Counter Attack
Dengan susah payah aku turun
dari tempat tidur pagi itu dan sebisa mungkin aku menghindari memberi tekanan
berlebihan pada kakiku, mengingat kakiku masih diperban. Tak mau
bermalas-malasan, kupaksakan berjalan ke dapur tanpa tongkat penyangga. Sudah
tiga hari aku menggunakan tongkat, dan aku tak ingin terlalu memanjakan badanku.
Sudah saatnya aku menanggalkan tongkat ini.
Kubuka kulkasku, yang
penuh makanan karena kemarin Mpok Imah sudah berbelanja. Kukeluarkan apel dan
susu. Seperti biasa, smoothies apel
di pagi hari menjadi andalanku untuk menaikkan mood-ku untuk seharian. Dan
tentu saja, lagu-lagu yang berdengung dari MP3 player-ku. Sengaja kumainkan
lagu-lagu riang agar mood-ku melonjak naik – urusan lagu-lagu mellow yang
mendayu-dayu, nanti sajalah. Aku juga sedang bosan dengan lagu-lagu semacam
itu.
Mpok Imah datang pukul
setengah tujuh, kemudian segera mengambil alih tugasku menyiapkan sarapan.
“Saya saja yang
bikinkan sandwich-nya, Mbak,” ujarnya, melihatku memotong-motong tomat.
“Ah, makasih, Mpok...”
Akane mengeong, minta
kupeluk. Kuelus sejenak kepalanya.
“Sori, Nak, Mama harus
siap-siap kerja,” kataku pada Akane, yang langsung protes dengan berbalik
menjauhiku.
Aku memang harus
siap-siap untuk kuliah pagi ini, meski kuliah dimulai pukul 8. Keterbatasanku karena
gerakku agak lamban akibat kaki yang diperban menjadi alasan aku harus sudah
siap-siap dari pukul setengah tujuh, dan aku tidak mau mengambil resiko telat
masuk kelas – entah itu mungkin karena Oki lama menungguku yang masih berdandan,
atau macet di jalan, atau lambatnya jalanku dari tempat parkir menuju kelas.
Mama menelepon,
mengecek keadaan. Kubilang aku baik-baik saja, dan kukatakan pada Mama bahwa
aku memutuskan untuk melepas tongkat penyangga mulai hari ini. Mama terdengar
agak khawatir. Aku menenangkannya.
Sungguh, rasanya ingin
sekali segera melepas perban dari kakiku. Aku rindu kebebasanku yang lama.
Oki datang pukul
setengah delapan tepat, ketika aku sedang mengunyah sandwich dan meneguk smoothies. Aku pamit pada Mpok Imah (dan
Akane) untuk pergi kuliah.
“Besok tanding basket,
nonton?” tanya Oki.
“Nonton lah. Kan ada
Wahyu sama Robi...”
“Bukan karena ada
Raga?”
“Nggak lah.”
Oki mengangguk-angguk,
mengerti. “Hannah dateng nggak ya...”
Aku langsung menoleh. “Eh?
Nanti aku minta dia dateng deh...”
“Nggak usah sih...” Oki
tertawa, tampak salah tingkah, dan menggaruk kepalanya.
“Pasti rame deh yang
nonton, kan perempat final...” kataku. “Harusnya anak-anak ngerti ada yang lagi
tanding memperjuangkan nama fakultasnya.”
“Iya, Maya.”
“Bareng ya,
berangkatnya?” pintaku.
“Iya, deh.”
Setibanya di kampus,
begitu menginjakkan kaki keluar dari mobil, aku merasakan kegembiraan tak
terkira karena sudah bisa berjalan tanpa tongkat (meski masih diperban). Kulihat
Hannah, yang sedang membeli roti di kantin, menyerbuku.
“Kak Maya!” katanya,
berlari dari kantin. “Udah nggak pakai tongkat?”
“Iya, males sih. Lagian
udah bisa jalan kok...” kataku, tersenyum.
