Story of Leysa (Part IV)
Presentasi tugas mata
kuliah yang diberikan dosen Leysa untuk kelasnya hari itu berjalan lancar.
Kelompok Leysa adalah yang mendapat kesempatan untuk menjajal presentasi
pertama kali, dengan bimbingan dosen yang cantik dan baik hati. Kadang
keberuntungan Leysa dalam mencabut undian memang tidak bisa dikalahkan.
“...demikian presentasi
dari saya, saya kembalikan pada moderator...” kata Leysa mengakhiri presentasi
singkatnya, dan menyerahkan mic pada moderator presentasi, Diana.
Belum selesai Diana
bicara, beberapa anak sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Antusiasme mahasiswa
dan mahasiswi di kampus untuk mendapat nilai yang baik di mata dosen ini memang
tinggi sekali–dengan cara banyak bertanya pada setiap presentasi, tak peduli
pertanyaannya relevan atau tidak, berkualitas atau tidak.
Shota mengacungkan
tangannya dengan bersemangat, dan senyum riangnya tidak lepas dari wajahnya
semenjak Leysa memulai presentasinya sepuluh menit yang lalu. Leysa berharap
Diana tidak memilih Shota–
“...Shota, Kimmy, dan Ihsan,”
kata Diana, menunjuk satu-satu teman-temannya yang mengacungkan tangan itu. Anak-anak
yang tidak dipilih Diana menurunkan tangannya kecewa, lalu melirik-lirik dosen
mereka yang duduk di kursi belakang, mengawasi jalannya diskusi dengan kertas-kertas
bertebaran di meja, dan pulpen yang tak berhenti bergerak di atas kertas.
Leysa mengeluh keras.
Diana sudah menyerahkan
mic pada Shota dan mempersilakannya untuk mengucapkan pertanyaannya. Shota
memperkenalkan diri dengan menyebut nama lengkap dan nomor mahasiswanya,
sementara operator kelompok presentator mengetiknya di slide. Dosen mereka juga
mencatat data Shota.
“Yang ingin saya
tanyakan,” kata Shota, berdehem. “Bisa kembali ke slide... nomor 7?” pintanya
pada operator laptop, Ratih. Ratih menggerakkan slide hingga sampai ke slide
yang dimaksud Shota.
“Nah, yang itu,” ujar
Shota lancar, kemudian membaca catatannya. “Seperti yang sudah dijelaskan oleh
Saudari Leysa tadi, bahwa...”
Teman-temannya mulai
berseru-seru norak, menggumamkan ‘ciee’ yang lemah, dan beberapa bersiul
kencang. Sudah rahasia umum di kelas ini (dan kampus ini juga, sepertinya)
kalau Shota sedang mengadakan pendekatan pada Leysa sejak setahun yang lalu,
dan sikap Leysa yang, bisa dibilang, menolak Shota masuk ke hidupnya. Namun
beberapa cewek yang menyukai Shota menolak menerima kenyataan ini, dan
terang-terangan ‘menggoda’ Shota di kampus. Ingrid adalah salah satu contohnya.
Di tempat duduknya, di
depan kelas bersama teman-teman satu kelompoknya, Leysa duduk dengan tenang. Kakinya
disilangkan, tangannya dilipat di depan dada. Kepalanya dimiringkan sedikit ke
kanan, wajahnya skeptis. Matanya memandang Shota tajam, seolah-olah siap
menerima tantangan pertanyaan dari Shota.
“Mungkin itu saja
pertanyaan dari saya, dan saya harap Saudari Leysa bisa menjelaskannya lebih
lanjut. Terima kasih...” tutup Shota, disambut riuh rendah sorakan teman-teman
sekelasnya. Diana nyengir, kemudian menerima mic yang disodorkan Shota kembali
padanya.
“Terima kasih, Saudara
Shota. Jadi ini pertanyaan khusus untuk Leysa, ya? Baik...”
Perkataan Diana juga
disambut tawa keras para mahasiswa dan mahasiswi yang mengambil mata kuliah
itu. Dosen mereka, yang toleran, hanya menggeleng-geleng dan tersenyum geli
melihat tingkah anak-anak didiknya yang masih seperti anak SMA itu.
Shota duduk di kursinya
di sebelah Bram. Bram memandanginya datar.
“Apa?” tanya Shota,
yang risih dipandangi oleh temannya.
Bram mengangkat alis. “Nggak.”
“Yak, terima kasih
kepada para penanya, pertanyaannya kami tampung dulu, atau dari kelompok
penyaji, ada yang mau menjawab...?” Diana berkata sembari mengerling
teman-teman sekelompoknya yang sibuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan.
