka
lemas.
* * *
Shota menyaksikan
peristiwa yang terjadi secara runtut. Pertama, Leysa yang tak henti-hentinya
memandang keluar jendela dengan wajah gembira. Ia jelas menunggu seseorang.
Kedua, wajah Leysa yang mendadak berbinar begitu ada sebuah motor memasuki
halaman cafe. Ketiga, Leysa yang melamun dan tidak perhatian dengan keadaan di
sekelilingnya. Keempat, reaksi Leysa begitu melihat cowok yang menaiki motor
tadi ada di hadapannya. Kelima, air mata Leysa (hanya Shota yang bisa
melihatnya dari kejauhan, karena mata Shota sangat tajam) yang menetes pelan
ketika ia memeluk cowok itu.
Shota mengira-ngira
siapa cowok itu. Penasaran. Bingung. Dan kesal juga, karena cowok itu membuat
Leysa menangis, secara teknis. Setidaknya, itu yang dia lihat.
Seingat Shota, belum
pernah sekalipun Leysa menampakkan wajah cerianya seperti ini di kampus. Leysa
yang diingat Shota adalah Leysa yang berwajah murung, irit bicara, dan hanya
tersenyum kalau diperlukan. Leysa tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.
“...jadi, temen-temen, udah
tau ya pembagian tugasnya. Bahannya dikirim ke email gue paling lambat dua hari
lagi jam delapan malam. Oke?” samar-samar Shota mendengar Tami bicara, dan ia
berpaling.
“Gue ngapain?” tanyanya
pada Bram, yang langsung menjelaskan tugas Shota.
“Lo ngapain aja sih
dari tadi?” Bram bersungut-sungut, menghisap batang rokoknya yang kedua. “Masih
ngeliatin Leysa-Leysa lo itu?”
“Gila, kayaknya dia
disamperin cowoknya deh. Seneng banget...” Shota melirik lagi ke meja Leysa.
Bram berdiri,
menyampirkan tas ke bahunya, kemudian memandangi meja Leysa juga. “Kayaknya
sih. Gue mau cabut. Ciao!” tanpa berlama-lama Bram langsung pamit pada Tami
(bagaimanapun Bram merasa nilai untuk tugasnya agak bergantung pada ketua
kelompoknya ini, maka tidak ada salahnya bersikap agak ramah pada nenek sihir
itu) yang masih membereskan laptopnya, dan keluar dari cafe dengan santai.
Shota masih tinggal di
meja, menghabiskan es tehnya, sementara teman-teman sekelompoknya pulang.
“Sho, duluan!” kata Dara
riang.
Shota mengangguk.
“Nggak pulang, Sho?”
tegur Tami. “Nggak nyusul temen lo si gamer
itu?”
“Bentar lagi,” kata
Tami. “Lo agak sinis ya, sama temen kecil lo sendiri...”
“Karena dia temen kecil
gue lah makanya gue sinis,” kata Tami tak acuh. “Duluan.”
“Yo.”
“Leysa!” mendadak Tami
memanggil Leysa keras. Yang dipanggil tentu saja menoleh, di tengah-tengah
pembicaraannya dengan cowok yang duduk di depannya. Leysa tampak sedang
mengadakan obrolan-penuh-canda-tawa ketika ia berhenti dengan wajah berbinar,
melihat Tami melambai padanya.
“Oh,” gumam Leysa,
tersenyum.
“Duluan, ya...” kata
Tami.
“Iya!” Leysa membalas
dengan senang, lalu kembali pada obrolannya.
Tami tersenyum bingung,
menelengkan kepalanya. “Hm? Tumben...” gumam Tami, yang terdengar oleh Shota.
Shota sama sekali tidak
berniat untuk pulang. Dia masih penasaran dengan cowok yang membuat Leysa
seperti itu.
* * *
Nah, itu mereka sudah pada pulang, pikir Leysa senang.
“Mikirin apa?” tanya
Raka, menyedot frozen cappuccino-nya
sendiri. Dia memang punya selera yang sama dengan Leysa, anehnya.
Leysa menggeleng,
memandang Raka dengan penuh kasih sayang. Dia
tambah ganteng...
“Lo lagi nyari tugas,
bukan?” tanya Raka kemudian, sama sekali tidak sadar dipandangi seperti itu.
“Ha? Iya,” ujar Leysa
gelagapan. “Gara-gara lo, sih... jadi nggak konsen.”
“Oh, iya? Maaf, deh,”
kata Raka, dan dia kelihatan benar-benar minta maaf.
Leysa menatap Raka
lagi, pandangan tidak percaya. “Bercanda, Ka...”
“Sini deh gue bantuin,”
ujar Raka, menggeser kursinya ke dekat Leysa, untuk memandangi layar laptop berbarengan.
“Mau nyari apa?”
Leysa merasa jantungnya
berdebar kencang, dan dia berharap Raka mendengarnya. “Eh... itu...” Leysa membalik-balik
buku catatannya cepat. Raka mengetik materi yang harus dicari Leysa di Google Books.
“Pengennya jurnal,
sih...” pinta Leysa, ketika Raka mendapatkan e-book yang berisi materinya.
“Oh, pake Google
Scholar aja kali, ya...”
Mata Leysa sama sekali
tidak bisa menatap layar laptop terus-terusan. Pemandangan Raka yang sedang
serius dari samping benar-benar mengalihkan perhatiannya.
“...sial, harus di-purchase nih,” komentar Raka, yang tidak
didengar Leysa. “Ganti, ganti...”
Raka memilih satu
jurnal yang kelihatannya free. “Nah,
gimana kalo ini?” Raka menoleh ke samping dan mendapati Leysa memandanginya
lekat-lekat. “Kenapa?” tanya Raka tersenyum.
Leysa tidak melepaskan
pandangannya. Ia menggeleng. “Nggak apa-apa...” Leysa mendekati Raka sedikit.
“Mana, tadi?” akhirnya Leysa menyerah, tak bisa berlama-lama memandang mata
Raka, yang balik memandangnya.
Raka menaikkan sudut bibirnya,
kemudian menatap layar laptop lagi. “Yang ini, gimana?”
Kali ini mata Leysa
tertuju sepenuhnya pada judul jurnal dan abstrak yang sedang dibacanya.
“Bagus juga, aku pake
ini deh,” Leysa tersenyum senang, berterima kasih pada Raka, dan perlahan
menoleh ke cowok di sampingnya. Giliran mata Raka memandanginya dalam-dalam. “Kenapa?”
tanya Leysa tersenyum.
“I miss you,” ujar Raka, mengelus kepala Leysa, menariknya ke
arahnya.
“LEYSA!”
Raka buru-buru menarik
badannya, menjauhkan bibirnya dari dahi Leysa. Leysa membuka matanya. Menyesal.
“Ngerjain tugas juga,
ya?” Shota menghampiri meja Leysa dengan senang.
Emosi Leysa sedang
berada dalam keadaan yang amat baik hingga Leysa tidak mau merusaknya dengan
bersikap dingin pada Shota. Meskipun begitu, dia tidak tersenyum. “Menurut lo?”
“Yaa, kirain mau
janjian ketemu doang,” kata Shota, masih dengan senyum cerianya. “Halo,” dia
beralih pada Raka, yang memerhatikan Shota sedari tadi. “Gue Shota, temen
sekelas Leysa. Lo?” Shota mengulurkan tangannya di depan Raka.
Leysa kebingungan, dan
dia sudah hampir menahan Raka, ketika Raka sudah menyambut tangan Shota. “Gue
Raka,” katanya. “Mantan temen sekelas Leysa.”
“Oh, temen SMA?” kata
Shota menyimpulkan. “Kuliah dimana?”
Kok jadi dia yang rese, pikir Leysa kesal. “Raka kuliah di
Singapore. Lo nggak pulang?” ujar Leysa setengah mengusir.
Shota
mengangguk-angguk, sadar kalau dirinya diminta pergi, tetapi tetap tersenyum. “Oh.
Ini aku mau balik. Kan mau nyapa kamu
dulu,” sahut Shota dengan senyum yang membuat Ingrid terpesona, tetapi tidak dengan
Leysa.
Leysa tak acuh. Raka
yang berada dalam posisi netral, kebingungan dan hanya bisa mengawasi mereka
berdua. Mantan pacarnya yang dingin, serta cowok teman sekelas mantannya itu
yang tampaknya mengejar-ngejar Leysa.
“Aku pulang dulu, ya,”
kata Shota kemudian. “Yo, Raka.” Dia mengangkat satu tangannya dan Raka
mengangguk ramah.
Shota bersiul-siul gembira
keluar dari cafe.
“Tadi ngapain ya?”
tanya Leysa, mendadak dengan suara yang ramah dan manis. Dipandanginya Raka
lekat-lekat.
“Cowok tadi,” kata Raka,
setelah diam beberapa saat, “dia bukan cuma
temen sekelas lo, kan?”
“Maksud lo apa?” tanya
Leysa sambil tertawa sinis. “Dia memang
cuma temen sekelas gue. Nggak lebih.”
“Dia menggunakan ‘aku-kamu’
waktu bicara sama lo, dan ‘gue-lo’ waktu bicara sama gue. Menurut lo gimana?”
Leysa menghela napas.
“Menurut gue, bukan apa-apa, karena dia emang selalu kayak gitu dari awal gue
sekelas sama dia...”
“Menurut gue, cowok itu
suka sama lo...” sela Raka.
Kena juga akhirnya. Padahal
Leysa sudah berusaha menghindari mengatakan fakta bahwa Shota merepet padanya
hampir setiap hari selama setahun ini. Leysa berharap ada bumbu-bumbu cemburu
yang menguar dari kalimat-kalimat Raka selanjutnya.
“...dan menurut pandangan gue, cowok itu ga
jelek-jelek amat.”
HAH?
“...kayaknya sih cowok
baik-baik, ya...”
GIMANA, GIMANA?
“...blasteran Jepang
ya, kayaknya? Matanya sipit gitu...”
APAAN NIH?
“...lo nggak pernah
memikirkan kemungkinan jadian sama dia?”
Harapan Leysa musnah
seketika.
“Gimana, Ka?” gumam Leysa
gelagapan.
Raka tersenyum. “Lo
nggak bisa nerima dia di kehidupan lo, ya?”
Leysa tidak mengerti.
Bukannya Raka jauh-jauh datang dari Singapore untuk menemuinya? Bukannya Raka
datang untuk... memintanya kembali menjadi pacarnya? Bukan?
Bukan... ya?
“Gue... gue...”
“Sayang lho, Sa. Cowok
baik-baik dateng malah disinisin. Ntar kamu nyesel...”
“Gue nggak pernah
semenyesal waktu melepas lo pergi ke Singapore, Ka.”
Raka menghela napas.
Senyumnya hilang dari bibirnya. “Leysa,” kata Raka kemudian. “Gue... ke Singapore...
bukan cuma buat kuliah...”
“Hah? Maksud lo?”
“Gue kesana buat nemuin
orang.”
Leysa tertawa. “Iya,
orang-orang akademik kampus lo, kan? Lo nggak usah bercanda yang nggak lucu
gini deh. Bosen tau.”
“Gue nggak pernah
seserius ini sejak membicarakan keputusan kita buat pisah. Lo inget?” kata
Raka, matanya memandang mata Leysa.
Tentu saja Leysa
mengingatnya. Raka yang biasanya ‘terserah kamu saja, Sayang’ dengan senyuman,
kali itu benar-benar memerhatikan setiap kalimat yang dikatakan Leysa, dan mengutarakan
pendapat-pendapatnya dengan serius. Bagaimana Leysa bisa melupakannya?
Leysa menolak melihat
mata Raka. “Jadi sebenernya lo ke Jogja mau ngapain?”
“Tentu saja buat nemuin
lo,” kata Raka, senyumnya muncul lagi. Menenangkan. “Nemuin sahabat gue yang
paling baik sedunia...”
Sahabat? Leysa merasa ada yang salah. Perasaannya mendadak gelisah,
dan jantungnya berdebar lebih cepat.
“...dan mengatakan
padanya, kalau...”
Leysa merasa ingin
muntah.
“...I’m getting married, Sa.”
* * *
2 komentar
married?
REPLYyes he is ._.
REPLY