Khayalan-Khayalan Sebelum Tidur
Bahkan novel-novelku
tidak bisa mengalahkan bayangan-bayangan, skenario, mimpi-mimpi, cerita-cerita,
yang kususun secara imajinatif di benakku, sebelum tidur. Tentang perkemahan.
Tentang hutan. Tentang pondok kecil di hutan. Tentang terjebak di dalam sana,
dengan kaki terkilir. Tentang nyaris tenggelam di sungai arus deras. Tentang
mendaki gunung. Tentang bermain-main bola di pantai.
Pemuda
berkemeja hitam dengan lengan sebatas siku, dan jam tangan di tangan kiri.
Tetapi
terutama tentang kamu.
Pemuda berkemeja
rapi dengan lengan sebatas siku, jam hitam di tangan kiri, jins hitam, dan
sneakers. Santai. Dengan tas punggung longgar yang kelihatannya amat ringan,
tidak berisi. Postur tubuh yang agak kecil, tetapi cukup tinggi.
Dan dengan
senyum yang jarang muncul, tetapi kelangkaannya memesona. Dengan mata kecil
yang indah. Dengan bibir tipis yang tampak-lembut. Dengan suara dalam,
menenangkan, selirih angin. Hanya aku yang bisa mendengarnya.
Dan dengan
genggaman tangan yang kuat, tapi nyaman di saat yang bersamaan. Hangat. Membuat
siapapun yang digenggam merasa dilindungi.
Membuatku, dalam khayalan-khayalan sebelum
tidurku, merasa dilindungi.
Membuatku
tidak merasa sendirian sebelum tidur.
Membuatku
merasa hangat.
Terutama
ketika kamu mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepalaku pelan.
“Jangan
nangis lagi,” katamu, padahal aku sama sekali tidak meneteskan air mata kala
itu. “Aku bingung harus apa...”
Aku
tersenyum, bahagia, memandang matamu, lalu menuruni hidungmu, dan memusatkan
perhatian pada bibirmu. Bibir yang kedua sudutnya tertarik ke atas, meski
sedikit, tetapi bermakna karena kamu yang melakukannya.
Karena di
dunia nyata jarang sekali kutemukan kamu tersenyum begitu padaku. Bagaimanapun
aku berharap. Meminta. Kamu tidak akan pernah tersenyum padaku – tidak pernah
ada masanya dimana aku dan kamu bicara empat mata, bergenggaman tangan, saling
menatap, dan tersenyum kecil.
Kamu cuma
nyata di khayalan sebelum tidurku.
Dan kemudian
masuk ke dalam mimpiku, dengan cara-cara yang membuatku malu ketika terbangun dari
tidur esok paginya. Berharap mimpi ini tidak pernah selesai, dan sesekali,
berharap aku tidak pernah terbangun untuk meneruskan mimpi ini.
Atau, kalau
mau ditulis dengan kalimat yang lebih rasional: aku berharap bisa tidur lebih panjang dan menyelesaikan mimpi ini
sampai tuntas!
Karena
sekali lagi, kamu cuma nyata di khayalan sebelum tidurku.