Story of Leysa (Part I)
Udara dingin
menusuk-nusuk kulit Leysa yang putih, membuatnya menggigil sesaat dan menyesal
mengenakan baju yang agak terbuka hari itu. Padahal, rencananya hari ini dia
akan pergi ke toko buku, mengecek novel-novel terbaru atau komik yang ditunggu-tunggunya.
Leysa, yang langsung bad mood gara-gara udara dingin, melangkah cepat menuju tempat
parkir motornya, meninggalkan teman-teman sekelasnya yang masih berceloteh tak
jelas di depan ruang kelas.
Leysa merapatkan
jaketnya, menutupi kemeja lengan pendek kotak-kotak yang dikenakannya. Dikeluarkannya
sarung tangan tebal dan masker dari tas, kemudian memakainya dengan cepat.
“Leysa! Mau ikut
makan?” ajak salah seorang temannya, yang melintas di dekat motor Leysa.
Leysa menggeleng cepat,
dan buru-buru menaiki motor matic-nya.
Dia tak pernah suka makan dengan teman-temannya, beramai-ramai seperti itu. Agak
introvert, Leysa lebih suka makan sendiri. Kalau harus dengan teman, dia akan melakukannya
berdua. Rata-rata teman Leysa sudah mengetahui hal ini, dan mereka tak mau
repot-repot mengajak Leysa makan kalau melihat Leysa sedang bad mood.
Tapi, ada satu orang
yang kekeuh mengajak Leysa
terus-terusan.
Dan, dia sedang
mendekati Leysa yang sedang mengunci helm-nya.
“Hey! Makan yuk!”
Leysa menatap sinis ke
cowok yang muncul di kaca spionnya. “Ngapain lo di spion gue?” tanya Leysa pada
kaca spion, memandang cowok yang berdiri di belakang motornya itu. “Gue mau
pulang. Minggir.”
Cowok itu tersenyum,
kemudian bergeser agar Leysa bisa mengeluarkan motornya. “Perlu aku bantu?”
“Gue bisa sendiri,”
jawab Leysa singkat.
“Kamu selalu sendiri?” tanya
cowok itu, lagi-lagi dengan senyumnya. Senyum yang Leysa benci.
“Dan apa urusannya sama
lo?” Leysa menyalakan mesin motornya.
Cowok itu menggeleng. “Nggak
ada, tapi kalo aku sih, nggak tahan lama-lama sendirian.”
Leysa memundurkan motor
keluar dari tempat parkir, diiringi pandangan cowok itu.
“Beneran nggak mau
makan?” tanya cowok itu lagi, memastikan.
Leysa memandangnya
lelah. “Gue. Capek. Mau. Pulang. Ngerti?” ujarnya jelas, setengah membentak.
“Oke,” cowok itu masih
tersenyum, seolah tak peduli bahwa kehadirannya ditolak seperti itu. “Hati-hati,
ya!” teriaknya, begitu Leysa mengendarai motornya kencang, menuju gerbang
keluar. “Jangan lupa makan!”
Leysa merengut, mendecak
kesal. Ia bahkan tidak berniat melirik ke kaca spionnya, untuk sekadar melihat
pemandangan cowok berjaket kulit hitam dan jins itu melambai santai padanya.
“Nah, Leysa,” kata
cowok itu riang, “semoga selamat sampai tujuan.”
* * *
Leysa membeli nasi
bungkus di warung di dekat kos-kosannya. Cuma tujuh ribu, dan Leysa (yang tidak
menjadikan ayam sebagai menu favoritnya) mendapat satu lele goreng, dua
gorengan, dan satu jenis sayur. Oh, dan sebungkus es jeruk. Leysa berterima
kasih kepada si penjual, membayar makanannya, kemudian pulang ke kos- kosan.
“Hhhh,” Leysa menghela
napas panjang sekali, melempar tasnya ke kursi, kemudian menjatuhkan diri di
atas kasur. Kamarnya hangat, tidak seperti udara di luar. Leysa bangkit setelah
beberapa detik menelungkup di ranjangnya, kemudian melepas jaket dan
menggantungnya di balik pintu. Leysa keluar untuk mencuci muka, kaki dan
tangannya, sebelum akhirnya membuka nasi bungkus dan menyantapnya sambil
membaca komik. Kebiasaan yang tak berubah sejak Leysa SMP, yang selalu ditegur
oleh Ibu.
Ponsel Leysa berdering.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikum salam, sudah
di kosan?” tanya Ibu langsung.
“Sudah, Bu...”
“Sudah makan?”
“Ini lagi makan, Bu...”
kata Leysa. “Ibu masak apa?”
“Cuma ayam crispy, Sa,”
kata Ibu. “Kuliahnya lancar?”
“Alhamdulillah, Bu.”
“Berarti nggak ada
remed lagi ya, semester ini?”
Leysa terdiam ketika
mendengar kata-kata Ibu yang menohok.
“Ya... nggak tahu, Bu,”
kata Leysa, berusaha tertawa.
“Lho, kok gitu. Harus
nggak remed lah, katanya kuliahnya lancar...”
“Insya Allah, Bu... semoga
aja.”
“Ya udah ya Sa, Ibu mau
ngangkat ayam. Bapak lagi nganter Resha ke tempat les.”
“Siang-siang gini, Bu?
Bapak nggak ke bengkel?”
“Ada temennya, karyawannya
yang ngurusin, katanya.”
“Ooh.”
“Belajar ya Sa, jangan
lupa sholat. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Leysa merasa beruntung
ibunya tidak menggembar-gemborkan bagaimana Resha di SMP-nya, bagaimana Resha
menjadi ketua OSIS perempuan yang katanya pertama di SMP-nya, atau bagaimana
nilai-nilai ulangan Resha. Karena Leysa tidak suka mendengarnya.
Dimana-mana yang
namanya dibanding-bandingkan itu tidak enak.
Apalagi dibandingkan
dengan anak SMP.
* * *
“Sho,” panggil Bram.
“SHO!”
Shota, cowok berjaket
kulit hitam dengan celana jins itu menoleh, melepas salah satu earphone yang
dipakainya. “Ha?”
“Ganteng-ganteng
budek,” komentar Bram kesal. Meskipun kesal karena temannya tidak mendengarnya
sedari tadi, Bram tetap tidak bisa mengabaikan fakta bahwa temannya ini cukup
tampan.
“Sori, deh,” Shota
nyengir, dan akhirnya melepas kedua earphone-nya. “Kenapa?”
“Lo mau sampe kapan sih
ngejar-ngejar Leysa?” tanya Bram langsung. “Cewek pendiem sok jutek kayak
gitu...”
“Lo tau apa sih, soal
Leysa?” kata Shota tenang, meski agak jengkel mendengar kalimat Bram barusan.
Bram menyulut rokoknya.
“Nggak tau. Dan gue nggak mau tahu. Yang gue mau tahu, lo kesambet apa,
ngejar-ngejar dia selama setahun!” Bram menawari Shota rokok.
Shota menolaknya,
seperti biasa. “Gue juga nggak tahu, Bram. Gue cuma tahu dia itu beda, sama
cewek-cewek lain.”
“Kalo itu gue setuju.
Beda, emang beda. Cewek-cewek lain lo deketin bahagia, nah, si Leysa lo deketin
sinis banget.”
“Makanya, gue penasaran
sama Leysa,” kata Shota tertawa.
Bram menghembuskan asap
rokoknya ke udara. “Kalo gitu, si Ingrid kasih ke gue aja, Sho.”
“Ingrid? Ingrid mana?”
tanya Shota bingung.
“Ingrid anak 09... yang
terang-terangan ngirim salam ke elo di buletin kampus,” kata Bram, nyengir. “That hot girl...”
“Yang seksi itu ya?”
“Beh... nggak seksi
lagi, Nyet. Bahenol!”
Bram dan Shota
tertawa-tawa agak terlalu keras.
“KALIAN MAU NGERJAIN
TUGAS, ATAU MAU NGERUMPI?”
Bram dan Shota
terlonjak. Tami membentak dari ujung meja, berdiri berkacak pinggang memandang
sinis Bram dan Shota yang duduk berdampingan di sisi meja sebelah kanan.
“KAYAK CEWEK AJA.”
Tami duduk lagi,
menghadap laptopnya, dan anggota kelompok mereka yang lain mendadak terdiam akibat
bentakan Tami barusan.
“Sumpah Nyet, tuh cewek
kayak nenek sihir...” komentar Bram.
“GUE DENGER YA, BRAM!”
“Tuh, kan, dia bisa
baca pikiran orang...”
Shota tertawa-tawa.
* * *
Motor matic berwarna
biru itu diparkir Leysa di dekat pohon yang rindang di tempat parkir sebuah
cafe. Berhubung pulsa modemnya sedang habis, Leysa memutuskan untuk mengerjakan
tugas kuliahnya dengan memanfaatkan fasilitas wi-fi yang tersedia di cafe ini.
Tentu saja dia tidak
pernah membayangkan bahwa begitu dia memasuki cafe, nampaklah orang-orang yang
dikenalnya, teman-temannya, sekitar tujuh-delapan orang dari mereka duduk
mengelilingi satu meja panjang, dengan laptop-laptop terbuka di depan mereka.
Dan kenyataan bahwa ada
Shota di antara mereka.
Leysa mendesah kesal, berusaha
untuk tidak terlihat oleh mereka, dan berjalan menuju counter.
“Sore, Mbak, meja untuk
satu orang saja...?” tanya pelayan cafe yang cantik, ramah.
“Emmm, iy...”
“LEYSA!”
There he goes. Leysa mendadak lemas.
Shota berdiri dari
duduknya, kentara sekali gembira, melihat Leysa masuk ke cafe itu.
“Temannya, Mbak? Mau
duduk bareng, at...”
“Saya mau meja untuk
satu orang, Mbak. Sendiri aja,” sela Leysa.
Pelayan cafe yang
cantik itu mengangguk ramah, tersenyum, lalu meminta Leysa mengikutinya. “Mari,
Mbak.”
Leysa berjalan pelan
mengikuti pelayan cafe, mengangguk sekilas ketika tidak sengaja bertatapan
dengan Tami dan teman-teman yang lain, yang tersenyum menegurnya. Leysa
mendapat tempat di pojok ruangan, di samping jendela, tempat favoritnya kalau
hari-hari biasa tanpa Shota dan teman-teman sekelompoknya yang ada di meja yang
agak jauh darinya.
“Mau pesan yang biasa,
Mbak?” tanya pelayan cafe, yang sudah mengenal Leysa yang sering datang ke
cafe. “Kentang goreng sama frozen
cappuccino?”
Leysa bahkan belum
menyentuh menu, tetapi ia mengangguk senang. “Makasih ya, Mbak.”
“Ditunggu sebentar ya,
Mbak.”
Pelayan cafe itu pergi.
Leysa mengalihkan
pandangannya dari meja kelompok Shota – dimana dua menit terakhir ini Shota berkali-kali
mengerling ke arah Leysa dari tempatnya duduk, sambil mengobrol dengan Bram,
meski tampaknya Shota sama sekali tidak konsentrasi ketika Bram bicara
dengannya.
Leysa menaruh jaket dan
tasnya begitu saja di kursi di depannya, seolah menegaskan bahwa dia tidak
mengizinkan siapapun duduk disana. Laptop putihnya diletakkan di hadapannya,
dan dalam sekejap dia sudah menikmati fasilitas internet gratis dengan senang.
Mendadak ponselnya
berdering kencang. Leysa kelabakan sesaat, karena hampir seisi pengunjung cafe
yang sore itu agak sepi menoleh padanya. Leysa benci menjadi pusat perhatian.
“Halo?” jawab Leysa
bingung, mengingat panggilan itu masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
“Ini dengan Leysa?”
tanya seseorang di ujung sana, terdengar ragu-ragu juga.
“Iya, maaf ini dengan
siapa, ya?”
“Sa, ini gue Raka.”
“HAH? RAKA?” setelah
mengusahakan menjawab telepon dengan bisik-bisik agar tidak mencolok, Leysa
tidak bisa menahan keinginan untuk sedikit berteriak. “BENERAN RAKA?”
“Iya, Sa, gue di depan
kosan lo sekarang.”
“HAH? DI DEPAN KOSAN
GUE? SEKARANG?”
“Kenapa sih kaget gitu?
Lo nggak kangen apa sama gue...”
“Sialan, kangen lah,
kangen banget! Gue ada di cafe, nih! Ngerjain tugas... modem gue abis pulsa...”
“Oh, cafe mana? Gue kesana deh...”
Leysa menyebutkan nama
cafe serta jalan terdekat yang menuju ke cafe itu. “Lo kok ke Jogja nggak
bilang-bilang gue, sih...”
“Kan kejutan,” Raka di
ujung sana tertawa. “Gue kesana, ya. Sampe ketemu.”
“Oke, oke!” Leysa tak
bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Ketika ia mengetahui
bahwa ia (akhirnya) berada di kota yang sama dengan mantan pacarnya waktu SMA
itu.
* * *
Bram menepuk bahu Shota
pelan. “Sho, Sho,” katanya tanpa melihat Sho. “Ini, coba deh lo liat, gue nemu
e-book, kayaknya cocok sama bahan presentasi kita...”
Hening.
“Sho, gila, gue malah
nemu makalah yang sama persis sama materi...”
Hening lagi.
“Sho.”
“...bilang Tami noh.”
“Sho, lo niat kerja apa
enggak sih?”
“Lo kok jadi kayak nenek
sihir itu sih?”
“GUE DENGER, SHO!”
“SHO, LO LIATIN APA
SIH?” sentak Bram habis sabar, dan dilihatnya temannya itu memandangi seorang
gadis yang ada di meja di sudut ruangan, di samping jendela.
“Bram... liat deh
Leysa... lagi nerima telepon... seneng banget ya dia kayaknya.”
“Iya, dari pacarnya
kali. Apa sih urusan gue.”
“Leysa jomblo, Nyet!”
“Makanya gue bilang,
apa urusan gue.”
Shota menyerah untuk bicara
tentang Leysa pada Bram, dan dipandanginya gadis berambut cokelat sebahu di
seberang sana itu.
“’Njir... manis banget sih tuh cewek,” ujar Shota tanpa sadar.
“Ha?” Bram menoleh,
dikiranya salah dengar. “Apa?”
“Leysa.”
Bram paham dengan hanya
satu kata itu. “Listen, pretty boy,”
Bram mencengkeram kepala Shota, lalu memutarnya dengan brutal hingga
menghadapnya. Tak lupa Bram menghembuskan asap rokok ke muka Shota.
Shota batuk-batuk. “Sakit,
‘njir!”
“...lebih cepat ini
kelar, lebih baik,” kata Bram agak berbisik-bisik, menghindari resiko terdengar
oleh Tami lagi. “Gue ada janji main sama anak-anak kosan.”
“Ah, lo game mulu,” protes Shota. “CS? DOTA?”
“CS. Lo nggak ngerti ya
esensinya nge-game itu apa. Lo sih
ngertinya cewek doang...”
Shota mengangkat alis,
menghindari perdebatan, dan menatap layar laptop.
* * *