6 Des 2011

November 2010

“Ingatkan aku apa motivasiku mengikutimu masuk kampus ini.”

“Karena kau menyukai tetanggamu sejak SMP. Namanya Arkaz dan dia masuk universitas ini dengan beasiswa penuhnya.”

“Oke.”


Meira dan Kinan berbisik-bisik cukup keras sampai Miss Airin mendengar dan melempar penghapus papan tulis ke arah mereka, yang sayangnya, luput, dan malah mengenai papan pengumuman di belakang kelas.


Gomenasai, Miss,” sahut Kinan.

Please speak ENGLISH in my class. And no more talking!” ujar Miss Airin.


Meira meregangkan kedua tangannya ketika Miss Airin berbalik menghadap papan tulis.

“Dia itu,” kata Meira, “kadang jahat sekali.”

Kinan tersenyum seadanya. “Dia tidak jahat, kok.”

Ugh, I miss my old life,” keluh Meira, menguap.

YOUR old life,” Kinan memberi penekanan pada kata pertama.

“Yeah,” kata Meira. “Kehidupan bebas dimana aku bisa dengan tenang menyantap omelet keju, vanilla latte, beef sandwich, dan es krim strawberry. Kehidupan bebas dimana aku tak usah mengerjakan PR yang menumpuk, tugas-tugas yang menuntut, dan ujian-ujian yang susah. Kehidupan bebas dimana aku bisa memandangi Kak Arkaz setiap hari.”

“Ingat, kau masuk universitas ini karena Kak Arkaz.”

“Humm, yeaahh.”

Meira menguap lagi, dan menyusupkan kepalanya ke dalam lengannya di atas meja untuk kemudian tertidur.

“Hei, Meira, bangunlah,” kata Kinan perlahan.

“Sebaiknya ini penting?” kata Meira.

“Lihat Leif,” gumam Kinan.

Leif, seorang pemuda, teman sekelas mereka, sekarang sedang terkantuk-kantuk di kursinya dengan posisi menopang dagu.

“Dia keren sekali,” kata Kinan nyaris mendesah.

Meira memandang bosan ke arah Kinan. “Lagi? Kau sudah mengatakannya puluhan kali hari ini.”

Mendadak Leif terbangun, mengedip-ngedipkan matanya, lalu menguceknya perlahan. Kemudian matanya tak sengaja bertatapan dengan mata Meira yang sedari tadi memandangnya.

Aneh, dia tersenyum pada Meira.

Dan kali itu, Meira untuk pertama kalinya mengakui hal yang sudah sejak tiga bulan lalu Kinan coba katakan padanya: Leif memiliki mata yang indah.

* * *

November 2011

Meira terbangun dari tidur siangnya yang damai. Ia melirik jam dinding berbentuk kelincinya. Jam 15:00. Meira bangkit dan mengecek ponselnya, kalau-kalau ia mendapat pesan atau panggilan tak terjawab.

Bad dream,” gumam Meira sambil menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri. “Kenapa harus mimpi seperti itu sih?”

“Ngomong sama siapa?” tanya Kinan dari kasur di sebelahnya. “Sama teman imajinasi lagi?” cibirnya.

To anyone,” kata Meira asal, lalu membanting pintu kamar.

Meira mengenakan jaket merah marunnya dan kemudian berjalan lemas menuju ruang makan, tempat biasanya Meira menghabiskan waktu memandangi Arkaz sampai kakak angkatannya itu keluar dari ruang makan. Hanya dengan memandangi Arkaz makan sudah membuat hati Meira sangat berdebar. Menurut Meira, Arkaz terlihat paling memesona ketika makan. Inilah sebabnya Meira sangat suka ruang makan.

Tapi itu cerita lama.

“Halo,” kata Juni, pelayan di ruang makan, melihat Meira masuk ruang makan dengan lesu. “Mau makan apa? Tadi bukannya sudah makan siang?”

“Aku mau kentang goreng,” ujar Meira lemas. “Rasanya tidur siang tadi menghabiskan seluruh tenagaku.”

“Oh, oke,” Juni melesat ke dapur mengambil kentang goreng.
Meira menguap dan mencari tempat duduk paling nyaman yang bisa ditemuinya, yang tidak bisa secara langsung memandang pintu ruang makan, dan yang tidak bisa secara langsung memandang jendela ruang makan. Meira sudah lelah melihat pemandangan yang membuat hatinya semakin sakit.

Juni datang dengan kentang goreng dan segelas besar frozen cappuccino.

Here they are,” ujar Juni, lalu meletakkan cappuccino di meja Meira. “Ini bonus,” tambahnya, berbisik. “Semangat!” Juni meninju bahu Meira, lalu mengepalkan tangan kanannya memberi semangat.

Meira tersenyum. Ia benci dikasihani seperti itu. Orang-orang tampaknya mengasihaninya setelah berita besar itu tersebar kemana-mana. Meira benci dipandangi dengan wajah kasihan oleh orang-orang. Meira benci disuruh bersemangat terus-terusan. Meira benci disuruh sabar terus-terusan. Meira benci dipedulikan.

Meira lebih benci lagi ketika ia sedang ingin sendiri dan muncul seseorang yang duduk di depannya.

Leif.

Tetapi Meira tidak bisa mengusirnya. Maka Meira membiarkan Leif duduk, makan burgernya, sesekali menyedot cola-nya, terlihat menikmati sekali.

Meira juga membiarkan air matanya mengalir di depan Leif.

Meira juga membiarkan Leif menghapus air matanya dengan tisu.

Meira tidak peduli dengan perasaan Kinan.

Toh Kinan juga tidak peduli dengan perasaan Meira.

Ketika Kinan menerima Arkaz menjadi pacarnya.

* * *

September 2011

“DASAR PENGKHIANAT!” teriak Meira keras.

“KAU SENDIRI?” timpal Kinan. “Kau menyukai Leif kan?”

Meira tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi mengutarakan pertanyaan lain. “DAN KAU? KAU MENYUKAI KAK ARKAZ?”

“KAU SUDAH TAHU JAWABANNYA!”

“Kenapa kau tidak bilang dari dulu? Kenapa kau membiarkan perasaanku untuk Kak Arkaz berkembang lalu kau malah menusukku seperti ini?”

“Aku tidak bermaksud menusukmu!”

“Tolong jelaskan, Kinan,” tangis Meira. “Selama ini aku memercayaimu...”

“Aku tidak!” kata Kinan. “Selama ini hanya kau-lah yang dilihat Leif, Meira, cuma kau! Leif tidak pernah sedikitpun melihatku! Padahal aku-lah yang menunjukkan Leif padamu, aku selalu menegurmu ketika Leif melihat ke arah kita, sebelum aku tahu bahwa kaulah satu-satunya yang dilihat oleh Leif!”

“Dan kau melupakan seluruh ceritaku tentang Kak Arkaz? Tentang bagaimana aku mencintainya? Tentang bagaimana aku menyayanginya hingga rela mengorbankan diriku untuknya? Betapa kejamnya kau, Kinan,” sahut Meira, dramatis.

“Kejam? Ketika aku masuk bimbel untuk persiapan masuk SMA, kau mengikutiku. Ketika aku berniat masuk universitas ini, kau mengikutiku. Ketika aku menyukai Leif, kau mengikutiku! Dan apa? Kau-lah yang memiliki nilai try-out tertinggi di bimbel! Kau-lah yang selalu ditunjuk Miss Airin untuk mewakili kampus di debat terbuka bahasa Inggris! Kau-lah yang DISUKAI Leif! SELALU KAU! KAPAN SIH KAU AKAN BERHENTI MENGIKUTIKU DAN BERHENTI MENDAPATKAN APA YANG AKU INGINKAN?”

Meira tertegun.

“Padahal,” Kinan melanjutkan, kali ini dengan banjir air mata. “Padahal, kau selalu santai, dan tidak pernah terlihat tertekan... padahal, aku yang selalu begadang setiap malam waktu kau sudah tidur pukul sembilan... padahal, aku selalu jadi yang terakhir keluar dari perpustakaan dan masuk asrama paling terakhir... tapi kenapa kau selalu jadi yang pertama?”

“Dan kau adalah orang yang paling dicintai Kak Arkaz... ini semua adil kan? Hahahahaha...” Meira tertawa miris.

Kinan tersenyum dingin. “Yeah, dan aku bahagia karena dia yang mencintaiku. Ini cukup kan untukmu?”

Kinan lalu pergi, meninggalkan Meira yang hanya bisa terdiam.

* * *

November 2011

Better?” tanya Leif dengan suaranya yang dalam dan menenangkan.

Meira tidak menjawab, tidak menggeleng ataupun mengangguk. Tetapi hatinya berdebar.

“Sini,” kata Leif perlahan, dengan tangannya meraih tangan Meira di atas meja. “Everything’s gonna be okay. Oke? Trust me.”

“Aku tak tahu,” kata Meira, gemetaran. “Aku benci dipedulikan seperti ini.”

“Kau mesti terima. Soalnya aku peduli padamu.”

Hening. Meira terdiam sejenak. “Thank you for that.”

“Dengar, Mei...”

Meira mendengarkan dengan tenang. Genggaman tangan Leif di tangannya membuat gemetarannya sedikit berkurang.

“...besok Desember.”

Meira menunggu Leif menyelesaikan perkataannya.

“Dan aku sudah menunggu selama sebulan ini untuk menemui Desember.”

“Aku juga.”

“Bulan yang berat,” sahut Leif.

“Bulan yang berat,” Meira setuju.

“Untuk alasan yang sama.”

“Hah?” Meira tidak menyangka Leif bicara seperti itu.

“Mei...” gumam Leif. “I’ve been in love with you since our first meeting.”

“Aku...” gagap Meira. “Aku... terima kasih, kau selalu ada waktu aku sedang kesusahan... waktu aku mendengar Kak Arkaz dan Kinan... waktu aku kehilangan orang-orang kepercayaanku... kau selalu muncul...”

“Mei yang kukenal sudah berubah, aku benci itu,” kata Leif, mengeluarkan senyum mautnya.

“Maaf kalau aku berubah.”

“Kalau begitu cobalah untuk tidak berubah,” ujar Leif. “Just in front of me.”

Hujan mendadak turun, dengan derasnya.

Dan air mata Meira juga mendadak turun, tanpa ada yang bisa menghentikannya.

I...”

Meira terbatuk melihat Leif memandanginya dengan lembut.

I will.”

Leif tersenyum. “Thanks, Mei.”

You’re welcome, L.”

Leif  memandang ke jendela. “The last November’s rain,” katanya, menunjuk hujan.

Welcome December’s rainbow,” tambah Meira, tersenyum di tengah-tengah air matanya.
Tangan mereka masih saling menggenggam, pertanda akan saling menguatkan, meski mereka tahu hujan tidak akan berhenti sampai disini, meski mereka tahu badai akan datang, tetapi paling tidak mereka percaya, setiap hujan berhenti, pasti akan ada pelangi yang muncul.

* * *

Yogyakarta, 30 November 2011

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates