16 Okt 2012


Raga datang ke rumahku jam tujuh malam itu, bercerita bahwa dia baru saja pulang latihan basket.
“Mandi dulu bisa sih!” kataku pura-pura kesal, melihatnya berlumuran keringatnya sendiri.
Dia tertawa. “Iya, kakakku sayang. Aku cuma mau ngasih ini...”
Raga mengulurkan sebuah kotak beludru warna biru, yang nyaris bisa kutebak apa isinya. “Kembaran sama aku, lho!” ujarnya nyengir, menunjukkan cincin di jari tengah kanannya.


Aku baru menyadarinya. “Jadi ini ceritanya couple ring?” tanyaku dengan nada tak percaya. Raga mengangguk-angguk.
Kubuka kotak beludru itu, dan menemukan cincin yang mirip dengan milik Raga, yang tadi siang dimasukkan dalam gelas es tehku. Aku mengeluarkan cincin dan memasangnya di jariku. Tak kuduga, ternyata cincinnya pas.
“Cantik, ya,” ujarku mengagumi tanganku sendiri.
As always,” kata Raga gombal. Tetapi aku tetap malu dan senang mendengarnya.
“Kok bisa pas, sih?”
Feeling?” jawab Raga ngasal. “Kakak udah makan?”
“Aku lagi masak. Mau makan?” tanyaku, menyilakannya masuk setelah selama beberapa menit ini di teras. “Udah lama nggak ada yang makan disini.”
“Ooh, sedihnya,” sahut Raga, dengan raut muka sedih yang pura-pura. “Boleh deh, Kakak masak apa?”
“Perkedel sama pecel...”
“Wua.”
Raga melongo melihat perkedel-perkedel jagung yang baru saja kugoreng dan masih panas tersaji di atas meja makanku. Aku sedang merebus sayur untuk pecel, sembari mencairkan sambal kacang siap saji yang kubeli.
“Sini aku bikin sambel kacangnya,” kata Raga menawarkan diri, melihat aku menekan-nekan padatan sambal kacang yang digenangi air hangat itu dengan sendok.
Thank you,” ujarku tersenyum.
Sebentar, situasi ini...
Kok kayak adegan masak-memasak di dapur sepasang pengantin baru?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mengusir pikiran bodoh yang datang barusan. Akane, yang duduk manis di sebelah kaki Raga, mengeong padaku seolah mengingatkanku agar tidak berkhayal yang aneh-aneh.
Ketika makanan siap, aku dan Raga membawanya ke ruang tamu yang pintunya terbuka, dan menyantap makan malam kami.
Benar. Sudah lama tidak ada yang makan disini.
Dan aku kangen saat-saat itu. Senang rasanya melihat Raga yang mengaku kelaparan melahap pecel dan perkedel yang kumasak dan mengunyahnya dengan nikmat. Selalu ada rasa bahagia tersendiri ketika melihat masakanmu dimakan oleh orang lain dengan senang.
“Gimana?” tanyaku hati-hati, melihat Raga makan dengan cepat.
“Hmmm,” kata Raga, membuat gumaman menyenangkan. “Hmmm.”
Aku tertawa, mungkin gumamannya berarti tidak-perlu-kuutarakan-cukup-lihat-saja-bagaimana-aku-makan. Kusuap sesendok nasi dan pecel ke mulutku.
Raga pamit ke dapurku untuk menambah satu porsi nasi lagi. Aku ternganga ketika melihat porsi yang dia ambil lebih banyak daripada yang dia makan sebelumnya.
“Kamu laper apa doyan sih,” sindirku.
“Dua-duanya. Capek Kak, latihan tadi,” ujarnya memberi alasan.
Seusai makan Raga tinggal sebentar untuk memberi kesempatan makanannya turun ke usus dan dicerna–sambil sekali-sekali mencomot perkedel yang masih tersisa untuk dimakan sebagai cemilan–dan kami mengobrol di teras. Akane berada dalam pelukan Raga, tampak-nyaman. Dia mendengkur ketika Raga menggaruk dagunya.
“Gimana semester dua? Lancar?” tanyaku.
Raga mendengus, lalu tertawa pahit. “Nggak tahu lah Kak, suram kayaknya. Nggak heran sih kenapa kakak-kakak angkatan pada bilang semester ini berat.”
Aku tertawa. “Dulu aku juga nggak percaya, tapi kenyataannya emang kayak gitu... bikin stres. Aku aja sering banget nangis dulu, hampir tiap malem...”
Jinjjayo, noona?” Raga melotot.
“Tapi beda banget sama sekarang, bisa diitung lah berapa kali aku nangis semester ini...”
“Oh.”
Kemudian kami terdiam, kemungkinan besar memikirkan hal yang sama, hal yang terjadi beberapa waktu lalu, dan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini.
“...nangis gara-gara kuliah sama praktikum yang berat,” sambungku, ingin meluruskan pemikiran kami berdua yang salah, “pernah juga sih homesick dulu, gara-gara kesel praktikum prostonya nggak bener, jariku ketusuk kawat terus, hahahaha.”
“Ah! Aku sudah menyatakan perang dengan klamer!” kata Raga berapi-api.
Aku tertawa.
Topik kuliah, praktikum, responsi, dan UAS menjadi pembicaraan kami selanjutnya. Tak bisa kupungkiri bahwa aku merasa bahagia ada Raga disisiku, bisa bicara apa saja, bisa mengeluh apa saja padanya. Bahagia, karena ada orang yang bisa ada disisiku ketika aku memang butuh seseorang untuk bersandar. Aku sadar bahwa selama ini aku selalu mengandalkan diariku yang tidak bisa bereaksi ketika aku bercerita.
Aku sadar bahwa sudah lama aku tidak merasa senyaman ini pada seseorang.
Raga beranjak pergi. Aku menolak ajakannya untuk pergi ke kampus bersama-sama pagi keesokan harinya. Maksudku, yang benar saja. Dia kuliah pukul sembilan sementara aku pukul tujuh. Dia mau ngapain selama dua jam?
Setelah melepas Raga (Akane kelihatan tak rela, dan dia rewel terus), aku berbaring di kasur, masih tersenyum-senyum, dan berguling-guling disana. Kuambil buku praktikum Patologi Klinik-ku, membaca beberapa halaman, tetapi malah wajah Raga yang selalu muncul.
Rasanya aku kembali muda.
Pukul delapan malam, aku dilanda kebosanan. Kunyalakan laptop, memasang modem, kemudian membuka situs Twitter. Sudah beberapa hari ini aku tidak meng-update Twitter-ku–aku menghindari membaca tweet-tweet selamat atau doa-doa kepada Satria atau Fazzie.
Dia sendiri bilang bahwa aku tidak boleh menyakiti diriku sendiri, kan?
Mention-ku sepi, seperti biasa. Hanya ada 1-2 mention yang sudah lama dari teman SMA. Dan satu mention dari Raga, dikirim jam enam belas lewat lima belas sore tadi.

@raga_bhakti: gomawoyo, noona @mayandaa

Mau tak mau aku tersenyum kecil membacanya.

@mayandaa: @raga_bhakti besok Pratentamen anat? semangat ya ^^

Aku, yang tidak mengharapkan tweet itu langsung dibalas, kaget melihat notifikasi yang muncul dari sudut kanan bawah desktop-ku.

@raga_bhakti: @mayandaa iya, doain ya kak :D kakak besok PK kan?
@mayandaa: @raga_bhakti semacam itu, tapi males belajar nih
@raga_bhakti: @mayandaa tidur aja dulu, pas bangun pasti udah segeran
@mayandaa: @raga_bhakti ntar malah ketiduran sampe pagi, hahahahaha
@raga_bhakti: @mayandaa aku bangunin?
@mayandaa: @raga_bhakti beneran? kamu nggak begadang malem ini? nanti kamu lupa lagi -___-“
@raga_bhakti: @mayandaa enggak kok, hahahaha seriusan mau aku bangunin jam berapa?

Dan aku terdiam sejenak melihat mention kami berdua yang memenuhi timeline. Pikiranku melesat pada para followers yang melihatnya, dan bagaimana pikiran mereka melihat tweet yang kami update.
Pasti mereka merasa terganggu.
Setidaknya, bagiku, itu akan mengganggu.

@mayandaa: @raga_bhakti abis subuh aja...
@raga_bhakti: @mayandaa nggak mau agak pagian? jam tiga-empat gitu?
@mayandaa: @raga_bhakti dan terbangun sendirian di rumah, dengan keadaan masih gelap? no, thanks.

Begitu aku mengirim tweet itu, mendadak muncul notifikasi lagi. Dari Alva.

@alvaalpha: @mayandaa @raga_bhakti cieeee morning call ehem ehem ;;)
@mayandaa: @alvaalpha apa -__-“

Tweet balasan dari Alva tidak kuacuhkan lagi. Beberapa saat kemudian teman-teman seangkatanku yang lain muncul me-mention-ku dan Raga, dengan isi tweet yang hampir sama dengan tweet Alva tadi. Sudah kuduga. Jam-jam seperti ini memang jamnya anak-anak untuk online Twitter, dan memenuhi timeline.

@raga_bhakti: @mayandaa jam setengah lima ya kak. sip sip.
@mayandaa: @raga_bhakti jangan lupaaa anatominyaaa
@mayandaa: Well, it’s now official :)
@raga_bhakti: RT @mayandaa: Well, it’s now official :)

Kuramalkan tweet-ku barusan yang di-RT Raga akan menjadi topik terhangat untuk besok, seharian, di lingkungan FKG.
Aku me-refresh timeline dan menemukan satu tweet yang baru muncul. Dari Satria. Bukan untukku ataupun untuk Raga.

@swaraSatria: @fazyranty BBM pending. bentar lagi ke kosan.

Aku merasakan hentakan kecil di hatiku, kemudian jendela browser itu aku tutup.
* * *
I like the way you talk
I like the way you walk
I like the way you love
You rock my world
And I rock your world

Aku terbangun karena dering handphone yang menyiarkan lagu Tok Tok milik Mighty Mouth itu–nada dering khusus untuk Raga. Tepat pukul setengah lima pagi.
“Ngng,” gumamku sembari mengumpulkan nyawa.
“Bangun, Kak...” bisik Raga di telepon.
“Iya iya ini udah bangun,” aku mengucek-ucek mataku.
“Baguslah. Jangan tidur lagi, ya!” kata Raga riang.
“Iya, makasih ya...” gumamku, menguap. “Kamu baru bangun juga?”
“Enggak, aku udah bangun dari jam tiga tadi...”
“Hah, ngapain.”
“Nge-game!”
“Buset dah bukannya ngapal anatomi...”
“Suntuk, makanya main. Ini mau tidur bentar.”
“Kuliah jam berapa?” tanyaku, bangkit dari tempat tidur dan memutar-mutar pinggangku.
“Jam sembilan. Bisalah tidur sejam-dua jam...”
“Ntar kebablasan lho,” kataku menakuti.
“Paling telat. Hahahaha...”
Sedikit banyak Raga agak mirip Oki.
“Ya udah deh aku mau belajar PK bentar,” kataku menutup pembicaraan.
“Oki doki, my lady.”
Aku merasa wajahku memerah, dan saat itu juga aku bisa membayangkan senyum Raga dengan lesung pipitnya yang manis.
Gomawo,” kataku sebelum dia menutup telepon.
Nyaris melompat-lompat menuju kamar mandi, aku tak bisa menanggalkan senyumku. Belum pernah rasanya aku membuka buku praktikum Patologi Klinik sebahagia ini.
Morning call. Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali mendapat morning call dari seorang cowok. Dan rasanya cukup menyenangkan.
Pukul setengah enam aku menyelesaikan membaca buku praktikum PK, mengecek jas labku apakah sudah masuk tas atau belum, kemudian bersiap-siap. Sembari mendengarkan lagu Wonder Girls–yang judulnya Like This, dan aku masih berusaha mempelajari gerakan dance-nya–dengan bahagia aku menyiapkan sepedaku, mengecek rantainya (aku tidak mau rantai itu lepas lagi dan ditolong Satria lagi; bukannya aku berharap, tapi kau tahu maksudku, kan?) mengecek bannya apakah kempes atau tidak, lalu meluncur seperti biasa menuju kampus.
Aku merasa menjadi orang pertama yang datang di kampus–yang salah besar, karena satpam kampus dan petugas kebersihan sudah datang lebih dulu, menyapaku, dan berkata bahwa aku rajin sekali. Aku menyalami bapak satpam yang kuduga usianya lebih tua daripada ayahku, kemudian menuju warung kecil yang menjual gorengan dan kue-kue di sebelah tempat fotokopi.
“Pagi, Bu...” sapaku pada ibu penjual. Kuturunkan headphone selagi memilih gorengan yang disajikan.
“Iya Mbak, pagi amat datengnya? Kuliah jam berapa?” tanya ibu itu ramah.
“Jam tujuh, Bu...” jawabku tersenyum, masih bingung mengamati berbagai jenis makanan ringan yang tersaji.
“Mau makan apa?” tanya ibu itu lagi. “Mau nasi?”
Pandanganku terarah pada nasi-nasi bungkus yang masih kelihatan hangat di meja belakang ibu penjual. Menggiurkan sebenarnya.
“Ah, saya jajan aja, Bu,” tolakku halus. Aku memutuskan untuk membeli satu pisang goreng dan satu arem-arem, serta satu kotak susu rasa strawberry. Kubayar jajananku, berterimakasih pada ibu penjual, lalu keluar warung dan mencari tempat duduk untuk makan sebentar. Kursi-kursi di depan perpustakaan tampaknya cocok.
Ketika aku memasang headphone lagi (yang lagunya masih tetap terputar karena aku tidak menghentikan lagu), rupanya aku mendengarkan satu lagu milik Nell yang berjudul The Day Before. Lagu yang bagus, sangat bagus malah, hanya saja melodinya terlalu sedih.
Kadang aku heran kenapa lagu-lagu dengan nada-nada tertentu bisa mengakibatkan orang me-recall memorinya, dan mengingat kenangan-kenangan tertentu–biasanya sih kenangan sedih–kemudian mengaitkannya dengan lagu itu.
Aku ingat bagaimana aku menangis habis-habisan mendengar lagu Baby I’m Sorry milik B1A4 waktu dulu itu. Maksudku, yang benar saja! Lagu itu lagu dance, dan aku menangis? Sampai sekarang aku tidak bisa mengingat kenapa aku bisa sampai menangis waktu melihat video musiknya, aku hanya tahu aku merasa tersentuh ketika melihat Jinyoung keluar dari pintu dengan ekspresi sakit, dan menyanyikan liriknya sepenuh hati. Kemudian aku menangis setiap mendengar suaranya, atau ketika videonya menampilkan wajahnya... yang mirip Satria, meski Satria tidak memakai anting.
Oke, mungkin ini tentang Satria.
Lagu Nell masih bermain di benakku, dan aku berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis mendengar nada-nada sedih itu. Agar tidak kemudian mengingat memori-memori tertentu tentang siapapun–terutama Satria.
Tetapi aku gagal, dan aku berhenti mengunyah pisang gorengku, sementara harmoni yang dihasilkan oleh biola di lagu yang kudengarkan berhasil membuat kenangan-kenanganku yang menyakitkan muncul di pikiranku. Tanpa bisa kucegah kantung air mataku bocor lagi, menyebabkan air menggenang di mataku. Kusedot susu strawberry dari kotaknya dan menenangkan pikiranku, merasa malu karena tiba-tiba menangis di tempat umum, meski di sekitar sana tidak ada orang.
Betapa leganya aku ketika lagu itu berakhir, dan berganti dengan lagu lain yang lebih ceria.
Satria, ya.
Jadi aku masih kepikiran Satria. Ternyata.
Kupandangi cincin emas imitasi polos yang kukenakan di jari manis kananku, memikirkan orang yang memberinya padaku kemarin malam, yang mungkin masih tertidur. Dan, oke, memikirkan Raga yang sedang tertidur ternyata tidak begitu baik, karena bayanganku melesat kemana-mana. Kuputuskan untuk segera ke ruang kelas setelah membuang sampah jajananku tadi.
Setelah beberapa menit sendirian di kelas, tidak melakukan apa-apa dan hanya bengong mendengarkan musik, akhirnya beberapa teman sekelasku datang. Syukurlah. Kukira hari itu masuk jam delapan, atau ternyata hari itu tidak ada kuliah pagi, atau apa. Tidak ada jarkom seperti biasa, dan kalaupun ada jarkom, pasti akan disebar duluan lewat BBM di grup kelas, yang mana aku tidak akan bisa membacanya, karena handphone-ku bukan Blackberry.
“Ciee cincinnya,” adalah kata-kata pertama Kelly padaku pagi itu. “Dikasih Raga ya?”
“Gitu deh,” aku tersenyum. “Gimana, udah belajar PK?”
“Ah, suram tapi,” jawab Kelly muram. “Nggak ngerti, bahannya banyak banget...”
Aku hanya tertawa.
“Jadi, tadi pagi dibangunin Raga ya?” kata Kelly dengan alis terangkat, menggodaku.
“Apaan sih.”
Kelly tertawa, mungkin melihat perubahan yang terjadi pada pipiku, karena aku sendiri merasa pipiku menghangat. “Gimana rasanya?”
“Rasanya apa?”
“Jadian sama berondong,” kata Kelly langsung.
Aku tak bisa menahan diriku untuk tersenyum. “Biasa aja... lagian baru beberapa hari juga...”
“Baru kemarin, maksudmu?” tebak Kelly.
“Begitulah.”
“Maya! It’s official, ya?” tegur Alva, terkekeh, di belakangku.
“Ah,” ujarku malu.
“Banyak banget ya yang cinlok, kemarin Satria sama Fazzie, sekarang kamu sama Raga...” komentar Alva, sebisa mungkin kuabaikan dua nama pertama yang disebut. “Tadinya kupikir kamu sama Oki bakal jadian, lho.”
“Haha, itu nggak mungkin,” kataku tegas, sambil memandangi Oki yang baru datang, wajahnya kusut, dan menguap lebar-lebar.
“Iya, terus kukira Satria bakal sama Marisa. Kan mereka dulu deket...” tambah Kelly.
Marisa. Sudah berapa lama aku tidak mendengar nama itu?
Bodoh, kau kan memimpikannya, Maya.
Benar juga. Tapi kenapa yang aku mimpikan waktu itu malah Marisa, bukan Fazzie?
“Si Marisa gimana emangnya, sekarang? Pasti sedih banget, ya...” sambut Alva, antusias dengan gosip itu.
“Nggak tahu juga, sih. Tapi kayaknya dia baik-baik aja. Atau mungkin nggak kelihatan...” kata Kelly, yang tampaknya tahu segalanya. “Emang Raga nggak cerita ke kamu, May?”
“Ha?” aku tak menyangka diikutkan dalam gosip ini. “Nggak, tuh.”
“Ya kali, Kel,” kata Alva, memandang Kelly tak percaya. “Raga sama Maya mah ceritanya tentang masing-masing. Dunia masih milik berdua...”
Aku mendengus. “Nggak, kok...”
“Nah itu orangnya dateng,” bisik Kelly padaku dan Alva, yang kemudian kompak melihat ke pintu kelas yang ada di belakang, yang mana menunjukkan pemandangan Satria dan Fazzie datang berbarengan, hari itu warna hijau.
“Pake baju sama lagi,” bisik Alva, yang ternyata juga memerhatikan fenomena ini sejak Satria dan Fazzie jadian. “Mesranya.”
“Ssst,” bisikku pelan, ketika Fazzie berpisah dari Satria dan berjalan menuju tempat dudukku, Alva, dan Kelly. “Kalian ini, gosip aja...”
“Habis bosen, sih! Udah lama nggak ada gosip,” ujar Kelly jujur. “FKG kurang cowok, sih...”
“Iya, jadi nggak ada pemandangan indah, itu-itu aja orangnya,” keluh Alva. “Cowok-cowok yang tampangnya lumayan juga udah pada punya pacar, jadi kita juga kekurangan aset.”
“Ngincer co-ass aja, Va,” saran Kelly. “Ada tuh, namanya Kak Yogi, angkatan 2007, ganteng... manis gitu.”
“Yee, dia juga udah punya pacar tau. Pacarnya anak teknik. Yang lajang tuh,”–aku nyaris tersedak mendengar Alva mengucapkan kata ‘lajang’–“Kak Tyo! Asisten TKG II dulu, inget nggak?”
“Tau, tau! Tapi dia nggak ganteng...”
“Emang sih, nggak ganteng, cuma enak dilihat...”
Aku tersenyum simpul, kemudian menutup telingaku dari pembicaraan tentang kakak angkatan itu. Kalau kau kuliah di FKG, pemandangan sehari-hari dari para co-ass memang selalu seru untuk dilihat. Kau percaya? Jas co-ass yang warnanya putih itu, bisa membuat pemakainya terlihat lebih karismatik. Membuat cowok-cowok kelihatan lebih gagah, dan membuat cewek-cewek kelihatan lebih memesona.
Aku sudah membuktikannya. Kakak-kakak angkatan yang kukenal sebelumnya sebagai asisten praktikumku di semester dua dan tiga, rata-rata sudah lulus, bergelar S.Kg, dan sedang menjalani proses co-ass di RSGM. Image mereka langsung berubah dimataku, begitu melihat orang-orang yang kukenal mengenakan jas putih bersih itu. Jas co-ass itu begitu pas di badan mereka, membuat mataku selalu ingin melihat kemanapun pemakai jas putih itu pergi.
Satu hal lagi yang dapat kutangkap dari kakak-kakak co-ass itu adalah, terutama yang perempuan: high heels. Sepatu high heels berketuk-ketuk di lantai, membuat siapa saja yang mendengarnya akan berpaling untuk melihat asal suara. Kau akan menemukan sesosok tubuh yang tinggi ramping, kaki yang mulus, rok selutut, jas putih yang pas di badan, dengan rambut yang dikuncir rapi, dan wajah yang cantik jelita. Selalu begitu.
Aku sempat berpikir, dan tidak bisa membayangkan lebih lanjut, ketika pada akhirnya aku akan co-ass dan memakai high heels ke kampus. Aku belum bisa membayangkannya. Meski teman-temanku sering berkata, “Kita juga nanti bakal kayak gitu!” tapi aku sama sekali tidak bisa membayangkan aku dengan rok selutut, high heels, badan tinggi ramping dan wajah yang cantik jelita.
Kalau Satria... Satria pasti akan terlihat gagah dengan jas putih yang pas di badannya yang atletis.
Kucoba membayangkan Raga. Sulit, karena aku juga jarang melihatnya menggunakan jas praktikum biasa. Jadi, belum ada gambaran.
Ayo, Maya, kembali ke dunia nyata.
* * *
Responsi Patologi Klinik dilakukan di laboratorium PK yang ada di FKU, seperti praktikumnya. Kebetulan area FKU dan FKG bersebelahan, jadi gedung tempat responsi PK bisa ditempuh dengan hanya berjalan kaki di antara dua fakultas.
Responsi PK-ku berjalan cukup lancar, atau lebih tepatnya aku tidak mau ambil pusing, karena aku tidak bisa mengerjakan beberapa soal, dan aku mengabaikannya. Aku juga tidak ingin membuka-buka buku praktikum Patologi Klinikku dan mengetahui bahwa aku menjawab soal-soal dengan jawaban yang salah. Hal-hal seperti itu bukan tipeku, karena begitu aku tahu bahwa jawabanku salah, ini akan merusak mood-ku seharian.
Ditambah lagi kalau aku sedang PMS seperti ini. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan tidur (lagi!) siang ini, dan tidak kemana-mana sampai besok pagi.
Ketika aku keluar ruang responsi, kelompok-kelompok mahasiswa dengan NIM tengah dan akhir yang menunggu di luar dengan cepat menghampiri anak-anak NIM awal yang responsi duluan.
“Gimana, soalnya?”
“Susah...” kataku singkat, padat, dan jelas.
Helaan napas terdengar di luar ruang responsi.
Shift tiga, kelompok 11 sampai 15,” kata bapak-bapak yang menjaga responsi, mengumumkan. Anak-anak langsung ribut.
Aku mengabaikan keributan itu dan langsung keluar dari gedung tanpa memikirkan apa-apa lagi. Begitu masuk pekarangan kampus FKG, aku bertemu dengan Raga yang berkumpul dengan teman-temannya di depan warung kecil, couple ring-nya berkilauan tertimpa cahaya matahari.
“Halo,” sapaku, melewatinya.
Noona,” katanya. “Gimana responsinya?”
“Ya... gitu deh... oke kok. Pratentamen jam satu ya?”
“Iya... doain ya Kak.”
“Bisa kok, pasti bisa,” ujarku tersenyum. “Aku pulang dulu ya...”
“Lho, udah mau pulang?” tanya Raga kaget. “Udah nggak ada kuliah?”
“Udah...” jawabku nyengir. “Enak kan?”
“KAK MAYAA!” jerit seseorang yang baru keluar dari warung kecil.
“Hannah?”
Sudah lama sekali aku tidak melihat cewek berambut pirang pendek itu. Dia memelukku erat sekali.
“Aku stres, Kak, stres...” curhatnya di bahuku. Kutepuk-tepuk kepalanya pelan.
“Sabar ya.”
“Aku kangen Kakak...” katanya, kemudian menangis.
“Eh, kok nangis? Jangan nangis...” ujarku, bingung dan kaget karena Hannah mendadak sesenggukan. “Banyak yang ngeliatin, tuh...” kataku, mengacu pada teman-teman seangkatan Hannah yang berkeliaran di sekitar warung dan fotokopian. Termasuk, Satria dan Robi dan Wahyu yang baru saja keluar dari FKU. Mereka satu shift denganku waktu responsi tadi... dan aku berusaha sebisa mungkin menghindari tidak sengaja bertatapan dengan Satria selama responsi.
Mereka bertiga memandangiku yang memeluk Hannah heran. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa, mungkin lebih tepatnya tidak tertarik. Satria dan Raga bertemu, dan membicarakan entah-apa, aku tak tahu. Aku tak pernah tahu apa yang dibicarakan para cowok berbeda angkatan kalau kebetulan bertemu di satu sudut di kampus ini. Aku juga tak peduli, sih.
Tetapi aku memedulikan gadis pirang malang yang sedang terisak di bahuku kali ini.
“Hannah, cup cup,” kataku, dan Hannah melepas pelukannya.
“Hehe,” ujar Hannah, tersenyum. “Aku beneran kangen Kak Maya...”
“Maaf ya...” sahutku, entah kenapa merasa harus minta maaf.
“Kenapa?”
“Karena aku jauh dari kamu akhir-akhir ini,” ujarku jujur.
“Nggak apa. Aku juga kebanyakan sibuk sama diri sendiri... ngomong-ngomong, Kak, traktirannya mana?” Hannah mengusap matanya sambil menggodaku.
“Traktiran?” tanyaku bingung. “Oh,” sedetik kemudian aku mengerti, dan aku menoleh pada Raga, “Raga! Ada yang minta traktiran nih.”
Raga menghentikan obrolannya dengan Wahyu dan memandangku heran. Kuacuhkan suara-suara jahil yang menyindir, dan nyengir pada Raga.
“Permen mau?” kata Raga kemudian. Hannah meleletkan lidahnya pada Raga, kemudian manyun menghadapku.
“Apa-apaan!” kata Hannah kesal, seolah harga dirinya jatuh.
Aku tertawa.
Setelah menasehati Hannah dengan beberapa kata-kata penyemangat, dia kelihatannya sudah lega, dan memelukku sekali lagi, erat sekali, sebelum berlari-lari kecil menuju kelasnya. Tetapi aku masih merasa Hannah menyembunyikan sesuatu–dia bukan tipe orang yang akan begitu saja menangis ketika menemukan orang yang amat dirindukannya, atau menangis di depan umum hanya gara-gara stres akibat kuliah yang berat. Kuputuskan untuk bicara empat mata dengan Hannah, tetapi tidak sekarang, nanti saja, sehabis parade responsi minggu ini selesai.
Satria, Wahyu, dan Robi sekarang bergerak menuju warung kecil. Aku dengan sengaja menghindar, dan bertatapan dengan Raga, tatapan yang penuh arti.
“Aku pulang, ya. Sukses pratentamennya...” kataku pada Raga.
Raga mengangguk-ngangguk. “Hati-hati, noona...”
Always, dear.”
Aku melangkah menuju tempat parkir sepeda dengan hati riang gembira.
Kukeluarkan sepedaku dari raknya, pelan-pelan. Tetapi sayang sekali perasaan riang gembiraku langsung menguap dengan cepat, karena tasku menyenggol sepeda di sebelahku dan sepeda-sepeda itu jatuh seperti domino. Suaranya keras, bergaung di parkiran yang sepi orang.
“Ah,” kataku menyesal, dan jengkel.
Kuangkat sepeda-sepeda itu satu persatu dan kukembalikan ke tempatnya semula, sambil berdecak kesal, mengeluh pada diri sendiri, karena harus mengembalikan sepeda-sepeda sendirian.
Tapi rupanya aku salah tentang mengembalikan sepeda-sepeda sendirian.
Satria, Wahyu, dan Robi yang kebetulan melewati tempat parkir sepeda, melihatku dan mereka membantuku mengembalikan sepeda.
“Kamu ngapain, May?” tanya Robi geli.
“Kesenggol, tadi...” ujarku kesal, sambil berusaha mengangkat salah satu sepeda. Sepeda onthel kuno itu ternyata berat. “Uh...”
Satria membantuku mengangkat onthel karatan itu. Aku memandangnya sejenak, berusaha mengucapkan terima kasih tanpa suara, dan hanya dengan lirikan. Satria menepuk-nepuk tangannya.
“Makasih ya...” kataku, membungkuk pada mereka bertiga.
“Yo’i,” kata Wahyu, cool. Mereka lalu mengambil motor mereka di parkiran motor.
Lho, kenapa Satria nggak nungguin Fazzie?
Fazzie, yang masuk kelompok 13 Patologi Klinik, masih responsi di FKU. Kupikir seharusnya Satria menunggu Fazzie sebentar, kemudian mereka akan pulang bersama-sama.
“May, mau ikut makan? Kamu bareng Satria noh,” sapa Wahyu begitu mereka lewat di sampingku yang masih berkutat dengan MP3 player. Kulihat Wahyu dan Robi berboncengan, sementara Satria sendirian.
Aku langsung menggeleng. “Nggak deh, aku bisa masak di rumah,” tolakku, tersenyum.
“Udah lama nggak makan di rumahmu, undang-undang dong May,” kata Robi tertawa.
“Kapan-kapan ya. Dateng aja sih kalo mau, tapi bilang dulu...” kataku.
Aku melambaikan tangan pada mereka begitu mereka meluncur pergi dari sampingku. Aku mengingat ekspresi mata Satria tadi. Aku tak tahu ekspresi mata macam apa itu, aku juga tak bisa melihat seluruh wajahnya yang sebagian tertutup helm.
Aku hanya sadar kalau Satria menjadi amat pendiam hari ini.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates