Homesick
“Mbak, nggak papa?” tanya Mpok Imah, pembantu di
rumahku yang senantiasa datang setiap pagi sebelum aku kuliah dan pulang di
sore hari.
“Nggak apa-apa, Mpok, cuma masuk angin...” aku
tersenyum, berjalan perlahan ke kamarku. “Bajunya udah diangkatin, Mpok?” aku
memandang keluar jendela dan menyadari bahwa hujan turun dengan deras.
Jam tiga sore tadi sebenarnya sudah waktunya Mpok
Imah untuk pulang dan mengurusi keluarganya sendiri, di samping mengurusiku. Namun
sekarang sudah pukul setengah empat dan Mpok Imah masih mencemaskanku.
“Mbak, mau saya kerokin?” tanya Mpok Imah. “Siapa
tahu bisa mendingan... anak saya kalo masuk angin juga tidurnya langsung pules
habis saya kerokin...”
Aku menyetujui saran Mpok Imah dan membiarkannya
membuat garis-garis kemerahan di punggungku. Entah kenapa aku merasa lebih
ringan setelah lima menit Mpok Imah mengerokiku.
“Makasih ya, Mpok...”
“Cepet sembuh ya, Mbak. Itu sudah saya buatkan teh
manis anget,” ujar Mpok Imah, menunjuk meja makanku. “Mbak nggak usah masak
buat makan malam, saya udah masak...”
“Makasih banyak, Mpok...”
“Istirahat, Mbak...”
Mpok Imah lalu keluar rumahku, menemui suami yang
menjemputnya menggunakan motor dan jas hujan. Aku membungkuk singkat ketika
suami Mpok Imah mengangguk dan tersenyum padaku.
Kupandangi tudung saji yang menutupi makanan di meja
makan. Aku sama sekali tidak bernafsu untuk makan, meski aku biasanya langsung
lapar lagi enam jam setelah aku makan. Aku hanya menyeruput sedikit teh manis
hangat yang dibuatkan Mpok Imah, kemudian membawanya ke kamar.
“Sial, aku makan apa aja sih kemarin...” aku
perlahan naik ke kasur dan menyelimuti diriku dengan selimut tebal. Akane naik
ke kasurku.
“Sini, Akane,” kataku, membutuhkan teman. Seolah
mengerti, Akane tidak rewel seperti biasanya dan menempatkan dirinya di sisiku,
bergelung nyaman.
“Tinggal sendirian itu sepi, ya...” ujarku pelan,
dibalas dengkuran Akane. Kemudian aku tertidur.
Aku mimpi aneh, tapi aku tidak ingat tentang apa.
Aku hanya tahu ada Satria disana, kami ada di karnaval, itu saja. Tapi aku
senang. Senang sekali bisa berdua dengan Satria, meski hanya di mimpiku.
Faktanya, berduaan saja dengan Satria tampaknya memang hanya ada di mimpiku.
Intro lagu Baby
I’m Sorry bergaung di kamarku, membangunkanku dari mimpiku yang membuatku
senang. Aku bangun dengan enggan, lalu meraih ponselku di meja samping tempat
tidur tanpa melihat nama yang tertera di layar ponsel.
“Halooo.”
“Maya? Kamu sakit, Nak?”
Ternyata mamaku. Mpok Imah pasti sudah mengabari
beliau tentang sakitnya aku.
“Nggak kok, Ma... masuk angin doang...” ujarku,
duduk bersandar di tempat tidur.
Rutinitas seperti biasa kalau Mama meneleponku. Aku
memberi laporan, tentang keadaanku, dan Mama yang giliran bercerita, tentang
Papa dan Kakak. Untuk beberapa saat aku melupakan sakitku dan tertawa-tawa
bersama Mama, yang selalu sukses membuat mood-ku
naik.
“Ma, aku pengen pulang...” kataku, setelah kami
berdua terdiam beberapa detik. Mendadak air mataku turun, tak diharapkan.
“Ya... nanti libur semester juga pulang kan, Nak?”
“Aku pengen ketemu Mama...” akhirnya aku mulai
menangis tak tertahankan. “Lagi nggak enak di kampus...”
“Ya ditahan-tahan dulu, Nak... jangan nangis ah,”
kata Mama menenangkan. “Kenapa, kenapa, nggak enaknya kenapa?”
Aku mulai sesenggukan. “Susah... pelajarannya...”
“Ya memang begitu namanya sekolah, karena kamu belum
tahu, jadi dikasih tahu, nggak papa, namanya juga proses belajar...”
“Tapi nggak enak sendirian...”
“Nggak sendirian kan, ada Akane...”
“Aah, Mama!” tangisku malah semakin menjadi.
“Coba coba jangan nangis dulu, minum, minum dulu...”
Sesak napas, aku menyeruput teh manisku di sisi
meja.
“Udah minum?” tanya Mama.
“Ngng,” jawabku, mulai tenang.
“Kalau nggak mau sendirian, ajak temen lah,
nginep...” ujar Mama.
Aku menahan tangisku, kalau memikirkan kondisiku
sekarang, tak ada teman yang sedekat dulu.
“Main sama Oki...” saran Mama. “Kan ada Oki?”
“Iya, Ma...”
“Wajar Nak, kalau kamu ngerasa pelajarannya susah.
Nah untuk ngatasinnya gimana? Kamu ulang lagi, baca lagi catatan kuliah kamu
pas pulang kuliah. Dulu kamu SD kamu sering lho baca-baca lagi bukumu pulang
sekolah, dulu tuh kamu rajin...”
Aku tertawa. “Sekarang juga rajin kok...”
“Iya, sekarang tambah rajin... makanya cobalah kayak
SD lagi, dibaca lagi catatan kuliahnya, coba dimengerti, kalau masih belum
ngerti, coba tanya temennya yang udah ngerti...”
“Iya, Ma...”
“...pasti bisa lah, kamu pasti bisa, May...”
“He-eh, Ma.”
Akane mengeong, menyadarkanku yang lupa padanya. “Ma,
Akane mau ngomong.” Kudekatkan ponselku ke mulut Akane. “Akane, Mama nih...”
Dia mengeong keras. Aku mengelus kepalanya.
“Akane, jagain Maya, ya...” kata Mama samar-samar.
Aku tertawa. “Halo Ma,” aku bicara lagi di ponselku.
“Ma, besok ada pertandingan futsal loh, si Oki tanding...”
“Oh iya tuh, mamanya Oki cerita, katanya kamu sering
bikinin mereka makanan, ya?”
“Mereka sering mampir, Ma, terus minta bikinin smoothies.”
“Ya nggak papa, berarti kamu nggak sering sendirian
kan, di rumah?”
“Ya, asik juga sih kalau mereka dateng...”
“Asal hati-hati lho ya, cowok semua kan? Pintu
rumahnya jangan ditutup, takut nggak enak sama tetangga...”
“Oh, selalu aku buka lebar-lebar kok, Ma...”
“Hmm.”
Homesick-ku
mendadak hilang begitu saja, dan Mama kembali bercerita dan menasehatiku
tentang segala hal. Aku seperti biasa, mengangguk dan mengiyakan, berjanji akan
mematuhi nasehat Mama.
“Libur semesternya kapan?” tanya Mama akhirnya.
“Nggak tau nih Ma, belum ada kabar,” aku menyesali
belum adanya pengumuman resmi dari fakultasku tentang libur semester ini. “Biasa
tuh Ma, ntar munculnya dua hari sebelum liburan...”
“Lho kok gitu,” Mama tertawa. “Ya udah, nanti kasih
tau aja pas udah pengumuman, biar cari tiketnya bisa lebih awal, terus bisa
dapet yang murah...”
“Oke, Ma.”
“Eh udah ya, nasi Mama udah mateng nih. Belajar ya
Nak ya. Istirahat, jangan main dulu. Jangan tidur malem-malem juga.”
“Iya, Ma.”
Aku menunggu Mama memutuskan hubungan telepon, lalu
aku menutup ponselku, dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya. Memang
sudah lama Mama tidak meneleponku, sekitar seminggu ini, dan aku bertanya-tanya
kenapa Mama belum meneleponku juga. Aku sendiri bingung kalau aku duluan yang
menelepon, kalau memang tidak ada keadaan yang benar-benar gawat – kamarku
bocor, misalnya.
Aku mengecek ponselku, dan kudapatkan ada tiga sms
dari Oki.
Oki
11/05/12 17:16
May, kamu
dateng kan besok? Dateng yaaaa :D bawa makanan :p
Oki
11/05/12 17:30
May? Kata
Satria kamu tadi pucet, sakit ya?
Oki
11/05/12 17:36
Aku ke rumahmu
ya? Kamu nggak apa-apa?
Oke. Pesan singkat kedua dari Oki yang membuatku
terhenyak. Kata Satria kamu tadi pucet...
Kata Satria... Satria...
Sejak kapan Satria memperhatikanku coba?
Kubalas sms itu, karena memang kebetulan aku sedang
butuh teman.
11/05/12 17:45
Sori, sori,
tadi mama nelepon... iya, kesini dong :(
Oki
11/05/12 17:50
Kamu beneran
sakit? Udah makan? Atau udah dimasakin Mpok Imah?
11/05/12 17:54
Masuk angin,
biasalah. Udah dimasakin, tinggal diangetin.
Oki
11/05/12 17:56
Bentar lagi.
OTW.
‘OTW’-nya Oki adalah perjalanan dia dari kamarnya ke
garasi rumahnya, mengambil motornya.
Selagi menunggu, aku berselimut lagi, sementara
Akane berjalan-jalan di kamarku. Kuawasi dia dari tempat tidur. Dia bergulingan
di karpet ruang televisiku, ke kanan dan ke kiri. Aku tidak bisa menahan tawaku
melihatnya. Kulempar bola mainan Akane, yang menggelinding keluar kamarku dan
menuju ruang televisi. Akane sudah melihatnya, dan dia mulai bermain dengan
bolanya.
Tak lama kemudian, sms dari Oki muncul.
Oki
11/05/12 18:03
Di depan pintu
Aku bangkit, kepalaku berat, tapi tidak seberat sebelum
aku muntah tadi. Di luar kudengar rintik-rintik hujan.
Kubuka pintu depanku. Oki muncul disana, basah
kuyup.
“Kenapa nggak pake jas hujan sih,” aku minggir untuk
menyilakannya masuk.
“Buru-buru,” ujar Oki nyengir, melepas jaket dan
mengibaskannya, lalu menyampirkannya di kursi terasku.
“Obat,” Oki meletakkan bungkusan plastik di meja
ruang tamu.
“Waah, makasih lho,” kataku bahagia, mengingat kotak
P3K-ku yang kosong.
“Demam nggak?” dia menuju ruang makan, membuka
tudung saji, dan memasukkan masakan Mpok Minah ke microwave.
“Nggak,” aku duduk di sofa dan menyalakan televisi.
“Spongebob, Spongebob!” teriak Oki, begitu mendengar
suara televisi.
“Hssh.”
Akane masih bergulingan tanpa arti di karpet.
Kumainkan dia, menggelitiki perutnya. Tidak ada hiburan paling menyenangkan
selain bermain dengan binatang peliharaanmu, kau tahu.
“Besok tanding jam berapa?” tanyaku.
“Jam satu,” Oki duduk di karpet dan memeluk Akane erat-erat,
yang langsung memberontak dan lepas dari pelukan Oki. “Kalau kamu nggak kuat
nggak usah dateng juga nggak apa-apa...”
“Aku udah janji...”
“Berarti kamu harus udah sembuh besok,” tegas Oki.
Kami berdua terdiam sejenak selagi menonton episode
Spongebob yang baru.
“Dia itu lho bodoh sekali,” ujar Oki, begitu iklan
muncul.
Akane, entah kenapa, menoleh dari tempat minumnya
mendengar suara Oki. Mungkin dikiranya Oki bicara tentang dia.
“Bukan kamu,” Oki tertawa. “Spongebob.”
Akane mengeong berterima kasih.
Kadang kupikir Akane ini reinkarnasi seseorang.
Di pertengahan serial Spongebob, Oki selesai
menghangatkan makanan dan sudah tersaji di meja makan.
“Makan yuk,” katanya dari meja makan.
“Males makan ah,” ujarku, jujur. Mualku masih
terasa.
“Kamu itu maag, Maya,” Oki berkata tegas. “Dikit
aja, buat minum obat.”
Dengan enggan-engganan aku bangun dari sofa dan menuju
meja makan. Mpok Imah ternyata memasak makanan kesukaanku, omelet keju sosis
dan sup krim jamur. Jenis makanan yang biasanya membuat perutku langsung
berkeruyuk dengan hanya melihatnya saja.
Aku memotong seperempat omelet dan menuangkan sup
krim jamur di mangkuk super kecil. Oki memaksa memberiku nasi dengan porsi yang
cukup banyak, aku menolak, tapi dia memaksa, dan aku akhirnya menyetujui dengan
syarat porsinya dikurangi tigaperempatnya.
Oki memakan sisanya.
“Jadi tadi si Satria sms,” kata Oki, memulai
pembicaraan yang membuatku tambah tidak nafsu makan.
“Sms apa?” tanyaku, tanpa terdengar terlalu bersemangat.
“Dia bilang anak-anak minta kamu sama Hannah
dateng,” cerita Oki.
Hannah sudah datang di dua kali latihan mereka, yang
pertama dia membawakan nasi kepal, yang kedua dia membawa sushi bikinannya
sendiri. Anak-anak futsal memakan masakan Hannah tanpa suara, dan ketika Hannah
hendak pulang, mereka berteriak-teriak berterima kasih atas makanan yang super
enak itu.
“Heem, lalu?” aku mengunyah omelet dengan kecepatan
siput.
“Tapi dia tadi liat kamu kok kayaknya pucet gitu,
jadi dia nanya...” jelas Oki. “Setelah kupikir-pikir, kamu memang kelihatan sakit tadi seharian. Lemes banget.”
“Ooh.”
“Dari kapan sih kamu sakit?”
“Nggak tau.”
Aku terlalu sibuk memikirkan pikiran Satria yang
bilang kalau dia melihatku dalam kondisi pucat.
“Satria juga bilang jangan lupa smoothies-nya,” tambah Oki.
“Begitu saja?”
Oki menengadah. “’Begitu saja’ gimana? Kamu
mengharapkan dia berkata lebih dari itu ya?”
Ups, aku tidak sadar. Spontanitasku patut disalahkan
dalam peristiwa ini.
“Nggak kok.”
Oki belum tahu kalau aku suka Satria. Aku juga tidak
berniat memberitahunya. Sebenarnya bisa saja dari dulu aku bertanya pada Oki
apakah nomor yang berkali-kali mengirimiku sms itu memang Satria, hanya saja
aku tidak mau menceritakan fakta ini padanya.
“Hannah masak apa ya kira-kira,” aku mengubah topik,
daripada wajahku memanas terus mendengar nama Satria disebut.
“Katanya dia mau bikin sandwich,” kata Oki.
“Dia sms kamu?”
“Dia cerita ke aku.”
“Kapan?”
“Tadi...”
Rupanya perkembangan hubungan mereka lebih cepat
daripada yang aku perkirakan. Aku bersyukur, karena selama seminggu ini aku
tidak bisa berkonsentrasi pada kegiatan mak comblang-ku untuk mendekatkan
mereka.
Setelah meminum obatku, Oki berkata dia akan pulang.
“Makasih lho,” ujarku, merapatkan jaket ketika
mengantarnya keluar rumah.
Oki mengangguk-angguk. “Cepet sembuh. Besok dateng?”
“Pastinya. Aku bareng Hannah.”
“Oke...”
“Ati-ati ya, salam buat Ibu.”
Aku menghela napas, kemudian terdengar bunyi dering
penanda pesan singkat masuk ke ponselku.
+628693003xxxx
11/05/12 19:15
May, Satria
nih. ....
Melihat kalimat pertamanya sudah membuatku berdebar
setengah mati, debaran yang berbeda dengan debaran ketika kau sakit.
.... Bisa
dateng kan besok? Anak-anak minta kamu dateng.
TENTU SAJA! TENTU SAJA AKU AKAN DATANG KALAU KAMU
MINTA AKU DATANG.
Aku menenangkan diriku sepenuhnya, baru membalas
pesan Satria.
11/05/12 19:18
Bisa, kok ^^
mau dibawain apa?
+628693003xxxx
11/05/12 19:20
Nggak usah
yang aneh-aneh, haha. Aku nggak minta apa-apa, kok... cuma butuh suporter doang
:p
Aku tertawa membaca pesan itu, sesaat melupakan
pusing kepalaku.
11/05/12 19:24
Anak-anak
sekelas pada dateng, kan? Kalian kan bawa nama fakultas.
+628693003xxxx
11/05/12 19:26
Semoga aja
rame yang dateng, kita besok lawan teknik, kan rame banget tuh pasti
suporternya...
11/05/12 19:30
Hah, serius
lawan teknik? Aku PASTI dateng kok, Sat.
+628693003xxxx
11/05/12 19:34
Kok kamu
bahagia banget, May? -__-
11/05/12 19:37
Anak teknik
kan ganteng-ganteng :3
Anggap sajalah aku sudah bosan melihat cowok-cowok
di fakultasku sendiri, yang bisa dihitung dengan jari. Anggap sajalah aku butuh
cuci mata.
+628693003xxxx
11/05/12 19:40
Tolong fokus
pada tim mana yang hendak kamu suporteri, Maya.
Aku berjanji untuk fokus kok, fokus memandang Satria
selama pertandingan.
11/05/12 19:45
Lho, aku kan
cuma memuji anak teknik.
Satria
11/05/12 19:47
Fine.
Sengaja aku membalas pesan Satria agak lama, agar
aku tidak terlihat terlalu bersemangat berkirim pesan dengannya. Aku juga
menyempatkan diri menyimpan nomornya di ponselku. Aku bingung harus membalas
apalagi ketika Satria mengirim pesan itu (‘Fine.’).
Akhirnya kuletakkan ponselku di meja, dan aku mengambil es untuk mengompres
kepalaku yang mulai merasa hangat.
Mendadak sebuah sms muncul di ponselku. Setengah
berharap dan setengah menolak pengharapan itu, aku mengira sms itu dari Satria.
Satria
11/05/12 20:00
Kamu sakit,
ya?
Ngik. Sejenak aku berhenti bernapas. Rupanya cerita Oki
tadi memang bukan bualan.
11/05/12 20:03
Nggak kok. Kata
siapa?
Satria
11/05/12 20:06
Aku nanya Oki.
Haiisssh. Oki menceritakan segalanya pada kaptennya
inikah? Sudah kubilang agar tidak terlalu jujur dalam bercerita.
11/05/12 20:10
No, no,
tomorrow I’ll be fine ^^
Satria
11/05/12 20:13
I’ve told you
not to hurt yourself too much.
Oh, TUHAN. Apakah seorang Satria memang semanis ini pada semua teman
perempuannya, termasuk Marisa, yang akhirnya membuat Marisa mengira Satria
menyukainya? Tapi, menurut cerita teman-teman yang lain, Satria memang suka pada Marisa. Berarti
perhatiannya yang seperti ini... memang sudah sifatnya.
Aku hanya tak ingin menyalahpahamkan perhatian
Satria yang seperti ini menjadi pikiran bahwa Satria menyukaiku.
11/05/12 20:16
Lukanya udah
sembuh, kok
Pesan ini mengacu pada jariku yang terluka dan
lututku yang lecet kemarin, yang sudah sembuh total sekarang, meski jariku
masih agak sedikit sakit kalau mendapat tekanan.
Satria
11/05/12 20:18
Then don’t
hurt yourself anymore
11/05/12 20:20
I’ll try. See
you tomorrow.
Kuputuskan untuk menghentikan pembicaraan ini, yang
membuat badanku semakin panas. Kutekankan pada diriku sendiri, sekali lagi,
untuk tidak terhanyut dalam perasaan aneh tentang Satria dan perhatiannya.
Aku beranjak ke kamar tidurku, membiarkan Akane
makan dari tempat makannya, dan berselimut lagi. Aku hanya ingin tidur malam
ini, sampai besok pagi, kalau bisa sampai besok malam.
Tidak usah datang ke pertandingan juga tidak
apa-apa.
Tepat ketika mataku terpejam untuk beberapa saat,
aku terbangun karena dering sms masuk.
Satria
11/05/12 20:35
I’ll wait.
Ah, Satria sialan. Sekarang aku tidak bisa tidur
lagi.
* * *
1st draft done on 24/04/12 15:03
1st edit done on 24/04/12 16:40