Tikungan Tajam
Tempat paling nyaman di kampusku–ber-AC,
hening, sejuk–adalah perpustakaan. Plus, aku bisa menyendiri di salah satu
pojok perpustakaan tanpa resiko diajak ngobrol oleh orang-orang yang lewat dan
mengenaliku. Ini adalah alasan kenapa aku sering sekali bertandang ke tempat
penuh buku-buku ini–alasan utamanya adalah karena aku sedang ingin menjauhi
semua orang.
Seperti sekarang, di pagi hari
pukul sepuluh ketika kuliah Farmakologi-ku sudah selesai dan tidak tahu harus
melakukan apa. Beberapa temanku bersiap-siap untuk mengikuti praktikum
Radiologi Dental yang dilakukan secara bergilir menurut urutan presensi. Aku sudah
melakukan praktikum Raden ini, beberapa minggu lalu, karena Nomor Induk
Mahasiswa-ku terletak di awal urutan presensi. Oki, yang belum praktikum karena
NIM-nya terletak di akhir, memohon-mohon padaku tips menjalani praktikum dengan
mudah.
“Enak kok, enak,” kataku habis
sabar. “Dibantuin.”
“Nggak perlu belajar kan?”
“Ya baca lah dikit, biar tau mau
ngapain.”
Satria juga sudah menjalani
praktikumnya. Yah, aku hanya ingin memberi informasi.
Pukul empat sore nanti Raga dan
tim basketnya akan mengikuti final pertandingan basket melawan FEB. Aku tak
tahu apa aku bisa menonton atau tidak, tetapi aku sangat berharap aku bisa
datang. Berhubung Oki nanti praktikum dan belum tahu akan selesai jam berapa,
maka aku tidak bisa menjanjikan datang tepat waktu ke pertandingan Raga.
Padahal hari ini aku sudah sengaja nebeng Oki agar pulangnya bisa langsung ke
GOR.
Bisa saja sih aku mengabari
Satria dan kemudian kami berdua pergi bersama ke GOR... atau ini hanya mimpiku
saja.
Hannah, gadis riang gembira
berambut pirang itu muncul di pintu perpustakaan tepat ketika aku sedang
mengingat Satria dengan kaus merah kemarin.
“Kak Maya,” dia langsung bisa
menemukan aku di pojok favoritku. “Lucu deh rambutnya.”
“Makasih,” kataku, “pelankan
suaramu.”
Beberapa mahasiswa menoleh mendengar
suara Hannah yang melengking.
“Nanti nonton?”
“Pengennya. Kamu?”
“Aduh, aku ada asistensi, Kak,”
ujarnya sedih. “Mikrobiologi. Jam setengah empat.”
“Yaah,” aku turut menyesal.
“Padahal ini final...”
“Tapi angkatanku banyak yang
nonton pasti Kak, mereka udah asistensi mikro kemarin. Histo juga udah. TKG
juga pada banyak yang udah selesai, tinggal polishing. Pasti rame deh.” Hannah
menjelaskan dengan cepat dan teratur.
“Mudah-mudahan,” kataku, berharap
suporter yang datang lebih banyak dari waktu semifinal kemarin.
Hannah dengan terburu-buru keluar
perpustakaan begitu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima. Dia
bilang hari itu ada kuis Anatomi sebelum kuliah dimulai. Aku melepasnya pergi.
Aku tidak bertanya apakah Raga ada kuis Anatomi juga–Hannah dan Raga berbeda
kelas, karena Hannah pemilik NIM ganjil.
Buatku juga tidak ada untungnya.
Aku kembali menekuri buku-buku
tebal Farmakologi yang ada di depanku, mencari jawaban-jawaban yang tepat untuk
mengisi laporan praktikum. Kubolak-balik buku itu, mencari penjelasan tentang
suatu obat bernama lidocaine di index maupun daftar isi.
Mendadak hidungku mencium wangi
parfum yang menyengat. Aku mendongak memandang orang yang ada di seberangku.
Ternyata Fazzie, teman sekelasku.
“Maya,” sapanya, “ada waktu
sebentar?”
*
* *
Fazzie adalah salah satu teman
sekelasku yang cantik jelita. Parasnya menawan, wajah ramping tanpa baby fat di pipi, dagunya lancip.
Bibirnya dilapisi oleh lipgloss yang
membuatnya senantiasa terlihat berkilauan. Eyeliner
juga tak pernah hilang dari matanya, menciptakan efek dramatis di matanya.
Sebenarnya dia ini sudah cantik dari sananya, bahkan tanpa lapisan make up sedikitpun.
Rasa-rasanya aku pernah mendengar
gosip tentang Fazzie yang menjadi rebutan kakak-kakak angkatan sebelumnya. Atau
mungkin aku salah dengar.
Karena Fazzie bukan tipe gadis
yang seperti itu.
Dia amat baik, meski memang dalam
sekali lihat kau akan tahu bahwa dia ini adalah primadona selama di SMA. Kau
tahu kan, tipe-tipe cewek yang tergabung dalam geng penguasa sekolah, biasanya
anggota cheerleader, atau pacar ketua
OSIS, atau pacar kapten tim basket SMA. Dan tipe cewek seperti ini biasanya
angkuh, karena merasa punya kuasa.
Oh, kau tahulah seperti apa, tak
perlu kujelaskan, kayak tidak pernah nonton film saja.
Fazzie–berbanding terbalik dengan
gadis-gadis di masa SMA itu–sangat ramah pada semua orang. Dia juga tidak
pilih-pilih teman, meski memang ada beberapa orang yang dekat dengannya. Yah,
tidak jauh-jauh dari penampilannya lah. Meskipun begitu mereka tidak dengan
sendirinya berkoar-koar bahwa mereka adalah penguasa kampus, tetapi bisa
berbaur dengan anak-anak lain.
“Maaf ya mengganggumu yang lagi
ngerjain laporan,” ujar Fazzie, ketika kami sudah keluar perpustakaan dan duduk
di kantin yang sepi.
“Ah, nggak apa-apa,” kataku.
“Laporanmu udah selesai?”
“Belum,” Fazzie nyengir. “Hari
Jum’at kan dikumpulinnya?”
“Iya.”
“Kamu nanti nonton basket?” tanya
Fazzie.
“Nggak tau, pengennya sih,”
sahutku, menyeruput es jerukku. “Tapi Oki lagi praktikum, bingung mau pergi
sama siapa entar...”
“Sama si itu aja, siapa sih,
kapten basket itu lho,” Fazzie nyengir. “Yang manis.”
“Raga?”
“Iya, dia, kan sekalian,” kata
Fazzie.
“Nggak ah, ngerepotin...”
senyumku.
“Wah,” sahut Fazzie. “As expected, from you...”
Eh?
Apa itu barusan? Rasanya aku
mendengar sesuatu yang mirip dengan yang pernah seseorang katakan tentangku.
Padaku.
“Maksudnya...?”
“Nggak apa-apa,” Fazzie tersenyum
sangat manis.
“Jadi, kamu mau ngomongin apa?”
tanyaku akhirnya, setelah kami hening selama dua menit.
Fazzie menengadah dari atas es
tehnya. Dia tersenyum salah tingkah, seperti ketahuan menyembunyikan sesuatu.
“May... sebenernya aku mau ngomong tentang Satria.”
Nama itu. Selalu membuatku
berdebar setiap kali disebut. Dan fakta bahwa Fazzie duluan yang menyebutkannya
membuatku tambah bingung.
“Satria?”
Fazzie mengangguk. “Kamu... deket
kan sama Satria?”
Nah
loh, fakta darimana lagi ini?
“Nggak juga sih... kalo dibilang
deket juga enggak. Lagipula mereka kan deketnya sama Selva, Ayu, Tari...” aku
menyebutkan nama teman-teman sekelas kami yang memang dekat dengan Satria atau
gerombolan cowok itu sejak semester satu. “Mereka kan NIM-nya deketan, jadi
sering satu kelompok...”
Fazzie mengangguk-angguk.
“Kenapa kamu nggak tanya sama
mereka aja?” tanyaku, tanpa bermaksud menghindar.
“Ah... gimana ya, rasanya nggak
bisa nyambung aja,” ujar Fazzie tersenyum, dan aku menyetujui dalam hati.
“Rasanya lebih nyaman kalo aku tanya sama kamu, haha.”
Aku hanya ikut tertawa.
“May,” kata Fazzie yang tak
berani memandangku. “Kok rasanya... aku ngerasa...”
Dia berhenti. Aku tak mengerti,
itu untuk menimbulkan kesan dramatis atau memang dia sedang memilih kata yang
tepat, atau mungkin dia meragukan keputusannya bicara denganku. Aku tidak
menyela, hanya menunggu.
“...Satria...”
Aku memandanginya.
“...suka sama aku...”
Mataku membesar.
“Eh?” akhirnya aku bersuara.
“Kamu ngerasa Satria suka sama kamu?” Sebisa mungkin aku mempertahankan nada
suaraku agar tetap tenang.
Fazzie mengangguk, dan senyumnya
hilang dari bibirnya. Pipinya memerah.
“Gimana...?” kataku tertahan.
“Katanya kalau dia sampai final
futsal ini, dia mau nembak...” ujar Fazzie. “Tapi, aku nggak tau...”
Final?
Futsal? Nembak?
Kata-kata itu bergaung di
benakku, diulang berkali-kali tanpa henti oleh otakku. Fazzie? Satria suka Fazzie? Marisa
apa kabar?
Lalu
aku siapanya?
Aku sadar betul mukaku memerah,
campuran kesal, benci, marah, sedih, dikecewakan, tetapi aku tidak bisa
menumpahkannya pada cewek di depanku. Bukan salah Fazzie. Ini bukan salah
Fazzie.
Fazzie
kan cantik, ya wajar sih kalau Satria suka sama dia.
Kuabaikan suara hati jahat yang
muncul barusan.
“Satria ngomong gitu sama kamu?”
aku menyedot es jeruk untuk mendinginkan hatiku yang memanas.
“Bukan sih, tapi temennya... Ary.
Anak-anak futsal yang lain juga. Mereka yang ngomong kalo Satria suka sama
aku...”
“Fazzie,” panggilku, dan dia
akhirnya memandangku setelah selama ini menunduk. “Sebentar... kamu tahu gosip
Satria sama Marisa adik angkatan kita?”
Fazzie mengangguk. “Aku juga
awalnya langsung mikir si Marisa-Marisa itu, tapi terus Ary bilang Marisa udah
nggak deket lagi sama Satria... dan akhir-akhir ini aku sama Satria sering
BBM-an...”
“Dan adakah di pembicaraan kalian
dia menyinggung kalau dia suka kamu?” kataku nyaris sinis.
Fazzie menggeleng. “Dia cuma
minta aku dateng di tiap pertandingannya...”
Dia
juga bilang begitu padaku, cantik. Dia butuh suporter.
Aku mengangguk-angguk.
“Terus... kemarin dulu waktu aku
nggak sengaja duduk di sebelahnya... temen-temennya pada nyorakin.”
“Ah, temen-temen kita emang kayak
anak kecil semua.”
Fazzie tertawa, tidak menyadari
bahwa aku tidak mengatakannya untuk bercanda atau apa. “Aku ngerasa nggak enak,
May, sama kamu.”
“Hah? Kenapa nggak enak?”
“Soalnya kan kamu juga deket sama
Satria, dan... kupikir kamu suka sama dia...”
Sejelas itukah? Rasanya aku tidak
pernah gembar-gembor kalau aku suka pada Satria. Rasanya hanya Oki yang
benar-benar tahu.
“...temen-temennya juga sering
cie-ciein kamu kan?”
Oh.
Sedari dulu
memang begitu... kalau ada dua anak di kelas yang terlihat dekat, kemudian
sering disoraki teman-temannya, kemungkinan besar mereka berdua akan berakhir
dengan saling menyukai satu sama lain. Mungkin ini yang terjadi pada Fazzie...
dan Satria.
“Sudah kubilang, mereka itu childish...” Aku menyeruput es jerukku
lagi. “Nggak perlu nggak enak gitu lah.”
“Tapi emang beneran... kalo...
Satria...”
Aku menggeleng sebelum Fazzie
mengakhiri kalimatnya, menolak mendengarkan tiga kata terakhir yang sudah
kutebak. “Aku nggak tahu. Akhir-akhir ini aku sama dia jarang bicara...” ujarku
jujur. “Maaf ya,” tambahku kemudian, melihat raut kecewa di wajah Fazzie.
“Besok final futsal, May...” kata
Fazzie, suaranya bergetar. “Aku nggak tahu apa bener dia mau...” dia meneguk
ludah, tidak menyelesaikan kalimatnya. Penuh keraguan.
“Gini,” ujarku, tidak tega juga
melihat perasaan cewek ini terombang-ambing, “jangan berharap. Jangan membuat
skenario-mu sendiri... biarkan semuanya berjalan apa adanya saja. Jangan mikir
macem-macem juga. Anggaplah yang kemarin-kemarin itu hanya sedikit hiburan buat
hidupmu–yang monoton–dan kalau misalnya,” kali ini aku yang menelan ludah, merelakan
perasaanku, “dia emang bener-bener nembak kamu, berarti kamu dapet jackpot.” Aku menambahkan senyum di
akhir kalimatku.
Fazzie menarik napas. Kemudian
dia tampak lega. “Makasih ya, May...”
Aku tersenyum, menahan air mataku
yang nyaris tumpah.
“Malam ini aku bisa tidur
nyenyak,” Fazzie tersenyum.
“Syukurlah,” aku menyeruput es
jerukku yang sudah habis. “Nanti nonton basket?” tanyaku basa-basi.
Fazzie mengangguk. “Udah janjian
sama Kiki, Ara sama Vanny.”
Yang disebutkan barusan adalah
cewek-cewek yang tak kalah cantiknya dengan Fazzie, teman-teman sekelasku.
“Oh iya,” kata Fazzie mendadak.
“Aku lupa. Ada satu hal yang bikin aku yakin kalau kamu nggak naksir Satria...”
“Ng? Apa?” tanyaku bingung.
“Kamu suka sama Raga, bukan?”
Herannya, aku bingung bagaimana
menjawab pertanyaan ini.
*
* *