Nggak Semua Berjalan Lancar
“Kak Maya,” ujar Raga di telepon
pada malam hari Jumat. Weekend terakhir
sebelum minggu tenang, dan dua minggu lagi kami akan UAS.
“Ya?”
“Mau temenin aku nggak?”
“Ke?” aku menjawab dengan
singkat, karena sedang sibuk menyampuli buku-buku (baca: novel-novel dan
komik-komik) terbaruku dengan plastik tebal.
“Nikahannya Mas Sandy,” jawab
Raga, menyebutkan satu orang cowok dari angkatan 2007 yang kukenal.
“Eh? Mas Sandy udah mau nikah?”
gumamku heran. Kemudian aku ingat cerita-cerita Alva waktu kami berempat makan
di kantin, yang aku tidak begitu perhatikan.
“Iya, aku diundang, anak-anak
basket yang lain juga,” cerita Raga.
Mas Sandy adalah bukan mantan asistenku, atau dia pernah mengulang mata kuliah tertentu di angkatanku, atau apa. Aku kenal dia, begitu saja. Pokoknya aku tahu dia, sekarang sedang co-ass di bagian Bedah Mulut. Dan fakta bahwa dia akan menikah agak mengguncangku, karena bingung.
“Kapan?” tanyaku.
“Resepsinya Minggu besok, di Hotel
Luxury...”
“Ooh,” gumamku, menggunting
selotip. “Harus bawa pasangan, ya?”
Kudengar tawa Raga membahana. “Nggak
mau makan gratis, Kak?”
“Hahahaha, enak aja,” ujarku
tertawa. “Mau, sih...”
“Tuh, kan...”
“Calon istrinya anak mana?”
tanyaku.
“Katanya psikologi. Udah lulus,
tahun kemarin kalo nggak salah...”
“Wah, enaknya baru lulus langsung
nikah,” komentarku spontan, sambil menempel selotip di sbuku yang sudah
kulapisi plastik. “Eh, Wahyu sama Robi diundang juga, dong?”
“Iya, kan mantan anak didiknya,”
kata Raga.
Mas Sandy adalah mantan pelatih
tim basket sewaktu Raga baru masuk FKG dulu, kemudian tidak jadi pelatih lagi
karena sibuk co-ass.
“Acaranya jam berapa?” tanyaku
lagi.
“Berangkat habis zuhur aja juga
nggak apa-apa, Kak...”
“Oke deh...”
Malam itu aku langsung membongkar
lemari dan mencari-cari kebaya yang kupunya. Aku langsung ingat aku punya satu
stel kebaya warna ungu muda, yang baru saja kubuat waktu semester dua dulu, karena
kakak sepupuku yang tinggal di Malang menikah. Aku ditugaskan menjadi pagar ayu, sementara Kak Nathan menjadi pagar bagus. Waktu itu keluargaku datang
dengan pesawat ke Surabaya, kemudian ke Malang, sementara aku dan keluarga Oki (yang
turut diundang) menyusul dengan kereta, langsung ke Malang. Kebaya ungu muda
itu mestinya masih cukup di badanku, karena aku merasa tidak menaikkan berat
badanku sejak semester dua.
“Aha,” kutemukan kebaya ungu muda
di lapisan paling akhir lemariku. Korset warna krem yang kubeli mendadak waktu
itu juga masih ada. Dengan senang kukenakan korset itu, kemudian kebayaku.
Aku manyun, memandangi pantulan
bayanganku di cermin. Kebayanya masih pas.
Atau mungkin agak sedikit sesak
di bagian-bagian tertentu.
Sabtu sore aku berkunjung ke
rumah Oki, setelah sekian lama. Bunda-nya Oki menyambutku dengan senang,
bertanya aku kemana saja dan tidak pernah kelihatan. Kubilang, menghabiskan
waktu bersembunyi di rumah. Aku selalu senang memandangi Bunda, yang sudah
kuanggap seperti Mama, karena sedari kecil menghabiskan waktu bersama-sama.
Oki sedang sibuk mengelap motor
di halaman belakang rumahnya ketika aku datang.
“Oi,” seruku dari pintu belakang.
“Hei,” dia menengadah. “Baru
dateng?”
“Iya...”
“Besok ke nikahannya Mas Sandy,
ya? Bareng Raga?” tanya Oki begitu aku menghampiri motornya.
“Kok tahu?”
“Aku kan juga diundang,” kata
Oki. “Anak futsal juga diundang. Mas Sandy pernah ngelatih kami, inget?”
Ah. Aku baru ingat juga hal itu.
Benar-benar baru ingat. Raga tidak mengatakan apa-apa, karena dia tidak tahu
kalau Mas Sandy juga pernah melatih futsal ketika aku dan Oki masih semester 1.
“Satria... diundang juga dong?”
“Tentu saja, dia kan kapten.”
“Dateng bareng Fazzie, berarti?”
kataku muram.
“Enggak katanya,” Oki bangkit
dari jongkoknya setelah mengelap mesin motor. “Fazzie balik ke Depok hari ini.”
“Syukurlah,” ujarku tanpa
berpikir panjang.
Oki memandangku. “Belum rela,
ya?”
“Sampai kapanpun,” sahutku
tersenyum. “Kamu dateng bareng Hannah?”
Mendengar nama itu, entah kenapa
kulihat wajah Oki tersenyum pahit. “Ngng... nggak tahu. Kenapa tanya itu?”
“Yaah,” aku tidak meneruskan kalimatku,
karena bingung juga mau menjawab apa.
“Coba kamu masih single, aku
ngajak kamu kesana,” kata Oki, pura-pura menyesal.
“Oh, jadi nggak seneng nih aku
jadian sama Raga?” kataku, pura-pura kesal.
“Habis kamu jadi sibuk sama Raga
terus, aku terpinggirkan,” sahut Oki.
Aku tertawa. “Aduh, maaf ya...”
“Udah lama lho kita nggak
cerita-cerita. Kamu itu...”
“Iya, iya, aku minta maaf. Udah
deh nggak usah sok sedih,” kupukul bahunya.
Oki selesai mengelap motor dan
setelah ia mencuci tangan, kami duduk di undakan teras belakang rumahnya. Hening
selama beberapa menit.
“Ki,” tegurku. “Fazzie sama
Satria... baik-baik aja kah?”
“Hah? Kenapa tanya begitu.”
“Nanya aja. Habis si Satria jadi
muram banget akhir-akhir ini.”
Oki bereaksi seperti sudah
menduga pembicaraan ini sebelumnya. “Iya sih. Dia juga jadi jarang ngumpul sama
anak-anak yang lain. Kamu tahu, hari Rabu besok anak-anak pada mau ke Bandung,
ke TransStudio.”
“Hah? OH IYA? KOK ENAK?” teriakku
tanpa bisa ditahan.
“Iya... tapi Satria nggak ikut,”
gumam Oki. “Aku juga nggak ikut sih. Nggak ada duit,” dia tertawa.
“KAN SENIN UJIAN,” kataku, masih
dengan volume suara yang sama.
“Katanya sih refreshing.”
“Kenapa Satria nggak ikut?”
“Nggak boleh sama Fazzie
katanya.”
“ASTAGA,” ujarku, tak percaya
mendengar alasan konyol itu. “NGGAK BOLEH SAMA FAZZIE? KENAPA?”
“Nggak tau... mungkin Fazzie
mikir kami-kami ini pengaruh buruk buat Satria,” Oki tergelak.
“DIA KAN BUKAN IBUNYA.”
“Entahlah, tapi sejak sama
Fazzie, Satria kayak dikekang. Kalau di depan Fazzie, Satria harus penuh
perhatian ke Fazzie. Tapi kalau nggak ada Fazzie, Satria bakal ketawa-ketawa
lagi, seneng-seneng lagi, bareng anak-anak.”
Dan ingatanku melesat ke Satria
dan Wahyu yang tampak tertawa-tawa bahagia menuju kantin, dan Satria yang
tampak muram di belakang Fazzie yang jengkel.
“Aduh, apa banget deh si Fazzie
itu,” komentarku sinis.
“Mereka juga sering banget
berantem. Fazzie-nya sih, yang suka marah-marah. Satria-nya... bingung mau
ngapain. Kasihan,” Oki berdecak. “Kamu pernah berantem nggak sama Raga,
ngomong-ngomong?” katanya tiba-tiba.
Aku yang ditanyai mendadak
seperti itu langsung tersipu malu. “Eh... enggak...”
“Adem ayem, ye,” komentar Oki.
“Dia terlalu baik. Dia terlalu
romantis. Dia agak mirip... Yudha.”
“Yudha?” kata Oki, dan aku
mendengar nada waspada dalam suaranya.
Aku mengangguk. “Kamu tahu, pada
awalnya... aku heran banget. Dia terlalu mirip Yudha. Romantis-romantisnya. Perlakuannya.
Semuanya.”
“Terus... kamu mau bilang bahwa
Raga itu reinkarnasi Yudha?”
Aku menggeleng pelan. “Nggak
juga... aku cuma... heran. Dan takut.”
“Takut kalau-kalau Raga bernasib
sama seperti Yudha?”
“Aku nggak mau memikirkannya.”
“Gini, ya, May. Raga dan Yudha
adalah orang yang berbeda. Raga yang ada di hadapanmu sekarang – yah, secara
harfiah, ya, bukan secara teknis – adalah Raga dengan level keromantisan yang
sama dengan Yudha, bukan Raga yang dimasukin Yudha.”
“Iya, aku ngerti,” gumamku pelan.
“Aku ngerti.”
“Jadi ini ya alasanmu ngegantung
anak itu sampe berapa hari?” kata Oki. “Karena kamu takut? Takut kejadian yang
sama terulang lagi? Cuma gara-gara Raga terlalu mirip sama Yudha?”
“Kupikir itu bukan alasan yang
utama, tapi, iya, itu memang jadi salah satu pemikiranku.”
“Alasan yang utama adalah?” tanya
Oki, tetapi dia buru-buru melanjutkan. “Oh, tunggu, tunggu. Jangan bicara,”
katanya, membuat mulutku yang terbuka
tertutup lagi. “Satria. Ya kan?”
Aku mendadak lemas. “Iya, lha
gimana...” kataku lirih. “Waktu itu masih suka Satria.”
“Sekarang?”
Wajahku menghangat. “Sekarang...”
tanpa sadar mataku menangkap sesuatu yang berkilauan di jari manis kananku.
Oki pastilah melihat pandanganku
ke cincin itu, karena dia berkata, “Sudah mencoba, ya? Dan berhasil?”
“Well,” gumamku, “umm...” dengungku, “...yeah,” jawabku akhirnya. “Setidaknya dia jelas akan perasaannya padaku, tidak seperti Satria yang
membingungkan tiga cewek itu.”
“Siapa?”
“Marisa, Fazzie, dan, umm, aku.”
Oki terbahak. “Dia memang baik
pada semua orang – memperlakukan cewek sebagai cewek, dan membuatnya
disalahpahamkan.”
“Eh, ada lagu bagus nih,” aku
memasangkan headphone ke kepala Oki.
“Lagunya f(x). Judulnya Beautiful
Stranger.”
Seperti biasanya, Oki terdiam
sembari mendengarkan lagu dari headphone-ku.
“Keren nih,” katanya begitu
lagunya selesai.
Aku nyengir melihatnya.
Kami melewatkan beberapa jam
mengobrol, atau terdiam hening, sambil menghabiskan jus apel yang dibuatkan
Bunda. Sudah lama kami tidak bicara seperti ini.
Jam-jam khusus sahabat. Betapa
aku merindukannya.
*
* *
Aku meminta tolong Bunda untuk
membantuku berdandan sebelum pergi ke acara pernikahan Mas Sandy. Pukul sebelas
siang hari Minggu aku datang ke rumah Oki dengan sepeda dan headphone, yang langsung diceramahi
Bunda.
“Kamu naik sepeda? Nanti kalau
habis dandan naik sepeda, luntur dong kena keringat...” kata Bunda. “Kenapa
tadi nggak minta jemput Oki aja, sih...”
“Hehe. Nggak kepikiran, Bun...” ujarku
jujur.
“Kamu pulang dianterin Oki aja
naik mobil. Panas gini. Nanti Oki bawa sepeda kamu ke rumah...”
“Ogah, Bun! Sepeda pink
begitu...” teriak Oki dari depan tivi.
“Halah, rumahnya Maya deket ini
kok,” kata Bunda kesal. “Ayo, sini,” Bunda mengajakku duduk di ruang keluarga
setelah mengeluarkan alat-alat make-up-nya.
“Kebayanya warna apa?” tanya
Bunda.
“Ungu muda,” jawabku.
Bunda memoles mataku pelan-pelan
sekali. Sesaat mengingatkan aku pada sentuhan Mama waktu mendandaniku untuk
perpisahan SMA dulu.
“Kembaran sama Raga, nggak?”
tanya Bunda, membuatku tersipu malu. Tentangku dan Raga, Bunda pasti sudah
mengetahuinya dari Oki.
“Ng... nggak tahu, Bun,” gumamku,
mataku tertutup sementara Bunda mengoleskan eye
shadow. “Kan nggak janjian...”
“Bilang aja ke Raga, suruh pake
batik ungu, gitu,” kata Bunda, tertawa. “Nah, tuh dia sms.”
Aku membuka mataku dan menoleh ke
handphone yang kuletakkan di meja
dekat alat make-up Bunda. Sebuah pesan masuk dari kontakku yang bernama Raga.
From:Raga
11:17
Kak,
aku jemput jam setengah satu ya. Dandannya jangan cantik-cantik, nanti aku berantem
sama cowok-cowok yang godain kakak! :P
Aku tertawa membaca smsnya. Bunda
bertanya padaku isi sms Raga. Beliau bilang akan menuruti Raga, dan
mendandaniku apa adanya. Aku cuma bisa tersenyum malu.
“Tanyain warna batiknya apa,”
saran Bunda, ketika aku bingung bagaimana membalas pesan Raga.
To:Raga
11:20
Oke.
Hahaha makasih ya :p
Eh,
ga, kamu pake baju warna apa?
Setelah kubaca ulang sms yang
baru saja kukirim, aku merasa pertanyaanku konyol sekali.
From:Raga
11:25
Batik,
Kak. Warna ungu tua gitu. Kenapa? Kakak pake kebaya apa gaun?
Mataku melotot sampai ingin
keluar dari kelopaknya.
“Kenapa, May?” tanya Bunda ingin
tahu, sambil membubuhkan blush on tipis
di pipiku.
“Masa kata Raga dia pake batik
ungu tua, Bun.”
“Wah, berarti kalian jodoh,”
Bunda tersenyum-senyum. “Seneng, ya? Tuh, pipimu merah.”
“Kan gara-gara yang merah-merah
di kuas itu, Bun,” sela Oki yang duduk bersila di karpet, memandangi televisi
dan sekali-sekali mengawasiku dan Bunda.
“Hush. Kamu ini lho nggak peka,”
kata Bunda pada anaknya.
Aku mengetik balasan untuk Raga, kemudian
membiarkan Bunda mengoleskan eyeliner
(yang membuat mataku berair selama beberapa detik, dan aku harus
mengeringkannya dengan tisu) di mataku.
*
* *
Hotel Luxury adalah hotel bintang
empat yang terletak di pusat kota, cukup jauh dari kawasan tempat tinggalku,
tetapi dekat dengan rumah keluarga Mas Sandy. Ayah dan ibu Mas Sandy adalah dua
orang dokter gigi yang terkenal. Ayahnya spesialis bedah mulut, sementara
ibunya spesialis orthodonsia. Kliniknya sendiri ada dua di pusat kota, dan satu
di kawasan kampus. Sementara itu mereka juga membuka praktek di rumahnya
sendiri. Ayahnya ini kebetulan mantan dekan fakultasku.
Raga bercerita dengan detail
tentang keluarga Mas Sandy.
“Wah, pasti banyak dosen yang
dateng juga,” ujarku menyimpulkan. “Banyak dokter gigi...”
“Anak-anak 2007 juga, mestinya.
Temen seangkatannya sendiri...” kata Raga. “Katanya cewek yang jadi istrinya
itu ketemu pas KKN. Namanya Mbak Lusi.”
“Oh, temen KKN,” kataku, tidak
heran. Sudah berjuta kali kudengarkan cerita-cerita kakak angkatan tentang
masa-masa indah KKN selama 2 bulan itu – yang memperbesar kemungkinan cinta
lokasi akibat dua bulan bersama-sama. Bangun tidur melihat orang yang sama, mau
tidur melihat orang yang sama.
“Kakak nanti kalo KKN jangan
liat-liat orang lain ya,” gumam Raga kemudian, dengan nada mengancam yang lucu.
Kupandangi ia. Dia terlihat manis
sekali ketika mengatakannya.
Kami sampai di Hotel Luxury sekitar
dua puluh menit kemudian. Halaman depannya penuh dengan papan-papan rangkaian
bunga yang menyatakan selamat. Aku dan Raga langsung menuju ball room, yang ramai dengan keluarga
dan teman-teman dekat dari kedua mempelai, yang terlihat dari bagaimana cara
mereka menyapa satu sama lain dengan sangat akrab. Samar-samar kulihat beberapa
mantan asisten praktikumku di semester lalu. Mereka terlihat cantik dan gagah
dengan kebaya dan jas.
“Mas Sandy...” sapa Raga kelewat
akrab ketika kami menyalami pengantin baru itu.
Mas Sandy terlihat tampan dengan pakaian
adat Jawa, dan istrinya juga terlihat cantik dengan kebaya panjang dan jilbab
putih.
“Pacarmu, Ga?” tanya Mas Sandy
dengan logat Jawa yang kental – dia memandangku sekilas.
“Oh, kebetulan iya, Mas,” Raga
tertawa. Aku menyalami Mas Sandy, mengucapkan selamat.
“Ayu ee,” gurau Mas Sandy. Kemudian
aku melihat istrinya membisikkan sesuatu pada Mas Sandy, sambil menunjukku dan
Raga berbarengan.
“Janjian pake baju sama, ya?”
kata Mas Sandy tertawa.
“Ah,” kataku malu. “Enggak Mbak,
Mas, ini kebetulan,” ujarku gelagapan.
Aku memberi selamat pada Mbak
Lusi yang cantik, kemudian menuruni pelaminan dan bergerak menuju tempat
makanan.
“Mau makan apa?” tanya Raga
dengan manis, mengambilkanku piring yang masih kosong.
Aku masih mengamati makanan yang
tersedia, bingung memilih mencicipi zupa
soup duluan atau steak daging
lada hitam yang jarang sekali kutemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Raga bertemu dengan
teman-temannya dari tim basket – rata-rata datang sendirian. Mereka menyambutku
dengan ramah, tidak norak seperti biasanya (menyoraki dan berteriak-teriak
menggoda) mungkin karena sadar ini tempat umum dan bukan di kampus. Mereka
bilang iri karena Raga datang denganku. Raga bergurau dengan mengatakan bahwa
mereka semua LDR. Oki (tanpa-Hannah) dan anak-anak futsal yang kukenal lainnya
bergabung dengan kami. Beberapa mengenalkan pacarnya yang berasal dari fakultas
lain. Raga terperanjat ketika mengetahui bahwa anak-anak futsal juga diundang,
tetapi aku memandangnya menenangkan.
Tepat pada saat itu aku melihat pemandangan
yang kurang mengenakkan ketika aku sedang mencicipi chocolate fondue, Satria datang dengan Fazzie menggelayut di
lengannya. Untunglah mereka tidak mengenakan baju dengan warna yang sama –
pemikiran bahwa mereka tidak punya kebaya dan batik atau jas yang cocok
membuatku sedikit senang.
Mungkin aku agak sedikit jahat.
“Kok ada Fazzie...” bisikku
pelan. Kupikir tak ada seorangpun yang bisa mendengarnya. Ternyata Oki merespon
dengan: “Serius, Fazzie bilang sendiri ke Satria waktu dia lagi bareng-bareng
kami, kalo dia mau pulang Sabtu sore,” membisikiku tepat di telinga.
“Lha itu dia dateng,” kataku
gusar.
“Heh, kamu bareng Raga,” bisik
Oki lagi, dan seketika aku melirik Raga yang sedang tertawa-tawa bersama
teman-temannya.
Aku tidak memerhatikan pasangan
Satria-Fazzie lagi ketika itu, dan memfokuskan kegiatanku mencicipi setiap
makanan yang ada disana. Raga mengambil steak
daging lada hitam, maka aku mencicipi beberapa potong dari piringnya. Aku
sendiri sangat tertarik pada sate ayam yang disajikan. Tentu saja aku makan
dengan porsi kecil-kecil. Zupa soup-nya
belum aku cicipi.
Raga mengambilkan aku zupa soup dan kami menyantapnya di meja
bundar yang di sekitarnya duduk beberapa anak futsal dan basket. Oki duduk di
sebelahku, tampak brutal memakan steak.
“Oi! Satria!” seru Brian, yang
duduk di kursi di seberangku. Dia memanggil Satria yang baru saja turun dari
pelaminan setelah menyalami Mas Sandy dan Mbak Lusi.
Aku mendesah.
“Kenapa, Kak?” tanya Raga. “Kakak
oke?” tanyanya lagi, begitu melihat Satria dan Fazzie bergandengan tangan menghampiri
meja bundar kami. “Aduh, maaf ya Kak, aku nggak tahu... kirain...”
“Nggak apa,” ujarku tersenyum. Bukan
salah Raga.
“Kirain nggak bareng Fazzie,”
sapa Brian begitu Satria sampai.
“Ketinggalan pesawat, dia,” kata
Satria datar. Fazzie tersenyum seolah menertawakan kesalahannya sendiri.
“Jadinya nanti sore baru pulang. Naik kereta jadinya.”
“Kereta jam berapa?”
“Jam setengah tiga.”
“Bentar lagi dong.”
“Oh? Maya!” aku mendengar Fazzie
melengking. “Dateng bareng Raga, ya?”
Aku dan Raga yang sedang dalam
proses menghabiskan zupa soup kami, menoleh
mendengar suara itu. Kupaksakan tersenyum pada Fazzie. Raga menyenggolku,
kemudian berbisik, “nggak usah maksain senyum, noona, aneh jadinya.” Aku mendengus tersenyum dan Raga ikut
tertawa. Orang-orang di meja kami salah paham dan malah menyindir kami untuk
hal sepele seperti itu.
Beberapa teman Raga pulang
setelah beberapa menit mengobrol dan berfoto-foto di meja bundar (untunglah
meja itu sudah penuh ketika Satria datang, jadi Satria dan Fazzie duduk di meja
lain) dan pamit padaku serta Raga. Oki di sebelahku masih sibuk dengan berbagai
macam minuman yang terus-menerus diambilnya dari salah satu counter, dia mencicipinya satu-satu.
“Belum kenyang, Ki?” sindirku.
“Cobain deh.” Dia menyodorkan
gelas yang baru saja diminum olehnya.
“Eww, enggak ah.”
Aku memperhatikan tamu-tamu yang
datang. Benar dugaanku, ada banyak dosen-dosen KG yang muncul dengan
keluarganya. Dosen pembimbing akademikku juga datang dengan anak dan suaminya.
“Mau pulang?” kata Raga
menawarkan.
“Boleh,” sahutku, malas melihat
Satria dan Fazzie di meja sebelah melakukan suap-suapan.
“Pamit dulu sama Mas Sandy, yuk.
Kak Oki, duluan...” pamit Raga, berdiri dan menyalami semua orang di meja
bundar itu.
“Oh, udah mau cabut?” kata Oki. “Ati-ati.”
Raga mengangguk, kemudian aku
berpamitan pada Brian, Wahyu, Robi, Ary, dan yang lain-lain yang datang.
“Kak Satria, aku duluan ya,” ujar
Raga sopan, mengagetkan Satria yang sedang mendapat suapan sate ayam dari Fazzie.
“Mari...”
Aku mengangguk ramah pada Satria
dan Fazzie, kemudian menyusul Raga yang berjalan duluan, dan menggamit
lengannya.
Dia tampak kaget. “Kenapa?”
tanyanya, tersenyum.
“Nggak apa-apa,” kataku, mempererat
kaitan lenganku di lengan Raga.
*
* *
Di tempat parkir aku memasuki
mobil, melepas sepatu hak tinggiku, dan bertelanjang kaki. Rasanya kakiku sudah
lecet, padahal aku baru mengenakannya selama sekitar tiga puluh menit.
“Lecet, Kak?” tanya Raga yang
baru masuk mobil, dan bingung melihat kakiku yang polos.
“Enggak, cuma pegel,” ujarku.
“Liat foto tadi, dong.”
Aku meminta handphone milik Raga untuk melihat foto yang diambil ketika
pernikahan tadi. Aku dan Raga berpose di samping Mbak Lusi dan Mas Sandy, aku
dan Raga berfoto bersama anak-anak basket, aku dan Raga berfoto bersama
anak-anak futsal (ada Satria dan Fazzie-nya), dan tentu saja, aku dan Raga yang
berfoto berdampingan, dipaksa Oki.
“Ini lucu banget. Upload ya? Mau aku jadiin profpict,” kataku, menunjukkan fotoku dan
Raga yang duduk bersebelahan, ketika Raga membisikiku sesuatu dan kami tertawa
lepas. Oki yang mengambilnya.
“Oke, deh,” ujar Raga yang masih
sibuk dengan seatbelt-nya.
“Lho, itu Fazzie sama Satria,”
kataku, ketika mataku tak sengaja melihat ke depan, dan kulihat Fazzie dan
Satria melewati mobil Raga, tidak sadar kalau kami ada di dalamnya. Mereka
tidak kelihatan begitu baik. “Berantem lagi?” gumamku penasaran.
“Lagi?” tanya Raga.
“Iya, dulu juga kayak gini, si
Satria di belakang Fazzie, Fazzie-nya mukanya kesel gitu, tuh, kan, dia
marah-marah ke Satria,” kataku memberi berita. “Tapi kayaknya tadi adem-ayem
aja.”
“Kak Fazzie marah mungkin karena
telat siap-siap mau pulang,” tebak Raga.
“Iya kali, ya,” kataku tak
peduli.
“Kalau aku boleh jujur, kasihan
Kak Satria,” ujar Raga, menyalakan mesin mobilnya.
Kupandangi Satria dan Fazzie yang
menaiki motor Satria, wajah Fazzie terlihat kesal sekali, sementara Satria
hanya bisa menghela napas panjang.
*
* *