Tepat pada saat itu dari
sudut mataku aku melihat Satria datang memasuki gerbang kampus dengan motornya
yang biasa, dan helmnya.
“Yuk,” ajakku pada
Hannah, memintanya membawaku pergi – aku sedang tidak ingin terlihat oleh
Satria. Oki paham, lalu dia mulai berjalan menuju kelas.
Aku berbincang dengan
Hannah, dan kupaksa dia ikut menonton pertandingan basket besok. Dia menyetujui
saja – sudah kuduga – dan terutama terlihat bergembira ketika aku memastikan
kepada Oki bahwa dia juga akan menonton besok. Oki, yang berjalan agak di depan
kami, menoleh ke belakang sedetik, lalu memandang ke depan lagi. Aku berani
bertaruh dia tersenyum.
“Tongkatnya hilang?”
“Hah?” aku menoleh ke
belakang.
Satria yang bisa
berjalan lebih cepat dariku sudah sampai di sisiku – dengan kecepatan kakiku
yang sepelan ini seharusnya aku sudah menduganya.
“Oh...” kataku,
“enggak, aku tinggalin di rumah.”
“Kenapa?” tanya Satria.
“Karena aku udah bisa
jalan.”
Satria
mengangguk-angguk. “Syukurlah.”
Aku sesaat terbawa
lagi. Ketika aku kembali ke dunia nyata, tanpa aku sadari ternyata Hannah sudah
berjalan agak lebih cepat dan sekarang menjejeri Oki.
Jadinya? Tanpa
disengaja aku dan Satria berjalan berdampingan. Dengan baik hatinya Satria
berjalan pelan-pelan mengiringiku.
Aku tak tahu, apa aku masih
bisa – masih boleh – menikmati perasaan ini.
* * *
Kelas terakhir, lima
menit terakhir. Kelas sudah sibuk membereskan barang-barang bahkan sebelum
dosen menampilkan slide terakhir. Ketika akhirnya slide berwarna hitam dengan tulisan
putih di atas itu muncul, anak-anak sekelas bergumam senang. Dengungan
terdengar di seisi kelas, dan disela oleh dosen kami. Seketika kelas dipenuhi
keluhan keras ketika dosen itu memberi tugas yang harus dikumpulkan minggu
depan.
Oki menghampiriku yang
sedang berusaha bangkit dari kursi.
“Mau makan siang bareng
anak-anak nggak?” tanyanya.
“Nggak ah, aku mau cari
tugas barusan, di perpus,” tolakku halus.
“Wah, sayang sekali,”
ujar Oki. “Tapi harus makan lho ya.”
“Tenang sajalah.”
“Aku bantuin kamu turun
deh.”
Kelas kami kebetulan
berada di lantai dua dan aku harus menuruni tangga untuk kemudian berjalan
menuju perpustakaan.
“Nggak usah,” tolakku
lagi. “Aku bisa sendiri. Sudah saatnya aku tidak merepotkan orang lain lagi...”
“Kamu itu nggak
ngerepotin, Maya.”
“Oh ya?”
“Dasar...”
Tetapi Oki tetap
menuntunku menuruni tangga.
Hari itu, aku sama
sekali tidak berani memandang Satria langsung. Ini juga alasanku menghindari
makan bersama mereka – yang mana akan membuatku mempunyai kesempatan besar
untuk secara tidak sengaja atau kebetulan bertemu pandang dengan Satria.
Kutegaskan pada diriku
sendiri: aku sedang tidak ingin salah paham.
Karena sehari yang lalu
aku secara sengaja meminjam
Blackberry milik Hannah untuk stalking
BBM Marisa. Dan apa yang kutemukan? Status seperti ini:
Pending, @SM. Lagi di luar.
Kuingatkan nama lengkap
Satria: Satria Maheswara Pambudi.
Nama kontak BBM-nya:
Satria Maheswara.
SM.
