24 Jul 2012

Shota menaiki motornya, berniat meninggalkan cafe itu secepat mungkin, dan menghabiskan waktu membaca komik di kamar kosannya. Shota tidak berharap yang macam-macam terhadap hubungan Leysa dan Raka, tetapi sebenarnya Shota juga menginginkan Raka cepat-cepat kembali ke Singapore lagi.
Tetapi pandangan Shota teralihkan pada peristiwa yang terjadi secara mendadak yang dilihatnya melalui kaca spion. Dia bisa melihat melalui kaca spion motornya, di dalam cafe, di balik jendela itu, di meja di samping jendela. Leysa mendadak berdiri, menutup laptopnya, memasukkannya ke tas laptop, menyambar jaket dan tasnya, kemudian menyentakkan genggaman tangan Raka, dan berjalan amat cepat menuju kasir.
Raka bahkan tidak bergerak dari kursinya. Dia hanya tertunduk, bertampang menyesal, tangannya terkepal di atas meja. Bagaimanapun, pemilik cafe beruntung Raka tidak sampai memukul meja keras-keras dan membuat keributan di cafe itu.
Shota mengerling ke pintu cafe, dimana Leysa yang sudah mengenakan jaket dan menyampirkan tas keluar dengan tergesa-gesa, wajahnya tampak sangat kesal. Annoyed. Cemberut seperti biasa, dan entah kenapa, ada rasa senang yang tak bisa dijelaskan di hati Shota.
Leysa tampaknya menyadari bahwa Shota belum meninggalkan cafe sejak ia mengusirnya dari mejanya tadi. Motor Shota masih terparkir, bahkan mesinnya belum dinyalakan, dengan Shota yang mengenakan helm duduk di atasnya. Leysa melirik ke arah Shota sejenak sebelum berjalan menuju motor matic birunya.
“Yo,” kata Shota ramah, mengangkat satu tangannya dan tersenyum.
Leysa mengabaikannya, dan memberikan selembar uang ribuan kepada tukang parkir yang sudah menghampirinya. Tukang parkir itu membantu Leysa mengeluarkan motor matic birunya dari posisi parkir Leysa yang terpepet dua motor di sebelahnya.
“Hati-hati, ya,” kata Shota lagi, ketika motor Leysa berada di belakang motornya, beserta pemiliknya.
Leysa menghela napas panjang sekali, kemudian menaiki motor dan menyalakannya. Ia tidak melirik ke arah Shota ketika mengendarai motornya keluar halaman cafe. Padahal mata Shota tak bisa lepas dari punggung Leysa bahkan sejak Leysa keluar cafe tadi.
Well,” gumam Shota, mengunci helm-nya, dan menyalakan mesin motornya. “Somebody needs some help.”

* * *

Seperti biasa, Leysa masuk kamar dengan gedubrakan, membuka kunci pintu dengan kasar, membuka pintu hingga menjeblak, menutup pintu lagi, melempar tas ke kasur (yang isinya langsung bertebaran keluar, karena Leysa tidak menutup resleting tasnya), meletakkan tas laptop yang ada isinya ke meja belajar, kemudian ambruk ke kasur. Diraihnya bantal berbentuk bulan sabit, kemudian dipeluknya erat-erat. Ia ingin sekali menangis. Ia ingin sekali berteriak kencang-kencang. Tapi, dia hanya bisa merasakan marah, jengkel, dan kecewa – serta sedikit bumbu sedih – tanpa melampiaskannya sampai lega. Bagaimanapun dia melempar-lempar barang, menimbulkan suara-suara keras hingga mengganggu penghuni kos yang lain, dia tidak akan merasa lega.
Napas Leysa terengah, dan mulai sesak. Leysa bangkit, meraih gelas di rak piring kecil, kemudian memompa galonnya yang mengeluarkan air mengisi gelasnya. Ditenggaknya air jernih itu sampai habis, lalu Leysa berbaring lagi di kasur. Tentu dengan bantal bulan sabit yang setia.
Jadi Raka mau menikah. Tidak–bukan mau, tetapi akan. Raka sudah akan menikah. Kepergiannya ke Singapore bukan cuma untuk kuliah, tetapi menemui calon istrinya. Cewek yang katanya sudah dijodohkan dengan Raka sejak kecil. Katanya. Leysa baru pertama kali mendengar hal konyol ini, dan langsung dari mulut Raka yang disayanginya.
Ralat, yang dulu disayanginya. Sampai tadi sore.
Leysa memiringkan badannya ke kanan. Dilihatnya isi tasnya berantakan di kasur.
Tadi Raka sudah hampir menyerahkan undangan pernikahannya yang bernuansa biru-putih. Leysa membenci undangan itu sedetik setelah Raka mengeluarkannya dari tasnya, karena biru adalah warna kesukaannya, sejak Leysa duduk di bangku TK. Dan harusnya Raka tahu betul hal itu.
Kenapa Raka bisa sejahat itu, sih?
Undangan putih-biru itu tergeletak di meja cafe, dengan nama Raka dan calon istrinya tertera di sana. Yang ada di kotak nama penerima, adalah nama lengkap Leysa, serta alamatnya di Jogja. Sang calon mempelai pria sendiri yang mengantarnya langsung ke penerima.
Leysa tidak menyentuh undangan itu, hanya meliriknya sinis, kemudian beranjak pergi setelah membereskan barang-barangnya dengan cepat. Leysa mengingat cengkraman tangan Raka yang memintanya tinggal, yang kemudian disentakkannya dengan kasar.
LO NGGAK PANTES DAPETIN RAKA, SA.
Percuma. Percuma lo nunggu setahun ini buat balikan sama dia, menjaga hubungan kayak gini, berpura-pura di balik nama persahabatan, sementara lo berharap lebih ke dia. Harusnya lo tahu dari awal kalo Raka memang nggak sayang lagi sama lo.
TAPI TADI DIA MAU NYIUM GUE, KAN? Hati Leysa memberontak. TEPAT SEBELUM COWOK SIPIT ITU MANGGIL GUE...
Shota. Nama itu mendadak terlintas di pikiran Leysa.
...kayaknya dia cowok baik-baik...
“...sayang lho, orang kayak gitu lo sinisin. Nanti lo nyesel...
“...menurut gue, dia suka sama lo.
Lo nggak pernah memikirkan kemungkinan jadian sama dia?”
SIALAN, pikir Leysa geram. RAKA SIALAANNN...
“Mbak Leysa,” panggil seseorang dari luar. “Mbak?”
Leysa terperanjat. “Iya,” Leysa beranjak dari kasur, mengusap matanya, dan merapikan rambut. “Kenapa?” begitu dia membuka pintu kamar, dilihatnya Wini, teman satu kosannya yang masih kuliah tingkat satu, berdiri dengan tumpukan cucian di tangannya.
“Ada yang nyariin Mbak Leysa di luar,” kata Wini. “Cowok...”
“Cowok?” tanya Leysa heran. “Kayak gimana orangnya?” Leysa mengambil sisir dari atas meja dan mulai menyisir rambutnya.
“Ganteng, Mbak. Putih. Tinggi. Rambutnya agak panjang, tapi nggak gondrong. Pake poni...” Wini yang penasaran malah masuk kamar Leysa dan duduk di ranjang Leysa, mengamati senior kosannya bercermin.
Leysa menghentikan kegiatannya menyisir rambut. “Bentar. Matanya sipit?” tebak Leysa.
“Iya, Mbak. Kayak orang-orang Jepang gitu lho, Mbak. Ganteng banget. Temen sekelasnya Mbak Leysa, ya? Mbak beruntung banget punya temen sekelas gitu...”
Mendadak Leysa merasa lemas. “Hah. Nggak beruntung sama sekali deh,” ujar Leysa malas, melempar sisirnya ke kasur. “Ah, harusnya kamu bilang aku nggak ada...”
“Lho? Kok gitu, Mbak?” Wini bengong. “Kan, sayang...”
“Kamu nggak ngerti sih,” ujar Leysa, menghela napas panjang. “Yuk ah,” dia mendorong Wini keluar kamar bersama cucian yang baru diangkatnya, kemudian Leysa mengunci kamarnya.
“Mbak Leysa habis nangis kah?” tanya Wini sebelum dia masuk kamarnya sendiri. “Hidung Mbak merah.”
Leysa menggosok-gosok hidungnya. “Gatel tadi.”

* * *

“Yo!” kata Shota begitu dia melihat Leysa keluar dari pintu depan kos-kosan untuk menemuinya. Seperti biasa, satu tangannya terangkat, dan satu tangan lagi dimasukkannya ke saku jaket kulitnya.
“Mau ngapain lo?” Leysa berada dalam mode waspada dengan tidak membuka pintu pagar kosan yang membatasi dirinya dan Shota yang duduk di atas motornya di luar pagar.
“Menghibur kamu,” kata Shota langsung. “Lagi sedih kan?”
“Gue nggak butuh dihibur, jadi pulang aja mendingan,” ujar Leysa sinis.
“Yah, mau dikemanain dong es krim dan cokelat sebanyak ini,” Shota mengangkat sebuah kantung plastik hitam berukuran sedang di tangan kanannya.
“Makan aja sendiri,” kata Leysa.
Shota melihat mata Leysa sedikit berkilau ketika mendengar kata es krim dan cokelat.
“Aku nggak makan makanan manis,” ujar Shota lembut, sambil tersenyum dan berdiri dari motornya. “Tapi aku tau kamu selalu makan makanan manis.”
Nggak percuma gue ngamatin dia tiap belanja di S-Mart, kata Shota dalam hati. Matanya yang berbinar-binar setiap ngelewatin rak cokelat, atau liat kulkas es krim, dan ragu-ragu memasukkan chocolate snack favoritnya waktu keranjang belanjanya udah penuh...
“Lo stalking gue, ya?” tanya Leysa dingin.
Shota menggeleng, mendekati pagar. Leysa mundur selangkah. “Cuma mau bersikap baik.”
Leysa tampak ragu-ragu. “Bersikap baik nggak gitu juga caranya. Merepet gue setiap hari di kampus.”
“Terus gimana? Datang dari luar negeri cuma buat nemuin kamu dan ngasih undangan pernikahan?”
“Apaan sih?” sentak Leysa sengit. Marah. Merasa kehidupan pribadinya diusik. Meskipun begitu, Leysa bingung juga kenapa Shota mengetahui hal itu. Pertengkarannya dengan Raka di cafe tidak sekentara itu kan?
Shota tertawa. “Aku bercanda, kali. Marah banget... jangan-jangan beneran ya?”
Leysa tak tahan. “Pulang sana!”
Awalnya Shota hanya bercanda, tetapi sekarang ia mengerti dari reaksi Leysa barusan. Leysa memang ditinggal nikah oleh Raka.
Keparat cowok itu.
“Kamu punya kulkas?” tanya Shota kemudian.
“Hah?” sahut Leysa heran.
“Punya nggak?” ulang Shota, dengan senyuman.
“Gue... nggak punya...” jawab Leysa, pertahannya melemah.
“Kulkas bareng? Kulkas kosan?”
“A-a-ada... sih...” kata Leysa gelagapan. “Ngapain sih nanya-nanya?” semprotnya lagi.
“Supaya aku bisa tenang,” kata Shota, yang sudah ada di depan pagar dan Leysa tidak menyadarinya. Shota lalu mengaitkan kantung plastik itu di salah satu pucuk pagar yang berbentuk panah, kemudian menghampiri motornya sendiri, memakai helm, dan menyalakan mesin.
“HEH!” teriak Leysa yang kebingungan. “BELANJAAN LO NGGAK USAH DITINGGAL DISINI BISA?”
Shota menoleh, membuka kaca helm-nya. “Oh, itu. Buat kamu aja. Kan aku nggak makan makanan manis?” katanya, tersenyum.
Leysa mengambil kantung plastik dari pagar untuk memberikannya kembali pada Shota, tetapi terlambat. Shota sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi.
“Dihabisin, ya! Kedaluwarsanya tiga hari lagi!” kata Shota, sebelum ia menjalankan motornya. Dan meninggalkan Leysa yang bingung setengah mati.
“Dia mau bunuh gue, apa?” decak Leysa kesal. Ia mengintip ke dalam kantung plastik. Ada dua bungkus es krim stik rasa cokelat, dan lima cokelat batangan ukuran kecil. Leysa meraih sebatang cokelat dan membaca tanggal kedaluwarsanya.
“Dasar pembual.”
Masih ada waktu lima bulan sebelum cokelat itu tidak boleh dimakan lagi.

* * *

Dimanaaa... dimanaa... dimaaannaa... kuharuuuss... mencariii... kemanaaa... Mbak, uangnya Mbak...”
Lagu Ayu Ting Ting yang dikombinasikan dengan permintaan untuk diberi uang itu terdengar samar-samar di telinga Leysa. Siang itu di perempatan, Leysa terjebak lampu merah yang lamanya sekitar 120 detik. Masih ada 50 detik lagi sebelum lampu merah berganti dengan lampu hijau.
Leysa mengangkat sedikit tangan kanannya, memberi isyarat ‘tidak’ kepada pengamen kecil yang menghampirinya tadi.
“...buat sekolah, Mbak...” anak kecil yang Leysa perkirakan berusia 9-10 tahun itu ngotot.
“Maaf, Dek,” kali ini Leysa angkat bicara.
“Kalo gitu, minumnya aja, Mbak... haus, Mbak...”
“Hah?” Leysa bingung. Anak itu menunjuk ke botol berisi teh hijau yang ada di bagasi depan motor Leysa.
Absurd sekali.
“Maaf ya, Dek... saya juga haus,” kata Leysa kesal. Siapa sih ibu anak ini?
 Lampu hijau yang ditunggu-tunggu akhirnya menyala. Anak kecil itu buru-buru menepi ke pinggir jalan. Leysa mengamatinya sampai anak itu berhenti di depan ruko yang tutup. Leysa kaget begitu melihat ada seorang ibu berbaju kumal dengan jarik yang diselempangkan di bahu dan topi yang sama kumalnya, menyambut kedatangan pengamen kecil tadi.
Masa sih itu ibunya, pikir Leysa dalam hati.
DIIIIINNN!
Leysa terlonjak kaget. Dia belum bergerak sejak lampu hijau menyala tadi, dan membuat pengendara di belakangnya merasa harus mengambil tindakan untuk mengingatkan Leysa. Leysa marah pada dirinya sendiri, lalu memacu motornya menyeberangi perempatan.
Harusnya ibu-ibu itu kan bisa kerja. Masih sehat gitu kok. Jadi pembantu, kek... bikin usaha apa, kek... jahit, kek. Jangan malah nyuruh anak-anak ngamen asal-asalan di perempatan juga, keluh Leysa jengkel, sembari mengendarai motornya di jalur lambat.
Kecepatan motor matic Leysa melambat begitu dia sampai di depan sebuah fotokopian yang cukup besar. Tempat fotokopi ini selalu ramai, terutama oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang menyusun skripsi seperti akhir-akhir ini. Leysa suka ke tempat ini karena selain harganya murah, Leysa juga sering dapat diskon kalau dia berniat menjilid handout-handout dari slide dosen yang tebal-tebal itu.
Belum lagi pegawai-pegawainya yang ramah dan ganteng-ganteng.
Oke, ini alasan utama Leysa.
“Mau nge-print, Mas,” kata Leysa ketika seorang pegawai menghampirinya dari balik counter. Pegawai favorit Leysa, yang tinggi dan berbadan bagus. Leysa pernah tahu bahwa mas-mas ini tadinya bekerja di sebuah tempat fitness.
“Monggo, Mbak. Mbak Leysa, kan?” ujar pegawai itu ramah.
Leysa mengangguk senang. Ia berjalan ke tempat komputer-komputer yang bertugas untuk membuka file yang akan di-print. Dibukanya file ber-ekstensi .docx itu, dibacanya sebentar, lalu Leysa mengatur settingan printer. Mau tak mau Leysa merasa berterima kasih pada Raka karena file itu adalah review jurnal yang dipilihkan Raka di cafe kemarin sore.
“Mbak Leysa?” panggil pemuda yang tadi menyilakan Leysa menge-print. File milik Leysa sudah selesai di-print.
Leysa beranjak dari tempat duduk dan menghampiri counter, menyaksikan pegawai fotokopian merapikan kertas-kertasnya. “Berapa, Mas?”
“Dua ribu lima ratus saja, Mbak,” jawab pegawai itu ramah. “Mau dijilid, Mbak?”
“Nggak usah, Mas.”
Pemuda itu menjepit kertas-kertas Leysa dengan staples. Leysa mengaduk-aduk isi tasnya untuk mencari dompet kecil tempat menyimpan uang kecil – dua ribuan, seribuan, dan uang-uang koin. Ia menyerahkan selembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan pada pemuda itu, yang wangi parfumnya menggelitik hidung Leysa. Leysa tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih ketika pemuda itu mengangguk ramah padanya.
Leysa sempat melihat nama yang dibordir di seragam pegawai itu. Namanya Leon.
Nama yang bagus untuk orang yang bagus, pikir Leysa gembira, sembari menarik resleting jaketnya.

* * *

“Halo, Sho, lo punya komik yang judulnya Bloody Monday nggak?”
“...haah?”
“Bloody Monday?”
“...ng?”
“Lo ngigo? Bangun, oiiii.”
Shota meletakkan ponselnya di kasur, menguap keras-keras, menggaruk-garuk kepalanya, melakukan peregangan tubuh di tempat tidurnya, baru kemudian meraih lagi ponselnya. Bram menunggu Shota dengan sabar.
“Apa, Bram?” kata Shota jelas.
“Bloody Monday,” kata Bram jelas.
“Ooh,” Shota berdiri, kemudian melihat-lihat rak bukunya yang rapi. “Ada, nih. Sampe nomer 10. Kenapa?”
“Pinjem dong gue, sepuluh-sepuluhnya.”
“Tumben lo nggak minjem One Piece gue,” komentar Shota, berbaring lagi di kasurnya setelah mengambil Eyeshield 21 volume 17.
Urgent nih, urgent. Si Ingrid ternyata suka Bloody Monday. Gue harus baca biar omongannya nyambung sama dia...”
It won’t work...” gumam Shota geli. Dia tidak bisa percaya cerita teman-temannya yang rela menyukai sesuatu yang baru cuma untuk mendekati seorang cewek. Menurut Shota, itu sama saja dengan merendahkan harga diri. Tetapi ia tidak memprotes Bram. Bram tidak bisa diprotes.
“Apa, Sho?” tanya Bram.
“Nggak.”
Bram menutup teleponnya sesegera mungkin. Shota menegakkan bantalnya, kemudian berbaring di atasnya sembari membaca Eyeshield 21.
Pura-pura suka barang yang sama, ya, pikir Shota, tidak membaca Eyeshield 21. Rasanya percuma saja...
“Ah, sialan si Bram, ganggu gue tidur aja...” Shota menguap, melempar komiknya ke lantai kamarnya, kemudian menggeliat dan merangkul gulingnya, bersiap tidur lagi. Melanjutkan mimpi indahnya tentang Leysa yang cantik jelita, menyambutnya dengan ramah.
Shota tersenyum dalam tidurnya. Membiarkan fantasi-fantasinya berkeliaran dalam mimpinya.

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates