1 Jun 2012


Gedung olahraga ramai orang. Mahasiswa dan mahasiswi dari segala jurusan di kampusku datang berduyun-duyun. Pertandingan semifinal basket antar fakultas akan segera dimulai. Fakultas Kedokteran Gigi melawan Fakultas Hukum, cukup menarik untuk ditonton, karena masuknya FKG ke semifinal bahkan tidak diprediksi. Raga sendiri yang bercerita padaku bahwa dia sama sekali tidak menyangka kemarin bisa mengalahkan Fakultas Teknik yang tampaknya merupakan calon kuat juara umum bulan olahraga tahun ini.

Tanpa-tongkat, aku keluar dari mobil Hannah, dibantu Hannah yang sudah keluar duluan dan membanting pintu pengemudi cepat-cepat. Kami buru-buru membeli tiket masuk gedung olahraga dan mencari posisi yang enak untuk menonton dari dekat.
Tim basket FKG sudah berkumpul di sisi lapangan. Di bangku penonton aku melihat mahasiswa dan mahasiswi yang kukenal, berseru-seru ramai. Mereka bahkan membawa spanduk dan poster besar-besar bertuliskan ‘DENTISTRY’. Aku tersenyum. Paling tidak kami menang suporter.
Ada Marisa dan kawan-kawannya juga. Mereka membawa pom-pom dan entah bagaimana mengenakan kaus yang sama, kaus warna merah dengan gambar peri gigi di depannya. Mungkin mereka sudah janjian.
Memang sehari sebelum pertandingan, ada pesan singkat dari nomor temanku yang biasanya mengirimkan kabar duka (ada kelas pengganti orto, misalnya) atau kabar gembira (presentasi bedah mulut diundur jadi minggu depan) kepada anak-anak sekelas. Alias tukang jarkom (jaringan komunikasi). Pesan singkat itu menghimbau agar kami semua mendukung tim basket di pertandingan semifinal, dan juga agar kami yang menonton mengenakan baju berwarna merah.
Jadi disanalah aku dan Hannah, duduk, diantara puluhan mahasiswa FKG lain yang notabene adalah teman dan kakak angkatan kami.
Kulihat rombongan Oki yang merah-merah datang, dan kupanggil Oki menuju tempat duduk di sebelahku yang masih kosong.
“Kok telat?” tanyaku.
“Makan dulu tadi,” jawab Oki.
“Kakimu nggak apa-apa?” tanya Satria, dari balik Oki.
Aku mengangguk, menolak melihat mata Satria. Satria mengenakan kaus merah darah dengan gambar garuda emas di depannya – ketat di tempat-tempat yang tepat. Kupalingkan mataku dari badan Satria dan beralih memandangi lapangan.
Anak-anak yang lain mengambil posisi duduk mereka. Sebagian duduk di kursi belakangku, sebagian duduk di kursi di sebelahku. Oki duduk tepat di sebelah kiriku.
“Udah ketemu Raga?” tanya Oki.
“Belum, aku tadi dateng dia udah ngumpul disitu...”
Kutunjuk tim basket FKG yang sedang berdiskusi di pinggir lapangan. Tampak Raga, menjulang tinggi, memukau dengan wajah putih dan chubby-nya, dan tampang seriusnya muncul. Pikiranku saja, atau aku memang menyukai wajah serius Raga?
Pendukung Fakultas Hukum, yang ada di seberang kami, mungkin tidak berpikir untuk mengenakan baju dengan warna senada, karena aku bisa melihat warna-warni baju yang dikenakan mereka. Sebagian besar lelaki. Kupandangi tim suporter FKG sendiri. Sebagian besar wanita. Ada yang menunjuk-nunjuk ke arah suporter tim FH.
Reasonable. Fakultas kami kekurangan lelaki, wajar kan kalau mendadak melihat serombongan wajah-wajah baru lelaki dari fakultas lain dan tidak bisa menahan antusiasme yang muncul. Sayang sekali perempat final kemarin aku tidak nonton, padahal FKG kan lawan Teknik. Rasanya lumayan... untuk cuci mata sejenak.
Dengan segera aku kembali ke dunia nyata, dan ternyata kedua tim sudah masuk lapangan, diiringi teriakan keras pendukungnya. Bola dilempar ke atas – dan Raga yang tinggi langsung dapat mencapainya. Dribble keras dilakukannya sembari berlari kencang menuju ring basket lawan.
“RAGAAAAA!”
Terdengar pekikan kencang itu dari arah tempat duduk Marisa dan teman-temannya – tentu saja, Raga kan dari angkatan mereka. Mereka menyahut-nyahutkan nama Raga, mendesaknya untuk segera memasukkan bola ke ring.
Tetapi perjalanan Raga tidak semudah itu. Seseorang dari FH memblokirnya, membuat Raga tak bisa terus maju. Dilemparnya bola ke arah Wahyu, yang sedari tadi tidak dijaga.
“WAHYUUUUUUUUUUU!”
Kali ini teriakan nama itu terdengar dari tempat duduk di sebelah kananku – tempat angkatanku berkumpul dan meneriakkan nama-nama anggota angkatan kami yang bermain.
Lagi-lagi pendukung FKG kecewa – bola dengan cepat diambil oleh salah satu pemain FH dan dengan mulus dia berlari menuju ring basket FKG; yang kosong tak terjaga. Terdengar riuhan keras dari pendukung tim FH.
Aku melihat Raga mengerahkan kecepatannya untuk berlari menuju ringnya sembari meneriakkan nama salah satu pemainnya untuk mencegah lawan memasukkan bola.
Sayang sekali – bola itu masuk dengan lay up sempurna dari lawan. Pendukung FH berteriak-teriak, sementara pendukung FKG mengeluh keras. Skor pertama dicetak oleh FH.
Saking ramainya suasana dalam gedung olahraga, aku hampir tak dapat mendengar suara Hannah yang membisikkan sesuatu ke telingaku.
“APA?” teriakku, mataku mengawasi Raga yang sedang bergulat dengan pemain FH memperebutkan bola.
“RAGA GANTENG YA KAK?”
“HAH?” aku langsung menatap Hannah. “Kamu ini tiba-tiba...”
Hannah tertawa. “Habisnya Kakak serius banget nontonnya...”
“Ya... kan... FKG...” elakku.
Bola yang sedari tadi diperebutkan Raga akhirnya lepas dan bergulir, dan dengan segera diambil oleh salah seorang pemain FH. Dia berlari lagi ke ring FKG, diiringi seruan antusias pendukung FH, dan pekikan tak rela pendukung FKG. Tetapi dia ternyata tidak berlari ke ring – dia berhenti di sisi lapangan dan bersiap-siap menembak – masa sih dia mau melakukan three point... seseorang cepat cegah dia...
“RAGA!” teriakku keras. “RAGAAAAAAAAAAA!”
Kupikir Raga baru saja ada di dekat ring lawan. Tetapi entah bagaimana dia berlari dengan cepat menuju pemain lawan yang hendak melakukan three point, melompat tinggi-tinggi – dan lemparan itu bisa diblokirnya. Dengan cepat bola itu berpindah tangan ke Robi.
“RAGA KEREEEEEEEENNNN!” pekikku kencang sekali. “KEREEEEEEEEN!”
“Hee...” terdengar dari sisi kanan dan kiriku, dan belakangku. Anak-anak sekelas memandangiku manyun – beberapa dari mereka sudah tahu kalau aku dekat dengan Raga.
“Iya, iya, Raga keren...” kata Oki.
Aku nyengir malu.
Raga (yang keren) berlari menyeberangi lapangan dan dalam sekejap sudah berada di sisi lapangan, menunggu seseorang melempar bola padanya. Tampaknya dia juga berniat melakukan three point. Dengan badan setinggi itu, tampaknya three point bukan hal yang susah...
Dan bola akhirnya berada di tangan Raga, setelah dilempar oleh salah satu temannya. Tanpa berpikir panjang Raga melakukan posisi menembak, melepas bola dengan lembut, dan bola itu MASUK dengan mulus ke dalam ring.
Pikiranku saja, atau barusan Raga melakukan senyum mata-nya lagi dengan sangat manis?
Teriakan kencang terdengar di kursi pendukung FKG. Marisa – aku tidak sengaja meliriknya – melompat-lompat sembari menggoyang-goyang pom-pomnya. Yel-yel yang biasa hanya muncul ketika ada pertandingan antar angkatan di FKG, kali itu terdengar di GOR.

Every morning days and night!
Go DENTISTRY go to FIGHT!
Cause we, we’re DENTISTRY, we, we’re DENTISTRY!

Aku terbawa suasana, dan sejenak ikut meneriakkan yel-yel itu. Ada rasa bangga yang tak bisa dijelaskan ketika menggaungkan yel-yel dengan nama FKG di luar FKG. Fanatik? Rasanya bukan. Ini lebih ke rasa kebersamaan.
Yel-yel itu tampaknya bekerja juga untuk tim basket FKG – yang ketika set pertama selesai sudah berhasil meraih skor 16-10.
Beberapa juniorku mendadak berdiri dari kursi mereka dan bangkit, kemudian mengucapkan pamit pada kakak angkatan mereka.
“Mau kemana?” tanya Hannah.
“Asistensi Histologi,” kata mereka menyesal.
“Ah... semangat ya?” kata Hannah.
“Duluan, Kak...” ujar mereka ketika melewati kursi-kursi yang diisi mahasiswa angkatanku.
Hannah kemudian bercerita bahwa dia dan kelompoknya sudah melakukan asistensi kemarin. Kulihat Yuna – yang notabene adalah asisten Histologi untuk kelompok Hannah – dengan riang membagi-bagikan snack jualannya ke teman-temannya.
Sebal sekali rasanya kalau harus berhenti melakukan kegiatan yang menyenangkan karena disela oleh urusan nilai. Tapi ya apa boleh buat.
Untung saja masa-masa berat itu sudah kulewati.
Sesaat pikiranku melayang ke plat resin akrilik tugas praktikum Prosto yang belum kukerjakan karena malas.
“Ngelamun?” tanya Oki tepat.
“Prosto nih, belum selesai...”
“Ah, santai...” ujar Oki. “Aku juga belum kok.”
“Udah dimasukin ke tekniker?” tanyaku.
“Baru kemarin.”
Tekniker yang kubicarakan ini akan memproses model malam dan anasir gigi (gigi palsu) serta kawat klamer yang dibentuk diatas model gigi dari gips menjadi plat dari resin akrilik. Tentu saja begitu plat itu sampai di tanganku, platnya sudah hooglans (mengilat seperti kaca!). Aku tidak perlu repot-repot menghaluskan plat dan memolesnya seperti yang kulakukan waktu semester dua lalu.
Waktu istirahat sudah habis.
“DENTISTRY!” teriak tim basket FKG di pinggir lapangan, disambut teriakan riuh pendukungnya. Satu-persatu anggota tim masuk lapangan.
“KAK MAYA!” kudengar suara Raga memanggilku di sela-sela keramaian.
Aku menoleh ke bawah.
Raga mengepalkan tangan kanannya, mengetukkan ke dada sebelah kirinya dua kali, kemudian membentuk tangannya seperti pistol, menyentuhkan ujung telunjuknya ke pelipis, dan diarahkannya tangan kanannya padaku. Dan dia tersenyum manis lagi padaku, matanya seperti mengatakan ‘Pertandingan ini pasti kumenangkan!’, memandangku beberapa saat sembari berjalan mundur, sebelum berbalik berlari menuju tengah lapangan.
Sebuah tanda. Tanda yang diberikan Raga padaku...
Tingkah Raga yang terang-terangan bisa dilihat semua orang tadi membuat pendukung FKG riuh rendah. Oki bertepuk tangan sembari tertawa, Hannah ternganga tak percaya, teman-teman ribut menyoraki.
“Sudah sejauh itu, May?” tanya Brian di belakangku.
Aku buru-buru meluruskan. “Nggak, itu... tadi... nggak tau kenapa dia tiba-tiba begitu...”
Brian dan teman-temannya tertawa menyorakiku bersahut-sahutan. Kulihat Satria tersenyum dari sudut mataku.
“Cieee Maya...”
Jangan kayak anak kecil deh! Pikirku dalam hati, mencela mereka semua. Tapi ternyata aku kepikiran juga. Kututup wajahku dengan kedua tangan dan menunduk, menyembunyikan senyumku.
“Kenapa May, kepikiran ya?” ujar Oki, masih tertawa senang.
Kukepalkan tinjuku, tidak senang karena pikiranku mudah sekali ditebak.
Pada saat itu kulihat Robi men-dribble bola menuju ring – sayang sekali lawan mencegatnya di tengah jalan dan dia melempar bola keluar lapangan. Pertandingan berlanjut lagi setelah lawan dari sisi luar lapangan melempar bola masuk dan langsung direbut oleh juniorku yang aku tidak tahu namanya.
Tetapi sedetik kemudian aku tahu namanya. “JUN!” Raga meneriakkan namanya. Dia sendiri sedang berlari, tidak dijaga, dan Jun – atau siapa tadi namanya – segera melempar bola, begitu tahu ada lawan yang menyongsongnya.
Raga berhenti tepat di lingkaran, langsung melompat dan melempar bola ke ring tanpa ada yang bisa mencegahnya – lompatan tim lawan tidak bisa menjangkau bola yang dilempar Raga – dan tentu saja bola itu masuk lagi. Tampaknya Raga adalah spesialis three point.
“DENTISTRY! DENTISTRY!” terdengar di tempat duduk kami. Teriakan semakin riuh ketika Raga berlari menyeberangi lapangan setelah menyentuhkan telunjuk ke bibirnya dan mengacungkannya. Ini bukan sepakbola, Dik, aku tertawa dalam hati, tapi... Raga terlihat keren... baru saja aku berpikir begitu ketika mendadak pekikan keras bergaung di stadion – rupanya banyak yang berpikir sama denganku. Raga tampaknya menjadi idola selama pertandingan ini. Terang saja, kemampuannya bermain basket plus gelar kapten tim dibungkus oleh wajah manis dengan mata nyaris sipit yang indah – cukup untuk menarik perhatian para penonton wanita. Beberapa cewek dari seberang kami yang jelas-jelas bukan anak FKG, menjerit-jerit kesenangan ketika Raga berlari melewati lapangan di bawah kursi mereka.
Oki menyenggolku. Kupandangi ia. Dia hanya mengangkat alisnya berkali-kali, dan tersenyum seolah bertanya pendapatku tentang cewek-cewek tak dikenal yang meneriaki Raga.
“Apaan sih,” kataku mengelak.
“Cemburu ya? Cemburu?”
“Enggak...”
Aku sadar betul ada Satria di belakangku, entah bagaimana ekspresinya, entah dia memandangiku ketika sedang digodai oleh Oki, atau apalah, dan aku tidak ingin lebih menarik perhatiannya dengan gerakan-gerakan tak perlu.
Mendadak sesuatu terjadi di tengah-tengah pertandingan. Raga dan lawannya tiba-tiba bertabrakan keras. Pekikan kaget terdengar dari cewek-cewek yang menonton, dan ‘AH’ keras bergaung di GOR.
Aku berdiri, kaget melihat kejadian yang mendadak itu. Bukan apa-apa, aku mendengar bunyi aneh ketika tabrakan itu terjadi. Pastilah tabrakannya cukup keras sampai menghasilkan bunyi itu. Apalagi kulihat Raga dan lawannya masih terbaring di lapangan.
“RAGA!” teriakku. Aku, dikuasai oleh entah-apa, berjalan cepat ke samping menuju tangga turun, bahkan lupa kalau kakiku masih diperban. Aku menuruni tangga selagi mengawasi kejadian yang terjadi di lapangan – P3K sudah turun tangan menangani Raga dan anak FH itu. Aku berhenti di depan pagar pembatas di atas tembok yang mengelilingi lapangan.
“RAGAAAA!” pekikku kencang. Kemudian Raga bangun, dan duduk sementara tim P3K memeriksanya. Lawannya, justru tidak bergerak, tampaknya pingsan. Tabrakan antar pemain macam apa yang bisa menyebabkan seseorang pingsan?
Kupikir aku lega karena Raga tidak apa-apa. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa ada darah yang mengalir di pelipis Raga. Aku menutup mulutku, pening karena melihat warna merah itu. Terdengar napas tertahan dari seisi GOR begitu mereka menyadari hal yang sama.
Mahasiswa FH lawan Raga tidak bisa bangun dan dia diangkat di atas tandu sementara Raga hanya dibalut kepalanya. Dia masih bisa melompat-lompat ketika tim P3K meninggalkannya. Padahal aku benar-benar berharap Raga tidak masuk lapangan lagi, dan memutuskan untuk beristirahat di pinggir lapangan saja...
Aku menyebut-nyebut namanya, hanya dalam hati, berharap dia mendengarnya. Begitu dia menoleh, dia pasti melihatku yang pucat berdiri di dekat pagar, benci karena tidak bisa melakukan apa-apa, dan dia tersenyum, kali ini menunjukkan gigi-giginya yang rapi. Senyumnya seolah berkata, ‘aku nggak apa-apa, jangan cemas’ senyum yang menenangkan.
Para pendukung yang dari tadi berdengung membicarakan kejadian barusan bertepuk tangan menyemangati kedua tim yang telah mengalami pukulan besar. Khususnya para mahasiswa FH, yang kulihat cemas setengah mati melihat salah seorang mahasiswanya ditandu menuju ambulan.
“Yuk,” aku menyadari bahwa Oki sudah ada di sebelahku, memintaku untuk kembali duduk di tempat semula. Aku meremas tanganku yang berkeringat, dan menenangkan jantungku yang berdebar cukup kencang.
“Raga nggak apa-apa kan...?” gumamku gelisah. “Raga...” kupandangi punggung bernomor 8 itu berlari-lari memberi instruksi kepada anggotanya untuk berkeliaran menjaga lawan.
“Nggak apa, dia kuat kok pasti,” tanpa diminta Satria menyahut. Kutolehkan kepalaku ke belakang, memandang mata Satria mencari keyakinan. Ketika kulihat Satria balas memandangku, aku mengangguk.
Kemudian kulihat Satria mengulurkan tangannya ke arahku – aku tidak bisa bergerak, atau lebih tepatnya menunggu apa yang hendak dia lakukan – dan dia menepuk-nepuk kepalaku.
He’ll be okay,” ujar Satria. “I know him.”
Aku sudah bertahan untuk tidak menangis sejak melihat darah di pelipis Raga, dan seorang Satria dengan begitu saja merobohkan pertahananku. Dari dulu, aku selalu, selalu, luluh ketika ada orang yang menepuk-nepuk kepala untuk menenangkanku. Kak Nathan, Yuda... Satria...
Don’t cry,” kata Hannah di sebelahku, melihat aku berusaha setengah mati mengulum bibirku agar tidak kelepasan menangis keras-keras. “Kakak...” Hannah menarik pipiku dengan kedua tangannya ke arahnya dan memelukku.
Aku melepas tangis tanpa suara di bahu Hannah.
“Kak, jangan nangis, kita belum menang,” ujar Hannah, mengelus punggungku.
Aku tertawa. “Oh, iya ya,” kuhapus air mata yang menggenang di mataku dan melepas pelukanku dari Hannah. Kupusatkan lagi perhatianku pada pertandingan, yang selama ini tidak kulihat – atau aku mungkin hanya memandang, tanpa melihat – papan skor sudah menunjukkan 27-18. Tampaknya tim lawan mengalami cobaan yang cukup berat.
Ada yang melakukan foul. Wahyu diberi kesempatan untuk melakukan free throw.
“WAHYU! WAHYU! WAHYU!” terdengar berkali-kali di tempat duduk pendukung FKG.
Wahyu bersiap menembak... dan lawan-lawannya langsung memblokir bola yang bergulir di udara. Bolanya lepas lagi, dan dibawa oleh salah satu anak FH menuju ring FKG. Mereka berhasil melakukan slam dunk dan mengubah skor menjadi 27-20.
Tetapi rupanya sudah tidak cukup waktu untuk membalikkan keadaan – bel panjang berbunyi tanda pertandingan usai. Pendukung FKG yang merah-merah berdiri serentak, berteriak-teriak kesenangan. Aku hanya bertepuk tangan di kursiku, baru sadar kalau kakiku sakit. Hannah meloncat-loncat kegirangan, rambut pirangnya berkibar.
“RAGAAA! JUNNN! DONI!!! KEREEENN!” dia menyebutkan nama teman-temannya.
Angkatanku tak mau kalah, mereka juga menyahuti Wahyu dan Robi.
Kedua tim berhadapan dan bersalaman. Raga yang sekarang mudah sekali dikenali karena perban putih yang membalut kepalanya, mendapat tepuk tangan dari kebanyakan penonton perempuan.
“DENTISTRY! DENTISTRY!”
“FINAL!” teriak cowok-cowok di belakangku. “Final, final, final, final...”
Aku membiarkan air mataku mengalir sementara aku tersenyum bertepuk tangan. Aku berjalan ke samping lagi, melewati teman-teman yang berdiri, menuruni tangga, dan berdiri di dekat pagar lagi.
“RAGA!” aku berteriak, memanggil cowok yang sedang minum air di pinggir lapangan.
Dia menoleh, tak tampak raut kesakitan di matanya. Malah, dia nyengir lebar padaku.
“Dasar...” gumamku kesal, tapi gembira. “Bikin orang cemas saja...”
“FINAL! MINGGU BESOK! HARUS NONTON!” kata Hannah berulang-ulang, ketika kami berjalan keluar GOR.
“Iya, Han...” kataku sabar.
Aku berjalan pelan, membiarkan para penonton lain mendahuluiku. Sengaja, aku menunggu sampai tim basket keluar dari GOR. Setidaknya aku harus mengatakan sesuatu pada Raga.
Anak-anak FKG di depanku masih ramai membicarakan pertandingan barusan dan bercanda-canda, seperti besok tidak pernah ada yang namanya praktikum atau presentasi tugas dari dosen. Aku malah mendengar Oki dan teman-temannya hendak pergi menonton film action terbaru – yang mana tidak aku suka. Aku menolak ketika Oki mengajakku (sesaat mataku menangkap mata Satria, dan kuturunkan pandanganku, dan memalingkan mataku dari badan Satria yang tampak indah dengan kaus merah itu) tetapi Hannah mengajakku ikut. Aku sedang sibuk menolak dan merengek, ketika kulihat tim basket FKG keluar dari GOR.
Mereka disambut dengan tepukan tangan dari mahasiswa-mahasiswi FKG yang lain. Punggung mereka ditepuki, pujian-pujian bermunculan. Kalimat-kalimat khawatir muncul untuk Raga, yang tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa – seolah kekhawatiran mereka tidak beralasan.
Tapi, aku punya alasan untuk khawatir.
Aku melepaskan diriku dari Hannah dan Oki dan yang lain, kemudian berjalan menuju Raga. Tepat di depannya. Dia bahkan sudah tersenyum sebelum aku sampai di depannya.
“Apa noona deg-degan?” adalah kata-kata pertamanya.
“Ya iyalah, adegan tabrakan itu nggak ada di skrip,” kataku kesal. “Kamu oke?”
Dia mengangguk. “I’m fine.”
Dan aku terdiam. Ternyata aku tak punya kata-kata lain untuk diucapkan. Entah karena aku terlalu kesal, gelisah, atau senang, atau karena ternyata Raga memang bisa membuatku berdebar ketika menonton pertandingan basket.
“Aku nggak akan bilang ‘sudah kubilang, kan?’, Kak,” ujar Raga, nyengir, selagi kami berjalan beriringan di belakang yang lain.
Ingin rasanya kuacak rambutnya, kupukul kepalanya, tetapi perban itu mencegahku berbuat lebih lanjut. Sebelum kuangkat tanganku, mendadak sudah ada yang menahannya.
Raga menggenggam tanganku. Aku terkejut, karena ternyata tangannya gemetaran. Sungguh jauh berbeda dari tampilan sebelumnya – yang tegar dan menenangkan semua orang. Tak ada yang bisa kulakukan, selain membalas genggamannya dan menyalurkan kekuatanku padanya.
“Kupikir aku pingsan,” bisiknya, hanya aku yang bisa mendengar, “kupikir aku kalah,” katanya. “Tapi terus aku denger suara noona...”
Teriakanku yang itu.
Gomawoyo, noona,” ujarnya lagi. “We won because of you.”
No need to say thanks,” kataku. “Aku tidak berpengaruh apa-apa... kalianlah yang main hebat...”
Raga tersenyum, pipinya naik.
“Sakitkah?” tanyaku.
Raga mengangguk. Mungkin ini pertama kalinya dia bersikap jujur setelah sekian lama dia menahan rasa sakit di depan semua orang.
“Istirahatlah,” gumamku.
Raga mengangguk lagi.
Kami masih bergandengan sesampainya di tempat parkir. Aku sudah melihat Hannah memanggilku untuk pergi bersamanya. Aku hendak melepas tanganku, tetapi Raga sendiri masih mencengkeramnya. Aku memandanginya.
Noona,” ujarnya, perlahan melepas tanganku.
“Ya?”
Dia tertawa, lalu menggeleng. “Have fun,” katanya.
Aku mengangguk tersenyum. Lalu melangkah pelan menuju tempat Hannah dan yang lain bercengkrama.
Noona!” teriak Raga ketika aku sudah berjalan cukup jauh.
Teriakan itu – aduh, memalukan sekali – menarik perhatian semua orang di sekitarnya.
Begitu berbalik, kulihat Raga melakukan itu sekali lagi – menepuk dada kiri dengan kepalan tangan kanannya, menyentuhkan telunjuknya yang berbentuk seperti pistol ke pelipisnya, dan mengarahkannya padaku.
Dan Raga mengucap tanpa suara, gerak bibirnya yang tebal jelas sekali:
I’m yours.

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates