Fatamorgana
Aku sedang menyusuri jalanan komplekku dengan sepeda yang senantiasa menemaniku kemanapun aku pergi – kecuali ketika aku pulang ke rumah kedua orangtuaku, tentu saja. Siang itu terik, aku memilih hari yang salah untuk keluar rumah dan mengambil sedikit uang kiriman bulan ini di ATM terdekat – yang notabene berada di luar komplek, sedikit ke arah kampusku. Di komplek tempat rumahku berada tidak ada ATM dari bank tempatku membuka rekening. Faktanya, ATM itu lebih dekat ke kampusku.
Jadi begitulah, di siang hari dimana matahari sedang panas-panasnya, sedang berada tepat di atas ubun-ubun – agak miring sedikit – aku mengayuh sepeda dengan perlahan, mengingat jalan yang kulalui adalah jalan yang agak menanjak, dan aku tak mau menghabiskan seluruh tenagaku hanya untuk dua-tiga ratus ribu rupiah yang harus kuambil hari ini. Uang di dompetku telah ludes, aku tak punya apapun untuk ditukarkan dengan makanan untuk malam ini.
Aku sampai di ATM itu, masuk dan membiarkan aku berdiam diri sekitar lima menit di depan mesin ATM, menikmati udara dingin dari pendingin udara di dalam ATM itu. Dengan senang kupencet-pencet tombol di mesin ATM, dan menunggu setumpuk uang berwarna biru keluar.
Setengah menyesal, aku keluar dari ATM dan menuju tempatku memarkir sepeda. Kusemangati diriku sendiri untuk kembali mengayuh dalam siang yang terik itu. Dalam hati aku berdoa agar segera muncul awan kumulonimbus yang menutupi matahari, dan ketika aku telah sampai rumah, muncul titik-titik air dari awan itu.
Senang karena akhirnya dompetku terisi, kuputuskan untuk membeli beberapa minuman dingin di minimarket di tepi jalan. Kuteguk puas-puas, lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Mataku melihat genangan air di jalan yang kulewati, yang memantulkan bayangan mobil-mobil dan motor-motor yang melewati jalan itu. Tentu saja aku tahu itu fatamorgana. Aku hanya sudah lama tidak melihatnya sebelum ini. Kulihat juga gambaran bergoyang di atas bus dan mobil-mobil akibat efek panasnya cuaca siang itu. Aku meneguk ludah.
Sedikit lagi, paksaku pada diriku sendiri, ketika kurasakan kepalaku mulai berat. Kayuhan sepedaku melambat, sesekali oleng karena kaget diselip mobil yang melaju kencang, atau suara knalpot motor besar yang mendadak menyelipku dari belakang – entah apa tujuan mereka mengeluarkan suara mengagetkan seperti itu, mereka tidak berharap aku jatuh dari sepedaku, kan?
Napasku mulai tidak teratur, tidak seperti biasanya. Efek mengayuh sepeda sekuat tenaga di bawah terik matahari? Aku tak tahu.
Aku tak ingat, sudah berapa menit aku bersepeda. Lalu kulihat gerbang perumahan dari kejauhan dan hatiku mengucap syukur tak terhenti. Kuharap itu bukan fatamorgana, pikirku. Memang bukan, karena ketika aku – akhirnya – sampai di dekatnya, gerbangnya tidak hilang. Aku menepi di pinggir jalan, karena gerbang komplekku berada di sebelah kanan jalan. Kutunggu jalanan sampai agak sepi. Kemudian aku melihat sesuatu yang lain. Sesosok pria. Bukan pria semacam, om-om, begitu, bukan. Seorang pemuda. Pemuda yang mengendarai motornya.
Orang yang kukenal. Atau anggaplah, orang yang kutahu. Mungkin dia kenal aku, mungkin dia tahu aku, tapi kami tidak begitu dekat. Tapi mungkin dia tahu aku selalu pergi ke kampus menaiki sepeda, dan aku memang tahu dia ke kampus mengendarai motornya, aku tahu motornya, aku ingat motif helm-nya, dan aku hapal plat nomor motornya, bahkan.
Dia ini kebetulan orang yang kusukai.
Kukira ini fatamorgana, atau efek matahari yang sedari tadi menyinari kepalaku.
Pemuda ini lewat begitu saja, menggunakan helm yang tidak ditutup, sehingga aku bisa melihat jelas – melalui lensa kontakku, tentu saja – wajahnya. Dia tidak menoleh ke arahku, atau aku tidak memerhatikan, karena tepat setelah dia melewatiku, jalanan sepi sehingga aku langsung menyeberang masuk gerbang, sembari menganggukkan kepalaku pada satpam yang sudah kukenal selama satu tahun setengah ini.
Aku menghembuskan napas panjang-panjang selagi menyusuri jalanan yang tidak beraspal melainkan jalanan dengan paving blok. Mendadak hatiku berdebar tak keruan, mengabaikan fakta bahwa jantungku memang berdebar tak keruan sedari tadi, karena lelah. Kuatur napasku dengan susah payah sementara kakiku tak berhenti mengayuh.
Sesaat aku berharap cowok tadi melihatku, atau setidaknya mengenaliku, sebagai teman sekelasnya. Sudah satu setengah tahun ini kami berdua sekelas, tapi kami jarang sekali terlibat pembicaraan yang sangat serius, misalnya diskusi tentang mata kuliah tertentu, presentasi di kelas, atau apapun yang mengharuskan kami berbicara dengan satu sama lain.
Dan kebetulan sudah satu setengah tahun ini juga aku sering memandanginya tanpa arti di kelas, kadang dia balik memandangku, dan aku langsung melihat ke arah lain. Kadang aku meliriknya sembari bicara dengan temanku. Kadang juga aku mendapatinya tak sengaja melihatku. Kadang kami bertatapan.
Hanya itu. Dan aku bahkan tak tahu apa yang menyebabkan aku menyukainya.
Tak ada satupun temanku yang tahu kalau aku menyukainya, cuma satu benda yang sering kucurhati, yaitu diariku, all hail diary-ku. Sejak SD aku menulis diari, SMP vakum sebentar karena menganggap menulis diari itu kekanakan, SMA aku mulai mengetik tulisan harianku di laptop, namun kemudian laptopku kena virus, datanya hilang semua dan aku benar-benar menangis karena aku menulis apa saja di file Microsoft Word dengan nama ‘Hard Times’ itu. Benar-benar apa saja. Ide-ideku, impian-impianku, tulisan-tulisanku, kemarahanku, saat-saat pentingku. Dari situ aku belajar untuk kembali menulis di sebuah buku tulis, karena apapun yang ditulis di laptop, punya resiko hilang. Bukannya buku tidak punya resiko; aku tahu betul dengan menulis di sebuah buku harian malah punya resiko besar. Tapi aku selalu bisa menyembunyikan buku harianku di tempat yang tak terjangkau siapapun kecuali aku. Bahkan kucingku tak tahu dimana buku harianku berada, padahal hobinya berkeliling rumah dan menemukan celah-celah yang bisa dia lewati.
Dan kembali pada pemuda ini, yang hampir selalu ada di setiap halaman di buku harianku. Entah apapun yang terjadi padaku hari itu, aku hampir selalu menceritakan cowok ini di diari. Benar-benar tidak penting.
Aku terhanyut dalam lamunanku tentang kejadian-kejadian kecil yang terjadi saat aku sekelas dengannya. Hingga aku tak sadar sudah berada di depan rumahku.
Aku turun dari sepeda, membuka pagar, dan menggosok hidungku yang gatal. Aneh, ada yang terasa basah di hidungku. Dan aku tertawa kecil ketika melihat darah di tangan yang barusan kupakai menggosok hidung.
“Astaga,” kupikir. Aku tak punya tisu atau sapu tangan yang bisa kupakai menyeka darahnya, jadi kugunakan tanganku, tapi apa daya, darahnya malah banyak yang mengalir keluar. Kututup kedua lubang hidungku dengan telapak tangan, kuangkat kepalaku, kulirik mataku ke kiri, dan waktu itulah kulihat fatamorgana yang lain.
Pemuda itu, yang kupikir kulihat di depan gerbang tadi, yang kukira fatamorgana juga.
Kupikir bodoh sekali, tepat saat aku memikirkannya untuk hadir menolongku saat itu, dia muncul dalam bentuk nyata saat itu juga. Imajinasiku berlebihan, sehubungan dengan panas matahari ini.
Aku membuka pintu pagarku sembari tetap menutup hidungku agar paling tidak menahan darahnya tidak mengalir lagi, tapi lalu ada yang menarik tanganku. Darah menetes-netes. Aku mengernyit, kemudian menoleh ke arah orang yang menarik tanganku.
Ternyata yang kulihat memang bukan fatamorgana. Ini betulan pemuda itu, yang plat nomor motornya aku hapal.
“Nggak punya tisu?” tanyanya, masih memegang tanganku yang ada darahnya.
Aku menggeleng. Dia menyerahkan saputangan warna biru. Dengan segera kugunakan untuk mengusap hidungku. Aku lega dia melepas tanganku.
“Thanks,” gumamku.
“Rumahmu disini?” tanyanya lagi, memandang rumah kecilku. “Masuklah, biar dingin,” katanya.
Aku mengangguk. Kudorong sepedaku dengan satu tangan, tetapi aku mengalami kesulitan untuk menyeimbangkannya. Sedikit oleng ke kanan dan ke kiri, aku memasukkan sepedaku ke garasi di sebelah rumah.
“Sendirian?” tanya teman sekelasku, yang sudah masuk ke halaman rumah.
“Ada pembantu yang dateng tiap hari, tapi hari ini libur,” jelasku, mencuci tangan di keran di dekat garasi. “Kamu ngapain disini?” aku gantian bertanya.
“Lagi nyari rumahnya Oki,” jawabnya, menyebutkan nama teman sekelasku yang lain, yang aku tahu memang punya rumah di perumahan ini.
“Tadi kayaknya aku lihat kamu lewat depan gerbang komplek...” kataku sembari mencuci hidung.
“Itu memang aku, aku baru sadar aku kelewatan gerbangnya,” ujarnya. “Kukira aku juga ngeliat kamu.”
“Terus kamu masuk kompleknya?”
“Dan karena aku lupa rumah Oki dimana, aku menyusuri jalan komplek ini, terus ketemu kamu di depan rumah ini, kupikir kutanyakan saja padamu,” jelasnya.
“Ooh, rumah Oki dua blok dari sini, belok kanan di depan sana, kemudian hitung belokannya, belokan ketiga belok kiri,” kataku. “Rumahnya nomor 18. Terima kasih sapu tangannya, besok Senin aku kembalikan.”
“Sering ke rumah Oki, ya?” tanyanya, mengabaikan pernyataanku yang terakhir, nampaknya. “Hapal banget...”
Mendadak aku merasa wajahku memerah. “Tidak, orang tuanya sering mengajakku makan malam bersama... orang tuaku dan orang tua Oki saling kenal, jadi...”
“Kamu cocok tuh sama Oki, jadian aja,” dia tersenyum lebar.
Aku menggeleng, sembari tersenyum. “Nggak ada perasaan seperti itu.”
“Kamu nggak tanya Oki?” tanyanya.
Aku terdiam. “Aku tidak mengajukan pertanyaan seperti itu.”
“As expected, from you,” katanya tak terduga.
“Meaning?” balasku.
“Nothing,” gumamnya.
Menakjubkan bagaimana dua orang yang nyaris tak pernah bertegur sapa di kampus, bahkan di kelas, bisa mempunyai percakapan yang mengalir seperti ini.
Dia tidak terlihat mau segera pergi atau apa, jadi aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan lagi.
“Kamu juga cocok sama adik angkatan kita itu, siapa-namanya-tuh – Marina?” tanyaku, pura-pura lupa nama cewek itu.
“Marisa,” ralat teman sekelasku. “Nggak ada perasaan seperti itu,” katanya, tapi wajahnya berpaling.
“Kamu nggak tanya Marisa?”
“I’m too afraid,” gumamnya, masih berpaling.
Setidaknya aku menatapnya saat dia menanyaiku, kataku gusar.
“YOU?” ujarku tak percaya. “AFRAID?”
“Aku kan bukan Oki, yang langsung nembak cewek seminggu setelah kenalan.”
“Oki nggak gitu juga,” belaku. “Kamu juga bukan Brian, yang ngegantung ceweknya selama dua tahun.”
“Brian nggak gitu juga,” bela pemuda ini, kulihat dahinya mengernyit.
“Seorang Satria,” kataku, untuk pertama kalinya dalam semester ini menyebut namanya, dan kebetulan tepat didepannya, “takut bertanya pada seorang cewek tentang perasaannya.”
“Bukan seperti itu, Maya,” balasnya, memanggilku, mungkin juga untuk pertama kalinya dalam setahun ini. Atau setahun setengah ini? Aku tak tahu, yang jelas hatiku berdebar ketika mendengarnya.
“Kamu takut ditolak?” tebakku.
“Penolakan itu sakit juga,” jawabnya.
Astaga, ada apa dengan cowok ini? Aku benar-benar tak habis pikir. Dia itu, sudah jelas menyukai cewek yang lebih muda setahun darinya, yang namanya Marisa itu, tapi tak mau maju? Benar-benar... aku iri, sepenuhnya iri dan jengkel pada adik angkatan yang beruntung kejatuhan hati Satria.
“Jangan mengira hanya karena aku cowok, jadi tidak bisa merasakan sakit akibat penolakan,” ujar Satria, meneruskan kalimat sebelumnya.
Aku hampir saja berkata seperti itu.
“Hidungmu berdarah lagi,” katanya kemudian.
Aku terkesiap, lalu menyentuh hidungku, yang memang mimisan lagi.
“Kamu kesal ya?” tanya Satria, benar-benar membuatku kesal.
“Nggak,” jawabku sementara mencuci hidung lagi.
“Kata siapa aku suka Marisa?” tanyanya.
“Kata orang-orang.”
“Orang-orang siapa?”
“Teman-temanmu.”
“Teman-teman yang mana?”
“Yang sering bareng-bareng kamu.”
“Yang mana?”
“Yang aku tidak bisa berbaur dengan mereka.”
Satria menyerah untuk bertanya, atau kupikir begitu, karena dia tiba-tiba diam, dan aku mendongak menatapnya.
“Kenapa kamu tidak bisa berbaur dengan mereka?” tanyanya kemudian.
“Mereka bukan tipeku,” jawabku, apa adanya.
“Jadi, tipemu adalah Oki?” tanyanya, dengan senyuman.
“Sialan, bukan seperti itu,” kataku, memerah.
“Kamu terlihat paling dekat dengan Oki,” ucapnya.
“Dia anaknya teman papaku,” jawabku, lagi-lagi apa adanya.
“Jadian saja kalau begitu.”
Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata seorang Satria, yang kalau kuperhatikan di kelas adalah orang yang agak pendiam dan tidak pernah cari masalah dengan orang lain, adalah orang yang annoying seperti ini.
Tapi apa itu membuatku mengurungkan niat menyukainya?
Aku malah makin menyukainya.
“Sudah kubilang tidak ada perasaan seperti itu. Kamu tuh yang jadian sama Marisa. Kasihan dia lama nungguin kamu.”
Bukannya tanpa sakit hati aku mengutarakan kalimat itu.
“Hmm,” kata Satria, menggosok ujung bibirnya.
Perhatianku jadi terpusat ke bibirnya. Kenapa sih dia mesti melakukan hal itu?
Lagi-lagi, dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi mencari rumah Oki seperti yang diceritakannya tadi.
“Maya, diajak masuk dong temannya,” seru tante pemilik rumah di seberang rumahku, memecahkan keheningan yang kami ciptakan tadi.
“Oh, iya Tante,” kataku malu.
Tante itu tersenyum pada Satria, yang menoleh mendengar suaranya, lalu menepuk-nepuk kasur yang dijemurnya. Aku jadi ingat niatku menjemur bantal dan guling hari ini.
Tapi tidak kuutarakan pada Satria untuk mengusirnya. Aku ingin mempertahankan keadaan ini sampai kapanpun, dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk menulis rincian kejadian hari ini di buku harianku.
“Kalau kuperhatikan, kamu selalu sendirian ya,” kata Satria, mungkin setelah mencari-cari topik pembicaraan.
“Ya, aku tidak punya teman,” ujarku, geli.
“Tapi kamu dekat dengan semua orang.”
“Kecuali para lelaki,” aku mengangkat bahu. “Dan kawanannya. Sudah kubilang kan, aku tidak cocok dengan tipe seperti itu.”
“Ada beberapa cewek yang dekat dengan cowok-cowok,” kata Satria.
“Mereka itu yang kusebut dengan ‘kawanannya’ barusan.”
“Kenapa kamu ngerasa nggak cocok sama mereka?”
“I just... can’t.”
Aku mengulum lidahku. Aku benci pembicaraan ini. Faktanya, aku benci para gadis seangkatanku yang bisa dengan mudah mendekati Satria dengan entah-topik-apa yang bisa mereka obrolkan satu sama lain. Aku benci para gadis seangkatanku yang bisa dalam sekejap dekat dengan Satria dan teman-temannya, dan aku benci mendengar cerita perjalanan mereka, yang kalau kuperhatikan, sudah menjelajahi kota ini sampai sudut terdalam.
“I won’t ask more, then,” kata Satria.
“That’s relieved,” ujarku jujur. “Mau... duduk dulu?” ajakku, akhirnya.
Satria mengangguk tak kentara. Aku mendahului masuk rumah, menyilakan dia duduk di teras, kemudian masuk ke dapur menyiapkan minuman.
Kubawa smoothies sisa bikinanku tadi pagi yang sudah kudinginkan di kulkas. Sayang kan kalau Satria tidak disuguhi minuman yang kubuat sendiri.
“Apa ini?” tanyanya pertama kali, melihat segelas penuh cairan kental berwarna pink. “Jus?”
“Smoothies,” ralatku. “Pisang, strawberry, susu...”
“Bikin sendiri?”
“Tidak dijual dimanapun.”
Dia menenggak dari gelasnya. “Kamu selalu hidup sehat seperti ini ya?” komentarnya, setelah separuh gelasnya habis.
Aku nyaris terjatuh dari kursiku. Aku mengharapkan komentarnya tentang smoothies-ku, bukan kehidupanku.
“Seems to be...”
“Kenapa kamu bisa mimisan?”
“Kepanasan?” usulku, yang bahkan tidak tahu kenapa hidungku tiba-tiba memutuskan begitu saja untuk mengeluarkan darah. “Tidak tahu, aku tidak tanya hidungku.”
Satria tertawa, lalu meneguk lagi smoothies-nya.
Entah kenapa perlahan-lahan kami berdua mulai merasa nyaman dengan situasi seperti ini. Berdua seperti ini, maksudku. Berdua dengan orang yang nyaris tidak pernah bertegur sapa dalam satu tahun ini.
“Oki juga sering minum smoothies ini?” tanya Satria, lagi-lagi tak terduga.
“Hah?” kataku bingung. “Yah, lumayan sering...”
“Oooh.”
Aku benar-benar tidak ingin berharap bahwa dia cemburu, dan aku juga menyingkirkan pikiran itu begitu dia muncul dalam benakku. Aku tidak ingin terbawa terlalu jauh.
Mendadak ponselku berdering. Suara Baro, personil boyband Korea B1A4, bergaung. Lagu Baby I’m Sorry memang menjadi ringtone-ku beberapa minggu ini, karena secara pribadi aku menyukai lagu ini.
“Halo?” tanyaku. “Oh, kakak.”
Aku bicara sebentar dengan kakakku, mengabaikan Satria yang ada di sampingku. Bicara dengan kakak laki-lakiku biasanya tidak menghabiskan waktu lama, dia hanya merasa bosan di kantor, kemudian memutuskan untuk menelepon adik perempuan kesayangannya ini. Sister complex, kakakku itu.
Setelah selesai, aku menutup ponselku yang modelnya flip-flop, kemudian memandang Satria, yang sedang meneguk smoothies lagi.
“Shimjangi deo apa onda, nun muri deo malla onda...” katanya, menyanyikan satu kalimat lirik lagu dengan melodi yang tepat sama, dan entah kenapa, dengan suara yang nyaris sama.
“LAGU ITU!” teriakku, berdiri dari kursi. Satria kaget. Tampaknya dia nyaris tanpa sadar menyanyikan lagu barusan. “Lagu itu... lagu itu... suara itu...”
“Ringtone ponselmu, kan? Makanya aku nyanyi lagu itu...” jelas Satria, yang masih terkejut.
“Kok kamu tahu lagu itu?” aku tak habis pikir. Seorang Satria? Tahu lagu Baby I’m Sorry milik B1A4? Seorang Satria? Yang tampaknya bahkan tidak peduli kalau Sooyoung punya kaki terbagus di SNSD? SEORANG SATRIA? Menyanyikan bagian lagu itu yang benar-benar aku sukai, dengan suara yang nyaris mirip dengan penyanyi aslinya?
“Adik perempuanku sering sekali memutar lagu itu di laptopnya...” jelas Satria. “Tanpa sengaja aku jadi hapal...”
“Suaramu... mirip... suaranya Jinyoung...” kataku perlahan, mendadak hatiku berdebar kencang.
“Siapa?”
“Jinyoung... yang nyanyi lagu itu... yang nyanyi di bagian itu...”
“Ooh, orang itu? Iya, adikku sering nyebut-nyebut dia.”
Aku masih ternganga, tak percaya. Kemudian mendadak sesuatu muncul di pikiranku.
Sebutlah aku amnesia atau apa, tapi aku benar-benar tak tahu kenapa aku menyukai Satria. Sejak satu setengah tahun yang lalu. Aku tak tahu. Entah aku yang tak tahu, atau aku lupa.
Lalu aku tahu. Satu fakta yang hanya aku yang bisa melihatnya: Satria mirip Jung Jinyoung.
Kenapa aku melupakan hal ini? Karena alasan ini terlalu kekanakan, dan terlalu dibuat-buat, untuk dijadikan alasan aku mulai memerhatikan Satria di kelas. Karena semakin dilihat, Satria semakin mirip dengan Jinyong di mataku. Dan pada suatu hari, kudengar dia bicara padaku, dengan suara Jinyoung, yang membuat aku tambah semakin sering memandang dia di kelas, sesosok Jinyoung di dunia nyata.
Tetapi kemudian perlahan aku sadar, aku tidak bisa menyukai seseorang hanya karena dia mirip dengan idolaku. Aku tidak bisa menganggap Satria adalah Jinyoung. Dan memandangi Satria hanya karena ingin melihat Jinyoung. Tidak ada orang yang senang disamakan dengan orang lain.
Aku mulai melihat Satria sebagai Satria, bukan sebagai Jung Jinyoung, dan memandanginya karena kebiasaan. Kenapa aku senang sekali melihatnya? Kenapa aku bahkan berdebar ketika dia tak sengaja memandangku? Kenapa aku kesenangan ketika melihat dia – yang bukan fatamorgana – muncul di pagar rumahku dan memberi saputangan ketika aku mimisan? Kenapa aku bersemangat memberinya smoothies bikinanku sendiri?
“Maaf,” kataku, duduk di kursi.
Satria berkedip. “Buat?”
“Maaf,” ujarku lagi, tak berani memandangnya.
“Buat apa, Maya?”
Mendengarnya menyebut namaku untuk kedua kalinya dalam beberapa menit ini membuatku mendongak melihat matanya.
“Buat... ngagetin kamu,” ujarku asal.
“Astaga, kupikir apa,” kata Satria tertawa. “Tak apa, adikku sering seperti itu...”
Aku mengangguk-angguk, sekarang setelah menyadari semuanya, aku jadi tak bisa bicara dengan lancar padanya seperti tadi.
“Hmm,” ujar Satria, menatap gelasnya. “Sudah habis.”
“Secepat itu?” komentarku. “Enakkah?” tanyaku tanpa bisa ditahan.
“Enak,” katanya.
Aku tak tahu; hatiku ingin sekali tersenyum terus, tapi wajahku menahannya dan otakku bilang agar tidak kelihatan terlalu senang.
Ketika aku meneguk smoothies dari gelasku, aku nyaris saja menyemburkannya keluar dari mulutku – kulihat Oki berdiri di pagarku, dahinya berkerut.
“Satria!” panggilnya.
Satria tampaknya terkejut juga, karena dia sedang melakukan sesuatu dengan ponselnya, aku tak peduli, mungkin saja dia sedang mengirim pesan pada Marisa, aku tidak ingin memikirkannya.
“Oi! Gue baru aja mau ke rumah lo,” kata Satria, berjalan menghampiri Oki yang sudah masuk halaman rumahku.
“Tapi lo malah mampir ke sini,” kata Oki, memandangku yang tertegun di kursi.
“Gue lupa rumah lo dimana, trus di jalan ngeliat Maya yang lagi buka pager, jadi gue tanya Maya dulu...”
Oki mengangguk-angguk. “May, kamu udah makan?” tanyanya padaku, membuatku terkejut.
“Hah? Oh,” kataku, “belum.”
“Pantesan kamu mimisan,” tambah Satria, membuat Oki terbelalak.
“KAMU MIMISAN? Kamu belum sarapan pagi kan, May? Kalau mau pergi sarapan dulu lah, kamu itu naik sepeda, panas-panas gini, tadi sih nggak mau aku anterin aja...” ujar Oki, dengan gaya memerintahnya yang biasa.
“Aku bisa sendiri,” selaku, bosan dengan omelan Oki yang terdengar seperti kakakku. “Nggak mau ngerepotin.”
“Berapa kali sudah aku bilang, sih,” Oki mulai naik ke terasku, dan aku memasang sikap waspada. “Sama sekali nggak ngerepotin,” dia mengulurkan tangannya, aku mundur di kursiku, tapi dia hanya menyentuh dahiku.
“Aku-nggak-sakit,” aku mengelak, menyingkirkan tangannya dari dahiku – aneh rasanya diperhatikan begitu oleh orang yang kau kenal sejak kecil, di depan orang yang kau sukai.
“Sekarang enggak, besok?”
“Besok juga nggak sakit.”
Kulirik wajah Satria yang sedari tadi memandangi terasku tanpa ekspresi. Bodoh, tentu saja dia tidak berekspresi, apa urusannya denganku yang diomeli Oki?
“Aku mau tidur,” kataku, yang benar-benar ingin beristirahat. “Kalian berdua pergilah.”
“Oke,” kata Oki, lalu menyalakan motornya di luar pagar. Satria menyalakan motornya di halamanku dan memandangku dengan ekspresi yang tidak jelas, lalu pamit.
“Makasih jusnya,” ujarnya.
“Smoothies,” kataku lirih.
Oki membunyikan klaksonnya.
“Bye, Maya.”
Suara Jinyoung – bukan, suara Satria, beriringan dengan keluarnya dia dari halamanku menyusul motor Oki yang melaju kencang.
Aku terduduk di kursi di terasku, mengusap mataku, mengurut-urut kepalaku. Siang itu masih terik. Dan aku masih mengira apa yang terjadi selama sekitar satu jam tadi fatamorgana belaka atau bukan.
Lalu terdengar dering ponsel, kali ini bukan lagu, karena aku tidak menggunakan lagu untuk penanda pesan yang masuk.
Dari nomor yang tidak ada di kontakku sebelumnya.
+628693003xxxx
15/04/12 13:48
Smoothies-nya enak. Boleh aku minta dibuatkan lagi?
* * *
Theme song: Baby I’m Sorry, Wonderful Tonight *both by B1A4*
Created by Antiq
1st draft, original
April 15th, 2012