Story of Leysa (Part III)
Shota menaiki motornya,
berniat meninggalkan cafe itu secepat mungkin, dan menghabiskan waktu membaca
komik di kamar kosannya. Shota tidak berharap yang macam-macam terhadap
hubungan Leysa dan Raka, tetapi sebenarnya Shota juga menginginkan Raka
cepat-cepat kembali ke Singapore lagi.
Tetapi pandangan Shota teralihkan pada peristiwa yang terjadi secara mendadak yang dilihatnya melalui kaca spion. Dia bisa melihat melalui kaca spion motornya, di dalam cafe, di balik jendela itu, di meja di samping jendela. Leysa mendadak berdiri, menutup laptopnya, memasukkannya ke tas laptop, menyambar jaket dan tasnya, kemudian menyentakkan genggaman tangan Raka, dan berjalan amat cepat menuju kasir.
Tetapi pandangan Shota teralihkan pada peristiwa yang terjadi secara mendadak yang dilihatnya melalui kaca spion. Dia bisa melihat melalui kaca spion motornya, di dalam cafe, di balik jendela itu, di meja di samping jendela. Leysa mendadak berdiri, menutup laptopnya, memasukkannya ke tas laptop, menyambar jaket dan tasnya, kemudian menyentakkan genggaman tangan Raka, dan berjalan amat cepat menuju kasir.
Raka bahkan tidak
bergerak dari kursinya. Dia hanya tertunduk, bertampang menyesal, tangannya
terkepal di atas meja. Bagaimanapun, pemilik cafe beruntung Raka tidak sampai
memukul meja keras-keras dan membuat keributan di cafe itu.
Shota mengerling ke
pintu cafe, dimana Leysa yang sudah mengenakan jaket dan menyampirkan tas keluar
dengan tergesa-gesa, wajahnya tampak sangat kesal. Annoyed. Cemberut seperti biasa, dan entah kenapa, ada rasa senang
yang tak bisa dijelaskan di hati Shota.
Leysa tampaknya
menyadari bahwa Shota belum meninggalkan cafe sejak ia mengusirnya dari mejanya
tadi. Motor Shota masih terparkir, bahkan mesinnya belum dinyalakan, dengan
Shota yang mengenakan helm duduk di atasnya. Leysa melirik ke arah Shota
sejenak sebelum berjalan menuju motor matic
birunya.
“Yo,” kata Shota ramah,
mengangkat satu tangannya dan tersenyum.
Leysa mengabaikannya,
dan memberikan selembar uang ribuan kepada tukang parkir yang sudah
menghampirinya. Tukang parkir itu membantu Leysa mengeluarkan motor matic
birunya dari posisi parkir Leysa yang terpepet dua motor di sebelahnya.
“Hati-hati, ya,” kata
Shota lagi, ketika motor Leysa berada di belakang motornya, beserta pemiliknya.
Leysa menghela napas
panjang sekali, kemudian menaiki motor dan menyalakannya. Ia tidak melirik ke
arah Shota ketika mengendarai motornya keluar halaman cafe. Padahal mata Shota
tak bisa lepas dari punggung Leysa bahkan sejak Leysa keluar cafe tadi.
”Well,” gumam Shota, mengunci helm-nya, dan menyalakan mesin
motornya. “Somebody needs some help.”
* * *
Seperti biasa, Leysa
masuk kamar dengan gedubrakan, membuka kunci pintu dengan kasar, membuka pintu hingga
menjeblak, menutup pintu lagi, melempar tas ke kasur (yang isinya langsung
bertebaran keluar, karena Leysa tidak menutup resleting tasnya), meletakkan tas
laptop yang ada isinya ke meja belajar, kemudian ambruk ke kasur. Diraihnya bantal
berbentuk bulan sabit, kemudian dipeluknya erat-erat. Ia ingin sekali menangis.
Ia ingin sekali berteriak kencang-kencang. Tapi, dia hanya bisa merasakan marah,
jengkel, dan kecewa – serta sedikit bumbu sedih – tanpa melampiaskannya sampai
lega. Bagaimanapun dia melempar-lempar barang, menimbulkan suara-suara keras
hingga mengganggu penghuni kos yang lain, dia tidak akan merasa lega.
Napas Leysa terengah,
dan mulai sesak. Leysa bangkit, meraih gelas di rak piring kecil, kemudian
memompa galonnya yang mengeluarkan air mengisi gelasnya. Ditenggaknya air
jernih itu sampai habis, lalu Leysa berbaring lagi di kasur. Tentu dengan bantal
bulan sabit yang setia.
Jadi Raka mau menikah. Tidak–bukan
mau, tetapi akan. Raka sudah akan
menikah. Kepergiannya ke Singapore bukan cuma untuk kuliah, tetapi menemui
calon istrinya. Cewek yang katanya sudah dijodohkan dengan Raka sejak kecil. Katanya. Leysa baru pertama kali
mendengar hal konyol ini, dan langsung dari mulut Raka yang disayanginya.
Ralat, yang dulu disayanginya. Sampai tadi sore.
Leysa memiringkan
badannya ke kanan. Dilihatnya isi tasnya berantakan di kasur.
Tadi Raka sudah hampir
menyerahkan undangan pernikahannya yang bernuansa biru-putih. Leysa membenci
undangan itu sedetik setelah Raka mengeluarkannya dari tasnya, karena biru
adalah warna kesukaannya, sejak Leysa duduk di bangku TK. Dan harusnya Raka
tahu betul hal itu.
Kenapa Raka bisa sejahat itu, sih?
Undangan putih-biru itu
tergeletak di meja cafe, dengan nama Raka dan calon istrinya tertera di sana. Yang
ada di kotak nama penerima, adalah nama lengkap Leysa, serta alamatnya di
Jogja. Sang calon mempelai pria sendiri yang mengantarnya langsung ke penerima.
Leysa tidak menyentuh
undangan itu, hanya meliriknya sinis, kemudian beranjak pergi setelah
membereskan barang-barangnya dengan cepat. Leysa mengingat cengkraman tangan
Raka yang memintanya tinggal, yang kemudian disentakkannya dengan kasar.
LO NGGAK PANTES DAPETIN RAKA, SA.
Percuma. Percuma lo nunggu setahun ini buat balikan sama dia, menjaga
hubungan kayak gini, berpura-pura di balik nama persahabatan, sementara lo berharap
lebih ke dia. Harusnya lo tahu dari awal kalo Raka memang nggak sayang lagi
sama lo.
TAPI TADI DIA MAU NYIUM GUE, KAN? Hati Leysa memberontak. TEPAT SEBELUM COWOK SIPIT ITU MANGGIL GUE...
Shota. Nama itu
mendadak terlintas di pikiran Leysa.
“...kayaknya dia cowok baik-baik...”
“...sayang lho, orang kayak gitu lo sinisin.
Nanti lo nyesel...”
“...menurut gue, dia suka sama lo.”
“Lo nggak pernah memikirkan kemungkinan jadian sama dia?”
SIALAN, pikir Leysa geram. RAKA
SIALAANNN...
“Mbak Leysa,” panggil
seseorang dari luar. “Mbak?”
Leysa terperanjat. “Iya,”
Leysa beranjak dari kasur, mengusap matanya, dan merapikan rambut. “Kenapa?”
begitu dia membuka pintu kamar, dilihatnya Wini, teman satu kosannya yang masih
kuliah tingkat satu, berdiri dengan tumpukan cucian di tangannya.
“Ada yang nyariin Mbak
Leysa di luar,” kata Wini. “Cowok...”
“Cowok?” tanya Leysa
heran. “Kayak gimana orangnya?” Leysa mengambil sisir dari atas meja dan mulai
menyisir rambutnya.
“Ganteng, Mbak. Putih. Tinggi.
Rambutnya agak panjang, tapi nggak gondrong. Pake poni...” Wini yang penasaran
malah masuk kamar Leysa dan duduk di ranjang Leysa, mengamati senior kosannya bercermin.
Leysa menghentikan
kegiatannya menyisir rambut. “Bentar. Matanya sipit?” tebak Leysa.
“Iya, Mbak. Kayak
orang-orang Jepang gitu lho, Mbak. Ganteng banget. Temen sekelasnya Mbak Leysa,
ya? Mbak beruntung banget punya temen sekelas gitu...”
Mendadak Leysa merasa
lemas. “Hah. Nggak beruntung sama sekali deh,” ujar Leysa malas, melempar
sisirnya ke kasur. “Ah, harusnya kamu bilang aku nggak ada...”
“Lho? Kok gitu, Mbak?” Wini
bengong. “Kan, sayang...”
“Kamu nggak ngerti
sih,” ujar Leysa, menghela napas panjang. “Yuk ah,” dia mendorong Wini keluar
kamar bersama cucian yang baru diangkatnya, kemudian Leysa mengunci kamarnya.
“Mbak Leysa habis
nangis kah?” tanya Wini sebelum dia masuk kamarnya sendiri. “Hidung Mbak
merah.”
Leysa menggosok-gosok
hidungnya. “Gatel tadi.”
* * *
“Yo!” kata Shota begitu
dia melihat Leysa keluar dari pintu depan kos-kosan untuk menemuinya. Seperti
biasa, satu tangannya terangkat, dan satu tangan lagi dimasukkannya ke saku
jaket kulitnya.
“Mau ngapain lo?” Leysa
berada dalam mode waspada dengan tidak membuka pintu pagar kosan yang membatasi
dirinya dan Shota yang duduk di atas motornya di luar pagar.
“Menghibur kamu,” kata
Shota langsung. “Lagi sedih kan?”
“Gue nggak butuh
dihibur, jadi pulang aja mendingan,” ujar Leysa sinis.
“Yah, mau dikemanain
dong es krim dan cokelat sebanyak ini,” Shota mengangkat sebuah kantung plastik
hitam berukuran sedang di tangan kanannya.
“Makan aja sendiri,”
kata Leysa.
Shota melihat mata
Leysa sedikit berkilau ketika mendengar kata es krim dan cokelat.
“Aku nggak makan
makanan manis,” ujar Shota lembut, sambil tersenyum dan berdiri dari motornya. “Tapi
aku tau kamu selalu makan makanan manis.”
Nggak percuma gue ngamatin dia tiap belanja di S-Mart, kata Shota
dalam hati. Matanya yang berbinar-binar
setiap ngelewatin rak cokelat, atau liat kulkas es krim, dan ragu-ragu
memasukkan chocolate snack favoritnya
waktu keranjang belanjanya udah penuh...
“Lo stalking gue, ya?”
tanya Leysa dingin.
Shota menggeleng,
mendekati pagar. Leysa mundur selangkah. “Cuma mau bersikap baik.”
Leysa tampak ragu-ragu.
“Bersikap baik nggak gitu juga caranya. Merepet gue setiap hari di kampus.”
“Terus gimana? Datang
dari luar negeri cuma buat nemuin kamu dan ngasih undangan pernikahan?”
“Apaan sih?” sentak
Leysa sengit. Marah. Merasa kehidupan pribadinya diusik. Meskipun begitu, Leysa
bingung juga kenapa Shota mengetahui hal itu. Pertengkarannya dengan Raka di
cafe tidak sekentara itu kan?
Shota tertawa. “Aku
bercanda, kali. Marah banget... jangan-jangan beneran ya?”
Leysa tak tahan. “Pulang
sana!”
Awalnya Shota hanya
bercanda, tetapi sekarang ia mengerti dari reaksi Leysa barusan. Leysa memang
ditinggal nikah oleh Raka.
Keparat cowok itu.
“Kamu punya kulkas?”
tanya Shota kemudian.
“Hah?” sahut Leysa
heran.
“Punya nggak?” ulang
Shota, dengan senyuman.
“Gue... nggak punya...”
jawab Leysa, pertahannya melemah.
“Kulkas bareng? Kulkas
kosan?”
“A-a-ada... sih...” kata
Leysa gelagapan. “Ngapain sih nanya-nanya?” semprotnya lagi.
“Supaya aku bisa
tenang,” kata Shota, yang sudah ada di depan pagar dan Leysa tidak
menyadarinya. Shota lalu mengaitkan kantung plastik itu di salah satu pucuk
pagar yang berbentuk panah, kemudian menghampiri motornya sendiri, memakai
helm, dan menyalakan mesin.
“HEH!” teriak Leysa
yang kebingungan. “BELANJAAN LO NGGAK USAH DITINGGAL DISINI BISA?”
Shota menoleh, membuka
kaca helm-nya. “Oh, itu. Buat kamu aja. Kan aku nggak makan makanan manis?”
katanya, tersenyum.
Leysa mengambil kantung
plastik dari pagar untuk memberikannya kembali pada Shota, tetapi terlambat. Shota
sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi.
“Dihabisin, ya!
Kedaluwarsanya tiga hari lagi!” kata Shota, sebelum ia menjalankan motornya. Dan
meninggalkan Leysa yang bingung setengah mati.
“Dia mau bunuh gue,
apa?” decak Leysa kesal. Ia mengintip ke dalam kantung plastik. Ada dua bungkus
es krim stik rasa cokelat, dan lima cokelat batangan ukuran kecil. Leysa meraih
sebatang cokelat dan membaca tanggal kedaluwarsanya.
“Dasar pembual.”
Masih ada waktu lima
bulan sebelum cokelat itu tidak boleh dimakan lagi.
* * *
“Dimanaaa... dimanaa... dimaaannaa... kuharuuuss... mencariii...
kemanaaa... Mbak, uangnya Mbak...”
Lagu Ayu Ting Ting yang
dikombinasikan dengan permintaan untuk diberi uang itu terdengar samar-samar di
telinga Leysa. Siang itu di perempatan, Leysa terjebak lampu merah yang lamanya
sekitar 120 detik. Masih ada 50 detik lagi sebelum lampu merah berganti dengan
lampu hijau.
Leysa mengangkat
sedikit tangan kanannya, memberi isyarat ‘tidak’ kepada pengamen kecil yang menghampirinya
tadi.
“...buat sekolah,
Mbak...” anak kecil yang Leysa perkirakan berusia 9-10 tahun itu ngotot.
“Maaf, Dek,” kali ini
Leysa angkat bicara.
“Kalo gitu, minumnya
aja, Mbak... haus, Mbak...”
“Hah?” Leysa bingung.
Anak itu menunjuk ke botol berisi teh hijau yang ada di bagasi depan motor
Leysa.
Absurd sekali.
“Maaf ya, Dek... saya juga
haus,” kata Leysa kesal. Siapa sih ibu
anak ini?
Lampu hijau yang ditunggu-tunggu akhirnya menyala.
Anak kecil itu buru-buru menepi ke pinggir jalan. Leysa mengamatinya sampai
anak itu berhenti di depan ruko yang tutup. Leysa kaget begitu melihat ada
seorang ibu berbaju kumal dengan jarik yang diselempangkan di bahu dan topi yang
sama kumalnya, menyambut kedatangan pengamen kecil tadi.
Masa sih itu ibunya, pikir Leysa dalam hati.
DIIIIINNN!
Leysa terlonjak kaget. Dia
belum bergerak sejak lampu hijau menyala tadi, dan membuat pengendara di
belakangnya merasa harus mengambil tindakan untuk mengingatkan Leysa. Leysa marah
pada dirinya sendiri, lalu memacu motornya menyeberangi perempatan.
Harusnya ibu-ibu itu kan bisa kerja. Masih sehat gitu kok. Jadi
pembantu, kek... bikin usaha apa, kek... jahit, kek. Jangan malah nyuruh
anak-anak ngamen asal-asalan di perempatan juga, keluh Leysa jengkel, sembari
mengendarai motornya di jalur lambat.
Kecepatan motor matic Leysa melambat begitu dia sampai
di depan sebuah fotokopian yang cukup besar. Tempat fotokopi ini selalu ramai, terutama
oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang menyusun skripsi seperti akhir-akhir ini. Leysa
suka ke tempat ini karena selain harganya murah, Leysa juga sering dapat diskon
kalau dia berniat menjilid handout-handout
dari slide dosen yang tebal-tebal itu.
Belum lagi
pegawai-pegawainya yang ramah dan ganteng-ganteng.
Oke, ini alasan utama
Leysa.
“Mau nge-print, Mas,”
kata Leysa ketika seorang pegawai menghampirinya dari balik counter. Pegawai
favorit Leysa, yang tinggi dan berbadan bagus. Leysa pernah tahu bahwa mas-mas
ini tadinya bekerja di sebuah tempat fitness.
“Monggo, Mbak. Mbak
Leysa, kan?” ujar pegawai itu ramah.
Leysa mengangguk
senang. Ia berjalan ke tempat komputer-komputer yang bertugas untuk membuka
file yang akan di-print. Dibukanya
file ber-ekstensi .docx itu, dibacanya
sebentar, lalu Leysa mengatur settingan printer.
Mau tak mau Leysa merasa berterima kasih pada Raka karena file itu adalah
review jurnal yang dipilihkan Raka di cafe kemarin sore.
“Mbak Leysa?” panggil
pemuda yang tadi menyilakan Leysa menge-print.
File milik Leysa sudah selesai di-print.
Leysa beranjak dari
tempat duduk dan menghampiri counter, menyaksikan pegawai fotokopian merapikan kertas-kertasnya.
“Berapa, Mas?”
“Dua ribu lima ratus
saja, Mbak,” jawab pegawai itu ramah. “Mau dijilid, Mbak?”
“Nggak usah, Mas.”
Pemuda itu menjepit
kertas-kertas Leysa dengan staples. Leysa mengaduk-aduk isi tasnya untuk
mencari dompet kecil tempat menyimpan uang kecil – dua ribuan, seribuan, dan
uang-uang koin. Ia menyerahkan selembar uang dua ribuan dan satu koin lima
ratusan pada pemuda itu, yang wangi parfumnya menggelitik hidung Leysa. Leysa
tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih ketika pemuda itu mengangguk ramah
padanya.
Leysa sempat melihat
nama yang dibordir di seragam pegawai itu. Namanya Leon.
Nama yang bagus untuk orang yang bagus, pikir Leysa gembira,
sembari menarik resleting jaketnya.
* * *
“Halo, Sho, lo punya
komik yang judulnya Bloody Monday nggak?”
“...haah?”
“Bloody Monday?”
“...ng?”
“Lo ngigo? Bangun,
oiiii.”
Shota meletakkan
ponselnya di kasur, menguap keras-keras, menggaruk-garuk kepalanya, melakukan peregangan
tubuh di tempat tidurnya, baru kemudian meraih lagi ponselnya. Bram menunggu
Shota dengan sabar.
“Apa, Bram?” kata Shota
jelas.
“Bloody Monday,” kata
Bram jelas.
“Ooh,” Shota berdiri, kemudian
melihat-lihat rak bukunya yang rapi. “Ada, nih. Sampe nomer 10. Kenapa?”
“Pinjem dong gue, sepuluh-sepuluhnya.”
“Tumben lo nggak minjem
One Piece gue,” komentar Shota, berbaring lagi di kasurnya setelah mengambil Eyeshield
21 volume 17.
“Urgent nih, urgent. Si Ingrid
ternyata suka Bloody Monday. Gue harus baca biar omongannya nyambung sama
dia...”
“It won’t work...” gumam Shota geli. Dia tidak bisa percaya cerita
teman-temannya yang rela menyukai sesuatu yang baru cuma untuk mendekati
seorang cewek. Menurut Shota, itu sama saja dengan merendahkan harga diri. Tetapi
ia tidak memprotes Bram. Bram tidak bisa diprotes.
“Apa, Sho?” tanya Bram.
“Nggak.”
Bram menutup teleponnya
sesegera mungkin. Shota menegakkan bantalnya, kemudian berbaring di atasnya sembari
membaca Eyeshield 21.
Pura-pura suka barang yang sama, ya, pikir Shota, tidak membaca
Eyeshield 21. Rasanya percuma saja...
“Ah, sialan si Bram, ganggu
gue tidur aja...” Shota menguap, melempar komiknya ke lantai kamarnya, kemudian
menggeliat dan merangkul gulingnya, bersiap tidur lagi. Melanjutkan mimpi
indahnya tentang Leysa yang cantik jelita, menyambutnya dengan ramah.
Shota tersenyum dalam
tidurnya. Membiarkan fantasi-fantasinya berkeliaran dalam mimpinya.
* * *