16 Jul 2012

Udara dingin menusuk-nusuk kulit Leysa yang putih, membuatnya menggigil sesaat dan menyesal mengenakan baju yang agak terbuka hari itu. Padahal, rencananya hari ini dia akan pergi ke toko buku, mengecek novel-novel terbaru atau komik yang ditunggu-tunggunya. Leysa, yang langsung bad mood gara-gara udara dingin, melangkah cepat menuju tempat parkir motornya, meninggalkan teman-teman sekelasnya yang masih berceloteh tak jelas di depan ruang kelas.
Leysa merapatkan jaketnya, menutupi kemeja lengan pendek kotak-kotak yang dikenakannya. Dikeluarkannya sarung tangan tebal dan masker dari tas, kemudian memakainya dengan cepat. 
“Leysa! Mau ikut makan?” ajak salah seorang temannya, yang melintas di dekat motor Leysa.
Leysa menggeleng cepat, dan buru-buru menaiki motor matic-nya. Dia tak pernah suka makan dengan teman-temannya, beramai-ramai seperti itu. Agak introvert, Leysa lebih suka makan sendiri. Kalau harus dengan teman, dia akan melakukannya berdua. Rata-rata teman Leysa sudah mengetahui hal ini, dan mereka tak mau repot-repot mengajak Leysa makan kalau melihat Leysa sedang bad mood.
Tapi, ada satu orang yang kekeuh mengajak Leysa terus-terusan.
Dan, dia sedang mendekati Leysa yang sedang mengunci helm-nya.
“Hey! Makan yuk!”
Leysa menatap sinis ke cowok yang muncul di kaca spionnya. “Ngapain lo di spion gue?” tanya Leysa pada kaca spion, memandang cowok yang berdiri di belakang motornya itu. “Gue mau pulang. Minggir.”
Cowok itu tersenyum, kemudian bergeser agar Leysa bisa mengeluarkan motornya. “Perlu aku bantu?”
“Gue bisa sendiri,” jawab Leysa singkat.
“Kamu selalu sendiri?” tanya cowok itu, lagi-lagi dengan senyumnya. Senyum yang Leysa benci.
“Dan apa urusannya sama lo?” Leysa menyalakan mesin motornya.
Cowok itu menggeleng. “Nggak ada, tapi kalo aku sih, nggak tahan lama-lama sendirian.”
Leysa memundurkan motor keluar dari tempat parkir, diiringi pandangan cowok itu.
“Beneran nggak mau makan?” tanya cowok itu lagi, memastikan.
Leysa memandangnya lelah. “Gue. Capek. Mau. Pulang. Ngerti?” ujarnya jelas, setengah membentak.
“Oke,” cowok itu masih tersenyum, seolah tak peduli bahwa kehadirannya ditolak seperti itu. “Hati-hati, ya!” teriaknya, begitu Leysa mengendarai motornya kencang, menuju gerbang keluar. “Jangan lupa makan!”
Leysa merengut, mendecak kesal. Ia bahkan tidak berniat melirik ke kaca spionnya, untuk sekadar melihat pemandangan cowok berjaket kulit hitam dan jins itu melambai santai padanya.
“Nah, Leysa,” kata cowok itu riang, “semoga selamat sampai tujuan.”

* * *

Leysa membeli nasi bungkus di warung di dekat kos-kosannya. Cuma tujuh ribu, dan Leysa (yang tidak menjadikan ayam sebagai menu favoritnya) mendapat satu lele goreng, dua gorengan, dan satu jenis sayur. Oh, dan sebungkus es jeruk. Leysa berterima kasih kepada si penjual, membayar makanannya, kemudian pulang ke kos- kosan.
“Hhhh,” Leysa menghela napas panjang sekali, melempar tasnya ke kursi, kemudian menjatuhkan diri di atas kasur. Kamarnya hangat, tidak seperti udara di luar. Leysa bangkit setelah beberapa detik menelungkup di ranjangnya, kemudian melepas jaket dan menggantungnya di balik pintu. Leysa keluar untuk mencuci muka, kaki dan tangannya, sebelum akhirnya membuka nasi bungkus dan menyantapnya sambil membaca komik. Kebiasaan yang tak berubah sejak Leysa SMP, yang selalu ditegur oleh Ibu.
Ponsel Leysa berdering. “Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikum salam, sudah di kosan?” tanya Ibu langsung.
“Sudah, Bu...”
“Sudah makan?”
“Ini lagi makan, Bu...” kata Leysa. “Ibu masak apa?”
“Cuma ayam crispy, Sa,” kata Ibu. “Kuliahnya lancar?”
“Alhamdulillah, Bu.”
“Berarti nggak ada remed lagi ya, semester ini?”
Leysa terdiam ketika mendengar kata-kata Ibu yang menohok.
“Ya... nggak tahu, Bu,” kata Leysa, berusaha tertawa.
“Lho, kok gitu. Harus nggak remed lah, katanya kuliahnya lancar...”
“Insya Allah, Bu... semoga aja.”
“Ya udah ya Sa, Ibu mau ngangkat ayam. Bapak lagi nganter Resha ke tempat les.”
“Siang-siang gini, Bu? Bapak nggak ke bengkel?”
“Ada temennya, karyawannya yang ngurusin, katanya.”
“Ooh.”
“Belajar ya Sa, jangan lupa sholat. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Leysa merasa beruntung ibunya tidak menggembar-gemborkan bagaimana Resha di SMP-nya, bagaimana Resha menjadi ketua OSIS perempuan yang katanya pertama di SMP-nya, atau bagaimana nilai-nilai ulangan Resha. Karena Leysa tidak suka mendengarnya.
Dimana-mana yang namanya dibanding-bandingkan itu tidak enak.
Apalagi dibandingkan dengan anak SMP.

* * *

“Sho,” panggil Bram. “SHO!”
Shota, cowok berjaket kulit hitam dengan celana jins itu menoleh, melepas salah satu earphone yang dipakainya. “Ha?”
“Ganteng-ganteng budek,” komentar Bram kesal. Meskipun kesal karena temannya tidak mendengarnya sedari tadi, Bram tetap tidak bisa mengabaikan fakta bahwa temannya ini cukup tampan.
“Sori, deh,” Shota nyengir, dan akhirnya melepas kedua earphone-nya. “Kenapa?”
“Lo mau sampe kapan sih ngejar-ngejar Leysa?” tanya Bram langsung. “Cewek pendiem sok jutek kayak gitu...”
“Lo tau apa sih, soal Leysa?” kata Shota tenang, meski agak jengkel mendengar kalimat Bram barusan.
Bram menyulut rokoknya. “Nggak tau. Dan gue nggak mau tahu. Yang gue mau tahu, lo kesambet apa, ngejar-ngejar dia selama setahun!” Bram menawari  Shota rokok.
Shota menolaknya, seperti biasa. “Gue juga nggak tahu, Bram. Gue cuma tahu dia itu beda, sama cewek-cewek lain.”
“Kalo itu gue setuju. Beda, emang beda. Cewek-cewek lain lo deketin bahagia, nah, si Leysa lo deketin sinis banget.”
“Makanya, gue penasaran sama Leysa,” kata Shota tertawa.
Bram menghembuskan asap rokoknya ke udara. “Kalo gitu, si Ingrid kasih ke gue aja, Sho.”
“Ingrid? Ingrid mana?” tanya Shota bingung.
“Ingrid anak 09... yang terang-terangan ngirim salam ke elo di buletin kampus,” kata Bram, nyengir. “That hot girl...”
“Yang seksi itu ya?”
“Beh... nggak seksi lagi, Nyet. Bahenol!”
Bram dan Shota tertawa-tawa agak terlalu keras.
“KALIAN MAU NGERJAIN TUGAS, ATAU MAU NGERUMPI?”
Bram dan Shota terlonjak. Tami membentak dari ujung meja, berdiri berkacak pinggang memandang sinis Bram dan Shota yang duduk berdampingan di sisi meja sebelah kanan.
“KAYAK CEWEK AJA.”
Tami duduk lagi, menghadap laptopnya, dan anggota kelompok mereka yang lain mendadak terdiam akibat bentakan Tami barusan.
“Sumpah Nyet, tuh cewek kayak nenek sihir...” komentar Bram.
“GUE DENGER YA, BRAM!”
“Tuh, kan, dia bisa baca pikiran orang...”
Shota tertawa-tawa.

* * *

Motor matic berwarna biru itu diparkir Leysa di dekat pohon yang rindang di tempat parkir sebuah cafe. Berhubung pulsa modemnya sedang habis, Leysa memutuskan untuk mengerjakan tugas kuliahnya dengan memanfaatkan fasilitas wi-fi yang tersedia di cafe ini.
Tentu saja dia tidak pernah membayangkan bahwa begitu dia memasuki cafe, nampaklah orang-orang yang dikenalnya, teman-temannya, sekitar tujuh-delapan orang dari mereka duduk mengelilingi satu meja panjang, dengan laptop-laptop terbuka di depan mereka.
Dan kenyataan bahwa ada Shota di antara mereka.
Leysa mendesah kesal, berusaha untuk tidak terlihat oleh mereka, dan berjalan menuju counter.
“Sore, Mbak, meja untuk satu orang saja...?” tanya pelayan cafe yang cantik, ramah.
“Emmm, iy...”
“LEYSA!”
There he goes. Leysa mendadak lemas.
Shota berdiri dari duduknya, kentara sekali gembira, melihat Leysa masuk ke cafe itu.
“Temannya, Mbak? Mau duduk bareng, at...”
“Saya mau meja untuk satu orang, Mbak. Sendiri aja,” sela Leysa.
Pelayan cafe yang cantik itu mengangguk ramah, tersenyum, lalu meminta Leysa mengikutinya. “Mari, Mbak.”
Leysa berjalan pelan mengikuti pelayan cafe, mengangguk sekilas ketika tidak sengaja bertatapan dengan Tami dan teman-teman yang lain, yang tersenyum menegurnya. Leysa mendapat tempat di pojok ruangan, di samping jendela, tempat favoritnya kalau hari-hari biasa tanpa Shota dan teman-teman sekelompoknya yang ada di meja yang agak jauh darinya.
“Mau pesan yang biasa, Mbak?” tanya pelayan cafe, yang sudah mengenal Leysa yang sering datang ke cafe. “Kentang goreng sama frozen cappuccino?”
Leysa bahkan belum menyentuh menu, tetapi ia mengangguk senang. “Makasih ya, Mbak.”
“Ditunggu sebentar ya, Mbak.”
Pelayan cafe itu pergi.
Leysa mengalihkan pandangannya dari meja kelompok Shota – dimana dua menit terakhir ini Shota berkali-kali mengerling ke arah Leysa dari tempatnya duduk, sambil mengobrol dengan Bram, meski tampaknya Shota sama sekali tidak konsentrasi ketika Bram bicara dengannya.
Leysa menaruh jaket dan tasnya begitu saja di kursi di depannya, seolah menegaskan bahwa dia tidak mengizinkan siapapun duduk disana. Laptop putihnya diletakkan di hadapannya, dan dalam sekejap dia sudah menikmati fasilitas internet gratis dengan senang.
Mendadak ponselnya berdering kencang. Leysa kelabakan sesaat, karena hampir seisi pengunjung cafe yang sore itu agak sepi menoleh padanya. Leysa benci menjadi pusat perhatian.
“Halo?” jawab Leysa bingung, mengingat panggilan itu masuk dari nomor yang tidak ia kenal.
“Ini dengan Leysa?” tanya seseorang di ujung sana, terdengar ragu-ragu juga.
“Iya, maaf ini dengan siapa, ya?”
“Sa, ini gue Raka.”
“HAH? RAKA?” setelah mengusahakan menjawab telepon dengan bisik-bisik agar tidak mencolok, Leysa tidak bisa menahan keinginan untuk sedikit berteriak. “BENERAN RAKA?”
“Iya, Sa, gue di depan kosan lo sekarang.”
“HAH? DI DEPAN KOSAN GUE? SEKARANG?”
“Kenapa sih kaget gitu? Lo nggak kangen apa sama gue...”
“Sialan, kangen lah, kangen banget! Gue ada di cafe, nih! Ngerjain tugas... modem gue abis pulsa...”
“Oh, cafe  mana? Gue kesana deh...”
Leysa menyebutkan nama cafe serta jalan terdekat yang menuju ke cafe itu. “Lo kok ke Jogja nggak bilang-bilang gue, sih...”
“Kan kejutan,” Raka di ujung sana tertawa. “Gue kesana, ya. Sampe ketemu.”
“Oke, oke!” Leysa tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Ketika ia mengetahui bahwa ia (akhirnya) berada di kota yang sama dengan mantan pacarnya waktu SMA itu.

* * *

Bram menepuk bahu Shota pelan. “Sho, Sho,” katanya tanpa melihat Sho. “Ini, coba deh lo liat, gue nemu e-book, kayaknya cocok sama bahan presentasi kita...”
Hening.
“Sho, gila, gue malah nemu makalah yang sama persis sama materi...”
Hening lagi.
“Sho.”
“...bilang Tami noh.”
“Sho, lo niat kerja apa enggak sih?”
“Lo kok jadi kayak nenek sihir itu sih?”
“GUE DENGER, SHO!”
“SHO, LO LIATIN APA SIH?” sentak Bram habis sabar, dan dilihatnya temannya itu memandangi seorang gadis yang ada di meja di sudut ruangan, di samping jendela.
“Bram... liat deh Leysa... lagi nerima telepon... seneng banget ya dia kayaknya.”
“Iya, dari pacarnya kali. Apa sih urusan gue.”
“Leysa jomblo, Nyet!”
“Makanya gue bilang, apa urusan gue.”
Shota menyerah untuk bicara tentang Leysa pada Bram, dan dipandanginya gadis berambut cokelat sebahu di seberang sana itu.
’Njir... manis banget sih tuh cewek,” ujar Shota tanpa sadar.
“Ha?” Bram menoleh, dikiranya salah dengar. “Apa?”
“Leysa.”
Bram paham dengan hanya satu kata itu. “Listen, pretty boy,” Bram mencengkeram kepala Shota, lalu memutarnya dengan brutal hingga menghadapnya. Tak lupa Bram menghembuskan asap rokok ke muka Shota.
Shota batuk-batuk. “Sakit, ‘njir!”
“...lebih cepat ini kelar, lebih baik,” kata Bram agak berbisik-bisik, menghindari resiko terdengar oleh Tami lagi. “Gue ada janji main sama anak-anak kosan.”
“Ah, lo game mulu,” protes Shota. “CS? DOTA?”
“CS. Lo nggak ngerti ya esensinya nge-game itu apa. Lo sih ngertinya cewek doang...”
Shota mengangkat alis, menghindari perdebatan, dan menatap layar laptop.

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates