9 Okt 2012


Siang itu aku menghabiskan waktu di perpustakaan, menyelesaikan laporan Farmakologi, membaca novel milik Donny Dhirgantoro yang berjudul 2, mendengarkan The Chaser milik Infinite berulang kali, mencari bahan untuk mengerjakan tugas Konservasi, berusaha melupakan pembicaraanku dengan Fazzie, mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi besok, dan mencegah kantung air mataku bocor.
Hannah mengirimiku sms jam dua belas siang, memintaku menemaninya makan, tetapi aku menolaknya, dengan alasan malas makan. Aku bertanya apakah kuis Anatominya berjalan lancar, dan dia hanya menjawab ‘oke’.


Raga mengirimiku sms jam setengah satu siang, menanyaiku apakah aku akan datang untuk melihat pertandingan basketnya nanti. Aku mengiriminya sms panjang yang menjelaskan tentang keinginanku untuk datang, tetapi bingung karena Oki sedang praktikum. Dia menawariku untuk pergi bersamanya (seperti tebakan Fazzie), yang langsung kutolak mentah-mentah.
Setelah itu Hannah mengirimiku pesan lagi, yang mengabari bahwa Raga mencariku. Aku tidak membalas pesan itu.
Tetapi entah bagaimana Raga bisa menemukanku di sudut favoritku di perpustakaan, jam setengah tiga sore ketika perpustakaan sudah hampir ditutup.
Noona,” katanya.
Aku yang sedang mendengarkan Sorry But I milik C-Real (dan hampir saja menangis) melepas headphone dan kaget melihatnya datang.
“Kok kamu tahu aku disini?”
Feeling,” dia nyengir.
“Kamu nggak praktikum Biokim?”
“Aku shift satu, udah selesai barusan. Pergi bareng aku yuk, Kak?”
“Ke GOR? Sekarang? Tapi kan pertandingannya baru jam empat nanti...”
“Pemain emang disuruh dateng sejam sebelum pertandingan, Kak.”
“Tapi...”
“Maaf Mbak, Mas, perpustakaannya udah mau tutup...”
Seorang pria sudah menghampiri kami ketika kami sedang berdebat.
“Oh, iya Pak...” kataku, lalu membereskan buku-buku dibantu Raga. Kuambil tasku di loker, lalu mengembalikan kunci loker pada petugas, yang menyerahkan kartu mahasiswaku.
“Kakak tadi nggak makan siang, ya?” tanya Raga, yang tepat sekali.
Aku sedang memasukkan laptop ke tasku, berhenti mendengar tebakan Raga. “Kok kamu tahu.”
“Soalnya Hannah sendirian,” jawab Raga, yang menjelaskan segalanya.
Aku tidak ingin bertanya lebih lanjut.
Noona,” kata Raga kemudian, ketika aku selesai memasukkan barang-barangku ke dalam tas. “Kenapa wajahmu seperti mau menangis?”
“Ha? Kamu ini ngomong apa.”
Raga tersenyum. “Something happened?”
Aku terdiam, bayangan Fazzie muncul, kata-katanya berlintasan di benakku. Ya, aku memang mau menangis. Dan aku benci karena Raga bisa menebakku. Tidak ada yang bisa menebak perasaanku sebelumnya, selain Oki. Oki yang sudah bertahun-tahun kenal aku.
Sementara Raga, yang baru beberapa minggu–bahkan belum genap sebulan–mengenalku, sudah bisa menebak pikiranku dengan tepat.
Tell me,” ujar Raga. “I would be happy to relieve your stress...
Aku benar-benar tidak ingin menangis lagi di depan anak ini, tidak sekarang, tidak di satu jam sebelum pertandingan final yang penting baginya.
“Bodoh,” ujarku akhirnya, tertawa. “Nggak ada apa-apa. Cepatlah pergi, nanti kamu dimarahi pelatih... kamu kan kapten,” kataku, mengusirnya.
“Lho, kan bareng noona.”
“MAYA!”
Teriakan Oki dari belakang itu benar-benar membuatku lega. Sudah berkali-kali Oki meneriakiku tetapi baru sekarang inilah teriakannya bisa membuatku senang.
“Udah selesai?” tanyaku gembira. “Udah check list?”
Di akhir praktikum Radiologi Dental biasanya ada sesi check list dengan asisten praktikum. Praktikan sudah diberi check list apa-apa saja yang bisa terlihat dengan jelas pada radiograf yang dihasilkan saat praktikum. Asisten akan membantu pada sesi ini.
“Udah dong. Radiografku elongasi,” kata Oki, menunjukkan hasil praktikumnya padaku. Gambaran gigi seri depan alias incisivus centralis-nya terlihat memanjang.
“Katanya sih kalo gigi anterior emang resiko elongasinya lebih besar. Giginya siapa nih?” tanyaku, memberikan radiograf itu pada Raga, yang memintanya.
“Si Gina. Punya dia oke. Soalnya dia foto bagian posteriorku kan,” cerita Oki. “Ternyata aku impaksi...”
“Keliatan emangnya?”
“Keliatan. Dia mau foto molar pertamaku, tapi filmnya terlalu ke belakang, jadi yang molar tiganya keliatan jelas. Tidur dia.”
Aku membayangkan gigi geraham bungsu Oki tumbuh mendatar sehingga menabrak gigi geraham yang di sebelahnya. “Operasi deh operasi.”
“Kapan-kapan deh,” kata Oki. “Lo nggak ke GOR, Ga?”
Oki menegur Raga yang sedang terkesima melihat radiograf itu.
“Sebentar lagi, Kak,” kata Raga, menyerahkan radiograf pada Oki. “Jadi... Kak Maya pergi bareng Kak Oki nih?” Dia terlihat kecewa.
“Lho, jadi kalian mau pergi bareng?” kata Oki nyengir. Kupukul perutnya.
“Duluan aja, Raga,” kataku jelas.
“Oke deh,” ujar Raga tertawa. Dia lalu bersiul-siul melangkah menuju tempat parkir.
Aku menghela napas panjang.
“Dan kenapa kamu kayak mau nangis?” tanya Oki.
* * *
Oki mengajakku makan (memaksa, sebenarnya) di warung Padang di dekat GOR, tempat biasanya anak-anak futsal makan bersama.
Dan ini adalah tempat Satria pernah mengajakku makan siang.
“Kenapa mesti disini sih,” gumamku kesal.
“He? Kenapa emangnya?” tanya Oki yang sedang menuangkan bumbu rendang ke nasinya.
“Nggak papa,” kataku, cemberut.
“Kenapa sih?” Oki memandangku lekat-lekat. “Satria?”
You know who.”
“Voldemort??” tanya Oki dengan dramatis.
Aku memandanginya tajam (ini-bukan-bercandaan-kamu-tahu-kan-mood-ku-lagi-rusak?).
Oki mengerti dengan segera. “Oke, oke,” ujarnya, menyuap nasi. “Raga nembak kamu?”
“Ah, bukan!” ujarku cepat. “Satria...”
“Satria nembak kamu?” Oki melongo.
Aku tersedak es teh. “BUKAN!” kataku langsung, meski aku berharap itu akan terjadi.
“Tapi kamu pengen kan,” kata Oki.
Well,” aku berdehem. “Sebenernya...”
Aku menceritakan detail pembicaraanku dengan Fazzie siang tadi dengan suara bergetar.
“Satria... nggak naksir Fazzie, kan?” tanyaku ragu-ragu.
Oki mengunyah dengan tampang serius. “Kita emang pernah sih ngejekin mereka pas mereka duduk bareng,” katanya. “Tapi sepanjang yang aku tahu, Satria cuma suka Marisa...”
“Terus kok Fazzie bilang gitu,” kataku bingung.
“Aku juga nggak tahu.”
“Besok final...” kataku pelan.
“Maya,” sahut Oki, “mungkin ini cuma salah paham.”
“Salah paham gimana? Orang Fazzie-nya sendiri yang bilang kalau Ary bilang Satria mau nembak seseorang pas final... dan Fazzie juga diminta dateng di setiap pertandingan Satria...” kataku nyaris menangis. “Fazzie selalu dateng pas pertandingan, kah?”
“Setelah kamu bilang begitu, ternyata iya,” kata Oki, dan aku merasa pertahanan Satria-hanya-suka-Marisa-nya runtuh. “Dari pertandingan awal sampai pertandingan lalu yang kamu nggak bisa dateng, Fazzie dateng terus...”
“Tuh, kan...”
“Tenang dulu deh,” ujar Oki. “Bisa aja kan sebenernya Fazzie yang suka duluan sama Satria, terus salah paham gara-gara sikap anak-anak yang seolah-olah mengatakan kalau Satria suka sama Fazzie.”
“Kalian sih,” aku menyalahkan Oki dan teman-temannya.
“Denger dulu,” kata Oki jengkel. “Aku nggak ikut-ikutan tentang masalah ini. Aku bahkan nggak tau kalau Satria pernah bilang mau nembak Fazzie di final futsal.”
“Berarti Satria mau nembak Marisa, kalau gitu.”
“Setidaknya kupikir gitu,” sahut Oki.
Aku memasang raut muka muram.
“Kukira kamu lagi nggak mau salah paham sama sikap Satria sama kamu,” kata Oki tiba-tiba.
“Ya, emang... tapi kan...”
“Suka beneran ya?”
“...nggak tahu.”
“Bagaimana kalau kamu coba sekali-sekali mempertimbangkan perasaan Raga.”
“Takutnya cuma pelarian. Raga terlalu baik,” kataku menolak. “Kasihan nanti.”
“Dicoba nggak ada salahnya, lho.”
Sore itu aku menolak menghabiskan nasi padangku.
* * *
Oki telah mengatakan sesuatu yang mengingatkanku tentang tujuanku sebenarnya: bahwa sesungguhnya aku tidak ingin terlalu berharap pada Satria. Aku tidak ingin menyalahpahamkan sikap-sikap baik Satria selama ini padaku. Aku juga tidak ingin sampai pada kesimpulan ‘Satria naksir Maya’.
Aku juga tidak menutup kemungkinan yang diutarakan Oki tadi. Bahwa Fazzie bisa saja naksir Satria duluan, kemudian gara-gara Satria bersikap baik pada Fazzie, Fazzie mengira Satria suka padanya.
Tapi hati kecilku yang jahat berkata begini: kalau masalahnya adalah bersikap baik, Satria lebih sering melakukan hal baik padamu, Maya. Kau tidak mengira Satria suka padamu, kan?
Tentu saja, karena aku tidak ingin salah paham. Karena aku tahu bahwa Satria suka pada Marisa. Karena sejak aku menemukan status Marisa kemarin dulu, aku memutuskan untuk mundur pelan-pelan. Memutuskan untuk tidak menganggap apapun yang Satria lakukan padaku adalah tanda-tanda bahwa dia naksir aku.
Tetapi Fazzie, yang kelihatannya sama sekali tidak dekat dengan Satria, dengan mudah mengatakan bahwa Satria menyukainya. Bahkan dengan alasan yang konyol, amat konyol. Kau setuju kan, Maya?
Siapapun akan mengira hal yang sama kalau ada di posisi Fazzie... apalagi kalau kau menyadari bahwa kau adalah gadis cantik yang memesona banyak pria.
Kau rela, kalau besok tiba-tiba kau mendengar berita bahwa Fazzie dan Satria pacaran? Mau kau kemanakan perasaanmu? Kau sudah menjalin hubungan baik dengan Satria selama beberapa minggu terakhir ini, dan begitu saja mau kau lepas? Untuk Fazzie yang bahkan tidak yakin dengan perasaannya?
Kalau melepasnya adalah pilihan yang terbaik, maka aku rela.
Lagipula, sejak kehilangan Yudha, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlalu berharap dan terlalu menggantungkan diri pada orang lain, kan? Kau sudah sampai pada tahap ini, Maya, kau harus bisa kuat, kau harus bisa mandiri. Kau tidak boleh jadi anak yang rapuh lagi, Maya.
“Maya...?”
“Ya?” aku tersentak kaget.
“Ngelamun?” tanya Oki di sebelahku, yang mengunyah popcorn.
“Dapet darimana popcorn itu?” tanyaku bingung.
“Tadi beli di depan... kamu aku tanyain nggak jawab, jadi aku cuma beli satu,” jelas Oki santai.
“Sori... lagi ngomong sama diri sendiri,” ujarku apa adanya.
Oki manggut-manggut. “Fazzie tuh,” dia mengangguk ke arah kiriku. Kulihat Fazzie dan geng cantiknya duduk di sana, beberapa baris di atasku. Fazzie melambai ke arahku, tersenyum.
Aku hanya bisa membalas senyumannya setengah hati.
“Satria otw,” kata Oki, dan kulihat dia sedang membuka pesan di ponselnya.
Aku berpura-pura tidak peduli dengan mengangguk singkat. Kupandangi punggung Raga, yang sedang berlari-lari di lapangan, melakukan pemanasan. Peluh menetes-netes dari pelipisnya, membuat wajah dan lehernya basah. Dia pasti lelah, pikirku. Praktikum Biokimia dan harus langsung bertanding di final basket.
Beberapa menit kemudian, GOR penuh dengan orang-orang. Pendukung FKG datang beramai-ramai, junior dan seniorku, membawa poster yang sama dengan yang kemarin, sterofoam besar bertuliskan FKG, dan sterofoam yang dipotong-potong membentuk huruf-huruf yang akan menyusuh kata ‘DENTISTRY’. Hari ini dresscode kami putih-putih.
Yel-yel kami dikumandangkan lagi bahkan sebelum pertandingan dimulai. Aku bermaksud mencomot popcorn Oki ketika tanganku tiba-tiba menyentuh tangan seseorang. Kupikir itu tangan Oki.
“Eh, sori,” kataku pada sang pemilik tangan. Aku langsung kaget begitu menyadari bahwa itu adalah tangan Satria yang hendak mengambil popcorn Oki juga. Aku tidak memerhatikan kalau Satria sudah datang dan duduk di sebelah Oki.
“Nggak apa-apa,” ujar Satria, menarik tangan dari kantung popcorn.
Aku mengambil segenggam popcorn dan mengalihkan perhatianku ke lapangan, sebisa mungkin menenangkan debaran jantungku yang semakin kencang. Aku tidak ingin melihat Satria dengan kemeja putih panjang yang lengannya digulung sampai siku, yang dikenakannya di atas kaus hitam polos.
“Hannah mana?” tanya Oki, tidak menyinggung kejadian barusan.
“Asistensi mikro,” jawabku.
 “Yaah,” kata Oki, dan aku senang mendengar nada kecewa di suaranya.
Tim basket FKG sudah selesai melakukan pemanasan dan sekarang sedang berkumpul di sisi lapangan, membicarakan taktik. Sesuatu terlintas di benakku. Aku lantas berjalan ke samping, melewati Oki, melewati Satria, melewati beberapa teman sekelasku, melewati beberapa juniorku, dan menuruni tangga menuju pagar pembatas di atas lapangan.
“RAGA!” panggilku keras.
Raga yang sedang menenggak air, menoleh mendengarku.
Entah apa yang menyambarku, tiba-tiba saja aku ingin melakukan tanda yang biasanya dilakukan Raga padaku. Kukepalkan tangan kananku, kutepuk ke dada kiriku, kemudian kubentuk pistol dari tangan kananku, menyentuhkan ujung telunjuk ke pelipis, dan mengarahkannya pada Raga. Dia tampak kaget, namun senang, karena senyumnya muncul di wajahnya yang tegang. Dia melakukan hal yang sama padaku.
FIGHTING!” teriakku, mengepalkan kedua tanganku.
Aku menyadari bahwa tindakanku barusan–dan mungkin tindakan Raga juga–membuat seisi GOR riuh rendah. Teriakan keras terutama muncul dari bangku pendukung FKG. Beberapa cewek yang duduk di sebelah barat GOR, yang tidak kukenal, juga berteriak-teriak. Mungkin mereka fans Raga yang kemarin menonton pertandingan FKG melawan FH.
Ketika aku kembali ke tempat dudukku, banyak orang berbisik-bisik. Aku bisa menebak apa yang mereka bicarakan, karena Oki menepuk-nepuk bahuku begitu aku duduk, dan bicara seperti ini:
“Bikin sensasi ya, May?”
Aku nyengir senang.
Waktu itu, aku hanya berpikir untuk memberi semangat pada orang yang sudah berbaik hati ada untukku setiap aku mengalami kesulitan.
Terpikirkan olehku untuk sekadar melirik Satria, melihat bagaimana ekspresinya.
Pendukung FEB berduyun-duyun datang mengisi bangku penonton di seberang pendukung FKG. Mereka didominasi warna biru. Spanduk yang dipakai juga tak kalah heboh dari pendukung FKG.
Dan samar-samar, aku melihat sesosok gadis yang mengenakan blus biru muda, tampak-seperti-Mandy. Wajahnya tak berubah dari pertama dan terakhir kali aku bertemu dia, tampak-dewasa karena make­-up yang cukup tebal, pipinya merah karena blush-on. Dia kelihatan bahagia. Bukannya aku tak senang, tapi... kau tahulah apa yang kupikirkan.
Pertandingan dimulai dengan bel keras. Lagi-lagi Raga yang mendapatkan bolanya duluan setelah dilempar wasit, kemudian dengan cepat men-dribble-nya ke ring lawan. Namanya dipanggil bersahut-sahutan oleh para pendukung FKG yang ramai.
Aku ikut mengeluh keras ketika Raga melepas bolanya dan salah satu pemain lawan membawa bola ke ring FKG. Buru-buru aku meneriakkan nama Wahyu, yang kebetulan ada di dekat ring–berharap cowok itu bisa mencegah lawan memasukkan bola ke ring.
“YEAYY, WAHYUUUU!” terdengar kencang setelah Wahyu berhasil mencegah bola masuk dengan pukulannya. Bola itu bergulir di udara dan langsung diambil Robi yang melompat tinggi. Para pendukung FKG meneriakkan nama Robi sementara aku menahan napas melihat Robi melewati pemain lawan dengan mulus dan dalam beberapa detik sudah sampai di dekat ring lawan. Tepat pada saat itu seseorang bertubuh besar bernomor punggung 13 menghalangi langkah Robi.
Aku mengenali orang bertubuh besar itu.
“Ardi?” bisikku perlahan.
“Ng? Kamu baru sadar,” kata Oki, mengunyah popcorn. “Kamu kemana aja tadi.”
Dan kulihat di bangku pendukung FEB, Mandy dan salah satu teman dekat Yudha yang satu SMA denganku, Tomi, berteriak-teriak menyemangati Ardi yang bermain di lapangan. Kalau kau tidak ingat, Ardi dan Tomi (serta Mandy) adalah orang-orang yang pertama kali tahu tentang berita kepergian Yudha.
“Nah, sekarang mereka melihatmu,” kata Oki di telingaku. “Sedang berbisik-bisik... sebentar lagi ngeliat kesini... satu... dua... tiga...”
Dan pada hitungan ketiga, Tomi yang sudah dibisiki Mandy tadi memandangku. Mereka berdua terlihat kaget setelah menyadari kedatanganku–seolah tidak mengharapkan bertemu aku disini.
Tentu saja lah, masa aku tidak mendukung tim dari fakultasku sendiri?
Aku memusatkan perhatian ke pertandingan lagi dan kali ini, bermaksud tidak memandang kedua orang yang aku kenal yang duduk di bangku penonton di seberangku.
Yel-yel FKG dikumandangkan lagi. Aku berteriak-teriak cukup keras–lebih tepatnya menjerit, meneriakkan ‘RAGA FIGHTING’ beberapa kali dan beberapa kali pula teman-temanku meneriakiku, berkata bahwa masih ada yang lain yang harus di-support. Aku berdiri untuk melihat lebih jelas ketika Wahyu men-dribble bola dengan cepat menuju ring lawan tanpa ada yang menghalangi dan dengan mulus melakukan lay up untuk memasukkan bola–kedudukan sekarang 18-22 untuk FKG. Beberapa saat yang lalu FKG tertinggal cukup jauh, tetapi berkat serangan bertubi-tubi dari Raga mereka sampai pada skor sekarang.
Pelatih FEB meminta time-out. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para pemain menyisih ke pinggir lapangan untuk berbincang dengan pelatih masing-masing. Raga langsung meraih botol air minum dan menenggak setengah isinya–yang berlebihan, hingga menetes-netes dari dagunya. Aku tidak bisa menahan keinginanku untuk meliriknya terus-terusan, bahkan tidak memberi kesempatan untuk mataku berkedip. Tanpa sadar kuraih botol minumku sendiri dan kuteguk air yang ada didalamnya.
Kantung popcorn Oki sudah habis. Aku manyun ketika Oki mengutarakan fakta ini begitu aku hendak meminta popcorn-nya.
Pertandingan yang hanya dilakukan dua set karena terbatasnya waktu itu dimulai lagi. Raga tampak panik, karena timnya ketinggalan angka cukup jauh. Kuteriakkan kata-kata penyemangat ketika tim lawan memasukkan bola lagi ke ring FKG, seperti ini:
“NGGAK PA-PA! NGGAK PA-PA!”
Yang langsung diikuti oleh kebanyakan pendukung FKG.
“FOKUS, FOKUS!” teriak Oki bertepuk tangan, bersikap seperti coach mereka. Kupukul bahunya. Coach yang asli, yakni kakak angkatan yang lebih tua tiga tahun di atasku–yang sekarang sedang menjalani co-ass–juga terlihat sibuk memutar-mutar tangannya dan berteriak-teriak pada anggota timnya.
Kami mengumandangkan yel-yel lagi sementara Jun, teman Hannah, men-dribble bola menuju ring lawan lagi. Kemudian entah siapa yang mulai–kukira suaranya muncul dari deretan bangku atas, yang merupakan tempat duduk anak-anak co-ass yang datang dengan jas putih-putih–teriakan ‘three point’ mendadak berkumandang berkali-kali. Mungkin untuk mendesak seseorang dari tim FKG melakukan three point lagi, mengingat waktu pertandingan kurang semenit lagi.
Aku memejamkan mata, berdoa pada Tuhan agar membiarkan kami memenangkan pertandingan ini. Kuremas tanganku yang berkeringat karena gelisah, melirik timer tepat di atas papan skor.
Semoga datang keajaiban... aku mengatupkan kedua tanganku cemas.
Tepat pada saat itu Raga melompat tinggi, melakukan tembakan yang jauh dari tempatnya berdiri–astaga, tidak mungkin, tidak mungkin bola itu masuk, jaraknya terlalu jauh...
SRAKKKK.
Bolanya masuk dengan mulus–dan dramatis. Tiga poin bertambah untuk skor tim FKG, menjadi 38-37. Papan skor berubah, tepat ketika timer menunjukkan waktu 00:00.
“NICE!” kudengar Oki berteriak, samar-samar kudengar suara Satria berseru “YEAAH!”, dan lebih banyak lagi jeritan-jeritan dari para mahasiswi.
Aku ikut berdiri, bersorak kencang bersama suporter FKG yang lain. Raga melakukan kebiasaannya lagi, menyentuhkan telunjuknya ke bibir, kemudian mengacungkannya sembari berlari mengelilingi lapangan. Aku sibuk menyerukan namanya.
“RAGAAAAAA!”
Beberapa cewek tak dikenal yang kulihat di awal pertandingan tadi terlihat menjerit-jerit kesenangan ketika Raga berlari lewat lapangan di bawah bangku mereka.
Suporter FKG berpelukan, berteriak-teriak senang. Aku nyaris menangis bahagia ketika tersadar bahwa ini hanyalah final pertandingan basket antar jurusan di kampus yang sama, bukan final pertandingan badminton Thomas dan Uber Cup dimana Indonesia mengalahkan China–meski kupikir euforia-nya akan, kurang-lebih, sama. Aku bertepuk tangan senang, masih bersorak-sorai bersama rombongan FKG yang putih-putih.
Para pemain saling berpelukan, memberi salam, kemudian berbalik menghadap pendukung masing-masing dan melambaikan tangannya, yang disambut teriakan meriah. Kemudian mereka kembali berkumpul di pinggir lapangan untuk minum dan beristirahat sejenak sebelum ada pengumuman juara, dan pengumuman siapakah yang menjadi MVP.
Bangku penonton FKG riuh-rendah, mengumandangkan yel-yel entah berapa kali, dan disambut oleh senyuman–lebih tepatnya cengiran–para pemain di bawah yang mengawasi suporter-suporter maniak.
Aku mengawasi punggung bernomor 8 itu mengelap keringatnya dengan handuk berwarna biru muda yang dikeluarkannya dari tas besarnya. Kemudian ia mengeluarkan sebuah bola basket–mungkin itu miliknya–tapi apa yang mau dilakukannya dengan bola basket itu?
Sedetik kemudian aku tahu. Dia berbalik dari duduknya, berdiri menghadap suporter-suporternya; tidak, bukan, dia berdiri, menghadapku.
NOONA!” samar-samar aku mendengar (dan melihat) Raga mengucapkan kata sakti itu.
Aku membelalak kaget ketika dia melemparkan bola basketnya tepat ke arahku. Semua orang di bangku yang ada di dekatku menoleh ketika bola itu bergulir di udara dengan gerakan pelan, mengira bola itu tidak akan sampai pada siapapun orang yang dituju, karena jarak dari lapangan menuju bangku penonton cukup tinggi–dan jauh. Tetapi, karena sudah melihat kemampuan Raga yang tak perlu diragukan lagi, dengan optimis aku berdiri dan menangkap bola itu, meski agak sedikit tergelincir.
Ada tulisan dari spidol hitam yang ditulis di bola berwarna oranye itu. Tulisan Korea. Hangul.
Dan aku, yang sama sekali tidak pernah mendapat pelajaran bahasa Korea secara resmi sebelumnya, bisa membaca hangul itu, saking seringnya aku melihat kata-kata itu.

Saranghaeyo, noona

Nice shoot,” gumam Oki, yang melihat bola itu.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates