10 Okt 2012


Begitu aku melangkahkan kakiku memasuki rumah, terdengar suara kucing yang semakin mendekat. Akane, dalam keadaan bersih dan wangi, menyambutku dari ruang makan.
“Mama pulang,” kataku, menggendong Akane setelah meletakkan bola basket pemberian Raga di sofa. “Uww, wanginya.”
Mbok Yati yang hari itu terpaksa telat pulang karena menungguku pulang muncul dari ruang makan juga. “Eh, Mbak, udah pulang...”
“Iya Mbok, makasih ya udah mandiin Akane,” ujarku senang.
Mbok Yati mengangguk. “Iya Mbak. Tadi dia mau saya kasih makan...” Mbok Yati menunjukkan kantung makanan kucing yang dibawanya.


Aku mengambil alih memberi makan Akane sementara Mbok Yati mencuci tangannya dan menyiapkan makan malam.
“Maaf ya Mbok jadi pulang telat,” kataku agak keras, agar Mbok Yati bisa mendengarnya meski ada di dapur.
“Nggak apa-apa, Mbak...” aku bisa mendengar Mbok Yati tertawa.
Kuhempaskan diriku di sofa, lelah karena kejadian hari ini. Setelah berpisah dengan Raga aku memasuki mobil Oki dengan wajah memerah karena teman-teman tak henti-hentinya menyorakiku–jelas mereka sudah melihat adegan penarikanku ke dalam pelukan Raga–dan aku berusaha keras tidak melirik Satria. Barulah aku berani memandang Satria terus-terusan ketika aku sudah berada di mobil Oki dan tidak terlihat dari luar. Satria menuju tempat parkir motor dan dia meluncur kencang keluar GOR.
Oki bercerita bahwa mereka akan pergi ke tempat Brian untuk berkumpul sejenak sebelum latihan futsal malam ini di tempat biasa. Dia mengajakku dan Hannah. Kubilang aku tidak ikut, karena aku terlalu lelah. Aku tidak tahu dengan Hannah, tetapi Oki bilang Hannah juga menolaknya. Aku merasa paham alasan Hannah menolak ajakan Oki untuk pergi ke tempat latihan, karena akhir-akhir ini dia sedang sibuk dengan praktikumnya yang banyak. Belum lagi responsi-responsi yang akan tiba di bulan depan. Raga juga bilang dia mau tidur sebentar sebelum membaca-baca buku praktikum Mikrobiologi untuk responsinya tiga hari lagi.
Setelah bersantai sebentar di sofa, aku mengambil handuk dan segera membersihkan diri sebelum menyantap makan malam. Tidak berniat belajar, aku menyalakan laptopku dan mengetik beberapa paragraf untuk kuposting di blog. Tentu saja tulisanku tidak jauh-jauh dari kejadian hari ini–fokus utamanya sih tentang bola basket dan pernyataan cinta.
Jemariku terhenti sejenak ketika menulis tentang pernyataan cinta cowok yang lebih muda sekian tahun daripada cewek yang ditembaknya. Aku masih merasa bersalah pada Raga, tentu saja. Dan dia bilang mau menungguku. Bagaimana kalau penantiannya sia-sia, pikirku muram. Memang sih, akhir-akhir ini aku sudah tidak ‘Satria! Satria!’ lagi. Tetapi mataku masih sering sekali punya keinginan bawah sadar untuk memandang Satria, sedetik saja.
Dan bukannya akhir-akhir ini aku masih sering kesal kalau ingat pengakuan Fazzie (atau pernyataan?) bahwa Satria menyukainya? Bukannya aku sangat kesal pada tingkah mereka di kelas yang kadang saling bertatapan (atau mungkin tidak sengaja) dan Fazzie tersenyum penuh arti? Bukannya aku sangat kesal kalau Fazzie yang pindah duduk ke dekat Satria pada waktu praktikum Prostodonsia di lab, padahal tempat duduk kelompok Fazzie jelas-jelas tidak berada di dekat kelompok Satria?
Oke, yang barusan terdengar sangat immature.
Wajar kan kalau aku–okelah, saatnya kita menggunakan kata ini–CEMBURU? Karena aku menyukai Satria; atau kupikir begitu.
Aku jelas masih menyukai Satria, ditilik dari bagaimana perasaanku waktu berpapasan dengannya di lift RSGM–Rumah Sakit Gigi dan Mulut–ketika aku hendak menuju lantai empat tempat dosen pembimbing akademik-ku berada. Dia baru saja keluar dari laboratorium teknik gigi setelah menyerahkan model gips-nya untuk di-processing di tekniker. Atau betapa aku ingin melompat-lompat ketika aku mendapati pandanganku tidak sengaja dipandang olehnya. Atau tentang aku yang kebetulan bertemu dengannya di pintu masuk kelas ketika aku berniat membuang sampah keluar dan dia baru masuk ke dalam kelas.
Namun di atas semua itu, aku menyadari penuh-penuh bahwa kenyataannya, Satria dan aku–yang dulu sempat bertukar pesan singkat via ponsel–tidak lagi sedekat dulu. Entah bagaimana kami saling menjauh satu sama lain. Aku bingung harus bersikap bagaimana, apakah aku harus kembali mengejar Satria atau menunggunya bertindak seperti yang dulu-dulu (misalnya mengajakku makan siang lagi, atau apa), karena ‘mengejar-cowok-untuk-mendapatkan-cintanya’ bukanlah prinsipku sama sekali. Aku tidak bisa membuat seorang cowok yang baru dikenal (dan kebetulan dia ini tipeku, misalnya) langsung jatuh cinta padaku dengan tindakan-tindakan ‘agresif’-ku. Aku lebih suka menyukainya diam-diam. Mengamatinya diam-diam.
Untuk kasus Raga... dialah yang duluan blak-blakan. Oke, aku memang kagum pada kebiasaan-kebiasaannya yang membuatku berdebar, tetapi aku juga tidak jatuh cinta padanya.
Bukannya aku tidak suka Raga, hanya saja...
Mungkin ini terlalu cepat.
Segera kuakhiri tulisanku sebelum aku menulis kegalauanku lebih lanjut (atau bercerita lebih jujur), kemudian kutekan tombol publish. Kutinggal laptopku sebentar untuk mengantar Mbok Yati yang sudah dijemput oleh suaminya, tepat pukul tujuh malam. Merasa bersalah pada Mbok Yati karena seharian berada di rumahku, aku memberikannya sebungkus cookies cokelat yang kusempatkan untuk membelinya di perjalanan pulang tadi.
Jam tujuh. Harusnya jam segini Oki dan teman-temannya sedang latihan futsal untuk pertandingan final besok sore.
Mengingat kata-kata ‘pertandingan final’ membuatku sakit perut, karena otakku langsung mengasosiasikannya dengan dugaan Fazzie bahwa Satria akan menembaknya... bodoh. Memikirkannya saja aku sudah kesal sekali. Bisa-bisanya ya, cewek itu...
Aku menarik napas perlahan-lahan, menenangkan diriku sendiri. Kubuka Media Player-ku dan kuputar lagu G.NA berjudul Green Light–yang dinyanyikannya berduet dengan Jay Park. Bukan jenis lagu yang mellow, tentunya. Cukuplah untuk menaikkan mood-ku sedikit.
Kok Satria nggak pernah sms lagi, ya.
Bego, pikiran begini sempat-sempatnya terlintas di pikiranku. Sudahlah...
Kemudian ponselku berdering. Intro lagu The Chaser (aku sudah mengganti ringtone ponselku dari Baby I’m Sorry) mengalun di kamarku, bersahut-sahutan dengan suara televisi di ruang tengah.
“Halo?” kataku.
“Kenapa kamu?” tanya Nathan Arya Raldian–kakakku.
“Kenapa apanya?” gumamku bingung, sembari mengutak-atik situs 9gag.
“Tulisanmu.”
“Ya ampun, Kakak udah baca?” aku benar-benar ternganga, dan secara otomatis aku membuka jendela browser yang menampilkan halaman blog-ku.
“Aku baca terus lah.”
“Kakak dimana?”
“Di kantor, lembur,” jawab Kak Nathan, tampaknya sedang mengunyah sesuatu. “Kamu udah makan?”
“Belum.”
“Makanlah, kamu itu. Kakinya gimana?”
“Udah dilepas kok perbannya. Iya ini mau makan, Mbok Yati baru aja pulang.”
“Kok malam betul?”
“Aku pulang telat...”
“Tuh, kan, kenapa? Bilang nggak?”
Aku mendesah panjang.
“Ada yang nembak kamu?” tebak Kak Nathan, selalu tepat.
Aku mengangguk.
“Halo?”
Aku baru sadar bahwa Kak Nathan yang berada di kota yang berbeda tidak akan bisa melihat anggukanku. “Iya, Kak. Aku bingung.”
“Bukannya kamu lagi suka sama temen sekelasmu? Yang kamu ceritain dulu itu. Siapa namanya... Budi? Andi? Iwan?”
Aku mendengus tertawa mendengar nama-nama yang seperti didikte dari buku pelajaran anak SD itu. “Satria,” ralatku otomatis.
“Oh, itu ya namanya,” kudengar Kak Nathan tertawa.
“Eh,” aku bengong. Benar juga, Kak Nathan tidak pernah mendengar namanya secara langsung, aku tidak pernah memberitahukannya!
“Haha,” ujar Kak Nathan, “gotcha. Jadi, siapa yang nembak kamu? Satria?”
“Bukan,” wajahku memerah. “Meski aku berharap...”
“Suruh dia temui aku dulu baru kamu boleh berharap.”
Sister complex-nya muncul lagi.
“Namanya Raga...” aku memulai. “Adik angkatanku.”
“Junior? Siapa namanya? Raga? Nama lengkap?”
“Raga Bhakti Priandika,” jawabku tanpa berpikir. “’Bhakti’-nya pake ‘h’.”
Aku menebak Kak Nathan sedang membuka Facebook dan mencari profil Raga. Kadang kupikir sifat kepo-ku menurun dari dia. Kak Nathan, maksudku.
“Hmmm,” gumam Kak Nathan. “Tinggi ya, dia.”
“Iya... anak basket–kapten tim,” ceritaku lagi.
Kemudian ceritaku mengalir begitu saja. Tentang kecelakaan itu. Tentang awal mula aku kenal dia. Tentang dia yang memanggilku noona. Tentang chatting dan mention itu. Tentang tulisan ‘IMA’ di profil Twitter-nya. Tentang pertandingan basket kemarin dulu itu dan hari ini. Tentang bola basketnya. Kuceritakan secara runtut dan mendetail, sampai-sampai situs 9gag-ku kuabaikan.
Setelah kupikir ulang, rasanya baru kali inilah aku bercerita langsung kepada orang–spesifiknya: Kak Nathan–setelah selama ini aku hanya mengetik diari dan menulis fiksi di blog. Bahkan Oki dan Hannah tidak tahu keseluruhan ceritanya. Oki hanya tahu sepotong-sepotong, Hannah tidak mendesakku untuk bercerita lebih banyak (karena dia terlalu disibukkan oleh gambar-gambar Histologi dan bakteri-bakteri dari praktikum Mikrobiologi).
“Woh,” kata Kak Nathan ketika aku berhenti untuk menarik napas dan membiarkannya berkomentar. “Bola basketnya tulisannya tulisan Korea, gitu? Belajar darimana dia?”
“Katanya sih dari Running Man,” aku nyaris tertawa mengingat ini. “Dia mirip banget Joong Ki waktu Running Man episode 15, Kak, yang pura-puranya dia nembak Ji Hyo itu lho.”
“Siapa, siapa?” Kak Nathan menguap. Dia tidak pernah tertarik pada hal-hal berbau Korea.
“Sori, sori,” ujarku cemberut.
“Jadi dia ini kapten basket, tinggi, blak-blakan, dan penggemar Running Man?” simpul Kak Nathan. “Oh, well, dia juga penggemarmu.”
Mukaku memerah lagi. “Tapi Satria...”
“Kamu udah jarang ngomongin dia di blog-mu.”
“Masa sih?” pikirku heran. “Kak, masa ada... cewek yang nyangka Satria suka dia?”
“Eh, pede banget,” komentar Kak Nathan.
“Kepedean kan? Tapi emang sih... dia cantik... tapi aku yang–paling enggak–udah hampir deket sama Satria aja nggak akan sampai pada keputusan kalau Satria suka aku, Kak, tapi dia... dia yang cuma disorakin aja udah ngira Satria suka dia...”
“Karena kamu beda sama dia, kamu itu sedikit-sedikit bimbang, sedikit-sedikit nggak percaya, padahal juga dia udah dateng ke rumah bawain bubur waktu kamu sakit...”
“Satria emang baik sama semua orang, Kak!”
“Sebaik-baiknya orang sama orang, siapa sih yang mau buang-buang waktu beliin bubur terus dateng ke rumah orang yang sakit, kalau dia nggak punya perasaan khusus sama orang yang sakit?”
“Ya mungkin karena dia kebetulan aja...” aku tak bisa memberi jawaban.
“Kebetulan apa?”
“Pokoknya Satria nggak mungkin suka sama aku, Kak!”
“Gini ya, Dek,” kata Kak Nathan sabar. “Jangan pake kata ‘pokoknya’ deh. Kemungkinan itu pasti ada, sepersekian persen sekalipun. Bukannya aku minta kamu untuk berharap, malah aku berharap kamu nggak berharap, karena kalau misalnya si Satria ini ternyata suka sama orang lain dan cuma nganggep kamu teman, atau sahabat lah, atau adik lah, kamunya juga kan yang repot. Nah sekarang kamu pikir baik-baik perasaan Raga, pikir lagi perasaan kamu ke dia. Kamu suka nggak sama Raga? Kamu merasa bisa nggak ngejaga perasaan Raga?”
“Ya siapa sih Kak yang nggak tersentuh kalau diperlakukan kayak gitu sama cowok.”
“Sama Satria lebih tersentuh mana?”
“Lebih tersentuh Satria, lah,” kataku pasti.
“Terus, Raga siapa dimatamu?”
“Mmm,” aku bergumam lama. “Mmmmh.”
“Adik? Temen?”
“Nggak tahu. Temen mungkin. Atau...” aku berpikir keras. “Nggak tahu, Kak. Aku cuma... seneng, ada yang merhatiin. Seneng, ada yang suka...” aku bergumam lagi, lebih kepada diriku sendiri. “Satria... katanya suka sama cewek yang itu, Kak. Yang ngira Satria suka sama dia. Cewek itu dikasih tahu sama temennya Satria... dan katanya Satria mau nembak cewek itu besok... di final futsal...”
“Hah? Kok jadi kompleks gini?”
“Nggak tahu, Kak,” kataku, mengacak rambut. “Aku... aku mau nunggu dulu gimana jadinya besok. Satria sama cewek itu beneran jadian, atau enggak...”
“Kalo enggak?”
“Kalo enggak... mungkin aku bakal terima Raga.”
“Kalo iya?”
“Kalo iya...”
“Kamu nolak Raga?”
“Aku udah nolak Raga, Kak. Aku udah bilang aku suka orang lain, dan dia bisa nebak dengan tepat bahwa itu Satria, tapi Raga bilang dia akan nunggu...”
“Kalau menurutku, Dek,” ujar Kak Nathan, “mungkin kamu lebih baik sama Raga. Mungkin–kalau aku lihat–dia bakal bisa lebih sayang sama kamu, karena udah keliatan kan dia merhatiin kamu banget, bahkan waktu dia belum kenal sama kamu. Setidaknya perasaannya lebih jelas. Dia milikmu.”
Aku memikirkan perkataan Kak Nathan dalam-dalam. Perasaan yang lebih jelas... benar juga... setidaknya dia tidak mempermainkan perasaan cewek-cewek lain dan menetapkan tujuannya pada satu orang... which is me.
“Satria...” ujarku, membela, tapi ragu.
“...tidak jelas arahnya kemana,” sela Kak Nathan. “Ya, kan?”
“Iya, sih,” kataku pelan, terpaksa menyetujui.
“Daripada kamu sakit...”
Aku langsung ingat sesuatu. “He told me not to hurt myself...”
“Siapa?”
“Satria.”
“Mungkin saja lho, dia mengatakan hal yang sama pada orang lain. Karena itu juga sering aku katakan pada orang lain,” rasanya aku bisa mendengar Kak Nathan meneguk minumannya setelah bicara seperti itu. “Tapi... YA?”
“Hah?” aku bingung karena Kak Nathan kedengaran seperti menyahut setelah dipanggil seseorang, padahal aku tidak memanggilnya.
“Bentaran nape, Ron. Adek gue nih. Konsultasi percintaan. Lo mau juga nggak? Lima belas menit lima puluh ribu,” kudengar Kak Nathan bicara agak keras, mungkin pada temannya di kantor. Sesaat kemudian kudengar temannya berteriak ‘udah ngalahin tukang pijet aja lo, lima belas menit lima puluh ribu’.
“Heh, konsultasi percintaan apanya,” tegurku sinis.
“Lho, bener, kan?” Kak Nathan tertawa. “Udah nggak galau? Udah nggak bimbang? Aku mesti rapat nih. Ternyata makanku kelamaan.”
Kulirik wekerku yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. “Kakak makan apa?”
“Burger doang kok,” jawab Kak Nathan. “Kamu makan sekarang.”
“Iya, iya,” ujarku. “Makasih ya, Kak,” kataku tulus.
“Ya, ya,” kata Kak Nathan. “Pas pulang, jangan lupa seratus ribunya...”
“ASEM!”
Kak Nathan tertawa-tawa. “Anyway,” gumamnya lagi, “tell me when you’ve made your choice.”
“Eh, Kak, Kak!” seruku sebelum Kak Nathan menutup teleponnya. “Kenapa Kakak langsung bisa nerima Raga tanpa bilang ‘harus-temuin-aku-dulu-sebelum-kamu-jadian-sama-dia’?”
Kak Nathan terdiam lama di telepon. “Entahlah,” katanya akhirnya, dan begitu dramatis, dia berkata, “miss you, Sis.”
I miss you more,” ujarku di telepon yang sudah terputus.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates