24 Apr 2012

Seorang gadis manis berambut pirang mendadak mendekatiku di kantin, seusai kuliah hari itu.
“Kak Maya...?” tanyanya, dengan suara selembut angin.
“Ya?” kataku, mendongak selagi menyantap mie ayamku.
“Boleh... duduk disini?” dia, membawa semangkok sup ayam dan segelas es jeruk, minta izin duduk bersamaku di mejaku yang hanya ada akunya.
“Boleh boleh,” kataku buru-buru, mengelap mulutku yang belepotan dengan tisu. Kuminum es tehku perlahan, lalu memandang cewek yang baru saja duduk di hadapanku.
“Namaku Hannah, Kak,” ceritanya, sadar kalau diawasi.
“Hmhm,” aku mengangguk-angguk.
“Kakak... deket sama Kak Oki ya?” tanyanya langsung.
Boleh juga juniorku ini, bicara padaku langsung pada topiknya.
“Semacam itulah,” tawaku. “Kenapa?”
“Aku suka sama Kak Oki, Kak.”
Bukan petir di siang bolong lagi ini namanya. Seorang gadis pirang yang bermata cokelat besar dan bibir tipis yang tampaknya keturunan indo ini mengaku suka pada Oki?
Tapi, aku bersyukur dia tidak bilang dia suka Satria.
“Ng?” aku menggumam, menunggu dia yang tampaknya belum selesai bicara.
“Tapi aku nggak berani bicara duluan sama Kak Oki...”
Klasik. Aku merasa aku kembali ke masa SMA, sebagai senior baik hati yang membantu junior pemalu pedekate dengan temanku yang super tampan – hanya saja di kasusku, Oki tidak tergolong super tampan. Dia tampan sih, yah... memang, dia tampan.
Oke, Oki memang tidak bosan dilihat.
“Makanya aku mau minta tolong Kak Maya...” tambahnya lagi.
“Biar kamu bisa ngomong sama Oki, begitu?” ujarku menyimpulkan.
Hannah mengangguk, pipinya yang putih mendadak jadi pink. Oh ya ampun, lucu sekali sih anak ini.
“Kamu darimana sih?” tanyaku, penasaran.
“Apanya, Kak?”
“Asal.”
Dia sepertinya mengerti, karena dia langsung menceritakan tentang keturunannya. “Ayahku orang Perancis yang lahir di Indonesia, Kak. Lalu bertemu dengan ibuku yang orang Sunda...”
“Kamu cantik,” ujarku tulus dan spontan. “Pasti kamu bosan ya mendengarnya?”
“Ah,” dia memerah. “Tidak kok, Kak. Banyak orang yang tidak bilang aku cantik...”
Mereka hanya terlalu malu untuk mengatakannya, Sayang.
Topik selanjutnya pembicaraan kami adalah tentang Oki. Bagaimana Hannah tertarik pada temanku yang satu itu, dan bukan Satria. Hannah malu-malu sekali ketika bicara tentang Oki (sup ayamnya tidak tersentuh sama sekali, tapi es jeruknya nyaris habis), membuatku gemas.
“Kak Maya deket sama Kak Oki udah berapa lama?” tanyanya, menyeruput es jeruknya, dan untuk pertama kalinya menyendok sup ayam.
“Oh, kenal dari SD...” ceritaku. “Anaknya temen papaku, dia itu...”
“Pasti seneng ya, Kak...”
“Kenapa?”
“Punya temen kecil...”
“Nggak juga,” aku mengingat-ingat kejadian-kejadian aneh masa kecilku.
“Justru itu Kak, yang bisa bikin Kakak bilang ‘nggak juga’ ketika ditanya tentang teman kecil. Ketika Kakak bilang ‘nggak juga’ pasti Kakak langsung inget kenangan-kenangan Kakak sama dia dulu.”
Aku terdiam. Anak ini punya sense!
“Kamu bener.”
Hannah tersenyum, lalu menyuap sup ayamnya.
Kemudian mendadak serombongan gadis cantik yang lain masuk kantin. Marisa dan teman-temannya.
Aku mendesah panjang. Hannah bertanya, tapi aku berkata tidak apa-apa.
Tampaknya Marisa sudah menemukan rambut pirang Hannah yang mencolok dan segera mendekatinya. Dia juga tahu kalau Hannah duduk denganku – yang adalah seniornya – dan dia mengangguk ketika tak sengaja kami berpandangan.
“Hannah!” tegurnya.
“Marisa,” kata Hannah.
Kemudian mereka bicara. Aku, yang sudah selesai dengan mie ayam dan es tehku, buru-buru bangkit untuk menghindari pembicaraan mereka yang mungkin akan mengungkit-ungkit Satria... Marisa kan gebetannya Satria.
“Aku duluan ya, Hannah,” kataku, mengambil tas yang kusampirkan di kursi.
“Oh, eh... iya, Kak...” Hannah gelagapan, tapi Marisa buru-buru duduk di kursi yang tadinya kutempati. Dua cewek yang lain teman mereka duduk di sisa kursi yang ada.
Mengomel, aku berjalan cepat menuju perpustakaan, yang kuharap sepi. Kalau sedang bad mood seperti ini biasanya aku akan menyepi di sudut perpustakaan yang tidak terlihat siapa-siapa, menyalakan laptopku, wifi-an.
Kuliah memang sudah berakhir sekitar sejam yang lalu, tetapi entah kenapa aku punya pikiran akan menemui Satria dan kawan-kawannya ketika aku akan berbelok melewati jalan yang akan membawaku menuju perpustakaan. Aku takjub sendiri ketika aku bertabrakan dengan Wira, tepat di sudut jalan.
Aku terjatuh, dengan bodohnya.
“Eh, Maya,” kata Wira, yang mengulurkan tangannya, tapi tidak kusambut karena aku sudah berdiri sendiri. “Sori sori.”
 “Nggak papa?” tanya seseorang di sebelah kiriku. Oki.
“Nggak papa,” senyumku, mengamati siapa-siapa saja yang ada di tempat kejadian perkara... tentu saja ada Satria, kelompok yang seperti biasa.
Mereka berjalan menuju parkiran motor. Aku melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan, pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana pikiran Satria melihatku jatuh ditabrak Wira tadi. Dia tadi tampak biasa saja, datar tanpa ekspresi.
Tentu saja, May, dia kan suka Marisa.
Aku kesal sendiri kalau mengingat bahwa parkiran motor itu dekat dengan kantin, dan ada kemungkinan Satria mengenali Marisa di kantin, atau Marisa mengenali Satria yang berjalan di parkiran, dan berbisik-bisik riang bersama Hannah dan geng cantiknya.
Aku menggetok kepalaku, lalu memasang headphone-ku untuk mendengarkan Infinite. Beberapa saat aku terbawa alunan lagu Comeback Again, dan tidak bisa mendengar apapun di luar suara dari headphone-ku.
Mendadak seseorang menepuk bahuku. Aku benar-benar kaget, kupikir aku akan dihipnotis. Kulepas headphone selagi menoleh ke belakang.
Selanjutnya aku mengalami shock selama sepersekian detik.
Demi apapun yang ada di dunia ini, hal penting apakah yang membuat seorang Satria yang barusan bertemu denganku, kemudian pergi, lalu datang menemuiku lagi dengan sendirinya?
“Nih,” dia menyodorkan sebuah plester.
Aku kebingungan dalam shock-ku dan jantung yang berdebar tak keruan.
“Lututmu...”
Aku melihat lututku yang selama lima menit terakhir ini biasa saja. Ternyata sudah ada luka lecet yang cukup besar di lutut sebelah kananku. Aku jadi menyesal kenapa tadi pagi aku memilih memakai rok pendek untuk ke kampus, padahal biasanya aku mengenakan celana panjang.
Sekarang setelah Satria mengatakannya, lututku jadi terasa perih.
“Ah,” kataku. “Aku bahkan nggak sadar. Makasih ya...”
Satria mengangguk-angguk dengan ekspresi biasa.
Don’t hurt yourself too much,” katanya, sebelum melangkah pergi.
How dramatic.
And I love this drama.
* * *
Kupandangi jariku yang masih terpasangi plester, lalu kulirik lututku yang juga terpasang plester besar. Aku mulai memikirkan tentang perkataan Satria sebelum dia pergi meninggalkanku tadi. Aku juga mulai memikirkan tentang perhatian Satria padaku tadi.
Sore itu Hannah mengirimiku pesan singkat pertamanya. Tadi siang dia meminta nomor ponselku, dan berjanji akan mengirimiku pesan segera setelah dia mengisi pulsa nomornya.

+629977345xx
04/05/12 16:07
Kak Maya, ini Hannah. Aku udah isi pulsa ^^v

Aku tertawa membaca smsnya, yang bingung harus kubalas dengan apa. Aku lalu ingat bahwa hari Minggu ini Oki dan teman-teman futsalnya memintaku datang sebagai suporter dan memintaku membawakan smoothies untuk anak-anak futsal yang mengadakan latihan terakhir.

Hahaha baguslah. Eh, minggu besok ada acara?
04/05/12 16:11

Kukirim pesan itu ke nomor Hannah, berharap yang terbaik akan terjadi.

+629977345xx
04/05/12 16:13
Minggu? Nggak ada Kak, emang kenapa? :o

Emoticon-emoticon dari Hannah membuatku, entah kenapa, merasa sedang berkirim pesan dengan orang yang super ramah. Aku selalu senang dengan emoticon. Tetapi aku sendiri jarang menggunakannya.

Mau ikut aku jadi suporter klub futsal? Latihan doang sih. Tapi aku udah janji. Ada Oki juga. Mau?
04/05/12 16:16

Hannah benar-benar cepat; ah tidak, kilat, dalam membalas pesanku. Dalam beberapa menit balasannya sudah sampai.

+629977345xx
04/05/12 16:18
Mauuuu, Kak! Aku bawain makanan gitu ya?

Tentu saja, pikirku, sambil mengetik balasan. Dengan begitu aku hanya cukup membawakan mereka smoothies sementara Hannah bertanggung jawab membawa makanan.

Boleh, boleh. Aku diminta bawain smoothies sama mereka -_____-“
Kita berangkat bareng? Kamu ke rumahku, gimana?
04/05/12 16:21

+629977345xx
04/05/12 16:23
Aku udah mikir mau bawain nasi kepal, Kak! Gampang dibikin...
Rumah Kakak dimana?

Anak ini pasti terlalu banyak membaca komik Jepang, pikirku, sembari mengetik alamat rumahku. Pesan terakhir darinya berkata dia menyetujui datang ke rumahku untuk kemudian pergi ke tempat latihan futsal bersama-sama.
Intinya dia setuju untuk menjemputku.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates