9 Jul 2012

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihatmu melihatku. Ketika aku meluncur, dengan sepatu rodaku di taman, yang otomatis kumainkan dengan lihai, begitu aku sadar kamu melihatku. Meski aku tak yakin kamu tidak benar-benar melihatku – kamu mungkin begitu saja melihatku. Kebetulan. Kebetulan yang aku harapkan sering terjadi.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihatmu melihatnya. Ketika ia mengendarai motor matic-nya, yang berderum ketika melewatimu. Kali ini aku yakin, kamu benar-benar melihatnya. Mungkin juga dia sadar kamu melihatnya. Mungkin tidak. Karena kalian tidak saling menyapa. Kebetulan. Kebetulan yang aku harapkan tidak pernah terjadi.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihatmu bicara dengannya. Ketika kalian bertemu, mungkin tidak sengaja bertemu. Tetapi bicara dengan begitu akrab. Tandanya kalian sudah sering bertemu. Mungkin tidak di dunia nyata, tetapi di dunia maya. Bahkan saling mengetahui kegiatan masing-masing. Memastikan bahwa satu sama lain akan melakukannya.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihatmu tersenyum padanya. Ketika kalian tidak sengaja bertemu. Bukan ketika ia mengendarai motor dan melewatimu, bukan. Tetapi ketika berpapasan. Meski itu hanyalah sebuah senyuman kecil. Tetapi kamu memastikan hanya dialah yang bisa melihat senyum itu – sayangnya aku, yang punya sensitivitas tinggi, bisa melihatnya juga.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihat wajah datar tanpa ekspresimu. Ketika aku tidak sengaja menjatuhkan pulpen dan temanmu hendak mengambilnya – tanpa sengaja tanganku bersentuhan dengannya. Dan teman-teman sekelas mendadak ramai menyahutiku dan temanmu. Kulihat wajahmu, yang duduk di seberang. Biasa saja. Tetapi – kemudian – tersenyum.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihat matamu – ketika mata kita tidak sengaja berpapasan. Benar-benar tidak sengaja. Ketika aku sedang bicara dengan temanmu, dan di sebelahnya ada temanmu yang lain. Kemudian kamu datang, dan bicara dengan temanmu yang satunya. Dan kemudian kita saling melihat. Selama sepersekian detik. Tatapanmu. Tatapanku.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihat wajahmu yang berubah, meski sedikit. Ketika dia memasuki kelas, dan teman-temanmu yang biasa mengerubungimu mendadak ribut. Dan salah seorang teman menyenggolmu. Kupandangi wajahmu, kemudian kulihat wajahnya. Sama-sama sama. Wajah yang sama sekali aku benci. Aku tidak melihatmu lagi setelah itu. Apalagi dia.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihat dirimu yang menoleh ke arahku ketika aku datang ke arah kerumunanmu dan teman-temanmu. Aku menolak melihatmu, dan aku tetap berjalan. Melewatimu dan teman-temanmu. Kukencangkan volume MP3 player yang sedang kudengarkan melalui headphone-ku. Headphone yang sengaja mirip dengan milikmu.

Aku bisa melihatmu. Aku bisa melihat dirimu, yang terluka, setelah jatuh karena dijegal lawan waktu pertandingan basket antar sekolah. Kemudian kakimu pincang selama tiga hari. Aku bisa melihatmu, senyum terpaksamu, ketika teman-temanmu membuat lelucon tentang kakimu. Temanmu yang lain mencegah temanmu menyentuh kakimu. Mendadak aku ingin sekali berada di posisinya.

Aku bisa melihatmu. Bagaimanapun kondisinya. Ramai. Sepi. Mataku selalu melihatmu.
Tapi, ada saat-saat aku tidak bisa melihatmu. Aku tidak ingat melihat dirimu ketika teman-teman yang lain mengerumuniku setelah menyadari fakta bahwa ada darah yang keluar dari hidungku. Temanmu menyodorkan tisu, temanmu mengusulkan mendongakkan kepalaku, dan yang lain memijit pundakku. Aku tidak ingat melihat kamu. Kemana kamu ketika aku membutuhkanmu?

Aku tidak bisa melihatmu. Aku tidak ingat melihatmu. Di waktu aku sakit. Di waktu aku sedang ingin diperhatikan. Di waktu aku sedih.

Egoiskah kalau aku memintamu untuk sedikit saja melihatku?

Karena selama ini aku selalu menahan keinginan melihatmu penuh-penuh. Aku selalu melihatmu dari sudut mataku.

Entah kenapa, kamu selalu kelihatan memesona.

Selalu.

Meski hanya dari sudut mataku. 

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates