13 Nov 2012

“Kak Maya,” ujar Raga di telepon pada malam hari Jumat. Weekend terakhir sebelum minggu tenang, dan dua minggu lagi kami akan UAS.
“Ya?”
“Mau temenin aku nggak?”
“Ke?” aku menjawab dengan singkat, karena sedang sibuk menyampuli buku-buku (baca: novel-novel dan komik-komik) terbaruku dengan plastik tebal.
“Nikahannya Mas Sandy,” jawab Raga, menyebutkan satu orang cowok dari angkatan 2007 yang kukenal.
“Eh? Mas Sandy udah mau nikah?” gumamku heran. Kemudian aku ingat cerita-cerita Alva waktu kami berempat makan di kantin, yang aku tidak begitu perhatikan.
“Iya, aku diundang, anak-anak basket yang lain juga,” cerita Raga.

Mas Sandy adalah bukan mantan asistenku, atau dia pernah mengulang mata kuliah tertentu di angkatanku, atau apa. Aku kenal dia, begitu saja. Pokoknya aku tahu dia, sekarang sedang co-ass di bagian Bedah Mulut. Dan fakta bahwa dia akan menikah agak mengguncangku, karena bingung.
“Kapan?” tanyaku.
“Resepsinya Minggu besok, di Hotel Luxury...”
“Ooh,” gumamku, menggunting selotip. “Harus bawa pasangan, ya?”
Kudengar tawa Raga membahana. “Nggak mau makan gratis, Kak?”
“Hahahaha, enak aja,” ujarku tertawa. “Mau, sih...”
“Tuh, kan...”
“Calon istrinya anak mana?” tanyaku.
“Katanya psikologi. Udah lulus, tahun kemarin kalo nggak salah...”
“Wah, enaknya baru lulus langsung nikah,” komentarku spontan, sambil menempel selotip di sbuku yang sudah kulapisi plastik. “Eh, Wahyu sama Robi diundang juga, dong?”
“Iya, kan mantan anak didiknya,” kata Raga.
Mas Sandy adalah mantan pelatih tim basket sewaktu Raga baru masuk FKG dulu, kemudian tidak jadi pelatih lagi karena sibuk co-ass.
“Acaranya jam berapa?” tanyaku lagi.
“Berangkat habis zuhur aja juga nggak apa-apa, Kak...”
“Oke deh...”
Malam itu aku langsung membongkar lemari dan mencari-cari kebaya yang kupunya. Aku langsung ingat aku punya satu stel kebaya warna ungu muda, yang baru saja kubuat waktu semester dua dulu, karena kakak sepupuku yang tinggal di Malang menikah. Aku ditugaskan menjadi pagar ayu, sementara Kak Nathan menjadi pagar bagus. Waktu itu keluargaku datang dengan pesawat ke Surabaya, kemudian ke Malang, sementara aku dan keluarga Oki (yang turut diundang) menyusul dengan kereta, langsung ke Malang. Kebaya ungu muda itu mestinya masih cukup di badanku, karena aku merasa tidak menaikkan berat badanku sejak semester dua.
“Aha,” kutemukan kebaya ungu muda di lapisan paling akhir lemariku. Korset warna krem yang kubeli mendadak waktu itu juga masih ada. Dengan senang kukenakan korset itu, kemudian kebayaku.
Aku manyun, memandangi pantulan bayanganku di cermin. Kebayanya masih pas.
Atau mungkin agak sedikit sesak di bagian-bagian tertentu.
Sabtu sore aku berkunjung ke rumah Oki, setelah sekian lama. Bunda-nya Oki menyambutku dengan senang, bertanya aku kemana saja dan tidak pernah kelihatan. Kubilang, menghabiskan waktu bersembunyi di rumah. Aku selalu senang memandangi Bunda, yang sudah kuanggap seperti Mama, karena sedari kecil menghabiskan waktu bersama-sama.
Oki sedang sibuk mengelap motor di halaman belakang rumahnya ketika aku datang.
“Oi,” seruku dari pintu belakang.
“Hei,” dia menengadah. “Baru dateng?”
“Iya...”
“Besok ke nikahannya Mas Sandy, ya? Bareng Raga?” tanya Oki begitu aku menghampiri motornya.
“Kok tahu?”
“Aku kan juga diundang,” kata Oki. “Anak futsal juga diundang. Mas Sandy pernah ngelatih kami, inget?”
Ah. Aku baru ingat juga hal itu. Benar-benar baru ingat. Raga tidak mengatakan apa-apa, karena dia tidak tahu kalau Mas Sandy juga pernah melatih futsal ketika aku dan Oki masih semester 1.
“Satria... diundang juga dong?”
“Tentu saja, dia kan kapten.”
“Dateng bareng Fazzie, berarti?” kataku muram.
“Enggak katanya,” Oki bangkit dari jongkoknya setelah mengelap mesin motor. “Fazzie balik ke Depok hari ini.”
“Syukurlah,” ujarku tanpa berpikir panjang.
Oki memandangku. “Belum rela, ya?”
“Sampai kapanpun,” sahutku tersenyum. “Kamu dateng bareng Hannah?”
Mendengar nama itu, entah kenapa kulihat wajah Oki tersenyum pahit. “Ngng... nggak tahu. Kenapa tanya itu?”
“Yaah,” aku tidak meneruskan kalimatku, karena bingung juga mau menjawab apa.
“Coba kamu masih single, aku ngajak kamu kesana,” kata Oki, pura-pura menyesal.
“Oh, jadi nggak seneng nih aku jadian sama Raga?” kataku, pura-pura kesal.
“Habis kamu jadi sibuk sama Raga terus, aku terpinggirkan,” sahut Oki.
Aku tertawa. “Aduh, maaf ya...”
“Udah lama lho kita nggak cerita-cerita. Kamu itu...”
“Iya, iya, aku minta maaf. Udah deh nggak usah sok sedih,” kupukul bahunya.
Oki selesai mengelap motor dan setelah ia mencuci tangan, kami duduk di undakan teras belakang rumahnya. Hening selama beberapa menit.
“Ki,” tegurku. “Fazzie sama Satria... baik-baik aja kah?”
“Hah? Kenapa tanya begitu.”
“Nanya aja. Habis si Satria jadi muram banget akhir-akhir ini.”
Oki bereaksi seperti sudah menduga pembicaraan ini sebelumnya. “Iya sih. Dia juga jadi jarang ngumpul sama anak-anak yang lain. Kamu tahu, hari Rabu besok anak-anak pada mau ke Bandung, ke TransStudio.”
“Hah? OH IYA? KOK ENAK?” teriakku tanpa bisa ditahan.
“Iya... tapi Satria nggak ikut,” gumam Oki. “Aku juga nggak ikut sih. Nggak ada duit,” dia tertawa.
“KAN SENIN UJIAN,” kataku, masih dengan volume suara yang sama.
“Katanya sih refreshing.”
“Kenapa Satria nggak ikut?”
“Nggak boleh sama Fazzie katanya.”
“ASTAGA,” ujarku, tak percaya mendengar alasan konyol itu. “NGGAK BOLEH SAMA FAZZIE? KENAPA?”
“Nggak tau... mungkin Fazzie mikir kami-kami ini pengaruh buruk buat Satria,” Oki tergelak.
“DIA KAN BUKAN IBUNYA.”
“Entahlah, tapi sejak sama Fazzie, Satria kayak dikekang. Kalau di depan Fazzie, Satria harus penuh perhatian ke Fazzie. Tapi kalau nggak ada Fazzie, Satria bakal ketawa-ketawa lagi, seneng-seneng lagi, bareng anak-anak.”
Dan ingatanku melesat ke Satria dan Wahyu yang tampak tertawa-tawa bahagia menuju kantin, dan Satria yang tampak muram di belakang Fazzie yang jengkel.
“Aduh, apa banget deh si Fazzie itu,” komentarku sinis.
“Mereka juga sering banget berantem. Fazzie-nya sih, yang suka marah-marah. Satria-nya... bingung mau ngapain. Kasihan,” Oki berdecak. “Kamu pernah berantem nggak sama Raga, ngomong-ngomong?” katanya tiba-tiba.
Aku yang ditanyai mendadak seperti itu langsung tersipu malu. “Eh... enggak...”
“Adem ayem, ye,” komentar Oki.
“Dia terlalu baik. Dia terlalu romantis. Dia agak mirip... Yudha.”
“Yudha?” kata Oki, dan aku mendengar nada waspada dalam suaranya.
Aku mengangguk. “Kamu tahu, pada awalnya... aku heran banget. Dia terlalu mirip Yudha. Romantis-romantisnya. Perlakuannya. Semuanya.”
“Terus... kamu mau bilang bahwa Raga itu reinkarnasi Yudha?”
Aku menggeleng pelan. “Nggak juga... aku cuma... heran. Dan takut.”
“Takut kalau-kalau Raga bernasib sama seperti Yudha?”
“Aku nggak mau memikirkannya.”
“Gini, ya, May. Raga dan Yudha adalah orang yang berbeda. Raga yang ada di hadapanmu sekarang – yah, secara harfiah, ya, bukan secara teknis – adalah Raga dengan level keromantisan yang sama dengan Yudha, bukan Raga yang dimasukin Yudha.”
“Iya, aku ngerti,” gumamku pelan. “Aku ngerti.”
“Jadi ini ya alasanmu ngegantung anak itu sampe berapa hari?” kata Oki. “Karena kamu takut? Takut kejadian yang sama terulang lagi? Cuma gara-gara Raga terlalu mirip sama Yudha?”
“Kupikir itu bukan alasan yang utama, tapi, iya, itu memang jadi salah satu pemikiranku.”
“Alasan yang utama adalah?” tanya Oki, tetapi dia buru-buru melanjutkan. “Oh, tunggu, tunggu. Jangan bicara,” katanya,  membuat mulutku yang terbuka tertutup lagi. “Satria. Ya kan?”
Aku mendadak lemas. “Iya, lha gimana...” kataku lirih. “Waktu itu masih suka Satria.”
“Sekarang?”
Wajahku menghangat. “Sekarang...” tanpa sadar mataku menangkap sesuatu yang berkilauan di jari manis kananku.
Oki pastilah melihat pandanganku ke cincin itu, karena dia berkata, “Sudah mencoba, ya? Dan berhasil?”
Well,” gumamku, “umm...” dengungku, “...yeah,” jawabku akhirnya. “Setidaknya dia jelas akan perasaannya padaku, tidak seperti Satria yang membingungkan tiga cewek itu.”
“Siapa?”
“Marisa, Fazzie, dan, umm, aku.”
Oki terbahak. “Dia memang baik pada semua orang – memperlakukan cewek sebagai cewek, dan membuatnya disalahpahamkan.”
“Eh, ada lagu bagus nih,” aku memasangkan headphone ke kepala Oki. “Lagunya f(x). Judulnya Beautiful Stranger.”
Seperti biasanya, Oki terdiam sembari mendengarkan lagu dari headphone-ku.
“Keren nih,” katanya begitu lagunya selesai.
Aku nyengir melihatnya.
Kami melewatkan beberapa jam mengobrol, atau terdiam hening, sambil menghabiskan jus apel yang dibuatkan Bunda. Sudah lama kami tidak bicara seperti ini.
Jam-jam khusus sahabat. Betapa aku merindukannya.
* * *
Aku meminta tolong Bunda untuk membantuku berdandan sebelum pergi ke acara pernikahan Mas Sandy. Pukul sebelas siang hari Minggu aku datang ke rumah Oki dengan sepeda dan headphone, yang langsung diceramahi Bunda.
“Kamu naik sepeda? Nanti kalau habis dandan naik sepeda, luntur dong kena keringat...” kata Bunda. “Kenapa tadi nggak minta jemput Oki aja, sih...”
“Hehe. Nggak kepikiran, Bun...” ujarku jujur.
“Kamu pulang dianterin Oki aja naik mobil. Panas gini. Nanti Oki bawa sepeda kamu ke rumah...”
“Ogah, Bun! Sepeda pink begitu...” teriak Oki dari depan tivi.
“Halah, rumahnya Maya deket ini kok,” kata Bunda kesal. “Ayo, sini,” Bunda mengajakku duduk di ruang keluarga setelah mengeluarkan alat-alat make-up-nya.
“Kebayanya warna apa?” tanya Bunda.
“Ungu muda,” jawabku.
Bunda memoles mataku pelan-pelan sekali. Sesaat mengingatkan aku pada sentuhan Mama waktu mendandaniku untuk perpisahan SMA dulu.
“Kembaran sama Raga, nggak?” tanya Bunda, membuatku tersipu malu. Tentangku dan Raga, Bunda pasti sudah mengetahuinya dari Oki.
“Ng... nggak tahu, Bun,” gumamku, mataku tertutup sementara Bunda mengoleskan eye shadow. “Kan nggak janjian...”
“Bilang aja ke Raga, suruh pake batik ungu, gitu,” kata Bunda, tertawa. “Nah, tuh dia sms.”
Aku membuka mataku dan menoleh ke handphone yang kuletakkan di meja dekat alat make-up Bunda. Sebuah pesan masuk dari kontakku yang bernama Raga.

From:Raga
11:17
Kak, aku jemput jam setengah satu ya. Dandannya jangan cantik-cantik, nanti aku berantem sama cowok-cowok yang godain kakak! :P

Aku tertawa membaca smsnya. Bunda bertanya padaku isi sms Raga. Beliau bilang akan menuruti Raga, dan mendandaniku apa adanya. Aku cuma bisa tersenyum malu.
“Tanyain warna batiknya apa,” saran Bunda, ketika aku bingung bagaimana membalas pesan Raga.

To:Raga
11:20
Oke. Hahaha makasih ya :p
Eh, ga, kamu pake baju warna apa?

Setelah kubaca ulang sms yang baru saja kukirim, aku merasa pertanyaanku konyol sekali.

From:Raga
11:25
Batik, Kak. Warna ungu tua gitu. Kenapa? Kakak pake kebaya apa gaun?

Mataku melotot sampai ingin keluar dari kelopaknya.
“Kenapa, May?” tanya Bunda ingin tahu, sambil membubuhkan blush on tipis di pipiku.
“Masa kata Raga dia pake batik ungu tua, Bun.”
“Wah, berarti kalian jodoh,” Bunda tersenyum-senyum. “Seneng, ya? Tuh, pipimu merah.”
“Kan gara-gara yang merah-merah di kuas itu, Bun,” sela Oki yang duduk bersila di karpet, memandangi televisi dan sekali-sekali mengawasiku dan Bunda.
“Hush. Kamu ini lho nggak peka,” kata Bunda pada anaknya.
Aku mengetik balasan untuk Raga, kemudian membiarkan Bunda mengoleskan eyeliner (yang membuat mataku berair selama beberapa detik, dan aku harus mengeringkannya dengan tisu) di mataku.
* * *
Hotel Luxury adalah hotel bintang empat yang terletak di pusat kota, cukup jauh dari kawasan tempat tinggalku, tetapi dekat dengan rumah keluarga Mas Sandy. Ayah dan ibu Mas Sandy adalah dua orang dokter gigi yang terkenal. Ayahnya spesialis bedah mulut, sementara ibunya spesialis orthodonsia. Kliniknya sendiri ada dua di pusat kota, dan satu di kawasan kampus. Sementara itu mereka juga membuka praktek di rumahnya sendiri. Ayahnya ini kebetulan mantan dekan fakultasku.
Raga bercerita dengan detail tentang keluarga Mas Sandy.
“Wah, pasti banyak dosen yang dateng juga,” ujarku menyimpulkan. “Banyak dokter gigi...”
“Anak-anak 2007 juga, mestinya. Temen seangkatannya sendiri...” kata Raga. “Katanya cewek yang jadi istrinya itu ketemu pas KKN. Namanya Mbak Lusi.”
“Oh, temen KKN,” kataku, tidak heran. Sudah berjuta kali kudengarkan cerita-cerita kakak angkatan tentang masa-masa indah KKN selama 2 bulan itu – yang memperbesar kemungkinan cinta lokasi akibat dua bulan bersama-sama. Bangun tidur melihat orang yang sama, mau tidur melihat orang yang sama.
“Kakak nanti kalo KKN jangan liat-liat orang lain ya,” gumam Raga kemudian, dengan nada mengancam yang lucu.
Kupandangi ia. Dia terlihat manis sekali ketika mengatakannya.
Kami sampai di Hotel Luxury sekitar dua puluh menit kemudian. Halaman depannya penuh dengan papan-papan rangkaian bunga yang menyatakan selamat. Aku dan Raga langsung menuju ball room, yang ramai dengan keluarga dan teman-teman dekat dari kedua mempelai, yang terlihat dari bagaimana cara mereka menyapa satu sama lain dengan sangat akrab. Samar-samar kulihat beberapa mantan asisten praktikumku di semester lalu. Mereka terlihat cantik dan gagah dengan kebaya dan jas.
“Mas Sandy...” sapa Raga kelewat akrab ketika kami menyalami pengantin baru itu.
Mas Sandy terlihat tampan dengan pakaian adat Jawa, dan istrinya juga terlihat cantik dengan kebaya panjang dan jilbab putih.
“Pacarmu, Ga?” tanya Mas Sandy dengan logat Jawa yang kental – dia memandangku sekilas.
“Oh, kebetulan iya, Mas,” Raga tertawa. Aku menyalami Mas Sandy, mengucapkan selamat.
“Ayu ee,” gurau Mas Sandy. Kemudian aku melihat istrinya membisikkan sesuatu pada Mas Sandy, sambil menunjukku dan Raga berbarengan.
“Janjian pake baju sama, ya?” kata Mas Sandy tertawa.
“Ah,” kataku malu. “Enggak Mbak, Mas, ini kebetulan,” ujarku gelagapan.
Aku memberi selamat pada Mbak Lusi yang cantik, kemudian menuruni pelaminan dan bergerak menuju tempat makanan.
“Mau makan apa?” tanya Raga dengan manis, mengambilkanku piring yang masih kosong.
Aku masih mengamati makanan yang tersedia, bingung memilih mencicipi zupa soup duluan atau steak daging lada hitam yang jarang sekali kutemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Raga bertemu dengan teman-temannya dari tim basket – rata-rata datang sendirian. Mereka menyambutku dengan ramah, tidak norak seperti biasanya (menyoraki dan berteriak-teriak menggoda) mungkin karena sadar ini tempat umum dan bukan di kampus. Mereka bilang iri karena Raga datang denganku. Raga bergurau dengan mengatakan bahwa mereka semua LDR. Oki (tanpa-Hannah) dan anak-anak futsal yang kukenal lainnya bergabung dengan kami. Beberapa mengenalkan pacarnya yang berasal dari fakultas lain. Raga terperanjat ketika mengetahui bahwa anak-anak futsal juga diundang, tetapi aku memandangnya menenangkan.
Tepat pada saat itu aku melihat pemandangan yang kurang mengenakkan ketika aku sedang mencicipi chocolate fondue, Satria datang dengan Fazzie menggelayut di lengannya. Untunglah mereka tidak mengenakan baju dengan warna yang sama – pemikiran bahwa mereka tidak punya kebaya dan batik atau jas yang cocok membuatku sedikit senang.
Mungkin aku agak sedikit jahat.
“Kok ada Fazzie...” bisikku pelan. Kupikir tak ada seorangpun yang bisa mendengarnya. Ternyata Oki merespon dengan: “Serius, Fazzie bilang sendiri ke Satria waktu dia lagi bareng-bareng kami, kalo dia mau pulang Sabtu sore,” membisikiku tepat di telinga.
“Lha itu dia dateng,” kataku gusar.
“Heh, kamu bareng Raga,” bisik Oki lagi, dan seketika aku melirik Raga yang sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya.
Aku tidak memerhatikan pasangan Satria-Fazzie lagi ketika itu, dan memfokuskan kegiatanku mencicipi setiap makanan yang ada disana. Raga mengambil steak daging lada hitam, maka aku mencicipi beberapa potong dari piringnya. Aku sendiri sangat tertarik pada sate ayam yang disajikan. Tentu saja aku makan dengan porsi kecil-kecil. Zupa soup-nya belum aku cicipi.
Raga mengambilkan aku zupa soup dan kami menyantapnya di meja bundar yang di sekitarnya duduk beberapa anak futsal dan basket. Oki duduk di sebelahku, tampak brutal memakan steak.
“Oi! Satria!” seru Brian, yang duduk di kursi di seberangku. Dia memanggil Satria yang baru saja turun dari pelaminan setelah menyalami Mas Sandy dan Mbak Lusi.
Aku mendesah.
“Kenapa, Kak?” tanya Raga. “Kakak oke?” tanyanya lagi, begitu melihat Satria dan Fazzie bergandengan tangan menghampiri meja bundar kami. “Aduh, maaf ya Kak, aku nggak tahu... kirain...”
“Nggak apa,” ujarku tersenyum. Bukan salah Raga.
“Kirain nggak bareng Fazzie,” sapa Brian begitu Satria sampai.
“Ketinggalan pesawat, dia,” kata Satria datar. Fazzie tersenyum seolah menertawakan kesalahannya sendiri. “Jadinya nanti sore baru pulang. Naik kereta jadinya.”
“Kereta jam berapa?”
“Jam setengah tiga.”
“Bentar lagi dong.”
“Oh? Maya!” aku mendengar Fazzie melengking. “Dateng bareng Raga, ya?”
Aku dan Raga yang sedang dalam proses menghabiskan zupa soup kami, menoleh mendengar suara itu. Kupaksakan tersenyum pada Fazzie. Raga menyenggolku, kemudian berbisik, “nggak usah maksain senyum, noona, aneh jadinya.” Aku mendengus tersenyum dan Raga ikut tertawa. Orang-orang di meja kami salah paham dan malah menyindir kami untuk hal sepele seperti itu.
Beberapa teman Raga pulang setelah beberapa menit mengobrol dan berfoto-foto di meja bundar (untunglah meja itu sudah penuh ketika Satria datang, jadi Satria dan Fazzie duduk di meja lain) dan pamit padaku serta Raga. Oki di sebelahku masih sibuk dengan berbagai macam minuman yang terus-menerus diambilnya dari salah satu  counter, dia mencicipinya satu-satu.
“Belum kenyang, Ki?” sindirku.
“Cobain deh.” Dia menyodorkan gelas yang baru saja diminum olehnya.
“Eww, enggak ah.”
Aku memperhatikan tamu-tamu yang datang. Benar dugaanku, ada banyak dosen-dosen KG yang muncul dengan keluarganya. Dosen pembimbing akademikku juga datang dengan anak dan suaminya.
“Mau pulang?” kata Raga menawarkan.
“Boleh,” sahutku, malas melihat Satria dan Fazzie di meja sebelah melakukan suap-suapan.
“Pamit dulu sama Mas Sandy, yuk. Kak Oki, duluan...” pamit Raga, berdiri dan menyalami semua orang di meja bundar itu.
“Oh, udah mau cabut?” kata Oki. “Ati-ati.”
Raga mengangguk, kemudian aku berpamitan pada Brian, Wahyu, Robi, Ary, dan yang lain-lain yang datang.
“Kak Satria, aku duluan ya,” ujar Raga sopan, mengagetkan Satria yang sedang mendapat suapan sate ayam dari Fazzie. “Mari...”
Aku mengangguk ramah pada Satria dan Fazzie, kemudian menyusul Raga yang berjalan duluan, dan menggamit lengannya.
Dia tampak kaget. “Kenapa?” tanyanya, tersenyum.
“Nggak apa-apa,” kataku, mempererat kaitan lenganku di lengan Raga.
* * *
Di tempat parkir aku memasuki mobil, melepas sepatu hak tinggiku, dan bertelanjang kaki. Rasanya kakiku sudah lecet, padahal aku baru mengenakannya selama sekitar tiga puluh menit.
“Lecet, Kak?” tanya Raga yang baru masuk mobil, dan bingung melihat kakiku yang polos.
“Enggak, cuma pegel,” ujarku. “Liat foto tadi, dong.”
Aku meminta handphone milik Raga untuk melihat foto yang diambil ketika pernikahan tadi. Aku dan Raga berpose di samping Mbak Lusi dan Mas Sandy, aku dan Raga berfoto bersama anak-anak basket, aku dan Raga berfoto bersama anak-anak futsal (ada Satria dan Fazzie-nya), dan tentu saja, aku dan Raga yang berfoto berdampingan, dipaksa Oki.
“Ini lucu banget. Upload ya? Mau aku jadiin profpict,” kataku, menunjukkan fotoku dan Raga yang duduk bersebelahan, ketika Raga membisikiku sesuatu dan kami tertawa lepas. Oki yang mengambilnya.
“Oke, deh,” ujar Raga yang masih sibuk dengan seatbelt-nya.
“Lho, itu Fazzie sama Satria,” kataku, ketika mataku tak sengaja melihat ke depan, dan kulihat Fazzie dan Satria melewati mobil Raga, tidak sadar kalau kami ada di dalamnya. Mereka tidak kelihatan begitu baik. “Berantem lagi?” gumamku penasaran.
“Lagi?” tanya Raga.
“Iya, dulu juga kayak gini, si Satria di belakang Fazzie, Fazzie-nya mukanya kesel gitu, tuh, kan, dia marah-marah ke Satria,” kataku memberi berita. “Tapi kayaknya tadi adem-ayem aja.”
“Kak Fazzie marah mungkin karena telat siap-siap mau pulang,” tebak Raga.
“Iya kali, ya,” kataku tak peduli.
“Kalau aku boleh jujur, kasihan Kak Satria,” ujar Raga, menyalakan mesin mobilnya.
Kupandangi Satria dan Fazzie yang menaiki motor Satria, wajah Fazzie terlihat kesal sekali, sementara Satria hanya bisa menghela napas panjang.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates