25 Apr 2012

Aku keluar dari kamar mandi, menyeka mulutku. Sudah dua jam terakhir ini aku tak bisa bergerak dan hanya berbaring di kasur, tak berdaya. Ketika akhirnya mualku tak tertahankan, aku dengan berat hati meninggalkan kasur dan membuang semua makan siangku ke toilet.
“Mbak, nggak papa?” tanya Mpok Imah, pembantu di rumahku yang senantiasa datang setiap pagi sebelum aku kuliah dan pulang di sore hari.
“Nggak apa-apa, Mpok, cuma masuk angin...” aku tersenyum, berjalan perlahan ke kamarku. “Bajunya udah diangkatin, Mpok?” aku memandang keluar jendela dan menyadari bahwa hujan turun dengan deras.

“Udah Mbak, udah saya setrika juga tadi...”
Jam tiga sore tadi sebenarnya sudah waktunya Mpok Imah untuk pulang dan mengurusi keluarganya sendiri, di samping mengurusiku. Namun sekarang sudah pukul setengah empat dan Mpok Imah masih mencemaskanku.
“Mbak, mau saya kerokin?” tanya Mpok Imah. “Siapa tahu bisa mendingan... anak saya kalo masuk angin juga tidurnya langsung pules habis saya kerokin...”
Aku menyetujui saran Mpok Imah dan membiarkannya membuat garis-garis kemerahan di punggungku. Entah kenapa aku merasa lebih ringan setelah lima menit Mpok Imah mengerokiku.
“Makasih ya, Mpok...”
“Cepet sembuh ya, Mbak. Itu sudah saya buatkan teh manis anget,” ujar Mpok Imah, menunjuk meja makanku. “Mbak nggak usah masak buat makan malam, saya udah masak...”
“Makasih banyak, Mpok...”
“Istirahat, Mbak...”
Mpok Imah lalu keluar rumahku, menemui suami yang menjemputnya menggunakan motor dan jas hujan. Aku membungkuk singkat ketika suami Mpok Imah mengangguk dan tersenyum padaku.
Kupandangi tudung saji yang menutupi makanan di meja makan. Aku sama sekali tidak bernafsu untuk makan, meski aku biasanya langsung lapar lagi enam jam setelah aku makan. Aku hanya menyeruput sedikit teh manis hangat yang dibuatkan Mpok Imah, kemudian membawanya ke kamar.
“Sial, aku makan apa aja sih kemarin...” aku perlahan naik ke kasur dan menyelimuti diriku dengan selimut tebal. Akane naik ke kasurku.
“Sini, Akane,” kataku, membutuhkan teman. Seolah mengerti, Akane tidak rewel seperti biasanya dan menempatkan dirinya di sisiku, bergelung nyaman.
“Tinggal sendirian itu sepi, ya...” ujarku pelan, dibalas dengkuran Akane. Kemudian aku tertidur.
Aku mimpi aneh, tapi aku tidak ingat tentang apa. Aku hanya tahu ada Satria disana, kami ada di karnaval, itu saja. Tapi aku senang. Senang sekali bisa berdua dengan Satria, meski hanya di mimpiku.
Faktanya, berduaan saja dengan Satria tampaknya memang hanya ada di mimpiku.
Intro lagu Baby I’m Sorry bergaung di kamarku, membangunkanku dari mimpiku yang membuatku senang. Aku bangun dengan enggan, lalu meraih ponselku di meja samping tempat tidur tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel.
“Halooo.”
“Maya? Kamu sakit, Nak?”
Ternyata mamaku. Mpok Imah pasti sudah mengabari beliau tentang sakitnya aku.
“Nggak kok, Ma... masuk angin doang...” ujarku, duduk bersandar di tempat tidur.
Rutinitas seperti biasa kalau Mama meneleponku. Aku memberi laporan, tentang keadaanku, dan Mama yang giliran bercerita, tentang Papa dan Kakak. Untuk beberapa saat aku melupakan sakitku dan tertawa-tawa bersama Mama, yang selalu sukses membuat mood-ku naik.
“Ma, aku pengen pulang...” kataku, setelah kami berdua terdiam beberapa detik. Mendadak air mataku turun, tak diharapkan.
“Ya... nanti libur semester juga pulang kan, Nak?”
“Aku pengen ketemu Mama...” akhirnya aku mulai menangis tak tertahankan. “Lagi nggak enak di kampus...”
“Ya ditahan-tahan dulu, Nak... jangan nangis ah,” kata Mama menenangkan. “Kenapa, kenapa, nggak enaknya kenapa?”
Aku mulai sesenggukan. “Susah... pelajarannya...”
“Ya memang begitu namanya sekolah, karena kamu belum tahu, jadi dikasih tahu, nggak papa, namanya juga proses belajar...”
“Tapi nggak enak sendirian...”
“Nggak sendirian kan, ada Akane...”
“Aah, Mama!” tangisku malah semakin menjadi.
“Coba coba jangan nangis dulu, minum, minum dulu...”
Sesak napas, aku menyeruput teh manisku di sisi meja.
“Udah minum?” tanya Mama.
“Ngng,” jawabku, mulai tenang.
“Kalau nggak mau sendirian, ajak temen lah, nginep...” ujar Mama.
Aku menahan tangisku, kalau memikirkan kondisiku sekarang, tak ada teman yang sedekat dulu.
“Main sama Oki...” saran Mama. “Kan ada Oki?”
“Iya, Ma...”
“Wajar Nak, kalau kamu ngerasa pelajarannya susah. Nah untuk ngatasinnya gimana? Kamu ulang lagi, baca lagi catatan kuliah kamu pas pulang kuliah. Dulu kamu SD kamu sering lho baca-baca lagi bukumu pulang sekolah, dulu tuh kamu rajin...”
Aku tertawa. “Sekarang juga rajin kok...”
“Iya, sekarang tambah rajin... makanya cobalah kayak SD lagi, dibaca lagi catatan kuliahnya, coba dimengerti, kalau masih belum ngerti, coba tanya temennya yang udah ngerti...”
“Iya, Ma...”
“...pasti bisa lah, kamu pasti bisa, May...”
“He-eh, Ma.”
Akane mengeong, menyadarkanku yang lupa padanya. “Ma, Akane mau ngomong.” Kudekatkan ponselku ke mulut Akane. “Akane, Mama nih...”
Dia mengeong keras. Aku mengelus kepalanya.
“Akane, jagain Maya, ya...” kata Mama samar-samar.
Aku tertawa. “Halo Ma,” aku bicara lagi di ponselku. “Ma, besok ada pertandingan futsal loh, si Oki tanding...”
“Oh iya tuh, mamanya Oki cerita, katanya kamu sering bikinin mereka makanan, ya?”
“Mereka sering mampir, Ma, terus minta bikinin smoothies.”
“Ya nggak papa, berarti kamu nggak sering sendirian kan, di rumah?”
“Ya, asik juga sih kalau mereka dateng...”
“Asal hati-hati lho ya, cowok semua kan? Pintu rumahnya jangan ditutup, takut nggak enak sama tetangga...”
“Oh, selalu aku buka lebar-lebar kok, Ma...”
“Hmm.”
Homesick-ku mendadak hilang begitu saja, dan Mama kembali bercerita dan menasehatiku tentang segala hal. Aku seperti biasa, mengangguk dan mengiyakan, berjanji akan mematuhi nasehat Mama.
“Libur semesternya kapan?” tanya Mama akhirnya.
“Nggak tau nih Ma, belum ada kabar,” aku menyesali belum adanya pengumuman resmi dari fakultasku tentang libur semester ini. “Biasa tuh Ma, ntar munculnya dua hari sebelum liburan...”
“Lho kok gitu,” Mama tertawa. “Ya udah, nanti kasih tau aja pas udah pengumuman, biar cari tiketnya bisa lebih awal, terus bisa dapet yang murah...”
“Oke, Ma.”
“Eh udah ya, nasi Mama udah mateng nih. Belajar ya Nak ya. Istirahat, jangan main dulu. Jangan tidur malem-malem juga.”
“Iya, Ma.”
Aku menunggu Mama memutuskan hubungan telepon, lalu aku menutup ponselku, dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya. Memang sudah lama Mama tidak meneleponku, sekitar seminggu ini, dan aku bertanya-tanya kenapa Mama belum meneleponku juga. Aku sendiri bingung kalau aku duluan yang menelepon, kalau memang tidak ada keadaan yang benar-benar gawat – kamarku bocor, misalnya.
Aku mengecek ponselku, dan kudapatkan ada tiga sms dari Oki.

Oki
11/05/12 17:16
May, kamu dateng kan besok? Dateng yaaaa :D bawa makanan :p

Oki
11/05/12 17:30
May? Kata Satria kamu tadi pucet, sakit ya?

Oki
11/05/12 17:36
Aku ke rumahmu ya? Kamu nggak apa-apa?

Oke. Pesan singkat kedua dari Oki yang membuatku terhenyak. Kata Satria kamu tadi pucet... Kata Satria... Satria...
Sejak kapan Satria memperhatikanku coba?
Kubalas sms itu, karena memang kebetulan aku sedang butuh teman.

11/05/12 17:45
Sori, sori, tadi mama nelepon... iya, kesini dong :(

Oki
11/05/12 17:50
Kamu beneran sakit? Udah makan? Atau udah dimasakin Mpok Imah?

11/05/12 17:54
Masuk angin, biasalah. Udah dimasakin, tinggal diangetin.

Oki
11/05/12 17:56
Bentar lagi. OTW.

‘OTW’-nya Oki adalah perjalanan dia dari kamarnya ke garasi rumahnya, mengambil motornya.
Selagi menunggu, aku berselimut lagi, sementara Akane berjalan-jalan di kamarku. Kuawasi dia dari tempat tidur. Dia bergulingan di karpet ruang televisiku, ke kanan dan ke kiri. Aku tidak bisa menahan tawaku melihatnya. Kulempar bola mainan Akane, yang menggelinding keluar kamarku dan menuju ruang televisi. Akane sudah melihatnya, dan dia mulai bermain dengan bolanya.
Tak lama kemudian, sms dari Oki muncul.

Oki
11/05/12 18:03
Di depan pintu

Aku bangkit, kepalaku berat, tapi tidak seberat sebelum aku muntah tadi. Di luar kudengar rintik-rintik hujan.
Kubuka pintu depanku. Oki muncul disana, basah kuyup.
“Kenapa nggak pake jas hujan sih,” aku minggir untuk menyilakannya masuk.
“Buru-buru,” ujar Oki nyengir, melepas jaket dan mengibaskannya, lalu menyampirkannya di kursi terasku.
“Obat,” Oki meletakkan bungkusan plastik di meja ruang tamu.
“Waah, makasih lho,” kataku bahagia, mengingat kotak P3K-ku yang kosong.
“Demam nggak?” dia menuju ruang makan, membuka tudung saji, dan memasukkan masakan Mpok Minah ke microwave.
“Nggak,” aku duduk di sofa dan menyalakan televisi.
“Spongebob, Spongebob!” teriak Oki, begitu mendengar suara televisi.
“Hssh.”
Akane masih bergulingan tanpa arti di karpet. Kumainkan dia, menggelitiki perutnya. Tidak ada hiburan paling menyenangkan selain bermain dengan binatang peliharaanmu, kau tahu.
“Besok tanding jam berapa?” tanyaku.
“Jam satu,” Oki duduk di karpet dan memeluk Akane erat-erat, yang langsung memberontak dan lepas dari pelukan Oki. “Kalau kamu nggak kuat nggak usah dateng juga nggak apa-apa...”
“Aku udah janji...”
“Berarti kamu harus udah sembuh besok,” tegas Oki.
Kami berdua terdiam sejenak selagi menonton episode Spongebob yang baru.
“Dia itu lho bodoh sekali,” ujar Oki, begitu iklan muncul.
Akane, entah kenapa, menoleh dari tempat minumnya mendengar suara Oki. Mungkin dikiranya Oki bicara tentang dia.
“Bukan kamu,” Oki tertawa. “Spongebob.”
Akane mengeong berterima kasih.
Kadang kupikir Akane ini reinkarnasi seseorang.
Di pertengahan serial Spongebob, Oki selesai menghangatkan makanan dan sudah tersaji di meja makan.
“Makan yuk,” katanya dari meja makan.
“Males makan ah,” ujarku, jujur. Mualku masih terasa.
“Kamu itu maag, Maya,” Oki berkata tegas. “Dikit aja, buat minum obat.”
Dengan enggan-engganan aku bangun dari sofa dan menuju meja makan. Mpok Imah ternyata memasak makanan kesukaanku, omelet keju sosis dan sup krim jamur. Jenis makanan yang biasanya membuat perutku langsung berkeruyuk dengan hanya melihatnya saja.
Aku memotong seperempat omelet dan menuangkan sup krim jamur di mangkuk super kecil. Oki memaksa memberiku nasi dengan porsi yang cukup banyak, aku menolak, tapi dia memaksa, dan aku akhirnya menyetujui dengan syarat porsinya dikurangi tigaperempatnya.
Oki memakan sisanya.
“Jadi tadi si Satria sms,” kata Oki, memulai pembicaraan yang membuatku tambah tidak nafsu makan.
“Sms apa?” tanyaku, tanpa terdengar terlalu bersemangat.
“Dia bilang anak-anak minta kamu sama Hannah dateng,” cerita Oki.
Hannah sudah datang di dua kali latihan mereka, yang pertama dia membawakan nasi kepal, yang kedua dia membawa sushi bikinannya sendiri. Anak-anak futsal memakan masakan Hannah tanpa suara, dan ketika Hannah hendak pulang, mereka berteriak-teriak berterima kasih atas makanan yang super enak itu.
“Heem, lalu?” aku mengunyah omelet dengan kecepatan siput.
“Tapi dia tadi liat kamu kok kayaknya pucet gitu, jadi dia nanya...” jelas Oki. “Setelah kupikir-pikir, kamu memang kelihatan sakit tadi seharian. Lemes banget.”
“Ooh.”
“Dari kapan sih kamu sakit?”
“Nggak tau.”
Aku terlalu sibuk memikirkan pikiran Satria yang bilang kalau dia melihatku dalam kondisi pucat.
“Satria juga bilang jangan lupa smoothies-nya,” tambah Oki.
“Begitu saja?”
Oki menengadah. “’Begitu saja’ gimana? Kamu mengharapkan dia berkata lebih dari itu ya?”
Ups, aku tidak sadar. Spontanitasku patut disalahkan dalam peristiwa ini.
“Nggak kok.”
Oki belum tahu kalau aku suka Satria. Aku juga tidak berniat memberitahunya. Sebenarnya bisa saja dari dulu aku bertanya pada Oki apakah nomor yang berkali-kali mengirimiku sms itu memang Satria, hanya saja aku tidak mau menceritakan fakta ini padanya.
“Hannah masak apa ya kira-kira,” aku mengubah topik, daripada wajahku memanas terus mendengar nama Satria disebut.
“Katanya dia mau bikin sandwich,” kata Oki.
“Dia sms kamu?”
“Dia cerita ke aku.”
“Kapan?”
“Tadi...”
Rupanya perkembangan hubungan mereka lebih cepat daripada yang aku perkirakan. Aku bersyukur, karena selama seminggu ini aku tidak bisa berkonsentrasi pada kegiatan mak comblang-ku untuk mendekatkan mereka.
Setelah meminum obatku, Oki berkata dia akan pulang.
“Makasih lho,” ujarku, merapatkan jaket ketika mengantarnya keluar rumah.
Oki mengangguk-angguk. “Cepet sembuh. Besok dateng?”
“Pastinya. Aku bareng Hannah.”
“Oke...”
“Ati-ati ya, salam buat Ibu.”
Aku menghela napas, kemudian terdengar bunyi dering penanda pesan singkat masuk ke ponselku.

+628693003xxxx
11/05/12 19:15
May, Satria nih. ....

Melihat kalimat pertamanya sudah membuatku berdebar setengah mati, debaran yang berbeda dengan debaran ketika kau sakit.

.... Bisa dateng kan besok? Anak-anak minta kamu dateng.

TENTU SAJA! TENTU SAJA AKU AKAN DATANG KALAU KAMU MINTA AKU DATANG.
Aku menenangkan diriku sepenuhnya, baru membalas pesan Satria.

11/05/12 19:18
Bisa, kok ^^ mau dibawain apa?

+628693003xxxx
11/05/12 19:20
Nggak usah yang aneh-aneh, haha. Aku nggak minta apa-apa, kok... cuma butuh suporter doang :p

Aku tertawa membaca pesan itu, sesaat melupakan pusing kepalaku.

11/05/12 19:24
Anak-anak sekelas pada dateng, kan? Kalian kan bawa nama fakultas.

+628693003xxxx
11/05/12 19:26
Semoga aja rame yang dateng, kita besok lawan teknik, kan rame banget tuh pasti suporternya...

11/05/12 19:30
Hah, serius lawan teknik? Aku PASTI dateng kok, Sat.

+628693003xxxx
11/05/12 19:34
Kok kamu bahagia banget, May? -__-

11/05/12 19:37
Anak teknik kan ganteng-ganteng :3

Anggap sajalah aku sudah bosan melihat cowok-cowok di fakultasku sendiri, yang bisa dihitung dengan jari. Anggap sajalah aku butuh cuci mata.

+628693003xxxx
11/05/12 19:40
Tolong fokus pada tim mana yang hendak kamu suporteri, Maya.

Aku berjanji untuk fokus kok, fokus memandang Satria selama pertandingan.

11/05/12 19:45
Lho, aku kan cuma memuji anak teknik.

Satria
11/05/12 19:47
Fine.

Sengaja aku membalas pesan Satria agak lama, agar aku tidak terlihat terlalu bersemangat berkirim pesan dengannya. Aku juga menyempatkan diri menyimpan nomornya di ponselku. Aku bingung harus membalas apalagi ketika Satria mengirim pesan itu (‘Fine.’). Akhirnya kuletakkan ponselku di meja, dan aku mengambil es untuk mengompres kepalaku yang mulai merasa hangat.
Mendadak sebuah sms muncul di ponselku. Setengah berharap dan setengah menolak pengharapan itu, aku mengira sms itu dari Satria.

Satria
11/05/12 20:00
Kamu sakit, ya?

Ngik. Sejenak aku berhenti bernapas. Rupanya cerita Oki tadi memang bukan bualan.

11/05/12 20:03
Nggak kok. Kata siapa?

Satria
11/05/12 20:06
Aku nanya Oki.

Haiisssh. Oki menceritakan segalanya pada kaptennya inikah? Sudah kubilang agar tidak terlalu jujur dalam bercerita.

11/05/12 20:10
No, no, tomorrow I’ll be fine ^^

Satria
11/05/12 20:13
I’ve told you not to hurt yourself too much.

Oh, TUHAN. Apakah seorang Satria memang semanis ini pada semua teman perempuannya, termasuk Marisa, yang akhirnya membuat Marisa mengira Satria menyukainya? Tapi, menurut cerita teman-teman yang lain, Satria memang suka pada Marisa. Berarti perhatiannya yang seperti ini... memang sudah sifatnya.
Aku hanya tak ingin menyalahpahamkan perhatian Satria yang seperti ini menjadi pikiran bahwa Satria menyukaiku.

11/05/12 20:16
Lukanya udah sembuh, kok

Pesan ini mengacu pada jariku yang terluka dan lututku yang lecet kemarin, yang sudah sembuh total sekarang, meski jariku masih agak sedikit sakit kalau mendapat tekanan.

Satria
11/05/12 20:18
Then don’t hurt yourself anymore

11/05/12 20:20
I’ll try. See you tomorrow.

Kuputuskan untuk menghentikan pembicaraan ini, yang membuat badanku semakin panas. Kutekankan pada diriku sendiri, sekali lagi, untuk tidak terhanyut dalam perasaan aneh tentang Satria dan perhatiannya.
Aku beranjak ke kamar tidurku, membiarkan Akane makan dari tempat makannya, dan berselimut lagi. Aku hanya ingin tidur malam ini, sampai besok pagi, kalau bisa sampai besok malam.
Tidak usah datang ke pertandingan juga tidak apa-apa.
Tepat ketika mataku terpejam untuk beberapa saat, aku terbangun karena dering sms masuk.

Satria
11/05/12 20:35
I’ll wait.

Ah, Satria sialan. Sekarang aku tidak bisa tidur lagi.
* * *

1st draft done on 24/04/12 15:03
1st edit done on 24/04/12 16:40

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates