9 Jul 2012

“Suaramu hilang?” tanyanya padaku.
Aku tersedak ketika sedang batuk-batuk. Kalau aku tidak salah ingat, ini pertama kalinya dalam semester ini dia bicara padaku.
“Iya,” kataku susah payah. Tetapi aku bahkan tidak mengeluarkan suara sekecilpun – yang ada malah tenggorokanku sakit. Aku terbatuk lagi.
“Semoga cepat sembuh,” katanya lagi, lalu pergi.
Aku mengangguk, menyerah untuk bicara. Aku memandanginya yang berjalan keluar kantin, menuju teman-temannya yang sedang berkerumun di luar.
Cuma kebetulan, gumamku mengerti. Cuma kebetulan bertabrakan ketika hendak  mengambil makanan yang sama di kantin, kemudian saling tahu bahwa sekelas, maka ia mengajakku bicara. Untuk basa-basi. Itu saja.
Aku menarik sebuah kertas dari saku celanaku, kemudian menulisnya untuk memesan makanan pada penjual makanan di kantin kampusku. Aku menulis ‘gado-gado 1, es teh 1’.
Penjual makanan – yang biasanya aku panggil dengan ‘Bu’ menoleh padaku ketika aku menyodorkan kertas itu, dan membacanya. “Suaranya hilang, ya, Mbak? Kalau begitu gado-gadonya yang nggak pedes, ya?” katanya.
Aku mengangguk. Mulutku samar-sama mengucapkan ‘terima kasih’.
“Es tehnya ganti teh anget aja, Bu,” kata seseorang di belakangku.
Aku berbalik, dan memandang gambar garuda tepat di depanku. Dia. Dia yang mengenakan kaus hitam dengan gambar garuda besar berwarna putih di bagian depan kausnya. Dia yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam, dan menyandang tas cokelatnya. Dia yang barusan kulihat keluar kantin, ternyata sudah masuk lagi dan tahu kalau aku memesan es teh.
“Masa suara hilang masih minum es teh,” protesnya. “Tenggorokanmu bisa makin sakit. Suaramu bisa tambah lama seraknya.”
Ibu kantin mengangguk setuju. Kemudian ia menyampaikan pesananku pada orang yang bertugas masak di belakang.
Aku mengernyitkan dahi. Kupandang manusia berkaus garuda itu lama.
“Bodoh,” katanya, menggaruk kepalanya. “Aku malah lupa kalau aku mau pesan gado-gado.”
Aku nyaris tertawa, tetapi malah batuk-batuk lagi. Kueratkan lilitan syal di leherku, menghangatkan leher.  Kemudian aku menulis di kertas lagi: panggil saja ibunya.
Kuperlihatkan kertas itu padanya, sementara ia memandangi kertasku.
“BU! GADO-GADONYA TAMBAH SATU.” Ia berteriak.
Terdengar sahutan mengerti dari ibu kantin di belakang.
Aku beranjak dari counter itu, menyimpan kertasku dan pulpen di saku. Kupilih meja paling sudut di kantin itu – aku biasanya tidak-terlihat. Beberapa teman menyapaku, memang. Bertanya kenapa aku sendirian, dan kujawab dengan senyuman saja. Aku terlalu lelah untuk bicara, dan tenggorokanku gatal setengah mati. Biasanya aku memang memaksakan diri, tetapi untuk kali ini, kubiarkan tubuhku berlaku apa saja.
Kulihat pemuda berkaus garuda tadi masih mondar-mandir di counter, mengamati roti-roti yang tertumpuk di atas meja.
Aku tidak memedulikannya, tapi sedikit banyak aku menebak-nebak kenapa dia kembali lagi ke kantin, padahal kupikir ia tadi sudah makan, dan hendak pergi bersama teman-temannya. Sekarang setelah aku pikirkan, kulihat teman-temannya sudah tidak ada lagi di luar kantin. Masa sih mereka meninggalkannya?
Dia kan bukan aku.
Aku tertawa sendiri. Tetapi itu malah membuatku batuk. Beberapa orang menoleh ke arahku, dengan pandangan penasaran akan siapa yang barusan membuat suara yang menganggu acara makan mereka. Aku menunduk minta maaf.
Kemudian teh hangat-ku muncul; teh hangat yang dipesankan dia. Aku mengangguk, berterima kasih pada seorang perempuan yang membawakan pesananku, kemudian menyeruput tehku. Rasanya enak sih, membuat hangat tenggorokanku. Aku menunggu lagi, menunggu gado-gadoku muncul.
Sementara itu aku sudah tidak memerhatikan pemuda berkaus garuda tadi. Aku sudah tidak peduli. Apakah dia berhasil mendapatkan gado-gadonya atau tidak, atau bagaimana, aku tidak peduli.
Kukeluarkan MP3 playerku, dan kumainkan lagu dari Davichi dan T-Ara berjudul We Were In Love. Secara pribadi aku menyukai lagu ini, sungguh. Beberapa saat aku mengangguk-angguk seiring dengan melodi yang dinyanyikan enam perempuan cantik dari Korea ini. Sesekali aku ingin mengikuti mereka bernyanyi, tetapi aku mesti berdehem untuk menghilangkan serakku. Aku tahu suaraku yang seperti ini malah tidak enak didengar, apalagi ketika bernyanyi. Aku berusaha mengembalikan suaraku seperti semula.
Kemudian ada yang berdiri di dekat mejaku, dan berkata “tadi pesan gado-gado, Mbak?”.
Aku melepas earphone-ku. Mengangguk, lalu mendongak.
Bukan perempuan yang sama yang mengantarkan teh hangatku tadi. Tapi malah si pemuda berkaus garuda. Ia tersenyum padaku. Mendadak tenggorokanku gatal, dan aku batuk-batuk lagi.
Dia membawa nampan yang diatasnya ada dua piring gado-gado, dan segelas es teh. Aku mengira ia menunggu di counter sampai pesanannya – dan pesananku – selesai dibuat, kemudian membawanya ke mejaku.
“Kursinya kosong, kan?” tanyanya, mengacu pada kursi kosong di depanku.
Dia kan bisa lihat sendiri.
“Kamu nggak bareng siapa-siapa kan?” tanyanya lagi, duduk di kursi itu.
DIA KAN BISA LIHAT SENDIRI!
Aku tidak berkata apa-apa, dan tersenyum padanya. Kusendokkan gado-gado itu dan kusuapkan ke mulutku.
“Sebenarnya kacang juga bikin suaramu tambah serak, lho,” kata pemuda yang duduk di depanku. “Suaramu bisa jadi lama sembuhnya.”
Aku tidak protes. Tetapi kupandangi ia lama, sembari mengunyah campuran lontong-tahu-sayur di mulutku. Dia hanya minum es tehnya melalui sedotan. Sama sekali mengabaikan pandanganku. Padahal biasanya orang yang kupandangi dengan pandangan ini akan terdiam membisu, menundukkan kepalanya.
“Gado-gadonya selalu enak, ya?” katanya.
“Kukira kamu sudah makan,” gumamku, kaget sendiri mendengar suaraku yang serak.
“Belum, kok.”
Aku tidak bicara lagi. Empat kata yang kukeluarkan barusan membuat tenggorokanku semakin sakit. Kuminum teh hangatku.
Kemudian aku dan dia sama-sama terpesona oleh gado-gado yang kami makan. Menghabiskan waktu beberapa menit untuk mengunyah dan menelan gado-gado itu sampai tidak ada yang tersisa di piring. Piringku dan piringnya sama-sama kosong.
Aku menghabiskan teh hangatku, kemudian berniat berdiri, kalau tidak tertahan oleh ucapan pemuda yang makan di depanku tadi.
“Tunggu deh,” ujarnya. “Kuliah kan mulai sejam lagi. Ngobrol-ngobrol dulu deh. Sambil nunggu makanannya turun,” katanya, tersenyum. “Lagipula, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”
Aku terpaksa duduk. “Apa?” kataku pelan.
Dia mengeluarkan catatannya. Kukira ia hendak bertanya sesuatu mengenai mata kuliah sebelumnya. Aku sudah akan menolak – karena aku sama sekali payah di mata kuliah ini. Tetapi ia malah merobek selembar kertas dari binder-nya. Lalu ia menulis sesuatu di kertas yang dia sobek barusan.
Ia menyodoriku kertas itu. Kubaca tulisannya.
Would you...
Mendadak mataku berkunang-kunang, tiba-tiba entah kenapa aku lupa cara membaca kalimat dalam bahasa Inggris itu, dan aku mendengar ringtone ponselku berdering. Aku mengutuk siapa yang meneleponku dalam situasi seperti ini.
* * *
Ternyata bukan telepon, tetapi alarm. Alarm sangat keras yang selalu membangunkanku setiap pagi... seperti sekarang. Hanya saja, ini bukan di pagi hari.
Ini di ruang kesehatan, dan aku mendapati diriku terbaring di tempat tidur, dengan alarmku berbunyi. Aku ingat menyetel alarm pada pukul sebelas siang untuk mengingatkanku melakukan sesuatu. Alarm itu berbunyi nyaring. Untungnya ruang kesehatan siang itu tidak ramai orang – faktanya, aku sendirian di ruang kesehatan. Aku baru ingat, kepalaku pusing mendadak ketika sedang kuliah pagi, dan aku dibawa paksa ke ruang ini karena teman-teman melihat wajahku pucat.
“Sudah baikan?” tanya dokter yang kemudian muncul.
Aku mengangguk.
“Jangan minum es, ya. Suaramu akan kembali dalam dua hari, kalau kamu tidak mengikuti keinginanmu minum es,” ujar dokter itu, melihat catatannya.
Aku nyengir. “Iya, Dok,” kataku lambat.
“Tidak usah memaksakan bicara, kalau tenggorokanmu masih sakit,” senyum dokter itu.
Aku turun dari tempat tidur setelah susah payah mengatakan terima kasih pada dokter yang sudah berbaik hati menjagaku selama dua jam terakhir. Kuraih tasku yang tergeletak di lantai. Kemudian pergi keluar ruang kesehatan, menuju kantin untuk makan siang. Perutku berkeruyuk, meski tidak keras. Aku tersadar belum makan pagi.
Di kantin aku menemukan tinggal sebungkus roti cokelat-strawberry merk kesayanganku. Kupandangi dengan penuh kasih sayang, dan kemudian kuulurkan tanganku untuk mengambilnya – sayang sekali yang terambil malah tangan orang lain yang tiba-tiba ada di atas roti itu. Aku buru-buru menarik tanganku.
“Oh?” kata orang yang tangannya tidak sengaja kupegang itu. “Mau roti ini?”
Aku mengangguk. Meskipun kaget karena kalau aku tidak salah ingat, ini adalah pertama kalinya di semester ini dia bicara padaku.
“Suaramu hilang, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk lagi. “Iya,” kupaksakan mulutku bicara. Kemudian aku batuk-batuk.
“Ini,” katanya, menyerahkan roti itu padaku. “Buatmu saja. Aku sudah kenyang,” senyumnya. “Jadi berapa tadi, Bu, gado-gado sama es tehnya?” dia bertanya pada ibu kantin. “Eh, sama roti ini satu,” ia menunjuk roti coklat-strawberry yang ada di genggamanku.
“Aku bisa bayar sendiri,” kataku, tapi tidak terdengar. Kurogoh sakuku untuk mencari uang kecil. Tetapi terlambat, ibu kantin sudah menerima beberapa lembar uang dari orang yang memberiku roti itu.
“Nggak apa-apa, anggap saja ucapan maaf,” dia tersenyum lagi. “Semoga cepat sembuh.”
Dia lalu pergi.
Aku memandangi punggungnya yang tergesa-gesa keluar kantin, menghampiri teman-temannya yang berkerumun di luar. Mungkin karena sadar masih kupandangi, dia tiba-tiba menoleh ke arah kantin, memandangku, dan mengangkat tangannya. Seorang teman menyadarinya yang mengucapkan salam perpisahan padaku, dan mereka mendadak ramai, menyindir-nyindirnya. Dia terlihat tertawa-tawa, kemudian mereka pergi.
Kebetulan? Atau ini masih mimpi, sih?
Aku ngeri sendiri. Tapi aku tak bisa melepaskan senyum dari mulutku.
Pemuda berkaus garuda. Dengan jaket kulit hitam, dan tas warna cokelat.
Seseorang yang sudah kusukai sejak dua tahun terakhir. Seseorang yang mati-matian aku berusaha untuk tidak terlihat menyukainya.
Tapi kalau kejadiannya begini, mana bisa aku tidak tersenyum?
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates