Hari Pertama
Raga datang ke rumahku jam tujuh
malam itu, bercerita bahwa dia baru saja pulang latihan basket.
“Mandi dulu bisa sih!” kataku
pura-pura kesal, melihatnya berlumuran keringatnya sendiri.
Dia tertawa. “Iya, kakakku
sayang. Aku cuma mau ngasih ini...”
Raga mengulurkan sebuah kotak
beludru warna biru, yang nyaris bisa kutebak apa isinya. “Kembaran sama aku,
lho!” ujarnya nyengir, menunjukkan cincin di jari tengah kanannya.
Aku baru menyadarinya. “Jadi ini
ceritanya couple ring?” tanyaku
dengan nada tak percaya. Raga mengangguk-angguk.
Kubuka kotak beludru itu, dan
menemukan cincin yang mirip dengan milik Raga, yang tadi siang dimasukkan dalam
gelas es tehku. Aku mengeluarkan cincin dan memasangnya di jariku. Tak kuduga,
ternyata cincinnya pas.
“Cantik, ya,” ujarku mengagumi
tanganku sendiri.
“As always,” kata Raga gombal. Tetapi aku tetap malu dan senang
mendengarnya.
“Kok bisa pas, sih?”
“Feeling?” jawab Raga ngasal. “Kakak udah makan?”
“Aku lagi masak. Mau makan?”
tanyaku, menyilakannya masuk setelah selama beberapa menit ini di teras. “Udah
lama nggak ada yang makan disini.”
“Ooh, sedihnya,” sahut Raga,
dengan raut muka sedih yang pura-pura. “Boleh deh, Kakak masak apa?”
“Perkedel sama pecel...”
“Wua.”
Raga melongo melihat perkedel-perkedel
jagung yang baru saja kugoreng dan masih panas tersaji di atas meja makanku. Aku
sedang merebus sayur untuk pecel, sembari mencairkan sambal kacang siap saji
yang kubeli.
“Sini aku bikin sambel
kacangnya,” kata Raga menawarkan diri, melihat aku menekan-nekan padatan sambal
kacang yang digenangi air hangat itu dengan sendok.
“Thank you,” ujarku tersenyum.
Sebentar,
situasi ini...
Kok
kayak adegan masak-memasak di dapur sepasang pengantin baru?
Aku menggeleng-gelengkan
kepalaku, mengusir pikiran bodoh yang datang barusan. Akane, yang duduk manis
di sebelah kaki Raga, mengeong padaku seolah mengingatkanku agar tidak
berkhayal yang aneh-aneh.
Ketika makanan siap, aku dan Raga
membawanya ke ruang tamu yang pintunya terbuka, dan menyantap makan malam kami.
Benar.
Sudah lama tidak ada yang makan disini.
Dan aku kangen saat-saat itu. Senang
rasanya melihat Raga yang mengaku kelaparan melahap pecel dan perkedel yang
kumasak dan mengunyahnya dengan nikmat. Selalu ada rasa bahagia tersendiri
ketika melihat masakanmu dimakan oleh orang lain dengan senang.
“Gimana?” tanyaku hati-hati,
melihat Raga makan dengan cepat.
“Hmmm,” kata Raga, membuat
gumaman menyenangkan. “Hmmm.”
Aku tertawa, mungkin gumamannya
berarti tidak-perlu-kuutarakan-cukup-lihat-saja-bagaimana-aku-makan.
Kusuap sesendok nasi dan pecel ke mulutku.
Raga pamit ke dapurku untuk
menambah satu porsi nasi lagi. Aku ternganga ketika melihat porsi yang dia
ambil lebih banyak daripada yang dia makan sebelumnya.
“Kamu laper apa doyan sih,”
sindirku.
“Dua-duanya. Capek Kak, latihan
tadi,” ujarnya memberi alasan.
Seusai makan Raga tinggal
sebentar untuk memberi kesempatan makanannya turun ke usus dan dicerna–sambil
sekali-sekali mencomot perkedel yang masih tersisa untuk dimakan sebagai
cemilan–dan kami mengobrol di teras. Akane berada dalam pelukan Raga,
tampak-nyaman. Dia mendengkur ketika Raga menggaruk dagunya.
“Gimana semester dua? Lancar?”
tanyaku.
Raga mendengus, lalu tertawa
pahit. “Nggak tahu lah Kak, suram kayaknya. Nggak heran sih kenapa kakak-kakak
angkatan pada bilang semester ini berat.”
Aku tertawa. “Dulu aku juga nggak
percaya, tapi kenyataannya emang kayak gitu... bikin stres. Aku aja sering
banget nangis dulu, hampir tiap malem...”
“Jinjjayo, noona?” Raga melotot.
“Tapi beda banget sama sekarang,
bisa diitung lah berapa kali aku nangis semester ini...”
“Oh.”
Kemudian kami terdiam, kemungkinan
besar memikirkan hal yang sama, hal yang terjadi beberapa waktu lalu, dan
hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini.
“...nangis gara-gara kuliah sama
praktikum yang berat,” sambungku, ingin meluruskan pemikiran kami berdua yang
salah, “pernah juga sih homesick dulu,
gara-gara kesel praktikum prostonya nggak bener, jariku ketusuk kawat terus,
hahahaha.”
“Ah! Aku sudah menyatakan perang
dengan klamer!” kata Raga berapi-api.
Aku tertawa.
Topik kuliah, praktikum,
responsi, dan UAS menjadi pembicaraan kami selanjutnya. Tak bisa kupungkiri
bahwa aku merasa bahagia ada Raga
disisiku, bisa bicara apa saja, bisa mengeluh apa saja padanya. Bahagia, karena
ada orang yang bisa ada disisiku ketika aku memang butuh seseorang untuk
bersandar. Aku sadar bahwa selama ini aku selalu mengandalkan diariku yang
tidak bisa bereaksi ketika aku bercerita.
Aku sadar bahwa sudah lama aku
tidak merasa senyaman ini pada seseorang.
Raga beranjak pergi. Aku menolak
ajakannya untuk pergi ke kampus bersama-sama pagi keesokan harinya. Maksudku,
yang benar saja. Dia kuliah pukul sembilan sementara aku pukul tujuh. Dia mau
ngapain selama dua jam?
Setelah melepas Raga (Akane
kelihatan tak rela, dan dia rewel terus), aku berbaring di kasur, masih
tersenyum-senyum, dan berguling-guling disana. Kuambil buku praktikum Patologi
Klinik-ku, membaca beberapa halaman, tetapi malah wajah Raga yang selalu
muncul.
Rasanya aku kembali muda.
Pukul delapan malam, aku dilanda kebosanan.
Kunyalakan laptop, memasang modem, kemudian membuka situs Twitter. Sudah beberapa hari ini aku tidak meng-update Twitter-ku–aku menghindari membaca tweet-tweet
selamat atau doa-doa kepada Satria atau Fazzie.
Dia sendiri bilang bahwa aku
tidak boleh menyakiti diriku sendiri, kan?
Mention-ku sepi, seperti biasa. Hanya
ada 1-2 mention yang sudah lama dari
teman SMA. Dan satu mention dari Raga,
dikirim jam enam belas lewat lima belas sore tadi.
@raga_bhakti:
gomawoyo, noona @mayandaa
Mau tak mau aku tersenyum kecil
membacanya.
@mayandaa:
@raga_bhakti besok Pratentamen anat? semangat ya ^^
Aku, yang tidak mengharapkan tweet itu langsung dibalas, kaget
melihat notifikasi yang muncul dari sudut kanan bawah desktop-ku.
@raga_bhakti:
@mayandaa iya, doain ya kak :D kakak besok PK kan?
@mayandaa:
@raga_bhakti semacam itu, tapi males belajar nih
@raga_bhakti:
@mayandaa tidur aja dulu, pas bangun pasti udah segeran
@mayandaa:
@raga_bhakti ntar malah ketiduran sampe pagi, hahahahaha
@raga_bhakti:
@mayandaa aku bangunin?
@mayandaa:
@raga_bhakti beneran? kamu nggak begadang malem ini? nanti kamu lupa lagi
-___-“
@raga_bhakti:
@mayandaa enggak kok, hahahaha seriusan mau aku bangunin jam berapa?
Dan aku terdiam sejenak melihat mention kami berdua yang memenuhi timeline. Pikiranku melesat pada para followers yang melihatnya, dan bagaimana
pikiran mereka melihat tweet yang
kami update.
Pasti mereka merasa terganggu.
Setidaknya, bagiku, itu akan
mengganggu.
@mayandaa:
@raga_bhakti abis subuh aja...
@raga_bhakti:
@mayandaa nggak mau agak pagian? jam tiga-empat gitu?
@mayandaa:
@raga_bhakti dan terbangun sendirian di rumah, dengan keadaan masih gelap? no,
thanks.
Begitu aku mengirim tweet itu, mendadak muncul notifikasi
lagi. Dari Alva.
@alvaalpha:
@mayandaa @raga_bhakti cieeee morning call ehem ehem ;;)
@mayandaa:
@alvaalpha apa -__-“
Tweet balasan dari Alva tidak
kuacuhkan lagi. Beberapa saat kemudian teman-teman seangkatanku yang lain
muncul me-mention-ku dan Raga, dengan
isi tweet yang hampir sama dengan tweet Alva tadi. Sudah kuduga. Jam-jam
seperti ini memang jamnya anak-anak untuk online Twitter, dan memenuhi timeline.
@raga_bhakti:
@mayandaa jam setengah lima ya kak. sip sip.
@mayandaa:
@raga_bhakti jangan lupaaa anatominyaaa
@mayandaa:
Well, it’s now official :)
@raga_bhakti:
RT @mayandaa: Well, it’s now official :)
Kuramalkan tweet-ku barusan yang di-RT Raga akan menjadi topik terhangat untuk
besok, seharian, di lingkungan FKG.
Aku me-refresh timeline dan
menemukan satu tweet yang baru
muncul. Dari Satria. Bukan untukku ataupun untuk Raga.
@swaraSatria:
@fazyranty BBM pending. bentar lagi ke kosan.
Aku merasakan hentakan kecil di
hatiku, kemudian jendela browser itu
aku tutup.
*
* *
I
like the way you talk
I
like the way you walk
I
like the way you love
You
rock my world
And
I rock your world
Aku terbangun karena dering handphone yang menyiarkan lagu Tok Tok milik Mighty Mouth itu–nada
dering khusus untuk Raga. Tepat pukul setengah lima pagi.
“Ngng,” gumamku sembari
mengumpulkan nyawa.
“Bangun, Kak...” bisik Raga di
telepon.
“Iya iya ini udah bangun,” aku
mengucek-ucek mataku.
“Baguslah. Jangan tidur lagi,
ya!” kata Raga riang.
“Iya, makasih ya...” gumamku,
menguap. “Kamu baru bangun juga?”
“Enggak, aku udah bangun dari jam
tiga tadi...”
“Hah, ngapain.”
“Nge-game!”
“Buset dah bukannya ngapal
anatomi...”
“Suntuk, makanya main. Ini mau
tidur bentar.”
“Kuliah jam berapa?” tanyaku,
bangkit dari tempat tidur dan memutar-mutar pinggangku.
“Jam sembilan. Bisalah tidur
sejam-dua jam...”
“Ntar kebablasan lho,” kataku
menakuti.
“Paling telat. Hahahaha...”
Sedikit banyak Raga agak mirip
Oki.
“Ya udah deh aku mau belajar PK
bentar,” kataku menutup pembicaraan.
“Oki doki, my lady.”
Aku merasa wajahku memerah, dan
saat itu juga aku bisa membayangkan senyum Raga dengan lesung pipitnya yang
manis.
“Gomawo,” kataku sebelum dia menutup telepon.
Nyaris melompat-lompat menuju
kamar mandi, aku tak bisa menanggalkan senyumku. Belum pernah rasanya aku
membuka buku praktikum Patologi Klinik sebahagia ini.
Morning
call. Sudah lama
sekali sejak aku terakhir kali mendapat morning
call dari seorang cowok. Dan rasanya cukup menyenangkan.
Pukul setengah enam aku
menyelesaikan membaca buku praktikum PK, mengecek jas labku apakah sudah masuk
tas atau belum, kemudian bersiap-siap. Sembari mendengarkan lagu Wonder Girls–yang
judulnya Like This, dan aku masih
berusaha mempelajari gerakan dance-nya–dengan
bahagia aku menyiapkan sepedaku, mengecek rantainya (aku tidak mau rantai itu
lepas lagi dan ditolong Satria lagi; bukannya aku berharap, tapi kau tahu
maksudku, kan?) mengecek bannya apakah kempes atau tidak, lalu meluncur seperti
biasa menuju kampus.
Aku merasa menjadi orang pertama
yang datang di kampus–yang salah besar, karena satpam kampus dan petugas
kebersihan sudah datang lebih dulu, menyapaku, dan berkata bahwa aku rajin
sekali. Aku menyalami bapak satpam yang kuduga usianya lebih tua daripada
ayahku, kemudian menuju warung kecil yang menjual gorengan dan kue-kue di
sebelah tempat fotokopi.
“Pagi, Bu...” sapaku pada ibu
penjual. Kuturunkan headphone selagi
memilih gorengan yang disajikan.
“Iya Mbak, pagi amat datengnya?
Kuliah jam berapa?” tanya ibu itu ramah.
“Jam tujuh, Bu...” jawabku
tersenyum, masih bingung mengamati berbagai jenis makanan ringan yang tersaji.
“Mau makan apa?” tanya ibu itu
lagi. “Mau nasi?”
Pandanganku terarah pada
nasi-nasi bungkus yang masih kelihatan hangat di meja belakang ibu penjual.
Menggiurkan sebenarnya.
“Ah, saya jajan aja, Bu,” tolakku
halus. Aku memutuskan untuk membeli satu pisang goreng dan satu arem-arem,
serta satu kotak susu rasa strawberry. Kubayar jajananku, berterimakasih pada
ibu penjual, lalu keluar warung dan mencari tempat duduk untuk makan sebentar. Kursi-kursi
di depan perpustakaan tampaknya cocok.
Ketika aku memasang headphone lagi (yang lagunya masih tetap
terputar karena aku tidak menghentikan lagu), rupanya aku mendengarkan satu
lagu milik Nell yang berjudul The Day
Before. Lagu yang bagus, sangat bagus malah, hanya saja melodinya terlalu
sedih.
Kadang aku heran kenapa lagu-lagu
dengan nada-nada tertentu bisa mengakibatkan orang me-recall memorinya, dan mengingat kenangan-kenangan tertentu–biasanya
sih kenangan sedih–kemudian mengaitkannya dengan lagu itu.
Aku ingat bagaimana aku menangis
habis-habisan mendengar lagu Baby I’m
Sorry milik B1A4 waktu dulu itu. Maksudku, yang benar saja! Lagu itu lagu dance, dan aku menangis? Sampai sekarang
aku tidak bisa mengingat kenapa aku bisa sampai menangis waktu melihat video
musiknya, aku hanya tahu aku merasa tersentuh ketika melihat Jinyoung keluar
dari pintu dengan ekspresi sakit, dan menyanyikan liriknya sepenuh hati.
Kemudian aku menangis setiap mendengar suaranya, atau ketika videonya
menampilkan wajahnya... yang mirip Satria, meski Satria tidak memakai anting.
Oke, mungkin ini tentang Satria.
Lagu Nell masih bermain di
benakku, dan aku berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis mendengar nada-nada
sedih itu. Agar tidak kemudian mengingat memori-memori tertentu tentang
siapapun–terutama Satria.
Tetapi aku gagal, dan aku
berhenti mengunyah pisang gorengku, sementara harmoni yang dihasilkan oleh
biola di lagu yang kudengarkan berhasil membuat kenangan-kenanganku yang
menyakitkan muncul di pikiranku. Tanpa bisa kucegah kantung air mataku bocor
lagi, menyebabkan air menggenang di mataku. Kusedot susu strawberry dari
kotaknya dan menenangkan pikiranku, merasa malu karena tiba-tiba menangis di
tempat umum, meski di sekitar sana tidak ada orang.
Betapa leganya aku ketika lagu
itu berakhir, dan berganti dengan lagu lain yang lebih ceria.
Satria,
ya.
Jadi aku masih kepikiran Satria. Ternyata.
Kupandangi cincin emas imitasi
polos yang kukenakan di jari manis kananku, memikirkan orang yang memberinya
padaku kemarin malam, yang mungkin masih tertidur. Dan, oke, memikirkan Raga
yang sedang tertidur ternyata tidak begitu baik, karena bayanganku melesat
kemana-mana. Kuputuskan untuk segera ke ruang kelas setelah membuang sampah
jajananku tadi.
Setelah beberapa menit sendirian
di kelas, tidak melakukan apa-apa dan hanya bengong mendengarkan musik,
akhirnya beberapa teman sekelasku datang. Syukurlah. Kukira hari itu masuk jam
delapan, atau ternyata hari itu tidak ada kuliah pagi, atau apa. Tidak ada
jarkom seperti biasa, dan kalaupun ada jarkom, pasti akan disebar duluan lewat
BBM di grup kelas, yang mana aku tidak akan bisa membacanya, karena handphone-ku bukan Blackberry.
“Ciee cincinnya,” adalah
kata-kata pertama Kelly padaku pagi itu. “Dikasih Raga ya?”
“Gitu deh,” aku tersenyum.
“Gimana, udah belajar PK?”
“Ah, suram tapi,” jawab Kelly
muram. “Nggak ngerti, bahannya banyak banget...”
Aku hanya tertawa.
“Jadi, tadi pagi dibangunin Raga
ya?” kata Kelly dengan alis terangkat, menggodaku.
“Apaan sih.”
Kelly tertawa, mungkin melihat
perubahan yang terjadi pada pipiku, karena aku sendiri merasa pipiku
menghangat. “Gimana rasanya?”
“Rasanya apa?”
“Jadian sama berondong,” kata
Kelly langsung.
Aku tak bisa menahan diriku untuk
tersenyum. “Biasa aja... lagian baru beberapa hari juga...”
“Baru kemarin, maksudmu?” tebak
Kelly.
“Begitulah.”
“Maya! It’s official, ya?” tegur Alva, terkekeh, di belakangku.
“Ah,” ujarku malu.
“Banyak banget ya yang cinlok,
kemarin Satria sama Fazzie, sekarang kamu sama Raga...” komentar Alva, sebisa
mungkin kuabaikan dua nama pertama yang disebut. “Tadinya kupikir kamu sama Oki
bakal jadian, lho.”
“Haha, itu nggak mungkin,” kataku
tegas, sambil memandangi Oki yang baru datang, wajahnya kusut, dan menguap
lebar-lebar.
“Iya, terus kukira Satria bakal
sama Marisa. Kan mereka dulu deket...” tambah Kelly.
Marisa.
Sudah berapa
lama aku tidak mendengar nama itu?
Bodoh,
kau kan memimpikannya, Maya.
Benar juga. Tapi kenapa yang aku
mimpikan waktu itu malah Marisa, bukan Fazzie?
“Si Marisa gimana emangnya,
sekarang? Pasti sedih banget, ya...” sambut Alva, antusias dengan gosip itu.
“Nggak tahu juga, sih. Tapi
kayaknya dia baik-baik aja. Atau mungkin nggak kelihatan...” kata Kelly, yang
tampaknya tahu segalanya. “Emang Raga nggak cerita ke kamu, May?”
“Ha?” aku tak menyangka diikutkan
dalam gosip ini. “Nggak, tuh.”
“Ya kali, Kel,” kata Alva,
memandang Kelly tak percaya. “Raga sama Maya mah ceritanya tentang
masing-masing. Dunia masih milik berdua...”
Aku mendengus. “Nggak, kok...”
“Nah itu orangnya dateng,” bisik
Kelly padaku dan Alva, yang kemudian kompak melihat ke pintu kelas yang ada di
belakang, yang mana menunjukkan pemandangan Satria dan Fazzie datang berbarengan,
hari itu warna hijau.
“Pake baju sama lagi,” bisik
Alva, yang ternyata juga memerhatikan fenomena ini sejak Satria dan Fazzie
jadian. “Mesranya.”
“Ssst,” bisikku pelan, ketika
Fazzie berpisah dari Satria dan berjalan menuju tempat dudukku, Alva, dan
Kelly. “Kalian ini, gosip aja...”
“Habis bosen, sih! Udah lama
nggak ada gosip,” ujar Kelly jujur. “FKG kurang cowok, sih...”
“Iya, jadi nggak ada pemandangan
indah, itu-itu aja orangnya,” keluh Alva. “Cowok-cowok yang tampangnya lumayan
juga udah pada punya pacar, jadi kita juga kekurangan aset.”
“Ngincer co-ass aja, Va,” saran
Kelly. “Ada tuh, namanya Kak Yogi, angkatan 2007, ganteng... manis gitu.”
“Yee, dia juga udah punya pacar
tau. Pacarnya anak teknik. Yang lajang tuh,”–aku nyaris tersedak mendengar Alva
mengucapkan kata ‘lajang’–“Kak Tyo! Asisten TKG II dulu, inget nggak?”
“Tau, tau! Tapi dia nggak
ganteng...”
“Emang sih, nggak ganteng, cuma
enak dilihat...”
Aku tersenyum simpul, kemudian
menutup telingaku dari pembicaraan tentang kakak angkatan itu. Kalau kau kuliah
di FKG, pemandangan sehari-hari dari para co-ass memang selalu seru untuk
dilihat. Kau percaya? Jas co-ass yang warnanya putih itu, bisa membuat
pemakainya terlihat lebih karismatik. Membuat cowok-cowok kelihatan lebih
gagah, dan membuat cewek-cewek kelihatan lebih memesona.
Aku sudah membuktikannya. Kakak-kakak
angkatan yang kukenal sebelumnya sebagai asisten praktikumku di semester dua
dan tiga, rata-rata sudah lulus, bergelar S.Kg, dan sedang menjalani proses
co-ass di RSGM. Image mereka langsung
berubah dimataku, begitu melihat orang-orang yang kukenal mengenakan jas putih
bersih itu. Jas co-ass itu begitu pas di badan mereka, membuat mataku selalu
ingin melihat kemanapun pemakai jas putih itu pergi.
Satu hal lagi yang dapat
kutangkap dari kakak-kakak co-ass itu adalah, terutama yang perempuan: high heels. Sepatu high heels berketuk-ketuk di lantai, membuat siapa saja yang mendengarnya
akan berpaling untuk melihat asal suara. Kau akan menemukan sesosok tubuh yang
tinggi ramping, kaki yang mulus, rok selutut, jas putih yang pas di badan,
dengan rambut yang dikuncir rapi, dan wajah yang cantik jelita. Selalu begitu.
Aku sempat berpikir, dan tidak
bisa membayangkan lebih lanjut, ketika pada akhirnya aku akan co-ass dan
memakai high heels ke kampus. Aku
belum bisa membayangkannya. Meski teman-temanku sering berkata, “Kita juga
nanti bakal kayak gitu!” tapi aku sama sekali tidak bisa membayangkan aku dengan
rok selutut, high heels, badan tinggi
ramping dan wajah yang cantik jelita.
Kalau
Satria... Satria pasti akan terlihat gagah dengan jas putih yang pas di
badannya yang atletis.
Kucoba membayangkan Raga. Sulit,
karena aku juga jarang melihatnya menggunakan jas praktikum biasa. Jadi, belum
ada gambaran.
Ayo,
Maya, kembali ke dunia nyata.
*
* *
Responsi Patologi Klinik
dilakukan di laboratorium PK yang ada di FKU, seperti praktikumnya. Kebetulan area
FKU dan FKG bersebelahan, jadi gedung tempat responsi PK bisa ditempuh dengan
hanya berjalan kaki di antara dua fakultas.
Responsi PK-ku berjalan cukup
lancar, atau lebih tepatnya aku tidak mau ambil pusing, karena aku tidak bisa
mengerjakan beberapa soal, dan aku mengabaikannya. Aku juga tidak ingin
membuka-buka buku praktikum Patologi Klinikku dan mengetahui bahwa aku menjawab
soal-soal dengan jawaban yang salah. Hal-hal seperti itu bukan tipeku, karena
begitu aku tahu bahwa jawabanku salah, ini akan merusak mood-ku seharian.
Ditambah lagi kalau aku sedang
PMS seperti ini. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan tidur (lagi!) siang
ini, dan tidak kemana-mana sampai besok pagi.
Ketika aku keluar ruang responsi,
kelompok-kelompok mahasiswa dengan NIM tengah dan akhir yang menunggu di luar dengan
cepat menghampiri anak-anak NIM awal yang responsi duluan.
“Gimana, soalnya?”
“Susah...” kataku singkat, padat,
dan jelas.
Helaan napas terdengar di luar
ruang responsi.
“Shift tiga, kelompok 11 sampai 15,” kata bapak-bapak yang menjaga
responsi, mengumumkan. Anak-anak langsung ribut.
Aku mengabaikan keributan itu dan
langsung keluar dari gedung tanpa memikirkan apa-apa lagi. Begitu masuk
pekarangan kampus FKG, aku bertemu dengan Raga yang berkumpul dengan
teman-temannya di depan warung kecil, couple
ring-nya berkilauan tertimpa cahaya matahari.
“Halo,” sapaku, melewatinya.
“Noona,” katanya. “Gimana responsinya?”
“Ya... gitu deh... oke kok. Pratentamen
jam satu ya?”
“Iya... doain ya Kak.”
“Bisa kok, pasti bisa,” ujarku
tersenyum. “Aku pulang dulu ya...”
“Lho, udah mau pulang?” tanya
Raga kaget. “Udah nggak ada kuliah?”
“Udah...” jawabku nyengir. “Enak
kan?”
“KAK MAYAA!” jerit seseorang yang
baru keluar dari warung kecil.
“Hannah?”
Sudah lama sekali aku tidak
melihat cewek berambut pirang pendek itu. Dia memelukku erat sekali.
“Aku stres, Kak, stres...”
curhatnya di bahuku. Kutepuk-tepuk kepalanya pelan.
“Sabar ya.”
“Aku kangen Kakak...” katanya,
kemudian menangis.
“Eh, kok nangis? Jangan
nangis...” ujarku, bingung dan kaget karena Hannah mendadak sesenggukan. “Banyak
yang ngeliatin, tuh...” kataku, mengacu pada teman-teman seangkatan Hannah yang
berkeliaran di sekitar warung dan fotokopian. Termasuk, Satria dan Robi dan
Wahyu yang baru saja keluar dari FKU. Mereka satu shift denganku waktu responsi tadi... dan aku berusaha sebisa
mungkin menghindari tidak sengaja bertatapan dengan Satria selama responsi.
Mereka bertiga memandangiku yang
memeluk Hannah heran. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa, mungkin lebih
tepatnya tidak tertarik. Satria dan Raga bertemu, dan membicarakan entah-apa,
aku tak tahu. Aku tak pernah tahu apa yang dibicarakan para cowok berbeda
angkatan kalau kebetulan bertemu di satu sudut di kampus ini. Aku juga tak
peduli, sih.
Tetapi aku memedulikan gadis
pirang malang yang sedang terisak di bahuku kali ini.
“Hannah, cup cup,” kataku, dan
Hannah melepas pelukannya.
“Hehe,” ujar Hannah, tersenyum. “Aku
beneran kangen Kak Maya...”
“Maaf ya...” sahutku, entah
kenapa merasa harus minta maaf.
“Kenapa?”
“Karena aku jauh dari kamu
akhir-akhir ini,” ujarku jujur.
“Nggak apa. Aku juga kebanyakan
sibuk sama diri sendiri... ngomong-ngomong, Kak, traktirannya mana?” Hannah
mengusap matanya sambil menggodaku.
“Traktiran?” tanyaku bingung.
“Oh,” sedetik kemudian aku mengerti, dan aku menoleh pada Raga, “Raga! Ada yang
minta traktiran nih.”
Raga menghentikan obrolannya
dengan Wahyu dan memandangku heran. Kuacuhkan suara-suara jahil yang menyindir,
dan nyengir pada Raga.
“Permen mau?” kata Raga kemudian.
Hannah meleletkan lidahnya pada Raga, kemudian manyun menghadapku.
“Apa-apaan!” kata Hannah kesal,
seolah harga dirinya jatuh.
Aku tertawa.
Setelah menasehati Hannah dengan
beberapa kata-kata penyemangat, dia kelihatannya sudah lega, dan memelukku
sekali lagi, erat sekali, sebelum berlari-lari kecil menuju kelasnya. Tetapi
aku masih merasa Hannah menyembunyikan sesuatu–dia bukan tipe orang yang akan
begitu saja menangis ketika menemukan orang yang amat dirindukannya, atau menangis
di depan umum hanya gara-gara stres akibat kuliah yang berat. Kuputuskan untuk
bicara empat mata dengan Hannah, tetapi tidak sekarang, nanti saja, sehabis
parade responsi minggu ini selesai.
Satria, Wahyu, dan Robi sekarang
bergerak menuju warung kecil. Aku dengan sengaja menghindar, dan bertatapan
dengan Raga, tatapan yang penuh arti.
“Aku pulang, ya. Sukses pratentamennya...”
kataku pada Raga.
Raga mengangguk-ngangguk.
“Hati-hati, noona...”
“Always, dear.”
Aku melangkah menuju tempat
parkir sepeda dengan hati riang gembira.
Kukeluarkan sepedaku dari raknya,
pelan-pelan. Tetapi sayang sekali perasaan riang gembiraku langsung menguap
dengan cepat, karena tasku menyenggol sepeda di sebelahku dan sepeda-sepeda itu
jatuh seperti domino. Suaranya keras, bergaung di parkiran yang sepi orang.
“Ah,” kataku menyesal, dan
jengkel.
Kuangkat sepeda-sepeda itu satu
persatu dan kukembalikan ke tempatnya semula, sambil berdecak kesal, mengeluh
pada diri sendiri, karena harus mengembalikan sepeda-sepeda sendirian.
Tapi rupanya aku salah tentang
mengembalikan sepeda-sepeda sendirian.
Satria, Wahyu, dan Robi yang
kebetulan melewati tempat parkir sepeda, melihatku dan mereka membantuku
mengembalikan sepeda.
“Kamu ngapain, May?” tanya Robi
geli.
“Kesenggol, tadi...” ujarku
kesal, sambil berusaha mengangkat salah satu sepeda. Sepeda onthel kuno itu
ternyata berat. “Uh...”
Satria membantuku mengangkat
onthel karatan itu. Aku memandangnya sejenak, berusaha mengucapkan terima kasih
tanpa suara, dan hanya dengan lirikan. Satria menepuk-nepuk tangannya.
“Makasih ya...” kataku,
membungkuk pada mereka bertiga.
“Yo’i,” kata Wahyu, cool. Mereka lalu mengambil motor mereka
di parkiran motor.
Lho,
kenapa Satria nggak nungguin Fazzie?
Fazzie, yang masuk kelompok 13
Patologi Klinik, masih responsi di FKU. Kupikir seharusnya Satria menunggu
Fazzie sebentar, kemudian mereka akan pulang bersama-sama.
“May, mau ikut makan? Kamu bareng
Satria noh,” sapa Wahyu begitu mereka lewat di sampingku yang masih berkutat
dengan MP3 player. Kulihat Wahyu dan
Robi berboncengan, sementara Satria sendirian.
Aku langsung menggeleng. “Nggak
deh, aku bisa masak di rumah,” tolakku, tersenyum.
“Udah lama nggak makan di
rumahmu, undang-undang dong May,” kata Robi tertawa.
“Kapan-kapan ya. Dateng aja sih
kalo mau, tapi bilang dulu...” kataku.
Aku melambaikan tangan pada
mereka begitu mereka meluncur pergi dari sampingku. Aku mengingat ekspresi mata
Satria tadi. Aku tak tahu ekspresi mata macam apa itu, aku juga tak bisa melihat
seluruh wajahnya yang sebagian tertutup helm.
Aku hanya sadar kalau Satria
menjadi amat pendiam hari ini.
*
* *