Leysa mengangkat
tangannya.
“Oh, Leysa?” ujar Diana
agak kaget, dan menghampiri cewek itu. Leysa menyambar mic yang diserahkan
Diana.
“Saya Leysa,” kata
Leysa singkat, “ingin menjawab pertanyaan Shota...” dipandanginya cowok itu
lekat-lekat.
Lagi, siulan-siulan
muncul dari setiap sudut kelas. Bram menyikut Shota.
Selagi Leysa menjawab
pertanyaan Shota dengan menjelaskan lebih lanjut slide nomor 7 itu, Shota
menerima tatapan dingin Leysa yang muncul lagi dengan senyuman manis.
“...begitu. Apa sudah
jelas?” tanya Leysa sinis pada Shota yang mendengarkan dengan baik. Shota
nampak serius mencerna kalimat-kalimat Leysa barusan, dan dia sedang berpikir sekarang.
Leysa sedikit banyak kagum juga karena sepertinya Shota benar-benar bertanya, bukan hanya memanfaatkan kesempatan untuk berbicara dengan Leysa.
Lo mikir apaan sih, Sa.
Shota mengernyitkan
dahinya, tampak bingung dengan pernyataan Leysa. “Kalau begitu, bagaimana kamu
menjelaskan kondisi seperti ini...” dia berdiri untuk dilihat lebih jelas, dan
Diana buru-buru menghampiri Shota untuk memberikan mic.
Dalam waktu singkat,
sesi tanya-jawab itu berubah menjadi sesi diskusi personal Leysa dan Shota. Dengungan
yang mirip suara lebah bergaung di kelas, berasal dari gumaman anak-anak yang lebih
tertarik untuk mengobrol daripada mendengarkan diskusi Leysa dan Shota. Diana
meneguk ludahnya, lelah karena berdiri terus-terusan. Teman-teman sekelompok
Leysa yang sudah menemukan jawaban untuk pertanyaan teman-teman yang lain,
sudah duduk santai di kursinya, menguap tanpa bisa ditahan.
“Bagaimana, Saudara
Shota, apa sudah puas dengan jawaban Saudari Leysa?” tanya Diana memastikan, ketika
Shota sudah mengangguk-angguk begitu mendengar jawaban terakhir dari Leysa.
“Begini saja, kalau dirasa masih ada yang mengganjal, bisa didiskusikan di luar
forum diskusi ini, mengingat waktu yang tidak cukup untuk membahas satu topik
ini saja...” ujar Diana menengahi.
Shota mengacungkan
jempolnya pada Diana, yang menghela napas lega.
“Silakan kepada anggota
kelompok yang lain untuk menjawab pertanyaan yang masih tersisa...” kata Diana,
kemudian forum diskusi itu kembali normal.
Leysa duduk lagi di
kursinya. Tanpa dia sadari, Leysa menarik napas panjang dan menghembuskannya. Lega.
* * *
“Diskusi yang menarik,”
komentar Shota, mengagetkan Leysa yang sedang membereskan kertas-kertasnya, ketika
mata kuliah itu selesai. Shota mendadak sudah ada di samping kursinya, dua
tangannya berada di saku jaketnya.
“Apapun lah,” kata
Leysa tak peduli, memasukkan tempat pensilnya dan menyampirkan tas ke bahunya. Ia
berjalan cepat menuju pintu kelas, dan Shota mengikutinya.
“Tapi jujur, aku belum
puas sama jawaban kamu tadi. Gimana kalau kita adain forum diskusi lagi? Yang
lebih santai, di cafe misalnya?” tembak Shota langsung.
Leysa berhenti berjalan.
Dia berbalik untuk menghadap Shota.
“Diskusi tadi nggak
lebih dari sekedar tanya-jawab biasa buat dapetin nilai. Buat apa kita ngadain
forum diskusi yang lain di luar kelas? Menurut gue nggak guna,” kata Leysa
dingin.
Anehnya, Shota terlihat
senang mendengar kalimat Leysa barusan.
“Ngapain lo
senyum-senyum gitu?” bentak Leysa.
Shota nyengir lebar. “Barusan
adalah salah satu kalimat terpanjang yang kamu ucapin ke aku sejak awal
semester ini.”
Leysa mengernyit heran,
mulutnya ternganga tak percaya. Mendengus sinis, Leysa membalikkan badannya dan
membuka pintu kelas dengan kasar, dan berjalan cepat keluar kelas.
Tetapi Shota tentu saja
tak menyerah. Ia mengikuti Leysa setelah menutup pintu kelas yang sudah kosong
itu. Langkah-langkahnya ringan, seolah dirinya sama sekali tidak memikirkan
penolakan Leysa barusan.
“Ngomong-ngomong, es
krimnya udah kamu makan, kan?” tanya Shota, setelah berhasil menyusul Leysa dan
berjalan di belakangnya.
Yang diajak bicara
tidak menoleh sama sekali. Leysa hanya memperbaiki posisi tali tas sandangnya,
mencari posisi yang lebih nyaman.
“Aku cuma nggak mau
kalau lusa ada berita ‘mahasiswi keracunan es krim kedaluwarsa’ di koran...”
gumam Shota santai, geli sendiri.
“Kedaluwarsanya lima
bulan lagi,” kata Leysa, yang berpikir kalau berita yang ditakutkan Shota itu
konyol sekali. “Lo nggak perlu takut. Kecuali kalo lo udah masukin sianida ke
cokelatnya...”
“Tenang aja. Aku nggak
se-phsyco itu kok,” Shota yang sudah
berjalan di samping Leysa nyengir lagi.
Leysa bergidik. “Mau lo
sebenernya apa, sih?” serunya sengit.
“Aku? Apa, ya? Kamu tahu,
nggak?” kata Shota pura-pura berpikir.
“Gue nggak tahu. Nggak
usah ngikutin gue lagi!” kata Leysa, mempercepat jalannya menuju tempat parkir
motor.
“Kalo gitu, jangan
sedih lagi, ya!” sahut Shota riang, menepuk kepala Leysa sekilas, kemudian
berlari mendahului Leysa menuju motornya sendiri.
Apaan sih cowok itu? pikir Leysa bingung. Kan, udah jelas gue nolak dia, tapi kenapa masih kekeuh aja, sih...
Leysa mengelus rambutnya.
Ada rasa lembut dan nyaman yang tak bisa dijelaskan begitu tangan Shota
menyentuh kepalanya tadi.
* * *
Akhir pekan itu Leysa
yang senggang memilih untuk meninggalkan kamar kosannya dan menghabiskan waktu seharian
penuh di luar, sendirian. Udara di luar masih dingin seperti awal pekan lalu, dan
Leysa mengganti jaket yang biasanya ia pakai dengan jaket abu-abu yang lebih
tebal. Leysa juga tidak bisa meninggalkan sarung tangan ungu-nya di kamar. Pukul
sembilan pagi Leysa sudah keluar kamar untuk sarapan bubur ayam di warung
terdekat, kemudian sejam setelahnya ia meluncur menuju Ambarukmo Plaza untuk sekedar
window shopping – Leysa tidak punya
ketertarikan khusus terhadap baju dan sepatu, maka ia jarang sekali shopping betulan di mall.
Tetapi Leysa sudah menabung
uang sakunya dari awal bulan untuk kemudian berfoya-foya menghabiskannya di
toko buku dan bakery. Sudah sebulan
sejak Leysa terakhir mengunjungi Gramedia, dan Leysa menebak pasti sudah ada
dua-tiga komik serial terbaru yang diikutinya.
Leysa melewati
toko-toko baju dan sepatu yang memajang model-model terbaru di plaza itu tanpa
meliriknya sedikitpun, dan menaiki eskalator untuk menuju Gramedia di lantai
tiga. Dalam sekejap ia sudah berada di antara rak-rak yang memajang
komik-komik.
Tebakan Leysa benar –
sudah ada volume terbaru komik Detective
Conan dan GTO alias Great Teacher Onizuka di tumpukan
komik-komik baru. Tanpa berlama-lama, Leysa meraih satu-satu komik favoritnya
itu dan memasukkannya ke tas belanjanya. Kemudian beralih melihat-lihat bagian novel
terjemahan. Ia mencari Agatha Christie, tetapi menemukan satu novel yang berisi
kasus-kasus terbaik Sherlock Holmes yang lebih menarik perhatiannya.
“Mbak Leysa, kan?”
Leysa terserang shock
sesaat begitu melihat siapa yang memanggilnya dengan ramah seperti itu.
“Eh, Mas...” kata Leysa
bingung, memandangi sesosok pemuda tanggung yang tegap dan tersenyum kepadanya.
Leon! Dengan beberapa buku tebal di
tangan kirinya. Leysa kaget karena Leon memakai kacamata hari itu. Pemuda itu
jadi kelihatan... cerdas dan tentu saja, lebih tampan.
“Cari-cari buku, Mbak?”
tanya Leon ramah.
“Eh, iya...” sahut
Leysa gagap, merasa risih dipanggil ‘mbak’ di luar tempat fotokopi yang
biasanya. “Ngng, nggak usah panggil ‘mbak’, deh... ini kan bukan fotokopian,”
Leysa nyengir.
“Haha, iya juga,” kata
Leon tertawa, menaikkan kacamatanya. “Ngomong-ngomong, saya Leon. Just in case...” kata Leon terputus,
bingung meneruskan, “...masa cuma saya yang tahu nama Mbak.”
Leysa berusaha agar
mimik mukanya terlihat seperti orang yang baru saja tahu nama Leon. “Nggak
usah... pake ‘mbak’,” gumam Leysa, pipinya menghangat.
“Ups, sori,” ucap Leon.
Dia tersenyum lagi.
“Suka baca, ya?” tanya
Leysa, menunjuk buku-buku tebal di tangan kiri Leon.
“Oh,” kata Leon,
menggoyangkan tangan kirinya. “Nggak juga.”
“Tapi kayaknya
bacaannya berat.”
“Pram?”
“Apa?” tanya Leysa
bingung.
Leon tersenyum.
“Pramoedya Ananta Toer. Ini,” Leon memperlihatkan sebuah buku tebal berjudul Bumi Manusia pada Leysa, “roman pertama
dari tetralogi Buru, karyanya. Saya udah
lama pengen beli, cuma nggak kesampaian...”
Mendadak Leon berubah
menjadi manusia yang lancar bicara, berbeda dengan bayangan Leysa tentang Leon
(pemuda tampan yang pendiam dan cool, tetapi ramah). Meskipun begitu, Leysa
tetap merasa terpukau oleh suara Leon yang berat dan mata Leon yang indah.
“Kan bener, bacaannya
berat...” Leysa jadi merasa minder sendiri. Diliriknya dua buah komik di tangan
kanannya. Leysa sedang berusaha menyembunyikannya ketika Leon menyahut,
“GTO, ya? Wah, saya
suka banget itu...”
“Beneran?” ujar Leysa
girang, mendadak merasa punya teman untuk diajak mengobrol tentang komik dewasa
itu.
“Iya. Volume terbarunya
udah terbit, ya?” mata Leon yang terbingkai indah mencari-cari tumpukan komik
baru. “Wah, saya baru koleksi dari nomer 3...”
“Ngng, kalau mau,
sih... pinjem punyaku aja. Punyaku lengkap...” saran Leysa malu-malu.
Mata Leon mendadak
berbinar. “Oh iya? Syukurlah...” dia tersenyum lagi, “...saya ketemu... kamu di
sini.”
Leysa tersenyum manis
sekali.
“Mas Leon kuliah
dimana?” tanya Leysa, yang sudah meletakkan Sherlock Holmes-nya kembali ke rak.
“Saya? Saya udah
lulus...” jawab Leon. “Baru saja. Dua bulan yang lalu.”
“Oh, iya? Waah,
selamat, Mas,” kata Leysa, yang kemudian menyesali perkataannya. “Terlambat,
ya? Jurusan apa, Mas?”
Leon tertawa. “Arsitektur...”
Leysa menyela. “Yang
bener, Mas? Dulu aku pengen banget masuk arsitektur... tapi orang tua nggak
setuju. Biasalah...” kata Leysa bertubi-tubi. “Pengen banget anaknya masuk
kedokteran. Mainstream sekali, ya,”
ujar Leysa tertawa. “Udah dapet kerjaan, Mas?”
“Udah, sih. Sebelum
lulus kemarin sempet kerja, part-time,
di studio punya kakak kelas saya. Katanya, setelah saya lulus pun, saya tetep
masih bisa kerja disana...”
“Terus, masih di
fotokopian, Mas?” tanya Leysa bingung. “Kan, udah punya kerjaan...”
Leon mengangguk. “Tentu
saja saya nggak bisa meninggalkan fotokopian itu begitu saja. Saya terlalu
sayang...”
“Sama
pegawai-pegawainya?” sela Leysa lagi, yang masih heran.
“Haha, itu juga. Sudah
saya anggap seperti adik-adik saya sendiri, saudara sendiri. Saya kan, anak
perantauan...” Leon tertawa.
“Ooh...” Leysa
manggut-manggut.
“Lagipula, usaha
fotokopian kan cukup menjanjikan... apalagi kalau ada pelanggan setia
seperti... kamu,” Leon tersenyum, mengarahkan kedua tangannya ke arah Leysa.
“Saya nggak bisa dong melepas fotokopian itu begitu saja...”
“Ha?” sentak Leysa,
mulai mengerti. “Maksudnya...”
“Maksudnya?”
“Mas Leon yang punya fotokopian itu, ya?”
* * *