14 Feb 2014

Waktu sudah berjalan lima menit sejak Maya meninggalkan kelas terakhirnya siang itu. Entah sudah berapa kali gadis berkuncir ekor kuda itu menguap selama 1 sks penuh kelas Bedah Mulut 4-nya. Padahal hanya 1 sks, dan Naylee yang duduk di sebelahnya sudah menawarkan permen kopi (secara diam-diam tanpa terlihat dan ketahuan dosen). Tetapi kantuk Maya tetap tidak bisa ditahan.
Ini semua gara-gara Juna, pikir Maya kesal sekali, lalu berjalan agak lebih cepat menuju tempat parkir sepeda.
Hanya tinggal dua sepeda yang ada di tempat parkir sepeda itu. Satu milik Maya, yang berwarna putih dengan sadel coklat. Satu lagi mungkin milik adik angkatan Maya. Atau siapalah. Maya tidak peduli. Yang dia pedulikan hanyalah kembali ke kamarnya dengan selamat, lalu menghempaskan diri di kasur, dan tidur sampai sore.
Atau tidak.

Karena Maya sudah melihat Juna berlari ke arahnya dengan wajah agak terlalu girang.
“MAY!”
Maya mendesah terang-terangan. “Apalagi, sih? Belum puas ngajak aku chatting sampe tengah malem kemaren?”
Dengan senyum sumringah Juna menjawab, “Toh kamunya nggak protes, ya kan? Makan-makan, yuk? Gue jemput sejam lagi, biar kamu bisa naruh sepeda dulu di kos-kosan, siap-siap, terus kita makan di Sasha’s Diner. Gue denger nasi bakarnya enak.”
“Aku udah pernah nyoba,” jawab Maya ketus, lalu mencoba mengeluarkan sepedanya dari rak sepeda.
“Nasi bakar ayam atau nasi bakar daging sapi?” tanya Juna lagi, sambil membantu Maya mengeluarkan sepedanya.
“Aku bisa sendiri, terima kasih!” Maya menepis tangan Juna yang sudah menempel di stang sepedanya. “Dan aku udah niat makan sate ayam nanti malem. Denger gak? NAN-TI-MA-LEM. Bukan sekarang. Sekarang kamu minggir.”
“Jawab dulu dong ayam atau sapi?”
“TAUK!” Maya mengayuh sepedanya menjauh dari Juna.
“Sejam lagi ya, May!”
“BODO!”
Bahkan setelah menjauh tujuh meter, Maya tidak senang mendengar tawa Juna yang bahagia.
* * *
Semua orang di fakultas Maya tahu bahwa Juna mantan ketua BEM dua tahun lalu. Semua orang di fakultas Maya tahu sepeda motor yang selalu digunakan Juna untuk pergi ke kampus, kemana-mana. Semua orang di fakultas Maya, yang kebanyakan gadis, mengenal Juna sebagai kiper tim futsal fakultas.
Tetapi tidak semua orang di fakultas Maya kenal Maya. Tidak semua orang tahu bahwa Maya adalah mahasiswi yang sedang mengambil skripsi di bagian Konservasi Gigi. Tidak semua orang tahu bahwa Maya tinggal sendiri di sebuah rumah.
Itu dulu.
Sekarang semua orang tahu Maya. Karena semua orang tahu bahwa Juna mengejar-ngejar Maya selama tiga semester terakhir. Membuatnya jadi pusat perhatian setiap kali Juna terang-terangan menggodanya atau memuji gaya rambutnya. Membuatnya ikut menjadi obrolan kakak-kakak angkatan yang dulu menjabat di BEM bersama Juna.
Membuatnya muak.
Gara-gara Juna, kehidupannya selama satu setengah tahun ini berubah drastis.
Maya benci menjadi bahan gunjingan seperti ini. Oleh karena itu dia berkali-kali tidak menggubris Juna, setiap kali Juna mengajaknya nonton, main, makan, atau hanya minta tolong menemaninya belanja keperluan Lebaran. Maya selalu menolak. Dan herannya, Juna tak pernah berhenti.
Namun setelah satu setengah tahun melewati ‘serangan’ Juna, Maya melunak juga. Dia mulai menanggapi ketika Juna mengiriminya satu-dua sms tentang mata kuliah atau tugas (secara kebetulan Maya dan Juna selalu satu kelompok karena nomor urutnya berdekatan, dan Maya menyesalkan hal ini), tetapi tidak akan membalasnya ketika Juna sudah kelewat batas (“Kamu udah makan?”). Beberapa kali Maya menanggapi mention-mention dari Juna yang juga melibatkan teman-teman lain, tetapi tidak menghiraukan mention yang ditujukan untuk dirinya sendiri (“@RJUNA: @imayandaa besok ke tempat futsalnya bareng aku aja, oke”). Chatting Y!M dan Line juga mulai dia tanggapi.
Tadi malam, kira-kira pukul 10 malam, Juna mengajaknya ngobrol panjang lebar lewat Y!M tentang metode penelitan untuk skripsinya sampai pukul 1 lewat. Bukan keinginan Maya untuk menanggapi Juna sampai selarut itu, tetapi karena Maya sendiri sedang menonton drama Jepang yang baru dikopinya dari Naylee. Dramanya terlalu seru untuk tidak ditonton sampai habis (hanya 10 episode, satu episode 1,5 jam), sehingga Maya menghabiskan waktu semalaman menontonnya, sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan Juna. Salahnya sendiri juga, secara tidak sengaja agak terlalu senang karena Juna menemaninya sampai larut malam.
Dan jauh, jauh di lubuk hatinya, Maya kadang berpikir bagaimana rasanya jika Juna tidak pernah hadir di dalam kehidupannya yang monoton.
Maya menghela napas. Sebenarnya aku tidak benci-benci amat padanya, pikir Maya sembari melepas kaus kakinya. Coba saja kalau dia tidak terang-terangan begitu...
“Kalo gini caranya kan semua orang pada tahu! Nah, dia ngarep apa dong kalo gitu? Aku langsung nerima? Gengsi lah... Dasar cowok... Nggak ngerti perasaan orang...” Maya mencak-mencak. “Lagian, jadi cowok kok playboy amat. Dimana-mana ada ceweknya...”
Ah, ya. Kita lupa satu hal itu.
Semua orang kenal Juna karena Juna selalu terlihat bersama cewek yang berbeda setiap sebulan sekali.
* * *
Dua jam kemudian tanpa Maya sadari, dia tidak terlelap di kasur, tetapi berada di depan laptop dan mengetik revisi skripsinya. Dosennya mendadak memintanya bertemu besok siang karena mulai lusa beliau harus keluar negeri. Dan karena Maya tidak ingin skripsinya tertunda hanya karena masalah ini, Maya segera mengerjakan revisi yang baru didiskusikannya bersama dosennya tadi pagi.
Secara otomatis, Maya membuka website twitter, lalu masuk dengan akunnya. Ditemukannya satu pemberitahuan di tab Connect-nya.

@RJUNA: @imayandaa line aktif ga?

Maya senyum-senyum. Ketika sadar, dia terheran-heran sendiri. Hei, dia bahkan sudah bertekad menjauhi Juna si cowok populer sejak awal masuk kuliah. Kenapa sekarang dinding pertahanannya jebol? Sekarang ketika dia sudah hampir lulus kuliah dan saatnya memikirkan jodoh?
Oh, tidak. Menggalaukan soal jodoh-pacar-pasangan-kekasih bukanlah tipe Maya. Maya tipe orang yang sulit mengutarakan perasaannya. Apalagi di media sosial. Maya memilih buku harian. Dari dulu. Dari SD.
Dan buku hariannya tidak penuh dengan, “oh hari ini aku ketemu dia lagi” atau “kenapa sih dia nggak pernah ngertiin aku?” atau “Tuhan, kenapa aku jomblo, Tuhan”.
Mendadak ponsel Maya bergetar cukup lama. Sebuah panggilan masuk.
“Halo,” kata Maya ogah-ogahan.
“Halo, May?” terdengar suara Juna yang bingung.
“Hm.”
“May, gue minta maaf banget ini, gue minta maaf. Gue nggak bisa menuhin janji gue tadi siang, gue nggak bisa ngajak kamu makan sore ini...”
“Oh, ya.”
“Maaf banget ya May, padahal gue udah janji, gue yang ngajak. Gue harus buru-buru ke Semarang hari ini juga.”
“Kenapa?” Maya masih mempertahankan kesinisan, padahal hatinya berdegup juga.
“Ayahnya ibu masuk rumah sakit, May. Katanya tiba-tiba pingsan. Kondisinya kritis.”
“Hah...”
“Ini gue tadi begitu sampe kosan ditelepon, trus langsung ngurus tiket ke stasiun. Sekarang gue udah di kereta,” kata Juna. “Maaf banget ya, May.”
Maya tidak bisa bicara apa-apa. “...nggak apa-apa, Juna. Semoga ayahnya ibu kamu baik-baik saja.”
“Makasih ya, May...”
Maya tidak tahu apa yang merasukinya, tetapi dia tidak bisa diam saja mendengar suara Juna yang bergetar. Suara Juna yang dikenalnya bukanlah yang bergetar dan bingung seperti itu. Bukan suara yang bernada ketakutan dan penuh penyesalan seperti itu. Suara Juna yang ia tahu adalah suara yang riang. Lembut. Dalam. Dan... menyenangkan.
Di dalam keheningan yang terjadi, Maya samar-samar mendengar suara kereta di belakang Juna.
“Kamu lagi apa?” tanya Juna ramah.
“...ng... Skripsi,” jawab Maya pelan, tidak bisa tidak menjawab.
“Oh. Hehe. Semangat! Kapan nih rencana seminar proposal?”
Maya tahu Juna menyembunyikan ketakutan dan kegelisahannya dibalik suara yang diriang-riangkan itu. “Belum tahu. Ini aja masih bab 1,” gumam Maya, menutup laptopnya dan berguling di kasur. “Kamu... gimana?” rasanya tidak sopan jika menolak bicara dengan Juna dalam keadaan seperti ini.
Juna tertawa. “Baru jalan bab 2.”
“Huuu, pasti bentar lagi seminar...”
“Amin, amin, hehehe...”
Hening lagi.
“Juna?” tanya Maya.
“Ya?”
Maya tidak pernah sadar sebelumnya bahwa suara Juna bisa selembut ini. “Kamu... ke Semarang sama siapa?”
“Sendirian, kenapa?”
“Nggak apa-apa...”
“Kamu jadi makan sate, May?”
“Jadi lah, tapi nanti maleman...”
“Jangan malem-malem ya, hati-hati kalo keluar...”
“Iyalah, aku kan bukan anak kecil.”
“Ya tapi kamu cewek.”
Nah, muncul nih jurus penggoda ala playboy kampus. Maya mendengus.
“May, kayaknya aku ditelepon ibu, nih. Udah dulu ya...” kata Juna sesaat kemudian.
“Oh, oke...” kata Maya, setengah-enggan. “Emm, Jun?”
“Oi?”
“...hati-hati, ya...”
“Oke.”
Call ended.
Maya memandangi layar ponselnya lama. Dia tidak pernah berbicara dengan seorang cowok dengan penuh perasaan seperti ini. Mungkin dinding pertahanan Maya sudah jebol. Mungkin juga sudah runtuh.
Atau mungkin juga Juna sudah berada di balik dinding itu sejak dulu tanpa Maya sadari.
Juna tidak menghubungi Maya satu jam setelahnya, lima jam, delapan jam. Juna tidak muncul di kampus keesokan harinya. Teman-temannya tidak ada yang tahu, begitupun cewek-cewek yang biasa berkeliaran di dekat Juna. Sepertinya Juna tidak memberitahu siapa-siapa kecuali Maya.
Tidak, atau belum, gumam Maya, tidak ingin melayang terlampau tinggi. Dia sebenarnya ingin sekali mengirim pesan singkat kepada Juna dan bertanya bagaimana keadaan kakeknya (atau Juna sendiri). Namun gengsinya terlalu tinggi sehingga ia berkali-kali mengatakan kepada dirinya sendiri agar tidak terlalu terbawa perasaan.
Tetapi toh, menanyakan kabar keluarga teman yang sedang kritis bukanlah hal yang tabu. Tambah lagi, sepertinya hanya Maya yang tahu soal ini...
Untuk pertama kali dalam satu setengah tahun, Maya mengalah pada gengsinya. Ia membuka menu pesan baru, dan mulai mengetik pesan yang sudah dipikirkannya sejak semalam. Begitu ia menekan tombol kirim, ponselnya langsung bergetar. Dia pikir itu pesan pemberitahuan pengiriman.
Ternyata tidak.

Juna
10:30
May, kakek meninggal jam satu tadi. Sedang mempersiapkan pemakaman. Mungkin aku pulang besok pagi.

“Oh,” gumam Maya pelan. Jadi kakeknya meninggal... Haruskah aku memberitahu teman-temannya? Gadis-gadisnya? Semua orang?
Maya bingung.

To: Juna
10:40
Innalillahi... Yang tabah ya, Juna. Semoga almarhum Kakek diterima disisi-Nya...

From: Juna
11:00
Makasih ya, May :) kakek insya Allah meninggal dengan tenang...

Maya tidak bicara apapun selama kuliah hari itu, hanya mengirim pesan singkat kepada Juna seharian, lebih banyak daripada biasanya.
* * *
Juna ternyata datang lebih lama dari perkiraan. Dia kembali keesokan harinya pukul empat sore, kemudian datang ke rumah Maya. Maya yang tidak biasa menerima tamu laki-laki, menolaknya dengan halus dan memilih pergi keluar rumah bersamanya.
“Maaf ya May, gue ngajak keluar... Gue butuh seseorang buat diajak bicara...” ujar Juna, tampak merasa bersalah dan sedih sekali.
Maya tersenyum. “Aku pendengar yang baik.”
Juna memulai ceritanya.
“Aku nggak pernah tahu Kakek sakit jantung, May. Kakek selalu sehat... Tertawa, bercanda, ngajarin aku ngerakit skateboard, ngajarin aku sepedahan, ngajarin aku nanem tomat. Beliau juga selalu olahraga tiap pagi, lari pagi keliling komplek...” cerita Juna.
Maya mendengarkan dengan seksama.
“Aku nggak pernah tahu... Atau Kakek nggak pernah ngasih tahu? Mungkin karena beliau didiagnosa sakit itulah beliau mulai menjaga kesehatannya...”
Juna meneguk es tehnya sebelum meneruskan.
“Kemarin sebelum pergi... Kakek sempet bangun, May. Tiga jam atau sekitar itu lah. Lalu semuanya bercanda, tersenyum, bercerita macam-macam. Kakek tertawa. Kami pikir beliau sudah baikan. Kami pikir beliau sudah boleh pulang. Tetapi... Ternyata itu pertanda. Kakek mengumpulkan kami di sekeliling tempat tidur, lalu memberi pesan-pesan...” ujar Juna. “Beliau bilang gini ke aku... Le, belajar sing rajin, yo. Selama masih bisa belajar, sekolah setinggi-tingginya ya, Le.”
Air mata Maya mengalir tanpa bisa ditahan.
“Pas setelah selesai, Kakek nutup mata, May. Sekeluarga kaget, tapi seolah sudah diberitahu. Sudah nerima. Ikhlas.”
“Juna...”
“Aku tahu, disana Kakek bahagia. Aku tahu.”
“Itu pasti, Juna...”
“Maya?”
“Ya?” Maya yang sedang mengusap mata dengan tisu agak kaget karena dipanggil tiba-tiba.
“Makasih karena selalu ada buat gue.”
“Kamu ini ngomong apa,” kata Maya. “Kamu itu yang selalu ada...”
Maya tertegun sendiri mendengar pilihan kata-katanya yang terdengar tidak tepat, dan sangat ambigu.
Juna tertawa. “Kamu tau, gue langsung mikir kamu sebagai orang pertama yang bisa gue hubungi. Dan, se-nggak-mau apapun, se-ogah-ogahan apapun, kamu selalu nanggepin gue... Itu lebih dari cukup buat gue, May.”
“Tapi kan kamu punya teman-teman, Jun. Yang selalu ada di sekitar kamu. Yang selalu bareng-bareng kamu.”
“Kamu nggak bisa liat dari ekspresi mereka? Wajah-wajah mereka? Mereka semua ngedeketin gue karena gue anak pengusaha. Karena mereka menganggap gue punya kekuasaan. Harta. Wanita.”
“Dan wanita-wanita itu? Dan ganti cewek tiap bulan?”
“Mereka cuma anak-anak teman ayah yang berkali-kali disuruh kenalan sama gue. Gue udah berkali-kali juga bilang sama ibu, gue nggak tertarik, tapi... yah... Ayah punya banyak kenalan. Dan dengan anak kenalan itu kenal sama gue, ini berarti mengembangkan bisnis lebih jauh...”
“Kok gitu?” kata Maya tak percaya.
“Gue nggak pernah pacaran serius, May. Kebanyakan cuma kenal, deket, jalan bareng, nonton, dan kemudian ngejauh sendiri...”
Maya menghela napas. “Mungkin kamu juga terlalu baik, Jun. Kamu selalu bersikap perhatian, dan itu bikin mereka ngira kamu naksir, jadi mereka mulai naksir juga sama kamu, dikirain kamu pedekate sama mereka, trus mereka tahu kalo kamu cuma nganggep mereka temen, jadi mereka menjauh sendiri... Mereka pasti kesel, Jun.”
“Oh iya? Wah... Gue nggak pernah tahu, May... Ternyata itu ya pikiran cewek?” Juna meringis. “Kalo aja gue tau sebelumnya...”
“Kamu itu polos apa bego?”
Juna tertawa, lalu menopang kepalanya dengan lengan. “Gue nggak tau, May. Coba ada jurusan Menebak Pikiran Cewek disini, gue masuk deh...” Juna menguap lalu membenamkan kepalanya ke dua lengannya.
Maya mencibir.
“...biar tau apa yang kamu pikirin.”
Gombal yang biasa, sebenarnya. Tetapi Juna mengatakannya dari balik lengannya yang bertumpu pada meja. Kepalanya terangkat sedikit dan menunjukkan sepasang mata yang memandang Maya.
Maya tergagap sendiri dipandang begitu oleh Juna. Ia meneguk ludah dan menyuap klapertaart keju-nya.
“Kamu tau, kita nggak pernah ngobrol selama ini di kampus, di sms, di telepon, dimanapun...” ujar Juna, “gue selalu menanti-nantikan hal ini terjadi, kamu tahu?”
Klapertaart Maya sudah mau habis, saking cepatnya ia memakannya.
“Mau pesan lagi?” tanya Juna tanpa perasaan, menyodorkan menu.
“Gak, terima kasih,” kata Maya sedikit kesal.
“Mau yang coklat, mungkin?” Juna menawarkan miliknya sendiri. “Kamu kan suka coklat.”
“Kamu stalker, ya?” komentar Maya. “Ngefans nggak gitu juga kali.”
Juna nyengir. “Sekali-sekali. Kamu mungkin melihat aku sekilas di S-Mart...”
Maya tersentak. Ternyata satu-dua kali dia mengira melihat Juna di balik rak susu mungkin bukan imajinasinya saja.
“Yang kamu tidak tahu adalah aku tahu kalau kamu selalu ragu memasukkan coklat ke keranjang belanja. Yang kamu tidak tahu adalah aku tahu kalau kamu menaruh kembali coklat itu ke rak, lalu memilih membeli apel. Yang kamu tidak tahu adalah aku tahu kalau suka sate ayam dan batagor, tetapi nggak suka es teh.”
“JUNA!” Maya nyaris menggebrak meja. “Kelakuanmu itu, sudah setingkat stalker. Aku bisa menuntutmu kalau aku mau.”
“Tapi kamu nggak mau, kan?” tebak Juna tersenyum. “Nggak mau apa nggak bisa...”
Maya diam. “Nggak tau! Nggak tau nggak tau nggak tau!”
“Tenang dulu,” kata Juna tertawa.
Maya tidak mengerti. Di saat seperti ini Juna masih bisa tertawa? Di saat-saat kritis dimana Juna memelas-melas ingin punya teman bicara, dan sudah mulai mengutarakan perasaannya pada Maya? Dan dia masih tertawa dan menyuruh tenang dulu?
Sedikit banyak Maya menyalahkan Juna karena akhir-akhir ini dia lebih sering emosi daripada setahun lalu. Maya bersedekap. “Aku mau tahu satu hal,” kata Maya. “Hal ini udah sering sekali masuk pikiranku sejak dulu - ya sejak kamu mulai ngerusak hidupku yang adem ayem itu,” ujarnya (sepertinya Maya lupa bahwa sejam sebelumnya Juna sedang berduka), “...but why ME?”
“Because I do.”
Jawaban Juan terlalu tegas dan terlalu cepat hingga Maya mengira ia sudah menyiapkannya sejak Maya mulai bicara tadi.
“Do what?”
“I do like you.”
Maya tidak siap untuk ini. Wajahnya memerah seperti apel.
“Dan kamu?” Juna balas bertanya, ketika Maya tidak bicara apa-apa. “Satu setengah tahun. Selama itu kamu menolak aku. Menghindari aku. Kenapa?”
Maya juga sudah siap untuk yang ini. “Karena kamu tampaknya tipe orang yang tidak bisa dipercaya. Aku mendengar rumor-rumor, gadis-gadis itu, maka kupikir kamu hanya main-main saja. Aku tidak bisa menganggapmu serius.”
“Dan kamu sudah mendengar alasanku, benar? Dan apa itu mengubah pemikiranmu?”
Maya menggeleng. “Cewek-cewek berkeliaran di sekitar kamu. Mana bisa aku percaya?”
Juna menghela napas penuh kesabaran. Untuk seorang cowok yang dicap playboy hanya karena tidak sengaja perhatian kepada beberapa cewek, kesabarannya patut diacungi jempol. Atau itu mungkin memang sifat yang sebenarnya. “Kamu tahu, selama satu setengah tahun ini aku tidak pernah didekati cewek-cewek lagi? Satu setengah tahun terakhir ini aku mati-matian menolak keinginan ibu untuk berkenalan dengan cewek. Satu setengah tahun terakhir ini aku bebas dari rumor ‘sebulan sekali ganti cewek’, apa kamu tahu?”
Maya menggeleng pelan.
“Satu setengah tahun terakhir ini kuhabiskan untuk merubah image-ku, biar kamu nggak mikir macem-macem. Eh yang namanya reputasi ya, susah banget diubahnya...” Juna tertawa miris.
“Aku serius tentang kamu, Maya. Benar-benar serius. Itu makanya aku mengejar-ngejarmu selama ini, dan aku tidak pernah capek. Aku percaya bahwa suatu saat, entah kapan... aku tidak pernah berhenti mengharapkanmu.”
* * *
3 years later.
“Klapertaart cokelat dua, air putih satu, lemonade satu.”
“Kamu bisa kena diabetes kalo minum manis-manis terus. Air putihnya dua, Mbak.”
“Lemonade-nya jadi ya, Mbak.”
“JUNA!”
“Minumnya tiga, Mas?”
“Iya.”
Maya merengut kesal.
“Santai saja, May. Kamu boleh minum punyaku nanti. Sedotannya diganti aja.”
“No thanks.”
“Sinis amat.”
“Biarin?”
“Jadi... Aku dapet tawaran kerja di salah satu klinik,” ujar Juna membuka topik baru.
“Oh ya? Alhamdulillah... Kapan interview?” kata Maya senang.
“Lusa.”
“Semoga sukses! Mau aku bantuin nggak?”
“Kok kamu nggak nanya sih klinik apa, dimana, gitu...” sahut Juna agak sedih.
Maya merengut lagi. “Ya udah, aku tanya, klinik apa namanya, dimana tempatnya, Juna sayang?”
Juna tersenyum senang. “Kliniknya namanya Dental Floss. Lucu ya?” kata Juna. Ketika Maya tidak menunjukan ekspresi yang sudah ditunggunya, dia meneruskan. “Tempatnya di Semarang...”
“SEMARANG????”
“Iya, kenapa kaget? Itu deket rumah almarhum Kakek, kata bude disana lagi nyari dokter gigi umum...”
“JAUH BANGET!!!” kata Maya nyaris berteriak. “KAMU TEGA NINGGALIN AKU SENDIRIAN LAGI DISINI, DASAR COWOK...”
“YA SIAPA JUGA YANG MAU NINGGALIN KAMU?” Juna membalas dengan nada tinggi.
“HAH???? NGOMONG YANG JELAS COBA.”
“Ya siapa juga yang mau ninggalin kamu, Maya sayang,” ujar Juna dengan suara selembut mungkin. “Maksudku, kita pergi sama-sama.”
“Sama-sama gimana maksud kamu?” tanya Maya bingung, sementara klapertaart cokelat mereka sudah datang dan ia segera menyerbunya. “Aku kan nggak disana, aku masih jadi asisten dokter disini...”
“Oh, you will, honey. You will. Or, will you?” Juna mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah yang tampak familiar, dari saku jaketnya. Ia membukanya dan mengambil sebuah cincin dengan berlian pink imut.
“Apa ini, Juna?” tanya Maya was-was.
“Yuk, ke Semarang sama-sama. Tapi menikah dulu denganku,” ujar Juna serius, mengajukan cincinnya, dan meminta tangan Maya. “Maukah?”
Maya kaget sekali. “Kamu bercanda? Apa sih...” gumamnya nyaris tak terdengar. “Tentu saja...” ia mengulurkan tangannya dan membiarkan Juna menyematkan cincin di jari manisnya.
“Kegedean, Juna.”
“Ya nanti dikecilin. Namanya juga surprise. Mana bisa aku tanya, ‘sayang, ukuran jari manis kamu berapa?’.”
Maya cemberut, lalu meminum lemonade dari gelas Juna. Tanpa meminta ganti sedotan.
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates