7 Mei 2012

Aku terhenyak sesaat ketika sedang menyalurkan hobi stalking twitter-ku. Biodata Raga yang tercantum di twitter-nya cukup membuatku bingung dan bertanya-tanya apa maksud sebenarnya dari adik angkatan dengan senyum manis itu yang terang-terangan gombal padaku.
Tapi kemudian aku tersadar akan satu hal yang pernah kubaca: jangan menyangkutpautkan segala hal dengan hati. Mungkin saja Raga memang ingin kenalan denganku. Anggap saja dia kenalan baru. Bukan seseorang dengan status ‘berusaha-mendekati-dan-kalau-beruntung-bisa-jadi-pacar’.

Lagipula toh, hubunganku dengan Satria juga tidak jelek-jelek amat. Setidaknya kami sudah smsan. Setidaknya kami sudah Y!M-an. Setidaknya kami berbicara. Sayang kan kalau kesempatan ini dilewatkan. Habis sudah sekian lama aku menunggu-nunggu kesempatan ini – sekalian merubah aura ‘tidak bisa menyatu’-ku dengan teman-teman Oki yang biasanya. Kalau kulewatkan kan kesannya aku tidak bersyukur.
Mengingat Satria aku jadi ingin iseng membuka profil twitter-nya. Seperti biasa. Memandangi timeline-nya, melihat siapa saja yang dia mention, melihat percakapan dia dan teman-temannya, kalau beruntung melihat percakapan pribadi dia dan adik perempuannya, atau harap-harap cemas akan menemukan mention Satria untuk Marisa.

Satria Maheswara Pambudi
@swaraSatria
Bio: suara-suara saya.
Tanah Air ∙ http://maheswarasatria.wordpress.com

Aku suka cara Satria mendeskripsikan twitter-nya: ‘suara-suara saya’, dari username twitter-ya dan nama tengahnya ‘Maheswara’ ditambah nama depannya. Aku juga suka cara Satria menyebutkan tempatnya berada dengan ‘Tanah Air’ – kedengaran nasionalis sekali, kan?
Aku sedang men-scrolling down timeline Satria, melihat twit-twitnya, ketika mendadak orangnya sendiri mengirim pesan singkat ke ponselku.

Satria
19/05/12 12:09
May, rotinya nggak ada yang coklat keju. Mau rasa apa?

Aku mengeluh dalam hati, karena aku sedang ingin sekali makan coklat keju. Akhirnya aku membalas ‘blueberry’.
Yahoo! Messenger-ku mendadak offline, entah karena apa. Tahu-tahu saja aku sudah sign out dari Y!M ketika masih chatting dengan Raga. Ah, aku menyesal karena chat berakhir dengan tidak sopan – mengakhiri tanpa pemberitahuan.
Kubuka blogku, menulis lagi untuk sambungan cerita sebelumnya di blog. Aku mendapat komentar baru dari pembaca yang masih harus dimoderasi.

Nathan Arya Raldian  Kemarin 21:40
Maya, coba dengerin Aziatix deh. Keren itu.
Publish  Delete  Report as spam

Itu dari kakakku. Kak Nathan mengomentari tulisanku yang bercerita tentang percakapan sehari-hari manusia dengan kata hatinya – dengan saran untuk mendengarkan Aziatix.
Coba pikirkan relevansinya dimana.
Lagipula, tanpa disuruh, aku sudah mendengarkan Aziatix, kok!
Kupencet tombol ‘publish’ untuk komentar itu sembari berdecak, tak bisa memikirkan apa yang kakakku pikirkan ketika mengetik komentar itu di bawah postingan tulisanku yang... galau mendayu-dayu.
Aku menguap, lalu kembali ke twitter­-ku. Ternyata ada satu mention yang masuk.

@raga_bhakti: @mayandaa masih online kak?

Astaga, anak ini. Ternyata dia menungguku kembali online Y!M.

@mayandaa: @raga_bhakti nggaaak, YMnya offline tiba-tiba...

Ingin sekali rasanya aku meneruskan stalking kepada Raga, apapun social network-nya, tetapi kelas sudah agak ramai dengan kedatangan anak-anak yang baru selesai makan siang. Aku tidak ingin ketahuan stalking. Itu kan peraturan pertama stalking.
Satria dan Oki dan teman-temannya yang lain datang juga. Aku nyengir kepada mereka, menunggu roti dan susu datang.
“Nih,” Satria melemparkan sebungkus roti blueberry, dan meletakkan susu vanilla dingin di mejaku.
“Makasih lho,” kataku, benar-benar berterima kasih.
“Ditanyain Hannah,” ujar Oki. “Aku cerita deh kamu kenapa.”
“Terus dia gimana?”
“Kaget dia, terus bingung gitu. Semoga cepet sembuh katanya.”
“Ooh.”
Aku hening sendiri memakan roti dan meminum susu sementara anak-anak ramai mengobrol di sekelilingku. Aku tak terganggu, toh headphone-ku nyala dengan lagu Time Machine-nya SNSD terputar di music player.
Satu mention masuk lagi. Dari Raga.

@raga_bhakti: @mayandaa nggak online lagi? udah makan kak?
@mayandaa: @raga_bhakti ini lagi makan. nggak tau, nggak bisa sign in...
@raga_bhakti: @mayandaa ah, nggak jodoh banget nih -__-“ oke deh kak, met makan :)
@mayandaa: @raga_bhakti hahaha iya kali ya. trims, kamu gimana?
@raga_bhakti: @mayandaa iya kak, ini udah kelar kok nyari bahannya. thanks for worrying about me ;)

Aku sampai ternganga lama membaca mention yang terakhir. Raga, seorang pemuda manis dengan tingkat kepedean mencapai 90%.
“Si Raga itu anak basket kan?”
Entah bagaimana aku selalu masih bisa mendengar suara-suara yang berasal dari orang-orang di dekatku meski aku sedang mengenakan headphone – apalagi suara Satria. Oleh karena itu, ketika Satria tiba-tiba mencetuskan kalimat barusan, aku langsung menoleh ke belakang. Betapa shocknya aku ketika mendapati Satria duduk di belakangku dengan pandangan tertuju ke layar laptopku. Jadi selama ini dia melihat aku dan Raga saling mention di twitter.
Mendadak aku merasa wajahku memerah, malu.
“Iya, kapten bukannya? Dia bilang sering ketemu kamu di rapat...”
“Oh iya, ya,” ujar Satria, “yang tinggi itu kan?”
Aku mengangguk.
“Cocok deh jadi kapten basket,” kata Satria lagi.
Aku mengunyah roti.
“Habis ini masih harus minum obat?” tanya Satria.
“Iya, ada obat yang harus habis.”
“Harusnya minum air...”
Aku baru tersadar. Aku benar-benar lupa tidak meminta Oki membelikanku air untuk minum obat. Minum obat kan tidak bisa pakai susu!
“OH IYA IYA.”
Satria memandangku dengan pandangan lelah. “Kamu ini.”
“Gimana doong,” aku bingung setengah mati.
“Aku bawa, nih,” tiba-tiba saja Satria sudah membungkuk merogoh-rogoh tasnya sendiri dan mengeluarkan sebotol air mineral yang tampak baru. “Tadinya buat latihan nanti sore, tapi kamu minum saja.”
“Nggak usah ah, Sat,” tolakku, benar-benar menolak, begitu mendengar bahwa sebotol air itu berguna untuk mengembalikan kesegaran Satria setelah kelelahan latihan futsal nanti sore.
“Nggak apa-apa. Terus kamu mau minum obat pake apa?”
“...”
Aku terdiam, tak bisa menjawab, dan akhirnya aku menerima botol air itu untukku.
“Makasih, lho...”
“Sama-sama.”
Rasanya aku punya keinginan untuk menyimpan botol air ini kalau sudah habis, dan tidak akan membuangnya, dan akan melabelinya ‘Botol Air dari Satria’ beserta hari, tanggal, dan waktu saat ini.
“Besok basket tanding loh, perempat final,” info dari Satria ketika aku sedang meminum obatku. “Nonton?”
Sebelum aku menjawab Satria sudah menyela omongannya sendiri.
“Eh jangan ding, kakimu kan lagi sakit.”
“Terus aku nggak bisa kemana-mana, gitu?”
“Nanti aja kalau udah final,” Satria tersenyum.
“Haha, amiin.”
Dalam hati aku benar-benar berharap tim basket fakultasku bisa melaju sampai ke babak final. Berharap Raga bisa sampai final.
“Tapi aku pengen nonton sih,” ujarku jujur.
“Karena ada Raga?”
Situasinya seperti di film-film. Seorang lelaki mengutarakan kalimat yang menusuk hatiku, dan aku terpaksa terdiam memikirkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang bisa ditebak sebenarnya, kalau aku tahu bahwa orang-orang tahu kalau aku dekat dengan Raga, yang notabene adalah kapten basket. Sayang sekali pertanyaan itu keluar dari mulut seorang lelaki yang aku sukai.
Kupandangi Satria, tidak berani lama-lama, aku langsung menggerakkan bola mataku ke arah-arah lain.
“Iya?” Satria memastikan, kali ini dia benar-benar mengawasiku. Menungguku menjawab pertanyaannya.
“Nggak juga, sekalian nonton Wahyu sama Robi,” kataku. Satria harusnya bisa mendengar nada mengelak dari kalimatku barusan.
“Kamu bilang mau nonton Raga juga nggak apa-apa, kali,” Satria tergelak.
Aku hanya bisa mendengus tersenyum pasrah.
“Kalian kapan tanding?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
“Hari Rabu minggu depan,” jawab Satria.
“Semoga aku udah bisa jalan hari itu,” kataku spontan.
“Hahaha amin.”
Aku memandang Satria dengan senang karena dia mengaminkan doaku. Satria sadar dipandangi, dan aku tidak berniat berhenti memandanginya.
“Kenapa?” tanya Satria, tersenyum, matanya yang dalam memandangku hangat.
Aku menggeleng pelan, sambil tersenyum, dan bersyukur mendapatkan pemandangan seindah ini di siang hari. Bahkan senyuman mata Raga yang melengkung sipit ke bawah dan lesung pipi yang manis belum bisa membuatku merasa tenang dan damai seperti ini.
Mendadak aku tersadar sudah membanding-bandingkan Satria dan Raga.
* * *
Akhirnya hari pertama aku memakai tongkat penyangga sudah terlewati (meski dengan penuh perjuangan). Sesampainya di rumah aku langsung melakukan apa yang seharusnya bisa kulakukan selama jam istirahat siang tadi: stalking Raga.
Bagaimanapun aku masih penasaran tentang sesosok ‘Ima’ yang ada di bio twitter Raga. Dia siapanya Raga? Pacarkah? Ya tentu saja, siapa lagi sih yang punya ‘kehormatan’ namanya disebutkan di bio twitter seseorang, selain orang-orang terkenal yang menjadi panutan si pemilik akun twitter? Ditambah lagi kalau si pemilik akun menggunakan kata ganti milik: Ima’s.
Maka kucari-cari akun social network milik Raga yang lain: Facebook, Blogger, Wordpress, Google+, apalah. Tetapi social network paling lengkap untuk ditelusuri adalah Facebook. Kau bisa mendapatkan apa saja disana.
‘Raga Bhakti Priandika’ begitu kutulis di kotak search. Namanya langsung muncul di urutan pertama.
Namun tidak ada hasil yang relevan dengan pencarianku. Aku memang bisa menemukan tanggal lahirnya (langsung kucatat di buku harianku), sekolah asalnya, ayah-ibunya, saudaranya, agamanya, kesukaannya (rata-rata tentang basket), tetapi tidak ada petunjuk sama sekali tentang siapa itu Ima. Bahkan relationship status-nya tidak muncul di profilnya.
Aku hanya tahu kalau Raga anak tunggal. Dia juga (tampaknya) sangat menyayangi keluarganya: foto-fotonya banyak yang menampilkan kenangan-kenangan dari acara-acara keluarganya. Ada foto-foto pernikahan. Foto-foto acara kumpul keluarga di sebuah rumah makan besar. Foto-foto wisata keluarga. Dia ini family guy sekali.
Ada foto-foto (yang tampaknya) bersama sepupu-sepupunya, yang masih kecil-kecil. Dia tampak ngemong, anak-anak itu nurut sekali dipeluk dan dirangkul olehnya. Salah satu foto bahkan menampilkan dia menggendong seorang bayi kecil lucu yang tertawa.
Dia tampak lovable.
Kebiasaanku kalau sedang menyalurkan hobi stalking-ku adalah menyimpan foto-foto korban stalking di folder tersendiri. Tetapi untuk Raga, aku mengecualikan hal ini. Aku tidak ingin tambah memberi alasan untuk pikiranku beralih ke adik angkatanku itu.
Lagipula, tujuanku stalking Raga kan bukan untuk menyimpan foto. Tapi untuk mencari siapa itu Ima.
Stalking itu harus tetap di jalur yang benar.
Aku masih tidak berani – dan tidak berhak juga sebenarnya – untuk menanyakan langsung pada Raga siapa itu Ima. Gengsiku terlalu tinggi.
Akane mengeong, mengingatkanku bahwa dia belum disisir.
“Sini,” pintaku, memintanya naik ke atas sofa. Dia meloncat, bulunya mencuat ke segala arah.
“Potong rambut, yuk?”
Seolah mengerti, Akane mengeong keras, protes. Kuraih sisir yang ada di meja tempat aku meletakkan laptop, kemudian mulai merapikan bulu Akane.
Pada saat itu Y!M-ku menampilkan kotak chat baru.

BUZZ!!
raga.bhakti: halo, kak
maya_melianda: halooo
raga.bhakti: lagi ngapain?

Hampir saja kujawab ‘stalking kamu’ tapi langsung kuhapus tulisan itu dan kuganti tulisan yang lebih bermartabat.

maya_melianda: nyisir bulunya kucingku, namanya akane
raga.bhakti: wah, rajinnya :O
maya_melianda: harus dong, dia harus cantik selalu
raga.bhakti: kayak yang punya?
maya_melianda: IYA -_-

Mataku menyipit melihat chat dari Raga. Sungguh, melihat chat ini aku ingin sekali bertanya langsung padanya siapa Ima.

maya_melianda: eh, ga
raga.bhakti: ya, kak?
maya_melianda: suka nulis ya?
raga.bhakti: ng? kenapa? :)
maya_melianda: aku buka blogmu...
raga.bhakti: ah, isinya kan basket semua, kak :D
maya_melianda: ya bagus, daripada blogku... isinya galauan semua, hahaha :))
raga.bhakti: oh iya? mana-mana coba aku baca :D
maya_melianda: arumaya.blogspot.com jangan diketawain ya!
raga.bhakti: ga bakalan, kak :))

Setelah itu Raga tidak menulis apa-apa lagi. Mungkin dia sedang membaca blogku, tertawa-tawa membaca tulisan tak keruan yang kutulis, atau komentar-komentar aneh dari teman-teman SMAku dan tentu saja, komentar dari Saudara Nathan Arya Raldian.
Aku juga tak menulis di kotak chat, aku mengelus bulu Akane yang sudah lembut dan kupeluk-peluk dia dengan erat. Dia mengeong kencang minta dilepaskan. Aku mengalah, dan membiarkan dia lompat keluar dari pelukanku. Dia menghampiri tempat minumnya, dan menikmati airnya.
Lalu kulihat Raga mulai menulis lagi.

raga.bhakti is typing...
raga.bhakti: kak, tulisannya bagus. bikin buku aja!
maya_melianda: hah? serius? ITU KAN KACAU .______________.
raga.bhakti: tapi tulisan kakak itu berkarakter. seneng bacanya. meski itu curhatan, tapi ditulis dengan gaya bahasa yang beda... nggak kayak tulisan-tulisan curhat di blog yang lain
maya_melianda: ah... makasih lho ^^
raga.bhakti: BIKIN BUKU! TULISAN INI HARUS DITERBITIN...
maya_melianda: nggak mau ah! maluuuuuu ><
raga.bhakti: ya ampun kakak, nggak akan ada yang ngira kalo ini cerita kehidupan kakak, kok! ada pun, kakak bisa ngelak itu cuma ide dari imajinasi kakak
maya_melianda: pengen sih, tapi jangan tulisan yang di blog itu lah -__-“ terlalu rahasia
raga.bhakti: kakak berani masukin blog, tapi nggak berani nerbitin -.-
maya_melianda: .............................................................................................
raga.bhakti: mau jadi penulis nggak?
maya_melianda: ya MAU, MAU BANGET, tapi gimana...
raga.bhakti: ya nulis, kak :))
maya_melianda: -__________________________________________________-
raga.bhakti: =))
maya_melianda: kupikirkan lagi. ini lagi dalam proses ngetik naskah novel. doain cepet jadi ya :D
raga.bhakti: tentu, noona :)

Panggilan noona yang jarang-jarang dia gunakan, membuatku berpikir bahwa dia hanya akan menggunakannya kalau situasi mendukung.

maya_melianda: eh, ga, ima itu siapa sih?
raga.bhakti: ima? -.-a

Dan aku pun tak tahan untuk segera bertanya soal ini padanya.

maya_melianda: iya, ima, itu lho, yang di bio twittermu.
raga.bhakti: ooh, ima......... kak ima ;)
maya_melianda: kak ima? kakakmu? seniormu?
raga.bhakti: iya, seniorku di kampus
maya_melianda: bercanda. kampusmu kan kampusku. dan nggak ada yang namanya ima disini!
raga.bhakti: ada, kak :D
maya_melianda: yang mana sih orangnya? :O
raga.bhakti: orangnya manis, cuek, tapi kalau dideketin, ramah...
maya_melianda: angkatan?
raga.bhakti: kakak kenal kok :D
maya_melianda: siapa -.-a
raga.bhakti: sering pake sepeda ke kampus, kak ima itu
raga.bhakti is typing...

Sering pake sepeda ke kampus? Tenang, Maya, yang sering pake sepeda ke kampus bukan hanya kamu. Ada puluhan sepeda setiap harinya di kampus...

raga.bhakti: dia juga kayaknya orangnya mandiri, nggak tergantung sama orang lain
maya_melianda: kamu deket banget ya sama dia?
raga.bhakti: nggak juga sih. aku juga kenal baru-baru ini sama dia
raga.bhakti is typing...

Kenal baru-baru ini? Tenang, Maya, mungkin Raga bertemu dengan si Ima ini di salah satu UKM di fakultas. Orang seperti dia pasti populer, yang setiap hari bertemu dengan orang baru...

raga.bhakti: terutama dia itu bisa dikenali karena sering pake headphone kalo di kampus, terus asik sendiri dengerin lagu dari headphonenya
maya_melianda: heh? ada ya orang kayak gitu di kampus? (aku pura-pura tak tahu)
raga.bhakti: ada :D cara dia menikmati hidupnya yang seperti itu yang aku suka
maya_melianda: lho, jadi kamu suka dia? dia siapanya kamu sih?
raga.bhakti: yah, pengennya sih jalan ke jenjang yang lebih tinggi :))
maya_melianda: baru kenal bukannya -..-
raga.bhakti: makanya aku mau nunjukin ke dia...
maya_melianda: nunjukin apa?
raga.bhakti: kalau aku bisa bikin dia deg-degan waktu nonton basket
raga.bhakti is typing...

NAH. NAH. NAH! MAKIN PARAH KAN FIRASAT TIDAK ENAKKU DARI TADI?

raga.bhakti: percaya deh, noona, bakal lebih deg-degan waktu nonton basket daripada nonton futsal :D
maya_melianda: kenapa aku harus percaya?
raga.bhakti: IMELIA MAYANDA ARUMSARI
raga.bhakti: Imelia Mayanda Arumsari
raga.bhakti: IMA.

Sejelas itu. Sejelas itu Raga menulis nama lengkapku di kotak chat, menjelaskan segalanya.
Permainan macam apa lagi ini?
maya_melianda: don’t kidding me
raga.bhakti: no, I’m serious. I’m IMA’s. I’m yours, noona.

Seolah mengakhiri pembicaraan dramatis itu, Raga mendadak offline.
Sialan, pikirku, memukul-mukul bantal. Apa ini? Confession? Sebuah pengakuan cinta (?) dari orang yang lebih muda dua tahun dariku? Kami baru saja bertemu beberapa hari dan dia sudah menyatakan bahwa dia adalah milikku? Aku benar-benar tidak bisa percaya ini.
Aku tahu aku seharusnya tidak membawa hatiku dalam masalah ini. Tapi tak dinyana, hatiku berdebar kencang. Debaran ini sama seperti ketika aku tahu bahwa Yuda memiliki perasaan yang sama denganku – dan dia memintaku untuk pacaran dengannya.
Ada yang tak bisa dijelaskan di perasaan ini.
Aku tak bisa bicara apa-apa, mulutku masih ternganga sedikit, aku meneguk ludahku dan dengan perlahan membuka twitter. Mungkin Raga me-mention memberitahu kenapa dia offline tiba-tiba.
Tetapi tidak ada mention dari Raga. Ah, sudahlah, pikirku. Mungkin laptopnya macet, dan harus di-hard-restart.
Kutelusuri timeline. Kutemukan Satria, baru saja meng-update statusnya. Entah kenapa aku mendadak merasa bersalah padanya.
Dia meng-update statusnya dengan attachment sebuah foto. Naluri stalking-ku muncul, kubuka foto itu. Ternyata foto sebungkus roti rasa strawberry. Roti yang sama merk-nya dengan roti blueberry yang dibeli Oki tadi untuk makan siangku.
Ditambah kalimat ini:

@swaraSatria: Strawberry lebih cocok buatmu.

Di atasnya, ada satu tweet yang baru muncul detik itu juga.

@raga_bhakti: @mayandaa noona, annyeong ^^

Aku memutuskan untuk mematikan laptop, dan tidur sebentar untuk mengistirahatkan pikiranku.
Aku tak sanggup lagi.
Kuharap kakiku cepat sembuh.
* * *

Done at 22:07
4 Mei 2012

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates