16 Mei 2012

Dengan susah payah aku turun dari tempat tidur pagi itu dan sebisa mungkin aku menghindari memberi tekanan berlebihan pada kakiku, mengingat kakiku masih diperban. Tak mau bermalas-malasan, kupaksakan berjalan ke dapur tanpa tongkat penyangga. Sudah tiga hari aku menggunakan tongkat, dan aku tak ingin terlalu memanjakan badanku. Sudah saatnya aku menanggalkan tongkat ini.

Kubuka kulkasku, yang penuh makanan karena kemarin Mpok Imah sudah berbelanja. Kukeluarkan apel dan susu. Seperti biasa, smoothies apel di pagi hari menjadi andalanku untuk menaikkan mood-ku untuk seharian. Dan tentu saja, lagu-lagu yang berdengung dari MP3 player-ku. Sengaja kumainkan lagu-lagu riang agar mood-ku melonjak naik – urusan lagu-lagu mellow yang mendayu-dayu, nanti sajalah. Aku juga sedang bosan dengan lagu-lagu semacam itu.
Mpok Imah datang pukul setengah tujuh, kemudian segera mengambil alih tugasku menyiapkan sarapan.
“Saya saja yang bikinkan sandwich-nya, Mbak,” ujarnya, melihatku memotong-motong tomat.
“Ah, makasih, Mpok...”
Akane mengeong, minta kupeluk. Kuelus sejenak kepalanya.
“Sori, Nak, Mama harus siap-siap kerja,” kataku pada Akane, yang langsung protes dengan berbalik menjauhiku.
Aku memang harus siap-siap untuk kuliah pagi ini, meski kuliah dimulai pukul 8. Keterbatasanku karena gerakku agak lamban akibat kaki yang diperban menjadi alasan aku harus sudah siap-siap dari pukul setengah tujuh, dan aku tidak mau mengambil resiko telat masuk kelas – entah itu mungkin karena Oki lama menungguku yang masih berdandan, atau macet di jalan, atau lambatnya jalanku dari tempat parkir menuju kelas.
Mama menelepon, mengecek keadaan. Kubilang aku baik-baik saja, dan kukatakan pada Mama bahwa aku memutuskan untuk melepas tongkat penyangga mulai hari ini. Mama terdengar agak khawatir. Aku menenangkannya.
Sungguh, rasanya ingin sekali segera melepas perban dari kakiku. Aku rindu kebebasanku yang lama.
Oki datang pukul setengah delapan tepat, ketika aku sedang mengunyah sandwich dan meneguk smoothies. Aku pamit pada Mpok Imah (dan Akane) untuk pergi kuliah.
“Besok tanding basket, nonton?” tanya Oki.
“Nonton lah. Kan ada Wahyu sama Robi...”
“Bukan karena ada Raga?”
“Nggak lah.”
Oki mengangguk-angguk, mengerti. “Hannah dateng nggak ya...”
Aku langsung menoleh. “Eh? Nanti aku minta dia dateng deh...”
“Nggak usah sih...” Oki tertawa, tampak salah tingkah, dan menggaruk kepalanya.
“Pasti rame deh yang nonton, kan perempat final...” kataku. “Harusnya anak-anak ngerti ada yang lagi tanding memperjuangkan nama fakultasnya.”
“Iya, Maya.”
“Bareng ya, berangkatnya?” pintaku.
“Iya, deh.”
Setibanya di kampus, begitu menginjakkan kaki keluar dari mobil, aku merasakan kegembiraan tak terkira karena sudah bisa berjalan tanpa tongkat (meski masih diperban). Kulihat Hannah, yang sedang membeli roti di kantin, menyerbuku.
“Kak Maya!” katanya, berlari dari kantin. “Udah nggak pakai tongkat?”
“Iya, males sih. Lagian udah bisa jalan kok...” kataku, tersenyum.
Tepat pada saat itu dari sudut mataku aku melihat Satria datang memasuki gerbang kampus dengan motornya yang biasa, dan helmnya.
“Yuk,” ajakku pada Hannah, memintanya membawaku pergi – aku sedang tidak ingin terlihat oleh Satria. Oki paham, lalu dia mulai berjalan menuju kelas.
Aku berbincang dengan Hannah, dan kupaksa dia ikut menonton pertandingan basket besok. Dia menyetujui saja – sudah kuduga – dan terutama terlihat bergembira ketika aku memastikan kepada Oki bahwa dia juga akan menonton besok. Oki, yang berjalan agak di depan kami, menoleh ke belakang sedetik, lalu memandang ke depan lagi. Aku berani bertaruh dia tersenyum.
“Tongkatnya hilang?”
“Hah?” aku menoleh ke belakang.
Satria yang bisa berjalan lebih cepat dariku sudah sampai di sisiku – dengan kecepatan kakiku yang sepelan ini seharusnya aku sudah menduganya.
“Oh...” kataku, “enggak, aku tinggalin di rumah.”
“Kenapa?” tanya Satria.
“Karena aku udah bisa jalan.”
Satria mengangguk-angguk. “Syukurlah.”
Aku sesaat terbawa lagi. Ketika aku kembali ke dunia nyata, tanpa aku sadari ternyata Hannah sudah berjalan agak lebih cepat dan sekarang menjejeri Oki.
Jadinya? Tanpa disengaja aku dan Satria berjalan berdampingan. Dengan baik hatinya Satria berjalan pelan-pelan mengiringiku.
Aku tak tahu, apa aku masih bisa – masih boleh – menikmati perasaan ini.
* * *
Kelas terakhir, lima menit terakhir. Kelas sudah sibuk membereskan barang-barang bahkan sebelum dosen menampilkan slide terakhir. Ketika akhirnya slide berwarna hitam dengan tulisan putih di atas itu muncul, anak-anak sekelas bergumam senang. Dengungan terdengar di seisi kelas, dan disela oleh dosen kami. Seketika kelas dipenuhi keluhan keras ketika dosen itu memberi tugas yang harus dikumpulkan minggu depan.
Oki menghampiriku yang sedang berusaha bangkit dari kursi.
“Mau makan siang bareng anak-anak nggak?” tanyanya.
“Nggak ah, aku mau cari tugas barusan, di perpus,” tolakku halus.
“Wah, sayang sekali,” ujar Oki. “Tapi harus makan lho ya.”
“Tenang sajalah.”
“Aku bantuin kamu turun deh.”
Kelas kami kebetulan berada di lantai dua dan aku harus menuruni tangga untuk kemudian berjalan menuju perpustakaan.
“Nggak usah,” tolakku lagi. “Aku bisa sendiri. Sudah saatnya aku tidak merepotkan orang lain lagi...”
“Kamu itu nggak ngerepotin, Maya.”
“Oh ya?”
“Dasar...”
Tetapi Oki tetap menuntunku menuruni tangga.
Hari itu, aku sama sekali tidak berani memandang Satria langsung. Ini juga alasanku menghindari makan bersama mereka – yang mana akan membuatku mempunyai kesempatan besar untuk secara tidak sengaja atau kebetulan bertemu pandang dengan Satria.
Kutegaskan pada diriku sendiri: aku sedang tidak ingin salah paham.
Karena sehari yang lalu aku secara sengaja meminjam Blackberry milik Hannah untuk stalking BBM Marisa. Dan apa yang kutemukan? Status seperti ini:
Pending, @SM. Lagi di luar.
Kuingatkan nama lengkap Satria: Satria Maheswara Pambudi.
Nama kontak BBM-nya: Satria Maheswara.
SM.
Membaca status BBM itu membuatku kacau selama sepersekian detik. Otakku tidak bisa berpikir, rasanya aku ingin sekali menangis saat itu juga, mukaku menghangat dengan cepat. Kukembalikan ponsel itu kepada Hannah, yang bingung melihatku bingung. Aku tetap mengatakan aku oke, dan perlahan pergi meninggalkan Hannah, dengan alasan mau ke kantin.
Berjalan sepelan mungkin, aku mencoba berpikir rasional. Tetapi aku berjalan tak tentu arah.
Oh, jadi Satria BBM-an sama Marisa. Ternyata masih.
Itu yang bisa kusimpulkan.
Jadi kamu salah kalau berharap sama Satria, May.
Itu juga yang kusimpulkan.
Seharusnya kamu tahu dari awal, May, SATRIA ITU SUKA SAMA MARISA. SATRIA CUMA SUKA SAMA MARISA.
Lalu foto roti rasa strawberry itu?
Siapa sih yang cocok dengan strawberry? MARISA, MAY! CEWEK KAYAK MARISA EMANG COCOK SAMA STRAWBERRY!
KAMU BODOH KALAU MENGANGGAP DIA SUKA SAMA KAMU!
Benar juga, ya?
Satria itu udah lama suka sama Marisa.
Kesimpulanku hari itu.
Dan aku tidak pernah mencapai kantin, siang kemarin.
Karena di perjalananku yang teramat lambat, aku baru sadar bahwa aku lupa membawa tongkat penyanggaku dan berjalan terseok-seok – bodohnya, kakiku yang tidak diperban tersandung undakan kecil dan aku terjatuh. Rasa sakit menusuk-nusuk lagi. Aku nyaris menangis di jalan yang sepi orang itu, hingga Raga datang dan menghampiriku.
“Kak Maya?”
Aku sedang mengurut-urut betisku yang sakit – useless – sembari menahan tangis, dan aku mendongak.
“Raga?”
“Kenapa, Kak?”
“Sakit...”
“Jatuh? Tongkatnya mana?”
“Ketinggalan di perpustakaan...”
“Naik ke punggungku, Kak...”
Itu lagi. Lagi-lagi dia menawarkan piggyback.
“Nggak usah, tuntun aku jalan saja,” tolakku, mengingat kalau piggyback ini dilihat orang, orang, akan menimbulkan sensasi di kampusku. Atau, kuperjelas, gosip.
Raga membantuku berdiri, dan aku dengan motivasi tinggi bangkit, menjejakkan kakiku ke tanah, tetapi rasa sakitnya kembali lagi. Aku benar-benar tidak bisa berjalan.
“Kak?” Raga memegangiku. “Aku gendong saja sampai perpustakaan.”
Terpaksa. Aku benar-benar terpaksa – karena memang tidak ada orang lain yang kukenal yang bisa kumintai tolong.
Kupegangi kedua bahunya, dan berusaha agar tidak terlalu memberikan beban berat ke punggung Raga.
“Kuliah udah selesai, Kak?” tanyanya.
“Nanti jam dua ada lagi...”
“Wah, sore banget, ngantuk deh pasti.”
“Banget... kamu nggak kuliah?”
“Ini lagi kuliahnya Pak Burhan.”
“EH? Terus kok kamu di luar?”
“Aku tadi dari toilet...”
“Astaga, Raga... maaf...”
“Buat apa, Kak,” Raga tertawa. “Udah seharusnya kan aku nolongin Kakak...”
“Nanti kamu jadi telat ke Pak Burhan...”
“Bentar lagi juga kelar,” kata Raga cuek.
Kemudian muncul sesuatu yang benar-benar tidak kuharapkan. Oki dan teman-temannya – atau harus kubilang, Satria dan teman-temannya? – muncul dari ujung koridor di depanku dan Raga. Tentu saja mereka akan melihatku... atau melihat Raga menggendongku... atau melihatku digendong Raga...
“MAYA?”
Oki yang pertama kali bereaksi. Dia mempercepat langkahnya menuju ke arah kami berdua.
“Kenapa?” tanya Oki.
“Jatuh, tadi. Kesandung,” jawabku singkat.
“Tongkatnya?”
“Ketinggalan di perpus...”
“Astaga, kok bisa...”
Aku tidak menjawab. Aku sudah melihat Satria dan segera memalingkan pandanganku.
“Ketemu Raga dimana?” tanya Oki.
“Tadi pas Kak Maya jatuh, aku baru balik dari toilet...” jawab Raga dengan suaranya yang berat. “Karena Kak Maya nggak bisa jalan, jadi...”
Itu sudah cukup menjelaskan, menurutku.
“Untung ada Raga,” kataku spontan. “Tadi bener-bener nggak ada orang...”
Kuharap Satria tidak salah paham, atau apa.
INGAT MAY, SATRIA TIDAK SUKA PADAMU, DIA SUKA MARISA.
Suara hati yang meneriakkan kalimat barusan membuatku sadar lagi.
“Iya, untung saja,” kata Oki.
“Kalian dari mana?” tanyaku pada Oki.
“Lab komputer, mau makan,” jawab Satria.
Aku menunduk.
“Mari...” pamit Raga pada rombongan itu.
Oki mengangguk. “Hati-hati.”
Raga berjalan, dan mataku masih menghindari wajah Satria yang biasanya selalu bisa muncul dari sudut mataku. Aku menghela napas panjang.
“Kenapa, Kak?” tanya Raga mendengarku.
Nope.”
Raga mungkin sengaja memelankan langkahnya, karena perjalanan itu terasa amat lambat, dan kami belum juga sampai perpustakaan.
“Kak,” tegur Raga, tiba-tiba.
“Ya?”
“Kakak nangis ya?”
“...iya.”
Aku telah membiarkan air mataku mengalir, entah sejak kapan, membasahi kemeja Raga di bagian bahu.
“Maaf.”
“Nggak apa-apa, Kak.”
Air mata itu menjelaskan segalanya – bahwa aku telah kembali menjadi Maya yang cengeng dan rapuh. Sudah setahun lebih, dan pertahananku pecah oleh karena status Marisa yang terang-terangan membeberkan bahwa dia sedang BBM-an dengan Satria. Bahwa mereka masih BBM-an. Bahwa mereka masih dekat. Bahwa mereka saling suka.
Dan aku memang sama sekali tidak bisa berbaur. Sudah dari awalnya begitu.
Mungkin selama ini aku saja yang memaksakan. Mungkin selama ini aku saja yang bermimpi terlampau tinggi.
Jadi apakah sudah saatnya aku mempertimbangkan perasaan Raga?
Tidak, kalau begini caranya, Raga bisa saja hanya menjadi pelampiasanku – pelarian. Aku tidak ingin – sama sekali tidak ingin... karena Raga sudah begitu baik padaku.
Kenapa rasanya akhir-akhir ini hidupku kacau sekali? Perasaanku campur aduk, atau lebih tepatnya dicampuradukkan, oleh banyak orang – oleh kecelakaan itu, juga. Yang membuatnya lebih parah. Yang membuatnya lebih menyakitkan.
Setelah kupikir-pikir, sudah lama juga aku tidak menangis.
Maka, setelah Raga mengizinkan, aku menangis tanpa suara di punggungnya. Hanya membiarkan air mata mengalir, selagi benakku dilintasi pikiran-pikiran menganggu.
Dan yang kusuka adalah Raga tidak berkomentar apa-apa, hanya menyerahkan tisu ketika dia menurunkanku di dekat perpus, membiarkanku mengusap mataku, menungguku, dan tersenyum dengan matanya.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates