2 Mei 2012

Obrolan tentang bulan olahraga yang diadakan oleh kampus masih terdengar di sudut-sudut kelasku. Anak-anak fakultasku makin optimis setelah pertandingan futsal kemarin menang dengan sukses. Futsal masuk semifinal, badminton masuk perempat final, basket juga masuk perempat final. Kalau tidak salah sore ini akan diadakan semifinal sepak bola. Sayang sekali jurusanku tidak masuk semifinal sepak bola.
Anak-anak tim futsal masih sering datang ke rumahku untuk bermain atau mendiskusikan taktik – dengan Hannah yang dengan cerianya membawakan cemilan buatannya. Kadang dia menyiapkan bekal khusus untuk Oki, yang tidak menolak.

Dan tentang kejadian terkilirnya Satria beberapa minggu lalu itu, memang agak parah sampai dia harus diperban selama sekitar lima hari. Tetapi kemudian dia sembuh total.
Sepulang dari dokter (yang kami kunjungi bersama) dia tersenyum menang kepadaku.
“Sudah kubilang kan tidak apa-apa?” katanya.
Aku diam saja, membiarkannya menang.
Sebenarnya, kejadian seharian itu bisa aku tulis di catatan ‘Hal-Hal Yang Membuatku Bahagia Hari Ini’, termasuk kejadian dimana sepulang kuliah aku dan dia berjalan berdampingan (yah, dengan anak-anak yang lain di depan dan di belakang kami berdua) dan mengobrolkan segala hal, termasuk gigi geraham bungsunya yang baru akan tumbuh. Gigi geraham bungsu Satria yang kanan atas ternyata tidak bisa tumbuh dengan normal. Giginya tumbuh ke samping, menabrak gigi geraham sebelahnya2. Dia mengeluhkan hal ini yang membuatnya sakit.
“Biasanya memang sakit sekali,” kataku, yang sudah menumbuhkan tiga gigi geraham bungsuku dengan sukses, tanpa operasi3. Syukurlah, rahangku cukup besar, jadi ada tempat untuk tumbuh gigi baru.
“Tapi kalo nggak sakit banget atau nggak kenapa-napa, nggak usah operasi kan? Aku males,” kata Satria cuek.
Aku manyun, mengangguk-angguk.
“Operasi hati boleh tuh,” sambar Wira di belakang kami, yang sepertinya mendengarkan cerita Satria sedari tadi.
“Buat apa?” tanyaku, senyum-senyum karena sudah bisa menduga jawabannya.
“Biar pintu hatinya bisa kebuka buat kamu...” Oki yang menjawabnya.
“Sialan.”
“Jijik banget sih!”
Kami tertawa-tawa.
Setelah itu, mereka bahkan belum selesai. Rasanya belum cukup mereka kalau tidak bersorak-sorai mengiringi kami yang berjalan menuju mobil Oki (mobil ayahnya, sebenarnya) yang kupinjam dengan izin. Dengan muka memerah (tapi teramat senang) aku mempercepat langkahku menuju tempat parkir. Selain itu, juga karena aku melihat Marisa (lagi!) di kantin dengan teman-teman cantiknya.
Tak akan kuberi dia kesempatan melihat Satria lama-lama.
(Phew, barusan aku terdengar seperti pemeran wanita antagonis yang biasanya ada di film-film.)
Bersama Satria, ada percakapan-percakapan tidak penting yang menjadi penting karena aku melakukannya dengan orang yang penting. Aku yang biasanya diam, bisa jadi talkative gara-gara omongan Satria. Kebanyakan dia mengutarakan sesuatu, kemudian aku yang tidak setuju memprotesnya.
Dan sebuah keajaiban – ketika selesai periksa di tempat praktek dokter itu dengan hasil yang melegakan – Satria memintaku menemaninya makan siang.
“Warung Padang aja nggak apa-apa, kok,” kata Satria. “Laper...”
Aku tentu saja setuju. Dia lalu meminta gantian menyetir mobil Oki, aku di kursi penumpang di sebelahnya. Awalnya aku mengkhawatirkan kakinya, tetapi dia bilang tidak apa-apa, jadi aku terpaksa mengalah. Lagipula aku tidak tahu ke arah mana warung makan Padang yang mana yang dia maksud.
Aku tidak biasanya mengalah untuk suatu hal yang aku ingin orang lain lakukan untuk kebaikannya.
Cara menyetir Satria – mungkin karena aku benar-benar menyukainya – sangat kukagumi. Berkali-kali dia menyelip mobil atau motor di depan kami dengan cepat dan dalam kondisi yang nyaris berselisih dengan mobil dari arah berlawanan. Berkali-kali pula aku berseru untuk menghindar, tetapi dengan tenang ia mengendalikan mobil Oki kembali ke lajur yang benar. Berkali-kali aku dibuatnya deg-degan (seperti biasa!) dan berkali-kali pula aku dibuatnya menghela napas lega.
“Jangan ngebuut,” pintaku.
“Nggak, nggak...”
“Lima puluh tiga kilometer perjam kamu bilang nggak ngebut? Kalo ada undakan gimana? Kalo ada polisi tidur gimana? Kita bisa kelempar ke atas.”
“Kan kita pake seatbelt.”
Aku mendengus jengkel, lalu membanting punggungku ke kursi, berusaha menikmati lagi cara Satria mengemudi; yang persis Papa. Biasanya kalau Papa menyetir seperti itu, Mama di sebelahnya akan protes sepertiku, dan aku  yang duduk di belakang hanya tertawa-tawa, bisa menolerir kecepatan mengemudi Papa.
Ternyata duduk di kursi belakang dan duduk di samping kursi pengemudi memang punya sensasi yang berbeda.
Terlebih kalau yang duduk di kursi pengemudi adalah orang yang kau sukai.
Sambal di warung makan Padang langganan Satria sama sekali tidak pedas. Bukannya aku melebih-lebihkan, tapi sambalnya lebih terasa asin. Ketika aku mengutarakan hal ini pada Satria, dia menjawab, dengan santai dan percaya diri.
“Masa asin sih? Liatin aku lah biar agak manis.”
Aku melongo memandanginya.
“Ini pedes tau, May.”
Aku masih melongo.
“May ini pedes banget.”
Aku tetap melongo.
“Uda, minta es teh lagi!”
Aku baru menutup mulutku dan menarik napas lega. Sepertinya niatku untuk memandangi Satria selama sekian detik waktu dia makan bisa tertutupi karena aku masih terlihat melongo karena kalimatnya yang tadi itu, yang kusetujui di dalam hati.
Ketika kami sudah selesai makan, dia mengusulkan untuk berlomba menghabiskan es teh kami, yang sama-sama masih terisi tiga perempat gelas. Bedanya, itu gelas es teh ketiganya, sementara es tehku masih gelas pertama.
Usulan tentang lomba menyedot minuman ini mengingatkanku pada pasangan Seohyun SNSD dan Yonghwa CN Blue waktu mereka masih di reality show ‘We Got Married’.
Oh, Maya, pikiranmu sungguh kekanakan.
“Kalo menang apa?” tanyaku, semangat  bertandingku muncul.
“Bayarin makan siang ini,” ujar Satria, yang kukira bercanda.
“Oke,” kutanggapi dengan serius dan tanpa berpikir.
Satria tampak kaget, tapi dia tertawa.
“1, 2, 3,” hitung kami berbarengan, lalu menyedot es teh dengan kecepatan yang nyaris sama.
Fortunately, aku yang menang. Satria tampak kecewa.
“Yeay,” aku senang, “yeay!”
“Es tehku dingin banget!” protes Satria. “Es tehmu kan esnya udah ada yang cair.”
Oh, don’t be so immature, a game is a game,” kataku, “tapi tetep harus ada yang menepati janjinya sebelum lomba tadi.”
Pada akhirnya Satria membayari makan siang kami hari itu. Sampai sekarang aku tidak tahu apakah dia sengaja kalah atau dia memang kalah. Aku sama sekali tidak ingin memikirkan kemungkinan pertama atau kedua. Aku hanya tahu aku menang. Itu saja.
