A Short Story About Meira
Meira menggambar garis mengikuti lekuk kelopak mata atas kanannya, berhati-hati supaya tidak menusuk bola mata. Baru beberapa minggu lalu ia belajar menggunakan eyeliner ini. Baru beberapa minggu yang lalu pula Meira membeli eyeshadow dengan warna yang tidak terlalu mencolok - harganya murah saja, untuk latihan di rumah.
Sejak dua minggu lalu, rutinitas paginya bertambah. Jika biasanya ia hanya membutuhkan lima belas menit untuk memakai bedak dan lipgloss, sekarang ia harus bangun lebih awal untuk menyempatkan diri keramas dan mem-blow rambutnya. Belum lagi usaha memoles wajah dengan foundation dan bedak tipis yang butuh waktu lima menit sendiri. Ditambah menggambar garis kelopak dengan eyeliner pensil warna coklat (Meira tidak ingin menggunakan eyeliner hitam mahalnya hanya untuk pergi ke kampus) serta mewarnai kelopak dengan eyeshadow (yang, meski warnanya coklat semua, Meira mengalami kesulitan membuat gradasi warna dengan warna coklat yang berbeda-beda itu). Total waktu yang dibutuhkan Meira tiap pagi kira-kira satu jam, belum termasuk mandi, keramas, dan mengoleskan body lotion.
Tiap pagi Meira melakukan ritual ini dengan rajin tanpa mengeluh. Toh dia juga jadi rajin bangun pagi dan menghirup udara segar sebelum pergi ke kampus. Meira tidak punya penyesalan.
Setelah Meira puas dengan ketebalan garis kelopak di mata kanan dan kirinya, ia mengambil kotak eyeshadow kecil dan mulai memoles warna coklat muda di kelopak matanya. Dua minggu berturut-turut memakai eyeshadow ternyata ada gunanya, paling tidak hari ini mata Meira terlihat lebih menonjol sedikit. Hari pertama Meira memakai eyeshadow, matanya terlihat seperti habis ditonjok seseorang.
Yang pertama kali menyadari make-up Meira adalah, tentu saja, Radel. Sepupu laki-laki Meira yang satu kelas dengannya di kampus itu meledeknya habis-habisan ketika menjemput Meira untuk kuliah pagi. Meira membalas Radel dengan tinju keras di perutnya, dan Radel tidak berulah sampai sore. Ketika ditanya teman-temannya kenapa dia hari ini pendiam sekali, Radel bilang dia sakit perut.
Ponsel Meira bergetar keras di meja, menimbulkan suara. Meira menutup lipstiknya, menaruhnya di meja, baru mengambil ponselnya. Meira mengeluh keras ketika membaca pesan singkat yang masuk.
Prosto kosong!! Mau sarapan nggak?
“Sia-sia dong dandan sejam,” keluh Meira, lalu menghempaskan badannya di kasur. Diliriknya jam weker di buffet sebelah ranjang - masih pukul 06:30. Kalau menurut rencana Meira, lima menit lagi Radel akan menjemputnya untuk pergi ke kampus, dan kuliah Prostodonsia jam tujuh pagi. Sayang sekali, mengingat Radel barusan mengiriminya pesan bahwa kuliah itu ditiadakan, maka rencana Meira gagal total.
Meira berguling-guling di kasurnya, memeluk boneka anjing laut pemberian kakaknya dari Australia, lalu membalas pesan Radel.
Boleh. Dimana?
Setengah senang dan setengah sedih, Meira meletakkan ponselnya di buffet yang berisi benda-benda favoritnya itu. Ada foto dirinya, kakaknya, Radel, dan sepupu-sepupunya yang lain ketika Lebaran tiga tahun lalu, bersama kakek dan nenek Meira. Di sebelah bingkai foto itu, ada pot kecil berisi mawar plastik kecil yang dirangkai Meira sendiri. Di sisi lain buffet, ada miniatur Gedung Opera Sydney dan boneka kanguru kecil oleh-oleh kakak Meira. Beberapa bingkai foto lain juga menghiasi buffet itu. Ada juga lightstick Infinite dan TVXQ, oleh-oleh baru dari tantenya yang tempo hari kembali dari Korea setelah menyelesaikan studi S2-nya.
Sambil memainkan boneka anjing lautnya yang diberi nama Salt, Meira menunggu balasan Radel. Sebenarnya Meira agak menyesal kuliah hari itu ditiadakan - bukan karena dia sudah capek-capek dandan, tapi karena ia setengah berharap hari itu bisa bertemu Raga - adik kelasnya yang akhir-akhir ini jadi incaran. Sebal, Meira memeluk erat Salt.
“Apa aku nggak jodoh ya sama Raga...” gumam Meira konyol.
Meira sudah setengah tertidur ketika mendengar ponselnya bergetar (ya, getarannya menimbulkan suara) keras di atas kayu buffet. Dengan kaget ia bangun dan merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih dari normal, merasa pusing dan meraih ponsel di dekatnya.
Ntar ya jam 9an. Aku tidur lagi.
Meira manyun. Dasar cowok...
Deuh. Udah ga usah repot2. Aku makan sendiri aja.
Meira meloncat dari tempat tidurnya, merapikan bajunya, lalu mengambil tas kecil yang hanya cukup untuk diisi dompet dan ponselnya. Ia menyisir rambutnya sejenak di depan kaca, lalu mematikan lampu dan keluar kamar.
Kosan Meira sunyi senyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan penghuni kosan selain Meira, yang sedang mengunci pintunya pelan-pelan. Tampaknya mbak-mbak penghuni kosan masih tidur. Meira berjalan di lorong menuju ruang depan, mengeluarkan earphone dan menyambungkannya ke ponselnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Meira untuk selalu mendengarkan musik sambil berjalan kaki. Pagi itu Meira memutuskan untuk mendengarkan Orange Caramel, sembari mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak mendengarkan musik sambil menari. Apalagi sambil ikut bernyanyi. Memang sih, suara Meira tidak jelek-jelek amat, tapi tetap saja.
Jalanan di lingkungan kosan Meira yang padat penuh rumah (yang sebagian besar adalah, kosan juga) sudah mulai diwarnai suara motor yang memekakkan telinga, knalpot yang mengeluarkan asap dan bau tidak enak, serta bunyi-bunyi bel sepeda. Meira mendengar ini semua di tengah sayup-sayup suara Orange Caramel di telinganya. Meskipun ia menggunakan earphone, sebisa mungkin ia harus dapat mendengar suara kendaraan di sekelilingnya. Meira menganggap hal ini penting sekali bagi kelangsungan hidupnya.
Pukul 06:50. Sepuluh menit menuju pukul tujuh pagi, dan Meira tidak heran dengan bertambah cepatnya motor-motor yang berseliweran di sebelahnya. Selalu begitu. Selalu buru-buru. Selalu ngebut. Selalu terlambat. Meira menggumam kesal.
Untungnya Radel tidak pernah ngebut karena prinsipnya adalah, tak akan lari gunung dikejar. Meira tidak mengerti apa hubungannya peribahasa ini dengan kehidupan Radel, tetapi ia bersyukur sepupunya itu selalu datang lebih awal sehingga mengurangi resiko berkendara ngebut dan terlambat. Kadang Radel menegur supir bus yang berkendara agak terlalu cepat dan melewati dua garis tengah di jalan. Biasanya supir busnya ngeles “ngejar setoran Mas”, ada yang tertawa saja, ada juga yang tidak terima. Radel cuma berdecak kesal dan tertawa pada Meira, lalu menceritakan transportasi di Jepang dan negara-negara maju lainnya, keras-keras sampai penumpang di bangku belakang bus mendengar.
Tapi Meira tidak bisa menolerir kebiasaan Radel yang satu ini: tidur setiap waktu. Bayangkan saja, ketika besok paginya kuliah pukul tujuh, Radel baru tidur pukul tiga pagi. Untung saja Radel selalu bangun pukul lima. Keseimbangan waktu tidur Radel didapatkan dengan tidur lagi pukul empat sore sampai waktu Maghrib tiba. Dia bangun sebentar, sholat Maghrib, lalu tidur lagi sampai pukul sepuluh.
Menurut Meira, hal seperti itu bukan keseimbangan, tapi penyimpangan. Radel selalu terlihat mengantuk pada jam-jam makan siang, pada sore hari setelah Ashar, dan waktu ditanya kok jam segitu ngantuk, jawabnya sungguh tidak memuaskan, “soalnya ini jam tidurku sih...” Akhirnya Meira maklum (dengan terpaksa) kenapa Radel pagi ini tidur lagi dan mengajak sarapan pukul sembilan. Paling-paling Radel main game sampai tengah malam, setelah itu menonton siaran sepak bola.
Klasik sekali, huh.
Matahari semakin naik dan memanas. Meira mulai berkeringat, tidak nyaman, dan menyesal telah dandan habis-habisan. Ia mengeluarkan jepit rambut besar dan menguncir rambutnya ke belakang.
Meira menyusuri jalanan yang semakin melebar dan berbelok ke salah satu gang di kiri jalan. Di dalam gang itu ada warung bubur ayam yang enak (menurut Meira, tetapi tetap tidak bisa mengalahkan bubur ayam di komplek perumahannya sendiri) dan Meira berharap mendapatkan seporsi besar bubur ayam, hangat dan lembut. Perutnya lapar setelah tadi malam ia malas keluar kosan dan hanya makan setangkup roti gandum isi selai nanas.
Setelah berjalan kira-kira 100 meter dari ujung gang, Meira menemukan warung bubur ayam yang masih sepi. Hanya ada tiga pengunjung yang sedang menikmati bubur ayam yang mengepulkan uap panas. Ketiganya duduk di satu meja. Meira mencopot earphone-nya, memesan satu porsi bubur ayam dan air putih, lalu memilih tempat di dekat dinding. Ia memasukkan earphone dan ponselnya ke dalam tas, dan sebagai gantinya mengeluarkan komik lamanya.
Tiga menit berlalu dan Meira masih larut dalam bacaannya, tampangnya serius memikirkan siapa pelaku pembunuhan direktur perusahaan mainan di komik detektif itu. Sampai kemudian Meira mendongak kaget karena mendengar namanya dipanggil dari arah pintu masuk warung.
“Kak Meira?”
Meira sampai harus menyipitkan matanya untuk mengecek bahwa penglihatannya tidak salah. “Hei, tumben makan disini?” sapanya kepada pemuda yang memanggilnya. “Sendiri aja?”
“Iya Kak, nanti kuliah jam 8. Lagi pengen makan bubur aja,” jawab si pemuda sambil menarik kursi di meja Meira. “Kok rapi banget, Kak?”
Meira meletakkan komiknya di meja karena pesanannya sudah datang. “Iya, udah siap-siap, eh prosto kosong,” jawab Meira tersenyum, merasa tidak percaya dengan keberuntungannya. “Terima kasih, Mas,” ucap Meira pada pemuda lain yang telah membawakan bubur ayam panasnya.
“Lho, kenapa Kak?” tanya pemuda di hadapan Meira, yang sudah duduk nyaman memandang Meira heran.
“Nggak tau, tadi Radel sih yang kasih tau. Kamu kuliah apa jam 8?” Meira mengatasi debar jantungnya dengan mencari-cari topik pembicaraan.
“Prosto juga, kayaknya dosennya sama deh. Berarti kosong juga nih...”
Meira tertawa. “Semoga aja.”
“Ini Q.E.D.?” tanya pemuda itu sambil mengambil komik Meira yang tergeletak di meja. “Eh, makan duluan aja Kak, nggak apa-apa.”
Meira belum menyentuh bubur ayamnya. “Iya, kamu suka?”
“Belum pernah baca, sih.”
“Pasti bacaanmu Bleach, kalo nggak Shingeki no Kyojin, ya kan?”
Pemuda itu tertawa. “Apa Kak Meira peramal?”
Tak lama kemudian pesanan pemuda itu datang. Barulah Meira menyendokkan bubur ayamnya dan memakannya sedikit demi sedikit - buburnya masih panas sekali. Meira mengunyah sambil mengamati pemuda berambut jigrak yang sedang meniup-niup bubur di hadapannya. Meira mengingat-ingat mimpinya semalam, apa ada tanda-tanda keberuntungan seperti pagi ini...
Selagi Meira menyuap bubur, pemuda itu mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia membaca sekilas sesuatu di layar ponselnya, lalu mendengus tertawa.
“Prosto kosong,” katanya, menjawab pertanyaan Meira yang terpancar dari wajahnya.
“Oh,” kata Meira. “Kenapa? Apa dosen-dosen prosto lagi ada acara?”
Pemuda itu mengangkat bahunya tanda tidak tahu. Meira mengangguk-angguk. Pokoknya hari itu mereka cukup tahu, bahwa semua mata kuliah Prostodonsia di semua angkatan ditiadakan.
Dan yang Meira cukup tahu, pagi itu dia amat beruntung.
Pemuda di depan Meira sekarang sedang membuka-buka komik Q.E.D. milik Meira sambil sesekali menyuap bubur ayamnya.
“Seru ya?” tanya Meira menegur teman makannya setelah dua menit berlalu tanpa ia menyuap sedikitpun bubur. “Kalau mau baca dari nomor 1, aku ada di kosan...” kata Meira tanpa berpikir, yang sedetik kemudian langsung menyesalinya.
Pemuda itu tertawa menyenangkan, lalu meletakkan komik Meira sebelum menyuap bubur lagi. “Jadi penasaran. Komiknya lumayan berat, ada matematika-nya,” komentarnya sambil mengunyah. “Aku pinjem dari awal deh.”
Meira buru-buru menelan airnya, lalu bertanya, “Serius?”. Dia sebenarnya sudah mengharapkan reaksi itu muncul. “Ambil di kosanku, ya, berat kalau aku bawa ke kampus. Aku nggak bawa kendaraan soalnya.”
“Habis ini gimana?”
Nah, yang ini sungguh tidak disangka-sangka oleh Meira. “Habis ini? Emangnya kamu nanti siang nggak ada kuliah lagi?”
“Hari ini cuma prosto jam 8. Kak Meira?”
“Ada nanti jam 10,” jawab Meira.
“Gini aja, kita ambil komik di kosan Kakak, nanti aku anterin sekalian ke kampus, gimana?”
Sungguh penawaran yang tak ternilai harganya, dan tidak terjadi dua kali seumur hidup.
“Nggak usahlah, nanti ngerepotin kamu. Kamu kan udah nggak ada kuliah, mending langsung pulang ke kosan aja...” tolak Meira dengan halus.
“Males di kosan, aku baca komik di kampus aja,” kata pemuda itu, lagi-lagi tertawa.
Meira ingin sekali menolak, karena merasa dirinya tidak terlalu berharga untuk mendapatkan kesempatan ini, tetapi melihat wajah pemuda itu, Meira tidak tega.
“Oke deh,” kata Meira akhirnya. “Yuk.”
Meira dan pemuda itu bangkit dari kursi masing-masing, dan membayar masing-masing di kasir.
“Kosan kakak di deket sini, kan? Tunjukin jalannya, ya,” ujar si pemuda sembari ia memasang helm di kepalanya.
Meira mengangguk. Ia sudah hendak menaiki sadel belakang motor si pemuda rambut jigrak ketika ia ingat sesuatu.
“Sebentar, aku sms dulu ya.” Meira mengeluarkan ponselnya dan mengetik dengan cepat, lalu mengirimkannya ke nomor Radel.
Changing plans. Aku ke kampus bareng Raga. I’ll talk to you later.
Dengan perasaan teramat girang dan hati seringan kapas, Meira menaiki motor Raga yang kemudian membawanya ke pagar di depan kosannya, yang rasanya baru sepuluh menit yang lalu dikuncinya.