Junior
“Kak Maya...?” tanyanya, dengan suara selembut
angin.
“Ya?” kataku, mendongak selagi menyantap mie ayamku.
“Boleh... duduk disini?” dia, membawa semangkok sup
ayam dan segelas es jeruk, minta izin duduk bersamaku di mejaku yang hanya ada
akunya.
“Boleh boleh,” kataku buru-buru, mengelap mulutku
yang belepotan dengan tisu. Kuminum es tehku perlahan, lalu memandang cewek
yang baru saja duduk di hadapanku.
“Hmhm,” aku mengangguk-angguk.
“Kakak... deket sama Kak Oki ya?” tanyanya langsung.
Boleh juga juniorku ini, bicara padaku langsung pada
topiknya.
“Semacam itulah,” tawaku. “Kenapa?”
“Aku suka sama Kak Oki, Kak.”
Bukan petir di siang bolong lagi ini namanya. Seorang
gadis pirang yang bermata cokelat besar dan bibir tipis yang tampaknya
keturunan indo ini mengaku suka pada Oki?
Tapi, aku bersyukur dia tidak bilang dia suka
Satria.
“Ng?” aku menggumam, menunggu dia yang tampaknya
belum selesai bicara.
“Tapi aku nggak berani bicara duluan sama Kak
Oki...”
Klasik. Aku merasa aku kembali ke masa SMA, sebagai
senior baik hati yang membantu junior pemalu pedekate dengan temanku yang super
tampan – hanya saja di kasusku, Oki tidak tergolong super tampan. Dia tampan sih,
yah... memang, dia tampan.
Oke, Oki memang tidak bosan dilihat.
“Makanya aku mau minta tolong Kak Maya...” tambahnya
lagi.
“Biar kamu bisa ngomong sama Oki, begitu?” ujarku
menyimpulkan.
Hannah mengangguk, pipinya yang putih mendadak jadi
pink. Oh ya ampun, lucu sekali sih anak ini.
“Kamu darimana sih?” tanyaku, penasaran.
“Apanya, Kak?”
“Asal.”
Dia sepertinya mengerti, karena dia langsung
menceritakan tentang keturunannya. “Ayahku orang Perancis yang lahir di
Indonesia, Kak. Lalu bertemu dengan ibuku yang orang Sunda...”
“Kamu cantik,” ujarku tulus dan spontan. “Pasti kamu
bosan ya mendengarnya?”
“Ah,” dia memerah. “Tidak kok, Kak. Banyak orang
yang tidak bilang aku cantik...”
Mereka hanya terlalu malu untuk mengatakannya,
Sayang.
Topik selanjutnya pembicaraan kami adalah tentang
Oki. Bagaimana Hannah tertarik pada temanku yang satu itu, dan bukan Satria. Hannah
malu-malu sekali ketika bicara tentang Oki (sup ayamnya tidak tersentuh sama
sekali, tapi es jeruknya nyaris habis), membuatku gemas.
“Kak Maya deket sama Kak Oki udah berapa lama?”
tanyanya, menyeruput es jeruknya, dan untuk pertama kalinya menyendok sup ayam.
“Oh, kenal dari SD...” ceritaku. “Anaknya temen
papaku, dia itu...”
“Pasti seneng ya, Kak...”
“Kenapa?”
“Punya temen kecil...”
“Nggak juga,” aku mengingat-ingat kejadian-kejadian
aneh masa kecilku.
“Justru itu Kak, yang bisa bikin Kakak bilang ‘nggak
juga’ ketika ditanya tentang teman kecil. Ketika Kakak bilang ‘nggak juga’
pasti Kakak langsung inget kenangan-kenangan Kakak sama dia dulu.”
Aku terdiam. Anak ini punya sense!
“Kamu bener.”
Hannah tersenyum, lalu menyuap sup ayamnya.
Kemudian mendadak serombongan gadis cantik yang lain
masuk kantin. Marisa dan teman-temannya.
Aku mendesah panjang. Hannah bertanya, tapi aku
berkata tidak apa-apa.
Tampaknya Marisa sudah menemukan rambut pirang
Hannah yang mencolok dan segera mendekatinya. Dia juga tahu kalau Hannah duduk
denganku – yang adalah seniornya –
dan dia mengangguk ketika tak sengaja kami berpandangan.
“Hannah!” tegurnya.
“Marisa,” kata Hannah.
Kemudian mereka bicara. Aku, yang sudah selesai
dengan mie ayam dan es tehku, buru-buru bangkit untuk menghindari pembicaraan
mereka yang mungkin akan mengungkit-ungkit Satria... Marisa kan gebetannya
Satria.
“Aku duluan ya, Hannah,” kataku, mengambil tas yang
kusampirkan di kursi.
“Oh, eh... iya, Kak...” Hannah gelagapan, tapi
Marisa buru-buru duduk di kursi yang tadinya kutempati. Dua cewek yang lain
teman mereka duduk di sisa kursi yang ada.
Mengomel, aku berjalan cepat menuju perpustakaan,
yang kuharap sepi. Kalau sedang bad mood seperti
ini biasanya aku akan menyepi di sudut perpustakaan yang tidak terlihat siapa-siapa,
menyalakan laptopku, wifi-an.
Kuliah memang sudah berakhir sekitar sejam yang
lalu, tetapi entah kenapa aku punya pikiran akan menemui Satria dan
kawan-kawannya ketika aku akan berbelok melewati jalan yang akan membawaku
menuju perpustakaan. Aku takjub sendiri ketika aku bertabrakan dengan Wira,
tepat di sudut jalan.
Aku terjatuh, dengan bodohnya.
“Eh, Maya,” kata Wira, yang mengulurkan tangannya,
tapi tidak kusambut karena aku sudah berdiri sendiri. “Sori sori.”
“Nggak papa?”
tanya seseorang di sebelah kiriku. Oki.
“Nggak papa,” senyumku, mengamati siapa-siapa saja
yang ada di tempat kejadian perkara... tentu saja ada Satria, kelompok yang
seperti biasa.
Mereka berjalan menuju parkiran motor. Aku
melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan, pikiranku dipenuhi pertanyaan
tentang bagaimana pikiran Satria melihatku jatuh ditabrak Wira tadi. Dia tadi
tampak biasa saja, datar tanpa ekspresi.
Tentu saja, May, dia kan suka Marisa.
Aku kesal sendiri kalau mengingat bahwa parkiran
motor itu dekat dengan kantin, dan ada kemungkinan Satria mengenali Marisa di
kantin, atau Marisa mengenali Satria yang berjalan di parkiran, dan
berbisik-bisik riang bersama Hannah dan geng cantiknya.
Aku menggetok kepalaku, lalu memasang headphone-ku untuk mendengarkan
Infinite. Beberapa saat aku terbawa alunan lagu Comeback Again, dan tidak bisa mendengar apapun di luar suara dari headphone-ku.
Mendadak seseorang menepuk bahuku. Aku benar-benar
kaget, kupikir aku akan dihipnotis. Kulepas headphone
selagi menoleh ke belakang.
Selanjutnya aku mengalami shock selama sepersekian
detik.
Demi apapun yang ada di dunia ini, hal penting
apakah yang membuat seorang Satria
yang barusan bertemu denganku,
kemudian pergi, lalu datang menemuiku lagi
dengan sendirinya?
“Nih,” dia menyodorkan sebuah plester.
Aku kebingungan dalam shock-ku dan jantung yang
berdebar tak keruan.
“Lututmu...”
Aku melihat lututku yang selama lima menit terakhir
ini biasa saja. Ternyata sudah ada luka lecet yang cukup besar di lutut sebelah
kananku. Aku jadi menyesal kenapa tadi pagi aku memilih memakai rok pendek
untuk ke kampus, padahal biasanya aku mengenakan celana panjang.
Sekarang setelah Satria mengatakannya, lututku jadi
terasa perih.
“Ah,” kataku. “Aku bahkan nggak sadar. Makasih
ya...”
Satria mengangguk-angguk dengan ekspresi biasa.
“Don’t hurt
yourself too much,” katanya, sebelum melangkah pergi.
How dramatic.
And I love
this drama.
* * *
Kupandangi jariku yang masih terpasangi plester,
lalu kulirik lututku yang juga terpasang plester besar. Aku mulai memikirkan
tentang perkataan Satria sebelum dia pergi meninggalkanku tadi. Aku juga mulai
memikirkan tentang perhatian Satria padaku tadi.
Sore itu Hannah mengirimiku pesan singkat
pertamanya. Tadi siang dia meminta nomor ponselku, dan berjanji akan
mengirimiku pesan segera setelah dia mengisi pulsa nomornya.
+629977345xx
04/05/12 16:07
Kak Maya, ini
Hannah. Aku udah isi pulsa ^^v
Aku tertawa membaca smsnya, yang bingung harus
kubalas dengan apa. Aku lalu ingat bahwa hari Minggu ini Oki dan teman-teman
futsalnya memintaku datang sebagai suporter dan memintaku membawakan smoothies untuk anak-anak futsal yang
mengadakan latihan terakhir.
Hahaha baguslah.
Eh, minggu besok ada acara?
04/05/12 16:11
Kukirim pesan itu ke nomor Hannah, berharap yang
terbaik akan terjadi.
+629977345xx
04/05/12 16:13
Minggu? Nggak
ada Kak, emang kenapa? :o
Emoticon-emoticon dari Hannah membuatku, entah
kenapa, merasa sedang berkirim pesan dengan orang yang super ramah. Aku selalu
senang dengan emoticon. Tetapi aku sendiri jarang menggunakannya.
Mau ikut aku
jadi suporter klub futsal? Latihan doang sih. Tapi aku udah janji. Ada Oki
juga. Mau?
04/05/12 16:16
Hannah benar-benar cepat; ah tidak, kilat, dalam membalas pesanku. Dalam
beberapa menit balasannya sudah sampai.
+629977345xx
04/05/12 16:18
Mauuuu, Kak!
Aku bawain makanan gitu ya?
Tentu saja, pikirku, sambil mengetik balasan. Dengan
begitu aku hanya cukup membawakan mereka smoothies
sementara Hannah bertanggung jawab membawa makanan.
Boleh, boleh.
Aku diminta bawain smoothies sama mereka -_____-“
Kita berangkat
bareng? Kamu ke rumahku, gimana?
04/05/12 16:21
+629977345xx
04/05/12 16:23
Aku udah mikir
mau bawain nasi kepal, Kak! Gampang dibikin...
Rumah Kakak
dimana?
Anak ini pasti terlalu banyak membaca komik Jepang,
pikirku, sembari mengetik alamat rumahku. Pesan terakhir darinya berkata dia
menyetujui datang ke rumahku untuk kemudian pergi ke tempat latihan futsal
bersama-sama.
Intinya dia setuju untuk menjemputku.
* * *