Hal ini juga sangat pantas masuk catatan ‘Hal-Hal Yang Membuatku Bahagia Hari Ini’.
Aku dan Hannah juga sering datang ke latihan futsal rutin mereka jam empat sore setiap Kamis – dan sekarang karena ada pertandingan, mereka latihan tiga kali seminggu, Rabu-Kamis-Jumat. Sabtu dan Minggu mereka ingin senang-senang sendiri.
Jadi, aku menyaksikan perkembangan mereka yang semakin pesat, meski aku sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti sepak bola ataupun futsal. Aku hanya tahu mereka semakin cekatan menggiring bola, memasukkannya ke gawang, dan menghadapi tekanan yang datang dari lawan.
Dan dari situlah aku tahu bahwa ternyata ada dua orang dari mereka yang juga ikut tim basket yang bertanding di bulan olahraga kampus: Wahyu dan Robi. Aku sama sekali tidak perhatian soal ini, karena tahu sendiri kan, yang aku perhatikan hanyalah Satria.
Mereka memberitahuku bahwa tim basket  memang kebanyakan junior-junior, yang kalau aku lihat-lihat, memang berbadan tinggi (keuntungan sekali bagi tim basket fakultasku). Mereka tidak menyalahkanku kalau aku tidak terlalu mengikuti perkembangan tim basket.
“Aduh, maaf banget lho,” ujarku menyesal. “Kalau tahu kan aku bisa dateng jadi suporter...”
“Nggak apa-apa sih,” Robi tertawa. “Minggu ini perempat final loh, nonton ya? Lawannya berat.”
“Siapa?”
“Anak hukum.”
Mereka semua mengangguk-angguk. Aku dan Hannah ikut-ikutan.
Oki membisikiku. “Serius kamu nggak merhatiin tim basket?”
Aku meyakinkan Oki hingga dia yakin seyakin-yakinnya.
“Junior loh padahal.”
“Lho emang kenapa?”
“Biasanya kan matamu berbinar kalo ngeliat berondong.”
* * *
Hari Jumat siang itu aku pulang seperti biasa, mengendarai sepedaku dengan headphone terpasang di kepala, memutar lagu Epik High yang berjudul One. Salah satu lagu lama yang aku suka, yang aku baru mengenalnya sejak aku mengenal Infinite. Aku menyesal tidak mengenal Epik High sebelumnya.
Aku melewati jalan yang tidak biasanya kulewati untuk pulang-pergi kampus, sebuah jalan agak ke dalam yang bisa dilewati dua mobil. Sedang ingin mendapatkan suasana baru, pikirku.
Tetapi entah aku yang kurang konsentrasi atau apa, terlalu terbawa oleh musik yang kudengarkan, tetapi mendadak sepedaku oleng. Aku tidak bisa mengendalikannya dengan baik ketika menghindari mobil yang berjalan agak pelan, sepertinya dia hendak berbelok ke kanan. Kuarahkan sepedaku ke kiri, melewati mobil itu, tepat ketika sebuah motor melintas kencang di sebelah kiriku. Aku kaget, kemudian tanpa sadar aku mengarahkan sepedaku ke trotoar dengan bodohnya dan tentu saja hasilnya aku menabrak trotoar itu. Aku terjatuh, sepedaku jatuh. Beberapa pengendara melintas dan memandang dengan penasaran.
Beberapa pejalan kaki menghampiriku untuk membantu mengangkat sepedaku yang menimpa kakiku tanpa perasaan. Sialan, kakiku sakit. Mungkin keseleo, karena ketika aku berusaha meluruskan kakiku, rasa sakit berkepanjangan mendadak menusuk-nusuk. Aku nyaris menangis menahan sakitnya. Ditambah lagi rasa sakit di pinggangku yang mungkin terbentur trotoar.
Aku terduduk di trotoar. Seorang ibu muda duduk di sampingku, mengelus-elus punggungku sembari menawarkan air di botol yang dibawanya. Orang-orang berkerumun di sekitarku.
“Nggak papa, Mbak?” tanya ibu muda itu. “Minum dulu...”
Aku tersenyum lemah pada ibu itu dan menerima airnya.
“Mananya yang sakit?” tanya ibu itu kemudian.
“Pinggang, Bu... sama kaki...”
“Mau ke rumah sakit?”
“Ah, nggak usah, Bu...” tolakku halus. “Rumah saya dekat...”
“Kak Maya?” mendadak terdengar suara seseorang. “Kak Maya, kan?”
Aku mendongak mendengar namaku dipanggil. Seorang cowok berwajah manis muncul dari orang-orang yang berkeliling.
“Ya?” jawabku bingung.
“Saya Raga, Kak,” katanya, memperkenalkan diri. “Adek angkatan...”
“Ooh...” gumamku, ingat wajahnya sewaktu makrab.
“Kakak nggak apa-apa?” tanyanya, berjongkok di depanku.
“Sakit, sih...”
“Keseleo?” tanyanya.
“Ng,” jawabku.
“Rumah Kakak dimana?” tanyanya.
Aku menyebutkan perumahan tempat rumahku berada. Dan selagi kami mengadakan tanya-jawab itu, orang-orang yang berkeliling perlahan beranjak pergi. Mungkin mereka menganggap korban kecelakaan pribadi ini sudah memiliki teman yang bisa membawanya ke rumah sakit – atau tempat yang lebih layak daripada trotoar dan jalanan yang agak ramai. Tetapi ibu muda tadi dan seorang pria yang tampaknya suaminya masih tinggal.
“Cek dulu ke rumah sakit, takutnya organ dalamnya kenapa-napa,” saran ibu muda itu. “Tadi kamu bilang pinggang kamu sakit, kan?”
“Aku antar, Kak, aku bawa mobil,” katanya, menunjuk ke mobil di tepi kanan jalan, dan saat itulah aku tahu, bahwa mobil yang hendak berbelok ke kanan tadi, yang aku hindari ke kiri, adalah mobil Raga.
“Kami ikut dari belakang, ya,” kata ibu muda yang baik hati sekali.  
“Ah, nggak usah, Bu...”
“Nggak apa-apa.”
Ibu itu tersenyum menenangkan.
“Sepedanya dimasukin bagasi saya saja...?” saran Raga, adik angkatanku yang baru kukenal hari itu. “Bapak punya tali?” dia bertanya pada suami ibu muda itu.
Pria itu mengangguk, kemudian mencari tali di bagasinya. Raga dibantu pria dewasa itu memasukkan sepeda ke bagasi mobil Raga, sementara aku dibantu ibu muda yang tadi menaiki mobil Raga, bertahan dalam kesakitan yang menerjang.
Di kursi belakang aku berbaring sembari meringis, menyesali kebodohanku.
“Sebentar ya, Kak,” kata Raga, begitu masuk mobil dan menyalakan mobilnya. “Tahan dulu sakitnya.”
“Iya, nggak sakit kok.”
Aku terbiasa berbohong pada orang yang baru aku kenal.
Sesampainya di rumah sakit barulah aku tahu kalau ibu muda dan suaminya yang tadi adalah dokter di rumah sakit itu. Para perawat menyapa dengan ramah kepada mereka berdua dan langsung mematuhi apa yang mereka perintahkan untuk mengembalikanku ke kondisi normal.
“Mbak Maya ya?” tanya ibu muda itu. “Tidur dulu disini.”
Aku merebahkan diriku dengan susah payah di ranjang yang ditunjuk beliau.
“Maaf terlambat memperkenalkan diri, saya Tiara...”
Aku mengangguk dan tersenyum. “Ibu... dokter disini, ya?”
“Kebetulan,” jawab Dokter Tiara tersenyum, cantik sekali. “Saya cek tekanan darahnya dulu, ya...”
Aku sudah menduga kemungkinan terburuk untuk hasil tes tekanan darahku, mengingat sedari tadi detak jantungku berdebar kencang sekali.
“Hm, lumayan tinggi,” kata Dokter Tiara. “Seratus lima puluh per sembilan dua.”
Seorang suster yang membantu mencatat ini di kertas yang dibawanya. Rekam medis, mungkin.
Dia lalu memeriksaku dengan stetoskopnya.
“Pinggangnya sakit?”
“Iya, Dok...”
“Dilihat dulu, ya...”
Beliau menyingkap kemeja yang kukenakan setelah suster menutup sekeliling ranjang dengan gorden biru.
“Nggak ada luka luar, tapi cek dulu ya, takutnya yang kena yang dalam. Suster, siapkan rontgen ya.”
“Baik, Dok...”
“Mbak Maya kuliah dimana?”
Aku menyebutkan kampus dan fakultasku.
“Oh, memang sering pulang-pergi kuliah naik sepeda?”
“Iya, Dok. Cuma tadi kayaknya agak ngelamun sedikit, jadi nabrak trotoar...”
Dokter Tiara tertawa.
“Motornya tadi kenceng banget, Dok... saya sampai kaget.”
“Anak muda jaman sekarang, ya. Saya yang lihat dari belakang juga kaget...” komentar Dokter Tiara. “Yuk, May, rontgennya udah siap.”
Aku dibawa dengan kursi roda lagi, menuju ruang rontgen. Melewati Raga yang (tak kusangka) menunggu di luar UGD, yang sedang bicara dengan suami Dokter Tiara.
“Kak, gimana?” tanyanya.
“Mau rontgen dulu...” jawabku.
“Takutnya kena organ dalam,” tambah Dokter Tiara tersenyum. Raga mengangguk-angguk.
Hasil rontgen menunjukkan, untunglah, tidak ada kerusakan pada organ dalamku. Tidak ada fraktur yang kutakutkan, atau tulang yang bergeser, atau apalah.
“Syukurlah, mungkin hanya akibat benturan keras tadi,” kata Dokter Tiara. “Saya perban keseleomu, ya. Kamu  harus pakai tongkat penyangga selama kira-kira tiga hari sampai lima hari...”
“Apa, Dok?” ujarku dramatis.
“Tongkat penyangga...” Raga yang mengulang perkataan Dokter Tiara.
“Saya nggak bisa naik sepeda lagi, dong?”
“Ya, kamu terpaksa nebeng temenmu dulu...” ujar Dokter Tiara yang terdengar menyesal karena aku tidak bisa naik sepeda selama lima hari ke depan.
Dokter Tiara memberikan resep obat untuk kuminum, rata-rata obat penghilang rasa sakit. Aku hendak beranjak untuk mengurus administrasi, ketika kemudian Dokter Tiara mencegahku berdiri.
“Nggak perlu, Maya,” kata Dokter Tiara ramah.
“Ini pertolongan,” ujar suaminya, yang aku tahu bernama Fajar.
“Tapi...”
“Sudah, nggak apa-apa! Sebagai saksi kecelakaan itu kami senang tidak terjadi apa-apa yang membahayakan nyawamu.”
Luapan rasa terima kasih yang besar sangat aku haturkan pada pasangan dokter muda yang baik hati serta mulia ini. Aku menyalami Dokter Tiara dan Dokter Fajar berkali-kali, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Raga – yang tidak sengaja terlibat dalam hal ini – mendadak terlihat sudah dekat dengan Dokter Fajar.
“Terima kasih banyak, Dokter...” aku nyaris menangis ketika Dokter Tiara mendadak memelukku.
“Kamu mirip adikku,” kata Dokter Fajar tersenyum.
“Ah,” ujarku, entah harus berbicara apa.
Dokter Tiara dan Dokter Fajar mengantarku sampai keluar gedung rumah sakit. Raga berhenti mendorong kursi rodaku (yang kurasa sangat ganjil sekali, diperlakukan seperti itu oleh seorang yang baru kau kenal selama satu jam) dan berlari untuk mengambil mobilnya (dengan sepedaku masih terikat erat di bagasinya).
“Hati-hati, ya, Maya?” kata Dokter Tiara. “Semoga cepat sembuh. Kalau masih sakit jangan dipaksain naik sepeda.”
Aku mengangguk sementara dibantu masuk mobil oleh beberapa suster.
“Terima kasih sekali, Dokter Tiara, Dokter Fajar...”
Raga menyalami kedua dokter itu dan mengangguk singkat sebelum mobilnya melaju keluar gerbang rumah sakit.
“Jadi,” ujarku, setelah lima menit hening. “Kamu kebetulan saja lewat, atau...?”
“Kosanku di dekat sana, Kak. Pas aku mau belok kanan itu, aku liat dari spion... Kak Maya jatuh,
 jelas Raga tersenyum.
“Pasti aku kelihatan bodoh sekali...” ujarku, lebih kepada diriku sendiri.
“Nggak, kok,” Raga tersenyum padaku sesaat.
Membuatku nyaris sesak napas. Kenapa senyum anak ini cemerlang sekali?
“Pemandumu waktu makrab itu...” aku mencoba mencari topik yang agak sedikit universal, sebelum menggali lebih jauh tentang anak manis ini.
“Kak Kelly,” jawab Raga, yang mengemudikan mobilnya dengan santai, berbeda dengan Satria kemarin dulu. Raga tidak pernah mencapai 50 km/jam. Selalu 40-an. Cara mengendarainya juga sangat halus.
“Oh iya, si Kelly... kamu kelompok lima kan?”
“Iya, yang pas inaugurasi bikin drama musikal,” Raga tertawa renyah.
Detik itu, aku langsung suka tawanya.
“Aku suka kok drama musikalnya,” ujarku spontan, jujur.
Really?” Raga memandangku sejenak. “Thanks.”
Aku mengangguk.
Kemudian hening.
“Masih sakit, Kak?” tanya Raga kemudian.
“Hm? Sedikit.”
“Rumah Kakak sebentar lagi kok.”
“Mmm-hmm.”
Awkward sekali rasanya, duduk di sebelah orang yang baru kamu kenal beberapa saat, apalagi dia adik angkatanmu, yang lebih muda sekian tahun di bawahmu. Tetapi entah kenapa aku merasa nyaman. Sama ketika aku berada bersama Satria.
Akhirnya kami sampai di depan rumahku, setelah kutunjukkan jalannya pada Raga. Mpok Imah sudah pulang, hari Jumat memang jadwalnya hanya sampai jam dua belas siang. Tidak ada yang bisa membukakan pagar.
“Aku bukain pagarnya, Kak,” Raga meminta kunci rumahku. “Kakak belum bisa jalan, kan?”
“Nih, yang bulet kunci pager, yang kotak kunci pintu depan.”
Aku menyerahkan kunciku pada Raga, mengawasinya membuka pagarku, masuk halamanku, dan membuka pintu rumahku lebar-lebar.
Dia lalu membuka pintu mobil yang ada di sebelahku. Anehnya, dia berjongkok di luar mobil, apa aku berpikir seperti yang dia pikirkan?
“Naik, Kak,” dia memintaku naik ke punggungnya.
Hatiku detik itu menolak, namun detik berikutnya, sakit melanda kakiku yang keseleo. Aku tak punya pilihan lain selain digendongnya. Perlahan (tapi pasti) aku memposisikan diriku agar mudah dibawa olehnya.
Kupegang kedua bahu Raga erat-erat – masih belum berani untuk melingkarkan lenganku di lehernya – dan kuusahakan agar tidak membebani anak ini.
Noona,” kata Raga tiba-tiba, benar-benar mengagetkanku, “gwaenchana4?”
“Hah?” tanyaku.
“Oh, maaf, maaf,” kata Raga buru-buru. “Aku suka nonton Running Man, nggak sadar kebawa ke keseharian...”
“...gwaenchana,” jawabku, menahan rasa malu.
Aku bisa melihat senyuman Raga dari sisi serong wajahnya.
Salah satu impian terbesarku adalah untuk dipanggil dengan panggilan noona oleh seseorang (yang pasti lelaki!). Oleh karena Satria tidak mungkin memanggilku noona maka aku mengubur impianku dalam-dalam.
Tapi aku benar-benar tidak menyangka orang ini, anak ini, adik angkatanku ini, yang baru saja dua jam berkenalan, yang sudah bisa menggendongku di punggungnya, adalah orang pertama yang memanggilku noona.
Oki saja mungkin tidak berani menggendongku, padahal kami sudah kenal belasan tahun. 
Tolong pikirkan bagaimana perasaanku sekarang.
Raga menurunkanku tepat di depan pintu rumah, lalu dia kembali ke mobilnya untuk mengambil tongkat penyanggaku – yang aku bahkan sama sekali tidak ingat, karena dia sudah mengacak-acak pikiranku dengan suara manisnya yang memanggilku noona.
Aku tidak mungkin menyukai anak ini hanya dalam dua jam kami berkenalan, kan? Dia memang manis, terlalu manis bahkan untuk seorang cowok.
Tapi wajahnya itu tipe yang tidak membosankan untuk dilihat terus-terusan.
“Kak,” dia sampai di terasku dengan kedua tongkat penyangga. “Besok jangan naik sepeda, ya?”
I don’t even know how,” kataku. “Kamu bisa turunin sepedanya sendiri...?”
Of course,” katanya, melempar senyum manisnya lagi, yang membuat matanya jadi agak sipit, melengkung ke bawah, membuatnya semakin manis. Doh!
Dan dengan cekatan dia melepas tali pengikat sepedaku di bagasinya dan menurunkan sepedaku, lalu memasukannya ke garasiku tanpa aku minta.
“Terima kasih banyak... kamsa hamnida,” kataku.
Why using banmal5?” ujarnya tertawa. “I’m so much younger than you, Noona.”
Lagi. Panggilan itu lagi. Panggilan yang membuat benakku diacak-acak lagi. Panggilan yang memaksa aku untuk tersenyum senang. Bahagia.
Bahagia.
How much?” tanyaku.
“Aku delapan belas tahun lewat enam bulan,” jawabnya.
Aku dua puluh tahun, terima kasih banyak.
“Ah,” ujarku. “Well anyway, thanks a lot... untung aku ketemu kamu.”
“Nggak, aku yang untung ketemu Kakak.”
Dia senyum lagi. Oke, itu barusan apa maksudnya? Gombal?
“O...ke,” ujarku pelan.
Dia berjalan menuju pagar. Setelah menutup pintu pagar, dia berbalik menghadapku, tersenyum sesaat, lalu mengucap,
Take care, Noona.”
* * *

Catatan
Hal-Hal Yang Membuatku Bahagia Hari Ini
1. Sarapan oatmeal tambah strawberry dan susu cokelat. Yum.
2. Pergi ke kampus diiringi suara seksi Lee Joon ._.v
3. Ketemu Satria pagi-pagi di tempat parkir.
4. Satria bilang dia pengen smoothies lagi.
5. Ketemu pasangan dokter muda yang super baik (lot of thanks and kisses for them both!)
6. Ketemu adik angkatan cowok (manis!) yang nolongin waktu aku jatuh dari sepeda
7. Adik angkatan ini memanggilku NOONA.
8. Ada yang memanggilku dengan sebutan NOONA.
9. Seseorang memanggilku NOONA.
10. SESEORANG MEMANGGILKU NOONA.

* * *

Done at 22:55
1 Mei 2012

*FYI*
noona = (Bahasa Korea) panggilan dari laki-laki untuk perempuan yang lebih tua
2 = istilah kesehatannya IMPAKSI. Gigi geraham bungsu (molar 3) biasanya mengalami impaksi, tidak bisa tumbuh sempurna keluar dari gusi karena tempat yang kurang untuk tumbuh (biasanya karena rahang kecil). Gigi molar 3 biasanya akan muncul pada usia kira-kira 17-22 tahun.
3 = operasi untuk mengeluarkan gigi geraham bungsu yang impaksi dinamakan odontektomi.
4 = (Bahasa Korea) ‘baik-baik saja?’
5 = (istilah Korea) ucapan formal, dipakai ketika berbicara dengan orang yang lebih tua

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates