Deja Vu
Hari ini panas lagi, seperti hari-hari sebelumnya.
Terik, dan jalanan ramai mobil dan motor yang melaju kencang, menyebarkan
polusi berupa karbon monoksida dari knalpot mereka. Aku terbatuk, mengernyit
sedikit, cemberut di balik masker yang kukenakan. Aku sudah cukup sesak napas
karena menggunakan masker ini, padahal. Kadang aku heran, kenapa badanku tidak
fit juga, padahal rasanya sudah enam bulan ini aku berolahraga – bersepeda,
setiap hari.
Aku sering – ah tidak, bukan sering; selalu,
menyanyi mengikuti suara yang terdengar dari headphone yang kukenakan, yang kusambungkan dengan ponselku, yang
sedang memutar lagu Love Alone milik
Miss A. Tidak peduli apakah pengguna jalan yang lain merasa terganggu dengan
suaraku yang merdu. Di kelas pun aku sering menggumamkan lirik lagu yang sedang
kudengarkan dari headphone favoritku.
Tidak peduli apakah penghuni kelas yang lain merasa terganggu dengan suaraku
yang bergaung di kelas ketika sepi.
Mereka tidak tahu saja betapa aku melakukan
perjuangan yang amat sangat keras untuk membeli headphone ini.
Ah, tidak juga sih, aku hanya melebih-lebihkan.
Maafkan aku.
Headphone-ku
yang ini, kebetulan sama dengan headphone
milik Satria. Hanya saja miliknya berwarna putih dengan garis ungu,
sementara milikku berwarna hitam dengan garis merah.
Waktu itu aku sedang berjalan-jalan, seperti biasa
sendirian, di lantai dasar sebuah mall di kotaku. Baru saja aku selesai
menonton sebuah film drama komedi, yang membuatku sukses menguras air mata –
karena lucu, bukan karena sedih. Aku juga baru saja membeli beberapa keping CD
game terbaru di toko kaset yang ada di mall itu – aku sudah lumayan bosan
dengan game-game yang ada di laptopku. Entah ada angin apa aku sengaja turun ke
lantai dasar mall itu, yang notabene diisi toko-toko yang menjual ponsel,
laptop, dan aksesorisnya.
Niatku dari awal sih memang mencari headphone yang mirip dengan milik
Satria. Cuma saja kemudian melihat daftar film yang sedang diputar hari ini,
aku jadi kepingin nonton.
Jadi, disitulah aku, berjalan, menyusuri toko-toko
atau lebih tepat disebut counter-counter itu. Ada counter resmi untuk ponselku,
rupanya, dan aku langsung berpikir hendak memeriksakan keypad ponselku yang sering rusak, tapi, tidak, aku hanya mengamati
counter yang cukup besar dan ramai orang itu sembari berjalan melewatinya. Kuseruput
milkshake strawberry-ku yang sudah hampir habis.
Waktu itu aku hanya berpikir, kalau ketemu ya
kubeli, kalau tidak ketemu ya sudah.
Tapi ternyata takdir mempertemukan kami. Mataku
langsung membesar melihat sebuah headphone
yang tergantung di sebuah counter toko komputer terkenal. Masih di dalam
kotaknya, aku melihat headphone itu
bersinar-sinar memanggilku.
Tanpa basa-basi aku segera menghampiri mbak-mbak
yang menjaga counter itu.
“Headphone-nya
berapaan, Mbak?”
“Yang mana, Mbak?”
“Yang hitam itu,” kutunjuk headphone yang sedari tadi kupandangi.
“Stok terakhir Mbak,” kata mbak-mbak penjaga itu,
sembari mengambilkan headphone yang
kuminta tadi. “Dan kebetulan kami sedang ada diskon dalam rangka ulang tahun
toko kami, jadi... harganya tiga puluh lima ribu.”
Aku meringis. Bagaimanapun, ada diskon atau tidak,
tetap saja harganya segitu... belum lagi aku habis hedon besar-besaran tadi.
“Boleh dicoba dulu Mbak?” tanyaku pelan.
Mbak-mbak itu mengangguk, lalu membuka kotak headphone-nya. Aku memasukkan kabelnya
ke ponselku. Kucoba memainkan lagu I Am
The Best-nya 2NE1.
Tidak ada kata lain. Headphone itu daebak.
“Saya ambil ini deh Mbak,” kuputuskan, tidak
berpikir panjang. Aku hanya berpikir untuk tidak membeli makan malam hari ini.
Aku mencoba mengingat-ingat apakah aku masih punya sayur atau tahu di kulkas...
“Terima kasih, Mbak,” kataku. “Selamat ulang tahun.”
Mbak-mbak penjaga itu dengan senang menerima uang
yang kusodorkan.
Dan begitulah aku menghabiskan ratusan ribu dalam
sehari, termasuk berbelanja untuk makan malam hari ini sampai bulan depan – aku
baru ingat bahwa sejak dua hari yang lalu tak ada apa-apa di kulkasku. Tapi
intinya bukan itu, kan? Intinya adalah aku
punya headphone yang sama dengan Satria.
Kadang Satria membawa headphone-nya ke kelas dan aku sering mendapatinya terkantuk-kantuk
dengan headphone terpasang di
kepalanya; aku berpikir jenis musik apa yang membuatnya sampai tertidur seperti
itu. Kalau sedang di kelas, aku malah biasanya mendengarkan High High punya GD dan TOP, atau Hands Up-nya 2PM, atau Party in the USA-nya Miley. Lagu-lagu
semacam itu. Sehingga aku jarang sekali mengantuk di kelas, kecuali aku tidur
larut sekali sehabis chatting dengan
teman SMA-ku.
Hari pertama aku mengenakan headphone baruku di kelas, benar-benar tak ada yang memerhatikan
kalau headphone itu mirip dengan
milik Satria. Setidaknya tidak ada yang menegurku seperti ini: ‘Maya, itu headphone-nya kayak punyanya Satria,
ya’.
Keesokan harinya, aku sedang mendengarkan Empire State of Mind – sambil
menyanyikan bagian yang dinyanyikan Alicia Keys – ketika tiba-tiba kudengar
suara yang amat kukenal, mengatakan sesuatu yang sudah kuharapkan sejak
kemarin.
“Maya, itu headphone-nya
mirip punya Satria, ya.”
Aku terkesiap, suaranya sejelas suara yang sedang
bergaung di kepalaku – karena aku mendengarkannya dengan volume yang rendah. Kutoleh
arah kananku, arah darimana suara itu berasal.
Oki dengan wajah malasnya seperti biasa, baru datang
dan duduk di kursi di sebelahku.
“Kamu nggak masuk jam pertama tadi?” tanyaku,
mengabaikan kalimatnya yang tadi.
“Ketiduran,” kata Oki tak acuh. “Jam berapa sih
kuliah tadi pagi?”
“Jam delapan,” jawabku, melepas headphone-ku.
“Baru?” tanya Oki, masih tanpa ekspresi, memandangi headphone yang kukalungkan di leherku.
Aku mengangguk. “Bagus kan?”
“Coba sini aku dengar,” kata Oki, lalu aku
menyerahkan headphone padanya. Kuputar
lagu favorit Oki yang aku tahu sejak SMA: Fall
For You-nya Secondhand Serenade.
“Kenapa mesti lagu ini sih?” dia mengeluh.
“Oh, cuma mengingatkan akan masa lalu,” aku tertawa,
mengingat kejadian penembakan besar-besaran Oki kepada Kak Nesya, kakak kelas
kami di SMA dulu. Oki – yang masih kelas sepuluh – dengan berani menyanyikan
lagu Fall For You dengan gitar di
acara perpisahan sekolah – tepat ketika Kak Nesya harus lulus dari sekolah. Waktu
itu memang Kak Nesya menerima Oki, tapi ketika Oki mencapai akhir semester satu
kelas sebelas, Kak Nesya bilang dia ternyata tidak bisa LDR – mereka terpisah
karena Kak Nesya kuliah di negara lain.
Oki terdiam hingga lagunya berakhir, lalu dia
melepas headphone dan aku menunggu
komentarnya.
“Sama kayak punya Satria.”
Aku mencekik lehernya.
“Sengaja, ya?” tanya Oki.
Aku manyun. “Iya, sengaja, kenapa?”
“Ya nggak papa...”
“Cieee...”
Kami berdua menoleh mendengar suara yang ramai
terdengar dari belakang kami. Beberapa teman sekelas baru saja kembali dari
kantin setelah menggunakan waktu sejam yang kosong untuk makan sebelum kuliah
selanjutnya dimulai. Wajah-wajah itu bahagia, dan terlihat menang seolah baru
saja menangkap basah dua orang yang sedang pacaran sembunyi-sembunyi.
Dan diantara wajah-wajah itu kulihat wajah Satria. Aku
menyembunyikan wajah memerahku dari pandangannya, dan menghadap ke depan,
ketika kemudian kurasakan ada yang memasang headphone
di kepalaku – tidak, di telingaku.
Oki, dengan sengaja, nyengir padaku, membiarkan
teman-teman melihat kejadian itu, dan membiarkan mereka ber-‘cie-cie’ lagi. Headphone itu masih memutar musik yang
keluar dari ponselku.
“Sengaja ya?” bisikku tajam.
“Iya, sengaja, kenapa?”
Aku menatap Oki masam. Kalau dia mau membuat skandal
seperti ini, kubalas saja dengan perlakuan yang lebih parah.
“Eh, dengerin deh, T-Ara punya lagu baru,” aku
melepas headphone dari kepalaku dan memasangkannya
ke telinga Oki, yang tidak menolak. “Dance-nya
juga lucu...”
“Coba peragain,” kata Oki, melipat tangannya di
depan dada.
Sialaaan, pikirku. “Mana bisa, aku kan nggak denger
musiknya.”
“Kalau pake headphone
emang susah,” ujar Oki, lalu merogoh saku tasnya. “Jadi pake earphone aja,” dia melepas headphone-ku dan memasang earphone-nya, “nih,” kemudian
menyodorkan satu sisi earphone untuk
kupakai.
Aku memakainya dengan enggan.
“Nah, sekarang kedengeran kan?” ujar Oki, tersenyum
menoleh ke arahku, yang entah kenapa membuatku berdebar. Aku menenangkan
diriku: Maya, tenang, tenang, dia bukan
Satria.
Peristiwa berbulan-bulan yang lalu itu entah kenapa
muncul selama aku mengayuh sepeda di jalanan, menuju komplek, menuju rumah, dan
membuka pagar rumahku sepulang kuliah sore itu. Aku tertawa mengingatnya.
Mungkin kejadian itulah yang membuat Satria – dan teman-teman yang lain –
mengira aku pacaran dengan Oki, atau Oki sedang melakukan pendekatan denganku,
atau apalah. Mereka benar-benar tidak kenal kami berdua.
Kucingku menyambut kedatanganku dengan senang. Dia
mengeong keras sekali.
“Halo,” kataku, membuka kandangnya. “Sepi ya?”
kupeluk dia dengan erat. “Makananmu habiskah?”
Kulihat tempat makannya masih penuh.
“Ooh, kamu pengen main,” ujarku, memutuskan sendiri
kucingku maunya apa. Kunyalakan CD player-ku,
kumasukkan CD yang aku burn sendiri,
yang isinya lagu-lagu favoritku. Selama tiga puluh menit berikutnya aku bermain-main
dengan kucingku – namanya Akane. Dia bergulingan di karpet, menggigiti
bonekaku, sementara aku sendiri sedang menari mengikuti lagu Genie.
Sejam kemudian, penuh peluh, aku terduduk di sofa –
tepatnya lagi, terbaring, sementara suara Jinyoung bergema di rumahku. Akane
sedang duduk diam di atas bantal sofa, mungkin juga terbawa suara Jinyoung yang
seksi.
Aku mengeluh keras-keras, lalu memutuskan untuk
kembali ke dunia nyata – memasak untuk makan malam.
* * *
“Saputanganmu,” kataku langsung, begitu aku
berpapasan dengan Satria sekembalinya aku dari toilet – dia sepertinya baru
keluar kelas untuk ke toilet. “Maaf, kemarin nggak sempet...”
“Nggak apa-apa,” ujar Satria, menerima saputangan
yang sudah kucuci bersih.
“Makasih ya,” senyumku, lalu kembali ke kelas,
sementara dia melanjutkan perjalanannya ke toilet pria.
Bukannya tidak sempat. Aku hanya tidak ingin
orang-orang melihatku mengembalikan saputangannya. Entah, cuma tak ingin. Itu
saja. Maka aku mencari kesempatan yang tepat... dimana semua orang sedang tidak
ada.
Tingkahnya barusan seperti tidak ada apa-apa,
seperti bukan dia yang mengirimiku pesan singkat dua hari yang lalu itu. Atau
memang bukan dia? Karena tidak ada petunjuk apapun tentang pengirim pesan itu.
Meski pesannya memang bilang smoothies-ku
enak, sih.
Benar dia bukan, sih? Tapi, aku memang tidak tahu
nomornya. Tidak ada kesempatan untuk meminta nomornya tanpa diminta. Maksudku,
kau tahu kan, kalau kau harus sekelompok dengan teman sekelasmu, pasti kau akan
meminta nomornya untuk keperluan kelompok. Masalahnya, aku tidak pernah
sekelompok dengannya, bahkan ketika kelas diacak secara random untuk menentukan
kelompok. Tidak pernah... tidak seperti di SMA, aku selalu bisa berharap untuk
sekelompok dengan orang yang kusukai waktu itu. Bukan Oki, bukan. Tenang saja.
Aku juga bukan orang yang bertugas untuk memberikan
info-info penting mengenai kuliah kepada anak-anak sekelas, aku bukan tukang
jarkom. Jadi aku tidak punya nomor anak-anak sekelas, kecuali orang-orang yang
kukenal. Dalam kasus ini, Satria, bukan orang yang kukenal.
Dan aku juga masih memikirkan bagaimana dia
mendapatkan nomorku, meski hati kecilku yang jahat dan sering berimajinasi
bilang mungkin dia bertanya pada
temannya yang tahu nomorku. Seketika itu juga aku menepis jauh-jauh pikiran
konyol itu. Jangan berkhayal, Maya, cepat
kembali sana ke dunia nyata.
Pagi itu harusnya kuliah dimulai pukul sembilan
tepat, tetapi sudah pukul sembilan lewat lima belas menit dosen kami belum
datang juga, jadi aku menunggu di luar kelas, mendengarkan We Were In Love dengan headphone-ku
yang sengaja mirip dengan milik Satria. Seperti biasa, kudendangkan lirik-lirik
lagu berbahasa Korea itu dengan lancar – dan tanpa sadar, dengan suara yang
cukup keras juga.
Kemudian dari ujung koridor terlihat rombongan adik
angkatanku, yang tepat setahun di bawah angkatanku, tampaknya akan menggunakan
ruang kuliah di seberang ruang kuliahku. Ada Marisa disana. Dan tepat saat itu
Satria keluar dari toilet; tentu saja pandangannya langsung tertuju pada Marisa
dan teman-temannya. Satria melewatiku yang mengangguk-angguk mendengarkan
Hyomin nge-rap, berpapasan dengan Marisa di depanku. Kulihat Marisa melihat
Satria dengan malu-malu dan Satria tersenyum padanya. Aku mencibir tak kentara.
Kupikir Satria melewatiku untuk masuk kelas melalui
pintu depan. Rupanya dia malah duduk beberapa bangku cukup jauh di sebelah
kiriku, lalu mengutak-atik ponselnya. Aku tak memedulikannya – atau tepatnya
berusaha tidak memedulikannya, dan melanjutkan nyanyianku. Ketika aku sudah
memasang headphone dan mendengarkan
lagu-lagu kesukaanku, aku seperti tak akan peduli lagi dengan hal-hal yang akan
terjadi pada orang lain – aku hanya peduli pada hal-hal yang akan terjadi padaku.
Seperti berada dalam duniaku sendiri.
Yeah, welcome
to my life.
Jadi, aku juga tidak begitu memerhatikan ketika
Marisa keluar dari ruang kuliahnya lagi
dan ketika dia melihat Satria yang duduk di depan ruang kuliah kami, aku tidak
melihat ekspresinya, entah malu-malu kucing atau malu-malu mau, atau apalah
sebutannya.
Kemudian dari sudut mataku kulihat Satria bangkit
dan masuk ruang kuliah. Kupandangi ujung koridor, kupikir dosenku datang.
Ternyata tidak, maka aku kembali pada lagu-laguku.
Sedetik kemudian aku mendapatkan sebuah pesan
singkat.
+62897544xxxxx
17/04/12 09:23
Aku duduk di
belakangmu ya. Boleh?
“SIAPA INI?” adalah pertanyaan pertama yang muncul
di kepalaku. Untuk apa dia meminta izin duduk di belakangku?
Kebetulan pulsaku sedang tidak ada, maka aku tidak
menjawab sms konyol itu. Lagipula memang biasanya aku mengabaikan sms-sms yang
masuk dari nomor-nomor tak dikenal – yah, kecuali sms yang mengatakan bahwa dia
minta dibuatkan smoothies lagi.
Ternyata memang tidak ada dosen sampai jam mata
kuliah itu berakhir pukul sepuluh, jadi anak-anak sekelas memutuskan untuk
turun sebentar mencari makanan, seperti biasa. Aku masuk ke ruang kuliah – menghindari
keributan yang terjadi di koridor depan – kemudian duduk dengan nyaman di
kursiku yang posisinya oke, di bawah kipas angin.
“Huah,” terdengar kuapan malas dari sebelahku. Aku
mendongak.
“Kamu nggak masuk jam pertama lagi?” tanyaku pada
Oki yang baru datang dan duduk di sebelahku.
“Nggak ada dosen kan?” tebaknya tepat.
“Nggak ada sih,” gumamku, menyesali keberuntungan
Oki.
“Nggak ada absen juga kan?”
“Nggak ada.”
“Syukurlah.”
Oki nyengir. Kadang aku ingin sekali punya
fleksibilitas dalam hidup seperti Oki, yang santai menyikapi segalanya.
Inilah alasannya aku tidak bisa menyukai Oki,
bagaimanapun teman-teman – dan kadang, orang tuaku – membujukku untuk pacaran
dengan Oki.
“Ada lagu baru?” tanyanya padaku, memandangi
ponselku yang sedang kuutak-atik, mencari lagu yang bagus. “Yang bagus.”
“Nih,” aku menyodorkan headphone-ku padanya, membiarkannya memasang sendiri. “Lagunya Big
Bang. Judulnya Blue.”
Oki (mungkin) adalah orang pertama di dekatku yang
kutulari virus K-pop. Sejak SMA, aku sering mencekoki dia dengan lagu-lagu
Super Junior dan SNSD. Dia sama sekali tidak protes, dia hanya mendengarkan,
dengan seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dia akan
mengutarakan pendapatnya tentang lagu itu. Begitu saja. Tapi itulah kenapa aku
senang mempunyai Oki sebagai temanku – dia sangat menghargaiku. Dan begitulah
sampai sekarang Oki sering bertanya apakah aku punya lagu yang baru atau tidak,
karena diam-diam Oki adalah fans Big Bang dan After School.
Seperti sekarang, Oki terdiam di bangkunya, aku
terdiam di bangkuku, membiarkan lagu Blue
terputar dan terdengarkan di telinga Oki.
“Bagus nih,” ujarnya, ketika lagunya selesai. “Ada
lagi nggak?”
“Punya nih yang cocok buat kamu,” kucari lagu berjudul
Bad Boy.
“Big Bang juga? Mereka baru comeback ya?”
“Iya, comeback-nya
kereeen, nonton nggak yang di Inkigayo? Keren gitu, ada air-airnya...”
“Hooo,” angguk Oki. Dia selalu menyembunyikan
kegirangannya kalau ada sesuatu yang menyangkut Big Bang atau After School, entah
karena apa aku tak tahu.
“Dengerin deh,” kataku, menekan tombol untuk memutar
lagu berikutnya.
Di album Big Bang yang kelima ini, aku sangat suka
lagu Bad Boy. Aku sampai hapal
liriknya, padahal aku belum pernah mencari lirik lagu ini di Google. Ini hanya perumpamaan bagaimana
sering aku memutar dan mendengarkan lagu ini.
“Sorry I’m a
bad boy,” ujar Oki tiba-tiba, mengagetkanku, karena seiring dengan dia
berkata begitu, dia tiba-tiba memasangkan headphone
ke kepalaku. Aku langsung menoleh, seketika teringat kejadian
berbulan-bulan yang lalu, yang kebetulan kukenang kemarin.
“Gitu kan liriknya?” Oki nyengir seperti biasa.
“Cieee...” mendadak kelas ramai dengan teman-temanku
yang baru kembali dari kantin.
“Pacaran mulu nih berdua.”
“Lanjutin, lanjutin...”
“Kamu udah makan, May?” tanya Oki, mengabaikan
keributan yang terjadi.
“Udah.”
“Bener?”
“Bener.”
Kujawab pertanyaan Oki dengan singkat karena aku
sudah melihat Satria dengan teman-temannya yang biasa, para lelaki itu, yang
menyapa Oki dengan akrab.
Melihat Satria aku langsung teringat sms yang
kudapat beberapa saat yang lalu; tentang seseorang konyol yang minta izin duduk
di belakangku. Kupandangi Satria dengan lirikan yang membuat bola mataku sakit,
mengawasinya penuh-penuh, memastikan...
Dan dia tidak berjalan untuk duduk di belakangku,
tetapi duduk di baris terakhir kolom kedua kursi di kelas ini.
Aku menghela napas, di saat yang bersamaan merasa
lega dan kecewa.
Sesungguhnya aku membenci hal ini, hatiku yang
seenaknya memutuskan bahwa siapapun yang mengirim sms itu ada sangkut pautnya
dengan Satria. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi
berharap pada orang yang tidak pantas diharapkan – Satria toh sudah menyukai si
anak kecil itu.
Sebuah lagu yang amat kusukai mendadak terputar di
telingaku, dan tanpa sadar aku sudah tersenyum-senyum sendiri sembari
mengangguk-angguk mengikuti melodi.
Lalu aku mendapat sebuah pesan singkat, lagi, kedua
kalinya pagi itu.
+62897544xxxxx
17/04/12 10:04
Apa kamu
merasakan deja vu?
* * *
Theme song: SS501 – Love Like This, Big Bang – Blue
Created by Antiq
17/04/12 – 18/04/12
2 komentar
jadi pemilik nomer yang ini siapa ya? penasaran ._.
REPLYheheheheiii semuanya akan terungkap di bab akhir :p
REPLY