Membaca status BBM itu
membuatku kacau selama sepersekian detik. Otakku tidak bisa berpikir, rasanya
aku ingin sekali menangis saat itu juga, mukaku menghangat dengan cepat. Kukembalikan
ponsel itu kepada Hannah, yang bingung melihatku bingung. Aku tetap mengatakan
aku oke, dan perlahan pergi meninggalkan Hannah, dengan alasan mau ke kantin.
Berjalan sepelan
mungkin, aku mencoba berpikir rasional. Tetapi aku berjalan tak tentu arah.
Oh, jadi Satria BBM-an sama Marisa. Ternyata masih.
Itu yang bisa
kusimpulkan.
Jadi kamu salah kalau berharap sama Satria, May.
Itu juga yang
kusimpulkan.
Seharusnya kamu tahu dari awal, May, SATRIA ITU SUKA SAMA MARISA.
SATRIA CUMA SUKA SAMA MARISA.
Lalu foto roti rasa
strawberry itu?
Siapa sih yang cocok dengan strawberry? MARISA, MAY! CEWEK KAYAK MARISA
EMANG COCOK SAMA STRAWBERRY!
KAMU BODOH KALAU MENGANGGAP DIA SUKA SAMA KAMU!
Benar juga, ya?
Satria itu udah lama
suka sama Marisa.
Kesimpulanku hari itu.
Dan aku tidak pernah
mencapai kantin, siang kemarin.
Karena di perjalananku
yang teramat lambat, aku baru sadar bahwa aku lupa membawa tongkat penyanggaku dan
berjalan terseok-seok – bodohnya, kakiku yang tidak diperban tersandung undakan
kecil dan aku terjatuh. Rasa sakit menusuk-nusuk lagi. Aku nyaris menangis di
jalan yang sepi orang itu, hingga Raga
datang dan menghampiriku.
“Kak Maya?”
Aku sedang
mengurut-urut betisku yang sakit – useless
– sembari menahan tangis, dan aku mendongak.
“Raga?”
“Kenapa, Kak?”
“Sakit...”
“Jatuh? Tongkatnya
mana?”
“Ketinggalan di
perpustakaan...”
“Naik ke punggungku,
Kak...”
Itu lagi. Lagi-lagi dia
menawarkan piggyback.
“Nggak usah, tuntun aku
jalan saja,” tolakku, mengingat kalau piggyback
ini dilihat orang, orang, akan menimbulkan sensasi di kampusku. Atau,
kuperjelas, gosip.
Raga membantuku berdiri,
dan aku dengan motivasi tinggi bangkit, menjejakkan kakiku ke tanah, tetapi
rasa sakitnya kembali lagi. Aku benar-benar tidak bisa berjalan.
“Kak?” Raga memegangiku.
“Aku gendong saja sampai perpustakaan.”
Terpaksa. Aku
benar-benar terpaksa – karena memang tidak ada orang lain yang kukenal yang
bisa kumintai tolong.
Kupegangi kedua
bahunya, dan berusaha agar tidak terlalu memberikan beban berat ke punggung
Raga.
“Kuliah udah selesai,
Kak?” tanyanya.
“Nanti jam dua ada
lagi...”
“Wah, sore banget,
ngantuk deh pasti.”
“Banget... kamu nggak
kuliah?”
“Ini lagi kuliahnya Pak
Burhan.”
“EH? Terus kok kamu di
luar?”
“Aku tadi dari
toilet...”
“Astaga, Raga...
maaf...”
“Buat apa, Kak,” Raga
tertawa. “Udah seharusnya kan aku nolongin Kakak...”
“Nanti kamu jadi telat
ke Pak Burhan...”
“Bentar lagi juga
kelar,” kata Raga cuek.
Kemudian muncul sesuatu
yang benar-benar tidak kuharapkan. Oki dan teman-temannya – atau harus
kubilang, Satria dan teman-temannya?
– muncul dari ujung koridor di depanku dan Raga. Tentu saja mereka akan
melihatku... atau melihat Raga menggendongku... atau melihatku digendong
Raga...
“MAYA?”
Oki yang pertama kali
bereaksi. Dia mempercepat langkahnya menuju ke arah kami berdua.
“Kenapa?” tanya Oki.
“Jatuh, tadi.
Kesandung,” jawabku singkat.
“Tongkatnya?”
“Ketinggalan di
perpus...”
“Astaga, kok bisa...”
Aku tidak menjawab. Aku
sudah melihat Satria dan segera memalingkan pandanganku.
“Ketemu Raga dimana?”
tanya Oki.
“Tadi pas Kak Maya
jatuh, aku baru balik dari toilet...” jawab Raga dengan suaranya yang berat. “Karena
Kak Maya nggak bisa jalan, jadi...”
Itu sudah cukup
menjelaskan, menurutku.
“Untung ada Raga,”
kataku spontan. “Tadi bener-bener nggak ada orang...”
Kuharap Satria tidak
salah paham, atau apa.
INGAT MAY, SATRIA TIDAK SUKA PADAMU, DIA SUKA MARISA.
Suara hati yang
meneriakkan kalimat barusan membuatku sadar lagi.
“Iya, untung saja,”
kata Oki.
“Kalian dari mana?”
tanyaku pada Oki.
“Lab komputer, mau
makan,” jawab Satria.
Aku menunduk.
“Mari...” pamit Raga
pada rombongan itu.
Oki mengangguk. “Hati-hati.”
Raga berjalan, dan
mataku masih menghindari wajah Satria yang biasanya selalu bisa muncul dari sudut mataku. Aku menghela napas panjang.
“Kenapa, Kak?” tanya
Raga mendengarku.
“Nope.”
Raga mungkin sengaja
memelankan langkahnya, karena perjalanan itu terasa amat lambat, dan kami belum
juga sampai perpustakaan.
“Kak,” tegur Raga, tiba-tiba.
“Ya?”
“Kakak nangis ya?”
“...iya.”
Aku telah membiarkan
air mataku mengalir, entah sejak kapan, membasahi kemeja Raga di bagian bahu.
“Maaf.”
“Nggak apa-apa, Kak.”
Air mata itu
menjelaskan segalanya – bahwa aku telah kembali menjadi Maya yang cengeng dan
rapuh. Sudah setahun lebih, dan pertahananku pecah oleh karena status Marisa yang
terang-terangan membeberkan bahwa dia sedang BBM-an dengan Satria. Bahwa mereka
masih BBM-an. Bahwa mereka masih dekat. Bahwa mereka saling suka.
Dan aku memang sama
sekali tidak bisa berbaur. Sudah dari awalnya begitu.
Mungkin selama ini aku
saja yang memaksakan. Mungkin selama ini aku saja yang bermimpi terlampau
tinggi.
Jadi apakah sudah
saatnya aku mempertimbangkan perasaan Raga?
Tidak, kalau begini
caranya, Raga bisa saja hanya menjadi pelampiasanku – pelarian. Aku tidak ingin
– sama sekali tidak ingin... karena Raga sudah begitu baik padaku.
Kenapa rasanya
akhir-akhir ini hidupku kacau sekali? Perasaanku campur aduk, atau lebih
tepatnya dicampuradukkan, oleh banyak
orang – oleh kecelakaan itu, juga. Yang membuatnya lebih parah. Yang membuatnya
lebih menyakitkan.
Setelah kupikir-pikir,
sudah lama juga aku tidak menangis.
Maka, setelah Raga
mengizinkan, aku menangis tanpa suara di punggungnya. Hanya membiarkan air mata
mengalir, selagi benakku dilintasi pikiran-pikiran menganggu.
Dan yang kusuka adalah
Raga tidak berkomentar apa-apa, hanya menyerahkan tisu ketika dia menurunkanku di
dekat perpus, membiarkanku mengusap mataku, menungguku, dan tersenyum dengan
matanya.
* * *