7 Okt 2012


Tempat paling nyaman di kampusku–ber-AC, hening, sejuk–adalah perpustakaan. Plus, aku bisa menyendiri di salah satu pojok perpustakaan tanpa resiko diajak ngobrol oleh orang-orang yang lewat dan mengenaliku. Ini adalah alasan kenapa aku sering sekali bertandang ke tempat penuh buku-buku ini–alasan utamanya adalah karena aku sedang ingin menjauhi semua orang.
Seperti sekarang, di pagi hari pukul sepuluh ketika kuliah Farmakologi-ku sudah selesai dan tidak tahu harus melakukan apa. Beberapa temanku bersiap-siap untuk mengikuti praktikum Radiologi Dental yang dilakukan secara bergilir menurut urutan presensi. Aku sudah melakukan praktikum Raden ini, beberapa minggu lalu, karena Nomor Induk Mahasiswa-ku terletak di awal urutan presensi. Oki, yang belum praktikum karena NIM-nya terletak di akhir, memohon-mohon padaku tips menjalani praktikum dengan mudah.


“Enak kok, enak,” kataku habis sabar. “Dibantuin.”
“Nggak perlu belajar kan?”
“Ya baca lah dikit, biar tau mau ngapain.”
Satria juga sudah menjalani praktikumnya. Yah, aku hanya ingin memberi informasi.
Pukul empat sore nanti Raga dan tim basketnya akan mengikuti final pertandingan basket melawan FEB. Aku tak tahu apa aku bisa menonton atau tidak, tetapi aku sangat berharap aku bisa datang. Berhubung Oki nanti praktikum dan belum tahu akan selesai jam berapa, maka aku tidak bisa menjanjikan datang tepat waktu ke pertandingan Raga. Padahal hari ini aku sudah sengaja nebeng Oki agar pulangnya bisa langsung ke GOR.
Bisa saja sih aku mengabari Satria dan kemudian kami berdua pergi bersama ke GOR... atau ini hanya mimpiku saja.
Hannah, gadis riang gembira berambut pirang itu muncul di pintu perpustakaan tepat ketika aku sedang mengingat Satria dengan kaus merah kemarin.
“Kak Maya,” dia langsung bisa menemukan aku di pojok favoritku. “Lucu deh rambutnya.”
“Makasih,” kataku, “pelankan suaramu.”
Beberapa mahasiswa menoleh mendengar suara Hannah yang melengking.
“Nanti nonton?”
“Pengennya. Kamu?”
“Aduh, aku ada asistensi, Kak,” ujarnya sedih. “Mikrobiologi. Jam setengah empat.”
“Yaah,” aku turut menyesal. “Padahal ini final...”
“Tapi angkatanku banyak yang nonton pasti Kak, mereka udah asistensi mikro kemarin. Histo juga udah. TKG juga pada banyak yang udah selesai, tinggal polishing. Pasti rame deh.” Hannah menjelaskan dengan cepat dan teratur.
“Mudah-mudahan,” kataku, berharap suporter yang datang lebih banyak dari waktu semifinal kemarin.
Hannah dengan terburu-buru keluar perpustakaan begitu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas kurang lima. Dia bilang hari itu ada kuis Anatomi sebelum kuliah dimulai. Aku melepasnya pergi. Aku tidak bertanya apakah Raga ada kuis Anatomi juga–Hannah dan Raga berbeda kelas, karena Hannah pemilik NIM ganjil.
Buatku juga tidak ada untungnya.
Aku kembali menekuri buku-buku tebal Farmakologi yang ada di depanku, mencari jawaban-jawaban yang tepat untuk mengisi laporan praktikum. Kubolak-balik buku itu, mencari penjelasan tentang suatu obat bernama lidocaine di index maupun daftar isi.
Mendadak hidungku mencium wangi parfum yang menyengat. Aku mendongak memandang orang yang ada di seberangku.
Ternyata Fazzie, teman sekelasku.
“Maya,” sapanya, “ada waktu sebentar?”
* * *
Fazzie adalah salah satu teman sekelasku yang cantik jelita. Parasnya menawan, wajah ramping tanpa baby fat di pipi, dagunya lancip. Bibirnya dilapisi oleh lipgloss yang membuatnya senantiasa terlihat berkilauan. Eyeliner juga tak pernah hilang dari matanya, menciptakan efek dramatis di matanya. Sebenarnya dia ini sudah cantik dari sananya, bahkan tanpa lapisan make up sedikitpun.
Rasa-rasanya aku pernah mendengar gosip tentang Fazzie yang menjadi rebutan kakak-kakak angkatan sebelumnya. Atau mungkin aku salah dengar.
Karena Fazzie bukan tipe gadis yang seperti itu.
Dia amat baik, meski memang dalam sekali lihat kau akan tahu bahwa dia ini adalah primadona selama di SMA. Kau tahu kan, tipe-tipe cewek yang tergabung dalam geng penguasa sekolah, biasanya anggota cheerleader, atau pacar ketua OSIS, atau pacar kapten tim basket SMA. Dan tipe cewek seperti ini biasanya angkuh, karena merasa punya kuasa.
Oh, kau tahulah seperti apa, tak perlu kujelaskan, kayak tidak pernah nonton film saja.
Fazzie–berbanding terbalik dengan gadis-gadis di masa SMA itu–sangat ramah pada semua orang. Dia juga tidak pilih-pilih teman, meski memang ada beberapa orang yang dekat dengannya. Yah, tidak jauh-jauh dari penampilannya lah. Meskipun begitu mereka tidak dengan sendirinya berkoar-koar bahwa mereka adalah penguasa kampus, tetapi bisa berbaur dengan anak-anak lain.
“Maaf ya mengganggumu yang lagi ngerjain laporan,” ujar Fazzie, ketika kami sudah keluar perpustakaan dan duduk di kantin yang sepi.
“Ah, nggak apa-apa,” kataku. “Laporanmu udah selesai?”
“Belum,” Fazzie nyengir. “Hari Jum’at kan dikumpulinnya?”
“Iya.”
“Kamu nanti nonton basket?” tanya Fazzie.
“Nggak tau, pengennya sih,” sahutku, menyeruput es jerukku. “Tapi Oki lagi praktikum, bingung mau pergi sama siapa entar...”
“Sama si itu aja, siapa sih, kapten basket itu lho,” Fazzie nyengir. “Yang manis.”
“Raga?”
“Iya, dia, kan sekalian,” kata Fazzie.
“Nggak ah, ngerepotin...” senyumku.
“Wah,” sahut Fazzie. “As expected, from you...”
Eh?
Apa itu barusan? Rasanya aku mendengar sesuatu yang mirip dengan yang pernah seseorang katakan tentangku. Padaku.
“Maksudnya...?”
“Nggak apa-apa,” Fazzie tersenyum sangat manis.
“Jadi, kamu mau ngomongin apa?” tanyaku akhirnya, setelah kami hening selama dua menit.
Fazzie menengadah dari atas es tehnya. Dia tersenyum salah tingkah, seperti ketahuan menyembunyikan sesuatu. “May... sebenernya aku mau ngomong tentang Satria.”
Nama itu. Selalu membuatku berdebar setiap kali disebut. Dan fakta bahwa Fazzie duluan yang menyebutkannya membuatku tambah bingung.
“Satria?”
Fazzie mengangguk. “Kamu... deket kan sama Satria?”
Nah loh, fakta darimana lagi ini?
“Nggak juga sih... kalo dibilang deket juga enggak. Lagipula mereka kan deketnya sama Selva, Ayu, Tari...” aku menyebutkan nama teman-teman sekelas kami yang memang dekat dengan Satria atau gerombolan cowok itu sejak semester satu. “Mereka kan NIM-nya deketan, jadi sering satu kelompok...”
Fazzie mengangguk-angguk.
“Kenapa kamu nggak tanya sama mereka aja?” tanyaku, tanpa bermaksud menghindar.
“Ah... gimana ya, rasanya nggak bisa nyambung aja,” ujar Fazzie tersenyum, dan aku menyetujui dalam hati. “Rasanya lebih nyaman kalo aku tanya sama kamu, haha.”
Aku hanya ikut tertawa.
“May,” kata Fazzie yang tak berani memandangku. “Kok rasanya... aku ngerasa...”
Dia berhenti. Aku tak mengerti, itu untuk menimbulkan kesan dramatis atau memang dia sedang memilih kata yang tepat, atau mungkin dia meragukan keputusannya bicara denganku. Aku tidak menyela, hanya menunggu.
“...Satria...”
Aku memandanginya.
 “...suka sama aku...”
Mataku membesar.
“Eh?” akhirnya aku bersuara. “Kamu ngerasa Satria suka sama kamu?” Sebisa mungkin aku mempertahankan nada suaraku agar tetap tenang.
Fazzie mengangguk, dan senyumnya hilang dari bibirnya. Pipinya memerah.
“Gimana...?” kataku tertahan.
“Katanya kalau dia sampai final futsal ini, dia mau nembak...” ujar Fazzie. “Tapi, aku nggak tau...”
Final? Futsal? Nembak?
Kata-kata itu bergaung di benakku, diulang berkali-kali tanpa henti oleh otakku. Fazzie? Satria suka Fazzie? Marisa apa kabar?
Lalu aku siapanya?
Aku sadar betul mukaku memerah, campuran kesal, benci, marah, sedih, dikecewakan, tetapi aku tidak bisa menumpahkannya pada cewek di depanku. Bukan salah Fazzie. Ini bukan salah Fazzie.
Fazzie kan cantik, ya wajar sih kalau Satria suka sama dia.
Kuabaikan suara hati jahat yang muncul barusan.
“Satria ngomong gitu sama kamu?” aku menyedot es jeruk untuk mendinginkan hatiku yang memanas.
“Bukan sih, tapi temennya... Ary. Anak-anak futsal yang lain juga. Mereka yang ngomong kalo Satria suka sama aku...”
“Fazzie,” panggilku, dan dia akhirnya memandangku setelah selama ini menunduk. “Sebentar... kamu tahu gosip Satria sama Marisa adik angkatan kita?”
Fazzie mengangguk. “Aku juga awalnya langsung mikir si Marisa-Marisa itu, tapi terus Ary bilang Marisa udah nggak deket lagi sama Satria... dan akhir-akhir ini aku sama Satria sering BBM-an...”
“Dan adakah di pembicaraan kalian dia menyinggung kalau dia suka kamu?” kataku nyaris sinis.
Fazzie menggeleng. “Dia cuma minta aku dateng di tiap pertandingannya...”
Dia juga bilang begitu padaku, cantik. Dia butuh suporter.
Aku mengangguk-angguk.
“Terus... kemarin dulu waktu aku nggak sengaja duduk di sebelahnya... temen-temennya pada nyorakin.”
“Ah, temen-temen kita emang kayak anak kecil semua.”
Fazzie tertawa, tidak menyadari bahwa aku tidak mengatakannya untuk bercanda atau apa. “Aku ngerasa nggak enak, May, sama kamu.”
“Hah? Kenapa nggak enak?”
“Soalnya kan kamu juga deket sama Satria, dan... kupikir kamu suka sama dia...”
Sejelas itukah? Rasanya aku tidak pernah gembar-gembor kalau aku suka pada Satria. Rasanya hanya Oki yang benar-benar tahu.
“...temen-temennya juga sering cie-ciein kamu kan?”
Oh. Sedari dulu memang begitu... kalau ada dua anak di kelas yang terlihat dekat, kemudian sering disoraki teman-temannya, kemungkinan besar mereka berdua akan berakhir dengan saling menyukai satu sama lain. Mungkin ini yang terjadi pada Fazzie... dan Satria.
“Sudah kubilang, mereka itu childish...” Aku menyeruput es jerukku lagi. “Nggak perlu nggak enak gitu lah.”
“Tapi emang beneran... kalo... Satria...”
Aku menggeleng sebelum Fazzie mengakhiri kalimatnya, menolak mendengarkan tiga kata terakhir yang sudah kutebak. “Aku nggak tahu. Akhir-akhir ini aku sama dia jarang bicara...” ujarku jujur. “Maaf ya,” tambahku kemudian, melihat raut kecewa di wajah Fazzie.
“Besok final futsal, May...” kata Fazzie, suaranya bergetar. “Aku nggak tahu apa bener dia mau...” dia meneguk ludah, tidak menyelesaikan kalimatnya. Penuh keraguan.
“Gini,” ujarku, tidak tega juga melihat perasaan cewek ini terombang-ambing, “jangan berharap. Jangan membuat skenario-mu sendiri... biarkan semuanya berjalan apa adanya saja. Jangan mikir macem-macem juga. Anggaplah yang kemarin-kemarin itu hanya sedikit hiburan buat hidupmu–yang monoton–dan kalau misalnya,” kali ini aku yang menelan ludah, merelakan perasaanku, “dia emang bener-bener nembak kamu, berarti kamu dapet jackpot.” Aku menambahkan senyum di akhir kalimatku.
Fazzie menarik napas. Kemudian dia tampak lega. “Makasih ya, May...”
Aku tersenyum, menahan air mataku yang nyaris tumpah.
“Malam ini aku bisa tidur nyenyak,” Fazzie tersenyum.
“Syukurlah,” aku menyeruput es jerukku yang sudah habis. “Nanti nonton basket?” tanyaku basa-basi.
Fazzie mengangguk. “Udah janjian sama Kiki, Ara sama Vanny.”
Yang disebutkan barusan adalah cewek-cewek yang tak kalah cantiknya dengan Fazzie, teman-teman sekelasku.
“Oh iya,” kata Fazzie mendadak. “Aku lupa. Ada satu hal yang bikin aku yakin kalau kamu nggak naksir Satria...”
“Ng? Apa?” tanyaku bingung.
“Kamu suka sama Raga, bukan?”
Herannya, aku bingung bagaimana menjawab pertanyaan ini.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates