31 Jul 2012


Presentasi tugas mata kuliah yang diberikan dosen Leysa untuk kelasnya hari itu berjalan lancar. Kelompok Leysa adalah yang mendapat kesempatan untuk menjajal presentasi pertama kali, dengan bimbingan dosen yang cantik dan baik hati. Kadang keberuntungan Leysa dalam mencabut undian memang tidak bisa dikalahkan.
“...demikian presentasi dari saya, saya kembalikan pada moderator...” kata Leysa mengakhiri presentasi singkatnya, dan menyerahkan mic pada moderator presentasi, Diana.
“Terima kasih Saudari Leysa. Berikutnya, akan ada dua sesi pertanyaan, tiga penanya di setiap sesi. Untuk yang ingin bertanya, silakan mengacungkan tangan...”
Belum selesai Diana bicara, beberapa anak sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Antusiasme mahasiswa dan mahasiswi di kampus untuk mendapat nilai yang baik di mata dosen ini memang tinggi sekali–dengan cara banyak bertanya pada setiap presentasi, tak peduli pertanyaannya relevan atau tidak, berkualitas atau tidak.
Shota mengacungkan tangannya dengan bersemangat, dan senyum riangnya tidak lepas dari wajahnya semenjak Leysa memulai presentasinya sepuluh menit yang lalu. Leysa berharap Diana tidak memilih Shota–
“...Shota, Kimmy, dan Ihsan,” kata Diana, menunjuk satu-satu teman-temannya yang mengacungkan tangan itu. Anak-anak yang tidak dipilih Diana menurunkan tangannya kecewa, lalu melirik-lirik dosen mereka yang duduk di kursi belakang, mengawasi jalannya diskusi dengan kertas-kertas bertebaran di meja, dan pulpen yang tak berhenti bergerak di atas kertas.
Leysa mengeluh keras.
Diana sudah menyerahkan mic pada Shota dan mempersilakannya untuk mengucapkan pertanyaannya. Shota memperkenalkan diri dengan menyebut nama lengkap dan nomor mahasiswanya, sementara operator kelompok presentator mengetiknya di slide. Dosen mereka juga mencatat data Shota.
“Yang ingin saya tanyakan,” kata Shota, berdehem. “Bisa kembali ke slide... nomor 7?” pintanya pada operator laptop, Ratih. Ratih menggerakkan slide hingga sampai ke slide yang dimaksud Shota.
“Nah, yang itu,” ujar Shota lancar, kemudian membaca catatannya. “Seperti yang sudah dijelaskan oleh Saudari Leysa tadi, bahwa...”
Teman-temannya mulai berseru-seru norak, menggumamkan ‘ciee’ yang lemah, dan beberapa bersiul kencang. Sudah rahasia umum di kelas ini (dan kampus ini juga, sepertinya) kalau Shota sedang mengadakan pendekatan pada Leysa sejak setahun yang lalu, dan sikap Leysa yang, bisa dibilang, menolak Shota masuk ke hidupnya. Namun beberapa cewek yang menyukai Shota menolak menerima kenyataan ini, dan terang-terangan ‘menggoda’ Shota di kampus. Ingrid adalah salah satu contohnya.
Di tempat duduknya, di depan kelas bersama teman-teman satu kelompoknya, Leysa duduk dengan tenang. Kakinya disilangkan, tangannya dilipat di depan dada. Kepalanya dimiringkan sedikit ke kanan, wajahnya skeptis. Matanya memandang Shota tajam, seolah-olah siap menerima tantangan pertanyaan dari Shota.
“Mungkin itu saja pertanyaan dari saya, dan saya harap Saudari Leysa bisa menjelaskannya lebih lanjut. Terima kasih...” tutup Shota, disambut riuh rendah sorakan teman-teman sekelasnya. Diana nyengir, kemudian menerima mic yang disodorkan Shota kembali padanya.
“Terima kasih, Saudara Shota. Jadi ini pertanyaan khusus untuk Leysa, ya? Baik...”
Perkataan Diana juga disambut tawa keras para mahasiswa dan mahasiswi yang mengambil mata kuliah itu. Dosen mereka, yang toleran, hanya menggeleng-geleng dan tersenyum geli melihat tingkah anak-anak didiknya yang masih seperti anak SMA itu.
Shota duduk di kursinya di sebelah Bram. Bram memandanginya datar.
“Apa?” tanya Shota, yang risih dipandangi oleh temannya.
Bram mengangkat alis. “Nggak.”
“Yak, terima kasih kepada para penanya, pertanyaannya kami tampung dulu, atau dari kelompok penyaji, ada yang mau menjawab...?” Diana berkata sembari mengerling teman-teman sekelompoknya yang sibuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Leysa mengangkat tangannya.
“Oh, Leysa?” ujar Diana agak kaget, dan menghampiri cewek itu. Leysa menyambar mic yang diserahkan Diana.
“Saya Leysa,” kata Leysa singkat, “ingin menjawab pertanyaan Shota...” dipandanginya cowok itu lekat-lekat.
Lagi, siulan-siulan muncul dari setiap sudut kelas. Bram menyikut Shota.
Selagi Leysa menjawab pertanyaan Shota dengan menjelaskan lebih lanjut slide nomor 7 itu, Shota menerima tatapan dingin Leysa yang muncul lagi dengan senyuman manis.
“...begitu. Apa sudah jelas?” tanya Leysa sinis pada Shota yang mendengarkan dengan baik. Shota nampak serius mencerna kalimat-kalimat Leysa barusan, dan dia sedang berpikir sekarang. Leysa sedikit banyak kagum juga karena sepertinya Shota benar-benar bertanya, bukan hanya memanfaatkan kesempatan untuk berbicara dengan Leysa.
Lo mikir apaan sih, Sa.
Shota mengernyitkan dahinya, tampak bingung dengan pernyataan Leysa. “Kalau begitu, bagaimana kamu menjelaskan kondisi seperti ini...” dia berdiri untuk dilihat lebih jelas, dan Diana buru-buru menghampiri Shota untuk memberikan mic.
Dalam waktu singkat, sesi tanya-jawab itu berubah menjadi sesi diskusi personal Leysa dan Shota. Dengungan yang mirip suara lebah bergaung di kelas, berasal dari gumaman anak-anak yang lebih tertarik untuk mengobrol daripada mendengarkan diskusi Leysa dan Shota. Diana meneguk ludahnya, lelah karena berdiri terus-terusan. Teman-teman sekelompok Leysa yang sudah menemukan jawaban untuk pertanyaan teman-teman yang lain, sudah duduk santai di kursinya, menguap tanpa bisa ditahan.
“Bagaimana, Saudara Shota, apa sudah puas dengan jawaban Saudari Leysa?” tanya Diana memastikan, ketika Shota sudah mengangguk-angguk begitu mendengar jawaban terakhir dari Leysa. “Begini saja, kalau dirasa masih ada yang mengganjal, bisa didiskusikan di luar forum diskusi ini, mengingat waktu yang tidak cukup untuk membahas satu topik ini saja...” ujar Diana menengahi.
Shota mengacungkan jempolnya pada Diana, yang menghela napas lega.
“Silakan kepada anggota kelompok yang lain untuk menjawab pertanyaan yang masih tersisa...” kata Diana, kemudian forum diskusi itu kembali normal.
Leysa duduk lagi di kursinya. Tanpa dia sadari, Leysa menarik napas panjang dan menghembuskannya. Lega.

* * *

“Diskusi yang menarik,” komentar Shota, mengagetkan Leysa yang sedang membereskan kertas-kertasnya, ketika mata kuliah itu selesai. Shota mendadak sudah ada di samping kursinya, dua tangannya berada di saku jaketnya.
“Apapun lah,” kata Leysa tak peduli, memasukkan tempat pensilnya dan menyampirkan tas ke bahunya. Ia berjalan cepat menuju pintu kelas, dan Shota mengikutinya.
“Tapi jujur, aku belum puas sama jawaban kamu tadi. Gimana kalau kita adain forum diskusi lagi? Yang lebih santai, di cafe misalnya?” tembak Shota langsung.
Leysa berhenti berjalan. Dia berbalik untuk menghadap Shota.
“Diskusi tadi nggak lebih dari sekedar tanya-jawab biasa buat dapetin nilai. Buat apa kita ngadain forum diskusi yang lain di luar kelas? Menurut gue nggak guna,” kata Leysa dingin.
Anehnya, Shota terlihat senang mendengar kalimat Leysa barusan.
“Ngapain lo senyum-senyum gitu?” bentak Leysa.
Shota nyengir lebar. “Barusan adalah salah satu kalimat terpanjang yang kamu ucapin ke aku sejak awal semester ini.”
Leysa mengernyit heran, mulutnya ternganga tak percaya. Mendengus sinis, Leysa membalikkan badannya dan membuka pintu kelas dengan kasar, dan berjalan cepat keluar kelas.
Tetapi Shota tentu saja tak menyerah. Ia mengikuti Leysa setelah menutup pintu kelas yang sudah kosong itu. Langkah-langkahnya ringan, seolah dirinya sama sekali tidak memikirkan penolakan Leysa barusan.
“Ngomong-ngomong, es krimnya udah kamu makan, kan?” tanya Shota, setelah berhasil menyusul Leysa dan berjalan di belakangnya.
Yang diajak bicara tidak menoleh sama sekali. Leysa hanya memperbaiki posisi tali tas sandangnya, mencari posisi yang lebih nyaman.
“Aku cuma nggak mau kalau lusa ada berita ‘mahasiswi keracunan es krim kedaluwarsa’ di koran...” gumam Shota santai, geli sendiri.
“Kedaluwarsanya lima bulan lagi,” kata Leysa, yang berpikir kalau berita yang ditakutkan Shota itu konyol sekali. “Lo nggak perlu takut. Kecuali kalo lo udah masukin sianida ke cokelatnya...”
“Tenang aja. Aku nggak se-phsyco itu kok,” Shota yang sudah berjalan di samping Leysa nyengir lagi.
Leysa bergidik. “Mau lo sebenernya apa, sih?” serunya sengit.
“Aku? Apa, ya? Kamu tahu, nggak?” kata Shota pura-pura berpikir.
“Gue nggak tahu. Nggak usah ngikutin gue lagi!” kata Leysa, mempercepat jalannya menuju tempat parkir motor.
“Kalo gitu, jangan sedih lagi, ya!” sahut Shota riang, menepuk kepala Leysa sekilas, kemudian berlari mendahului Leysa menuju motornya sendiri.
Apaan sih cowok itu? pikir Leysa bingung. Kan, udah jelas gue nolak dia, tapi kenapa masih kekeuh aja, sih...
Leysa mengelus rambutnya. Ada rasa lembut dan nyaman yang tak bisa dijelaskan begitu tangan Shota menyentuh kepalanya tadi.

* * *

Akhir pekan itu Leysa yang senggang memilih untuk meninggalkan kamar kosannya dan menghabiskan waktu seharian penuh di luar, sendirian. Udara di luar masih dingin seperti awal pekan lalu, dan Leysa mengganti jaket yang biasanya ia pakai dengan jaket abu-abu yang lebih tebal. Leysa juga tidak bisa meninggalkan sarung tangan ungu-nya di kamar. Pukul sembilan pagi Leysa sudah keluar kamar untuk sarapan bubur ayam di warung terdekat, kemudian sejam setelahnya ia meluncur menuju Ambarukmo Plaza untuk sekedar window shopping – Leysa tidak punya ketertarikan khusus terhadap baju dan sepatu, maka ia jarang sekali shopping betulan di mall.
Tetapi Leysa sudah menabung uang sakunya dari awal bulan untuk kemudian berfoya-foya menghabiskannya di toko buku dan bakery. Sudah sebulan sejak Leysa terakhir mengunjungi Gramedia, dan Leysa menebak pasti sudah ada dua-tiga komik serial terbaru yang diikutinya.
Leysa melewati toko-toko baju dan sepatu yang memajang model-model terbaru di plaza itu tanpa meliriknya sedikitpun, dan menaiki eskalator untuk menuju Gramedia di lantai tiga. Dalam sekejap ia sudah berada di antara rak-rak yang memajang komik-komik.
Tebakan Leysa benar – sudah ada volume terbaru komik Detective Conan dan GTO alias Great Teacher Onizuka di tumpukan komik-komik baru. Tanpa berlama-lama, Leysa meraih satu-satu komik favoritnya itu dan memasukkannya ke tas belanjanya. Kemudian beralih melihat-lihat bagian novel terjemahan. Ia mencari Agatha Christie, tetapi menemukan satu novel yang berisi kasus-kasus terbaik Sherlock Holmes yang lebih menarik perhatiannya.
“Mbak Leysa, kan?”
Leysa terserang shock sesaat begitu melihat siapa yang memanggilnya dengan ramah seperti itu.
“Eh, Mas...” kata Leysa bingung, memandangi sesosok pemuda tanggung yang tegap dan tersenyum kepadanya. Leon! Dengan beberapa buku tebal di tangan kirinya. Leysa kaget karena Leon memakai kacamata hari itu. Pemuda itu jadi kelihatan... cerdas dan tentu saja, lebih tampan.
“Cari-cari buku, Mbak?” tanya Leon ramah.
“Eh, iya...” sahut Leysa gagap, merasa risih dipanggil ‘mbak’ di luar tempat fotokopi yang biasanya. “Ngng, nggak usah panggil ‘mbak’, deh... ini kan bukan fotokopian,” Leysa nyengir.
“Haha, iya juga,” kata Leon tertawa, menaikkan kacamatanya. “Ngomong-ngomong, saya Leon. Just in case...” kata Leon terputus, bingung meneruskan, “...masa cuma saya yang tahu nama Mbak.”
Leysa berusaha agar mimik mukanya terlihat seperti orang yang baru saja tahu nama Leon. “Nggak usah... pake ‘mbak’,” gumam Leysa, pipinya menghangat.
“Ups, sori,” ucap Leon. Dia tersenyum lagi.
“Suka baca, ya?” tanya Leysa, menunjuk buku-buku tebal di tangan kiri Leon.
“Oh,” kata Leon, menggoyangkan tangan kirinya. “Nggak juga.”
“Tapi kayaknya bacaannya berat.”
“Pram?”
“Apa?” tanya Leysa bingung.
Leon tersenyum. “Pramoedya Ananta Toer. Ini,” Leon memperlihatkan sebuah buku tebal berjudul Bumi Manusia pada Leysa, “roman pertama dari tetralogi Buru, karyanya. Saya udah lama pengen beli, cuma nggak kesampaian...”
Mendadak Leon berubah menjadi manusia yang lancar bicara, berbeda dengan bayangan Leysa tentang Leon (pemuda tampan yang pendiam dan cool, tetapi ramah). Meskipun begitu, Leysa tetap merasa terpukau oleh suara Leon yang berat dan mata Leon yang indah.
“Kan bener, bacaannya berat...” Leysa jadi merasa minder sendiri. Diliriknya dua buah komik di tangan kanannya. Leysa sedang berusaha menyembunyikannya ketika Leon menyahut,
“GTO, ya? Wah, saya suka banget itu...”
“Beneran?” ujar Leysa girang, mendadak merasa punya teman untuk diajak mengobrol tentang komik dewasa itu.
“Iya. Volume terbarunya udah terbit, ya?” mata Leon yang terbingkai indah mencari-cari tumpukan komik baru. “Wah, saya baru koleksi dari nomer 3...”
“Ngng, kalau mau, sih... pinjem punyaku aja. Punyaku lengkap...” saran Leysa malu-malu.
Mata Leon mendadak berbinar. “Oh iya? Syukurlah...” dia tersenyum lagi, “...saya ketemu... kamu di sini.”
Leysa tersenyum manis sekali.
“Mas Leon kuliah dimana?” tanya Leysa, yang sudah meletakkan Sherlock Holmes-nya kembali ke rak.
“Saya? Saya udah lulus...” jawab Leon. “Baru saja. Dua bulan yang lalu.”
“Oh, iya? Waah, selamat, Mas,” kata Leysa, yang kemudian menyesali perkataannya. “Terlambat, ya? Jurusan apa, Mas?”
Leon tertawa. “Arsitektur...”
Leysa menyela. “Yang bener, Mas? Dulu aku pengen banget masuk arsitektur... tapi orang tua nggak setuju. Biasalah...” kata Leysa bertubi-tubi. “Pengen banget anaknya masuk kedokteran. Mainstream sekali, ya,” ujar Leysa tertawa. “Udah dapet kerjaan, Mas?”
“Udah, sih. Sebelum lulus kemarin sempet kerja, part-time, di studio punya kakak kelas saya. Katanya, setelah saya lulus pun, saya tetep masih bisa kerja disana...”
“Terus, masih di fotokopian, Mas?” tanya Leysa bingung. “Kan, udah punya kerjaan...”
Leon mengangguk. “Tentu saja saya nggak bisa meninggalkan fotokopian itu begitu saja. Saya terlalu sayang...”
“Sama pegawai-pegawainya?” sela Leysa lagi, yang masih heran.
“Haha, itu juga. Sudah saya anggap seperti adik-adik saya sendiri, saudara sendiri. Saya kan, anak perantauan...” Leon tertawa.
“Ooh...” Leysa manggut-manggut.
“Lagipula, usaha fotokopian kan cukup menjanjikan... apalagi kalau ada pelanggan setia seperti... kamu,” Leon tersenyum, mengarahkan kedua tangannya ke arah Leysa. “Saya nggak bisa dong melepas fotokopian itu begitu saja...”
“Ha?” sentak Leysa, mulai mengerti. “Maksudnya...”
“Maksudnya?”
“Mas Leon yang punya fotokopian itu, ya?”

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates