Lunch
“Jangan ditendang-tendang dong, sakit dia.”
“Nggak ke dokter?”
“Dia mana mau ke dokter.”
“Sakit kecil gini aja,” Satria menyikapi kerumunan
orang yang merubunginya dengan kalimat singkat dan senyuman.
Aku mengamati dari jauh, tidak bisa masuk ke komunitas itu (meski untuk beberapa minggu aku sempat dekat dengan anak-anak yang ikut main futsal kemarin). Sesaat aku ikut gelisah melihat kaki Satria yang (masih) diperban, meski kejadiannya sudah dua hari yang lalu, pertandingan futsal dimana salah seorang lawan dari fakultas teknik yang melawan fakultas kami kemarin menjegal kaki Satria hingga terjatuh dan (katanya) pertandingan sempat terhenti lima menit.
“Maya,” Oki menepuk kepalaku dari belakang.
Aku melepas headphone.
“Ya?”
Oki nyengir. “Udah sembuh?” dia memegang dahiku.
Aku mundur. “Udah. Tapi masih harus habisin
antibiotik.”
“Perbannya Satria kok belum dilepas?” tanyaku
penasaran.
Oki memandang ke belakang, tempat orang-orang
mengerubungi Satria. “Sebenernya,” kata Oki, mendadak merendahkan suaranya. “Terkilirnya
itu parah, kata tim P3K kemarin. Tapi dia memaksa terus main, dan cuma minta
obat pereda rasa sakit. Pelatih kami bilang dia harus ke dokter...”
“Terus kenapa dia nggak ke dokter?” bisikku gusar.
Oki mengangkat bahunya. “Entah.”
“Cuma meriksain kakinya doang. Takutnya kenapa-napa
lho.”
“Our captain,”
Oki menguap dan meregangkan badannya, “...keras kepala sih.”
Aku memandang Satria lagi sekilas dari balik
punggung orang-orang – beberapa cewek – yang dengan senang mengobrol dan
tertawa dengannya. Kalau saja aku punya keberanian, kalau saja, sudah kutarik Satria dari gerombolan itu dan kubawa dia
ke dokter.
* * *
“Ah, Kakak,” sapaku, ketika Kakak meneleponku siang
itu.
“Maya? Udah sembuh?” tanyanya.
“Ngng,” gumamku mengiyakan. “Kakak nggak kerja?”
“Istirahat makan siang nih, kamu udah makan?”
“Ini lagi jalan ke kantin.”
”Hooo. Oh iya,” Kakak seperti mengingat sesuatu. “Tentang
tulisan di blogmu.”
Aku mendadak berdebar. “Yang mana?”
“Yang baru-baru ini, lah.”
Aku yang setiap hari mem-posting tulisan-tulisan di
blogku – yang lebih seperti diari, hanya saja aku menulisnya dengan bentuk
cerpen – akhir-akhir ini mengisi blog dengan cerita-cerita soal (siapa lagi?)
Satria. Aku cukup pintar untuk tidak menggunakan nama aslinya atau apapun yang
ada sangkutpautnya dengan Satria.
“Kamu lagi suka sama orang, ya?” tebak Kakak tepat.
Aku tertawa. “Ya ampun, Kak, itu kan cuma tulisan,
kenapa Kakak bisa nyimpulin kayak gitu...”
“Cause I know
you.”
Aku diam. Terhenti di langkahku menuju kantin.
“Halo?”
“Halo.”
“Who is this
lucky guy?”
“Sebut saja namanya Andi,” kalimat itu tercetus
begitu saja, dan aku mendengus tertawa bahkan ketika mengatakannya. “Aku nggak
tau sih, Kak, tapi dia suka sama cewek lain.”
“Terus kenapa kalau dia suka cewek lain?”
“Ya aku bukan tipe cewek jahat yang merebut pacar
orang, Kak.”
“Dia baru suka, kan, belum pacaran. Selama janur
kuning belum teruntai, sih...”
“Apaaa cobaaa.”
Aku tertawa-tawa di ponselku sembari bicara dengan
Kakak, ketika tiba-tiba melintaslah anak-anak cowok dari kelasku, dengan Satria
di tengah-tengah kawanan itu. Aku menoleh secara reflek ke arah mereka. Secara
reflek pula mataku bertatapan dengan mata Satria selama sepersekian detik. Kalau
aku tak salah lihat, dia juga tersenyum sedikit padaku. Aku tak bisa bicara
apa-apa, aku juga tak membalas seruan Kakak yang memanggil-manggilku di telepon.
Sekian detik aku ternganga dan detik berikutnya
bahuku ditepuk Oki dari belakang kawanan itu.
“Oi, dapet pemandangan indah, ya,” bisiknya di
telingaku. Dia lalu nyengir, dan menyusul kawan-kawannya.
Aku merinding, buru-buru kembali ke dunia nyata.
“Halo, Kak? Sori, sori... dia baru aja lewat tadi.”
Kakak berdecak kesal. “Setidaknya kalau lagi kutelepon,
fokuslah padaku saja...”
“Nggak bisa, Kak...” kataku, tersenyum-senyum. “Fokusku
cuma sama dia...”
“Cih,” Kakak terdengar jengkel. “Mana sih cowoknya, aku
pengen liat.”
“Jangan, jangan,” ujarku langsung. “Nggak sesuai
sama ekspektasi Kakak soalnya.”
Kakakku selalu berharap aku mendapatkan pacar (atau
suami, dalam jangka panjang) berbadan kekar dan tinggi – seperti dia. Paling tidak dia harus punya badan
bagus. Atletis.
Satria memang kapten futsal, badannya lumayan bagus (apapun akan terlihat
bagus di badannya), dan dia agak berotot,
kalau kuperhatikan, tapi dia itu masih
tergolong kurus dimataku. Kurus dan tinggi.
Tapi ganteng.
“Jangan bilang dia mirip idol?” tebak Kakak lagi, yang tepat sekali.
Aku menepuk dahiku. “Aaah, iya, Kak.”
“Yang mana lagi kali ini?” kata Kakak, terdengar
bosan. “Taemin?”
“Jung Jinyoung, leader
B1A4,” jawabku, malu.
“Seleramu itu ya,” ujar Kakak, “manis-manis.”
“Kakak!”
“Kemarin pas pulang cerita ada yang mirip Taemin,
lah, dulu di telepon ceritanya ada yang mirip Yonghwa, lah... besok mirip siapa
lagi? Park Myungsoo?”
“KIM MYUNGSOO!” kataku tak rela.
Kakak tertawa-tawa di telepon.
“Tapi dia ini mirip banget Jinyoung, Kak. Suaranya
aja mirip,” kataku, mengingat beberapa minggu yang lalu ketika Satria tak sengaja menyanyikan Baby I’m Sorry.
“Kamu ini lho aneh,” untuk kesekian kalinya aku
mendengar Kakak berdecak.
“Lho, serius miriiip.”
“Kamu mirip-miripin kali... jangan suka sama orang
cuma gara-gara dia mirip sama orang yang kamu suka deh.”
“Hah? Hahahahaha...” aku nyaris tertawa mendengar
kalimat Kakak barusan.
“Maksudnya idol,
idol!”
“Iya, iya,” aku menenangkan diri. “Tapi, Kak,” kali
ini aku berniat bicara serius, “dia itu kayaknya manis banget sama semua
cewek... kayaknya sih. Kemarin pas aku sakit, dia dateng ke rumah bawain
bubur...”
Aku tercenung sesaat.
“...kayak... Yuda...” sambungku pelan.
Kakak tidak bicara apa-apa.
“Hmmm, pantes kamu cepet sembuh... biasanya kamu
kalo demam kan sampe semingguan...” kata Kakak, setelah tiga puluh detik dalam
keheningan. “Rupanya ada yang nemenin...”
“Ah, nggak gitu juga, Kak...” kataku.
“Seneng, ya?”
“Selayaknya, Kak,” gumamku apa adanya. “Tapi emang
akhir-akhir ini dia perhatian gitu, Kak. Aku nggak ngerti. Dia suka sms, ya
nggak sering-sering amat sih, tapi hampir tiap hari. Dia juga kadang mampir ke
rumah, sebelum ke rumah Oki. Aku cuma nggak mau salah paham, soalnya dia suka
cewek lain, kabarnya.”
“Udah kubilang, kalau mereka belum pacaran, kamu
masih bebas. Tapi ada baiknya juga kamu nggak menggantungkan harapan sama dia.
Yah, anggap aja temen biasa dulu. Kayak Oki.”
“Oki juga bilang gitu,” aku manggut-manggut.
“Asal,” kata kakakku dengan nada mengancamnya
seperti biasa, “kamu tunjukin ke aku dulu dia cowok macam apa, baru aku
ijinin...”
“Orang cuma temen biasa, Kak!”
“Oh iya, ya...”
“Eh Kak, udah dulu ya, laper nih,” kataku.
“Oke, oke. Makan yang banyak, semangat semangat!”
“Semangat apa,” ujarku bingung.
“Semangat makan!”
Kadang aku bingung dengan tingkah pria berumur 25
tahun ini. “Iya, Kakak...” kataku menolerir, aku juga tak bisa mengabaikan
fakta bahwa aku kangen kakakku.
Aku sampai di kantin dengan senyuman riang. Tak
kusangka kutemukan Satria, Oki, Wahyu, Brian, dan yang lain-lain lagi yang
sedang nongkrong di kantin, mungkin sekalian mengawasi junior-junior perempuan
yang baru selesai kuliah. Aku berharap menemukan Hannah, karena mendadak aku
malas makan sendirian. Aku butuh teman.
Harapanku ternyata terkabul. Hannah – hari itu
dengan rambut pirang yang biasa, tetapi dia mengepangnya menjadi dua –
berseri-seri ketika menemukanku (atau menemukan Oki, yang duduk-duduk di luar
kantin?).
“Kak Mayaaa,” dia memelukku. Aku tersentak ke
belakang sedikit, menahan berat Hannah yang mendadak menindihku. “Udah sembuh,
Kak?” dia mengecek dahiku.
Aku mengangguk pasti. “Kamu mau makan?” tanyaku,
memastikan punya teman duduk.
“Hmhm!” gumam Hannah, bersemangat.
Entah karena suara Hannah yang melengking penuh
semangat atau memang appearence-nya
yang eye-catching, hampir semua orang
memandang kami berdua. Aku, yang jarang sekali menjadi pusat perhatian,
mendadak risih karena banyak pasang mata orang tak dikenal (oke, kecualikan
kawanan cowok yang duduk-duduk disana itu) memandangku.
“Kak, mau makan di luar nggak? Kakak habis ini
kosong?” tanya Hannah, menggenggam tanganku.
“Kosong, sih...” kataku. “Makan dimana?”
“Aku tahu restoran bagus di deket toko buku,” kata
Hannah, tersenyum lebar. “Yuk!” ajaknya.
Dan detik berikutnya yang aku tahu lenganku diseret
Hannah menuju mobilnya yang diparkir di tempat parkit.
“Nggak sampe sore lho,” ujarku, memandang langit. “Ntar
keburu hujan...” kataku, memelankan suaraku ketika melewati gerombolan cowok
angkatanku yang matanya berbinar-binar melihat junior-junior cewek yang lewat.
“May, mau kemana?” tanya Oki, begitu aku dan Hannah
melewati mereka.
“Makan, Kak, di restoran deket toko buku situ,”
Hannah yang menjawab. “Ikut yuk?”
Aku sama sekali tak menyangka Hannah bisa semaju
ini. Aku nyaris protes – karena kukira makan siang ini hanya untuk sister (aku dan Hannah) – tapi ternyata
Oki langsung menyampaikan info ini pada teman-temannya dan entah kenapa MEREKA SETUJU UNTUK IKUT MAKAN BERSAMA KAMI.
“Restoran yang baru buka minggu kemarin itu?” tanya
Brian memastikan.
Hannah mengangguk. “Minggu kemarin kan kakak-kakak
pada sibuk latihan futsal...”
Dia langsung disetujui oleh cowok-cowok itu.
“Mumpung masih promo, berarti masih murah,” kata
Wahyu semangat.
“Denger-denger ada es jeruk gratis tuh,” timpal Ary.
“Maya, udah sembuh?” kata Robi tidak nyambung.
“Hah?” aku kaget karena ditanya mendadak, juga
karena ada tawa terdengar dari kelompok itu. “Udah, udah...”
“Sembuhlah, dibawain bubur sama Satria...”
Ngik. Sejenak jantungku rasanya berhenti berdetak. Wira
yang mengatakannya. Seketika kericuhan terjadi disana. Satria disoraki
teman-temannya, ada yang meninju-ninjunya, ada yang menyindir-nyindirnya.
“Heeeeeeee,” keras terdengar di sudut kantin itu.
Kuperhatikan Oki yang paling senang. Aku berjanji
pada diriku sendiri untuk mencekiknya nanti.
“Oh? Kak Satria bawain Kak Maya bubur?” Hannah juga
menatapku dengan pandangan menyindir. “Ah...”
“Don’t talk
about that,” kataku menahan malu, karena sekarang pengunjung kantin yang
lain juga memandangi kelompok kami dengan tatapan penasaran.
Dan di antara pengunjung kantin itu kulihat Marisa bersama teman-temannya, memang
agak jauh, tapi pasti mendengar keramaian yang kami buat. Dia tampak bingung
dan heran.
“Yuk pergi,” ajakku pada Hannah, setelah melihat
Marisa yang berdiri untuk melihat keadaan.
Beberapa dari kami berpisah di tempat parkir, karena anak-anak yang lain ternyata punya hal
lain yang harus dilakukan – kenapa sih
mereka tidak melakukannya daritadi, daripada menghabiskan waktu dengan nongkrong
tak jelas di kantin?
“Bawa mobil?” tanya Oki pada Hannah.
Hannah mengangguk.
“Aku aja deh yang bawa,” ujar Oki memutuskan.
“Oh?” gumamku heran, sekaligus senang. Kupandang
wajah Hannah yang tersipu malu, menyerahkan kunci mobilnya pada Oki.
“Oi! Satria!” panggil Oki pada Satria, yang sudah
sampai tempat dia memarkir motornya. “Ikut kami aja!”
Satria berlari kecil menghampiri kami. “Apa?”
Rupanya dia tidak dengar. Oki mengulangi tawarannya.
“Mobil Brian pasti penuh, kan, kemarin pas futsal
aja desek-desekan. Mending mobil Hannah nih, cukup buat lima orang.”
“Lagian kakimu masih sakit, kan,” tambahku spontan.
Hannah mengangguk bersemangat. Satria setuju. Kemudian
Robi bergabung dengan kami setelah diajak Satria.
Jadi begitulah kami – aku, Hannah, Oki, Robi, dan
Satria – naik mobil sedan milik Hannah yang dikendarai Oki. Aku memaksa Hannah
duduk di sebelah Oki di kursi penumpang. Aku meminta agar aku duduk di dekat
jendela di kursi belakang, karena duduk di bagian tengah kursi belakang
membuatku gampang mabuk. Aku masuk duluan, mendahului Robi, dan Robi duduk di
tengah-tengah, memisahkanku dan Satria.
Syukurlah, setidaknya Satria tidak akan mendengar
detak jantungku dari jarak yang amat dekat.
Perjalanan menuju restoran ini cukup ramai, karena
Hannah yang tidak berhenti berceloteh, yang disambar oleh Oki, yang
ditertawakan oleh Robi dan aku dan Satria.
Kurasa kalau Oki dan Hannah betul-betul jadian, mereka akan jadi pasangan yang menyenangkan.
“Gue nggak enak nih,” kata Robi tiba-tiba, di
tengah-tengah perjalanan.
“Kenapa?” tanya Oki, melirik kaca spion.
“Gue ngerasa misahin mereka berdua,” Robi menunjukku
yang duduk di belakang Oki dengan tangan kirinya, dan menunjuk Satria yang
duduk di belakang Hannah dengan tangan kanannya.
“Iya, yaa...”
“Harusnya Kak Maya di tengah...”
Aku mendengus tertawa. “Aaaaah,”
aku menggeleng-geleng.
Satria hanya tertawa sembari memandang keluar
jendela lagi. Dia tidak protes ataupun komentar tentang omongan Robi. Karena
dia juga tidak merespon, maka akupun bersikap netral juga dengan tidak
merespon.
Aku duduk bersandar pada kursiku, membalas sms dari
Mpok Imah yang bertanya mau makan apa untuk makan malam hari ini. Dari sudut
mataku aku bisa melihat Satria juga sedang bersandar di kursinya, memandang penuh
perhatian pada sesuatu di luar jendela. Dan ketika aku selesai mengirim sms, mataku
memandang Satria (karena kebiasaan!) cukup lama, dan selama beberapa detik
memandangku juga.
Begitulah kami berpandangan tanpa arti. Seperti sedang
mengadakan lomba bertatapan paling lama.
“Apa?” bisikku tanpa suara.
Dia balas mengangguk ke arahku dengan pandangan menantang.
Aku tidak terima dan balas memandang, sampai,
“Astaga, mulai lagi nih,” kata Robi, yang selama ini
duduk agak ke depan.
“Apa, apa, apa?” tanya Hannah ribut.
“Ini lho...”
“Kak Robi pindah deh, pindah...”
“Iya Rob, pindah aja lo ke tempat Maya, Maya di
tengah...”
“Obat nyamuk nih gue...”
“Nggak gitu juga, nyet,” Satria meninju punggung
Robi.
Aku kesenangan di kursiku, tapi tidak mau terlihat
terlalu senang, oleh karena itu aku memandang keluar jendela sembari
tersenyum-senyum.
“Mwo ya?1”
seruku pada Oki, yang kulihat sering sekali melirikku dari kaca spion dengan
pandangan menyindir dan nyaris tertawa.
“Aniyo2,”
sahut Oki yang tertawa mendengus.
Hannah, Robi, dan Satria memandang kami bingung.
“Kalian ngomong apa?” mereka bertanya nyaris
serempak.
* * *
Restoran yang diceritakan Hannah bernama Sasha’s
Diner. Bukan fast food, tapi makanan
rumahan. Dan bukan makanan rumahan Indonesia, tetapi Eropa.
Hannah berseri-seri memandang interior restoran yang
modelnya klasik.
“I feel like
home,” kata Hannah senang, dengan logat British.
Aku tanpa sadar juga memandang ke sekeliling
interior restoran.
“Aduh, nggak bawa duit banyak nih,” kataku, cemas.
“Kalo kayak gini es jeruk gratis darimananya, Ry,”
Brian memandang Ary kesal.
Ary tampak bersalah.
“Oh, mereka ngasih gratisan kok,” tunjuk Satria,
pada sebuah papan tulis hitam yang bertuliskan ‘free lemonade’ besar-besar yang ditulis dengan krayon.
“Untuk setiap makanan seharga lima belas ribu,”
Wahyu membaca tulisan di bawahnya. “Yah, worth
it lah...”
Kami mengambil tempat agak di dalam, di tempat non-smoking. Hannah tidak tahan asap
rokok. Aku, yang sudah terbiasa dengan asap knalpot setiap hari, juga tidak mau
menambah timbunan gas-gas beracun di tubuhku.
Aku mendapatkan menu dan langsung mengecek harganya.
“Oh, harganya rasional ternyata,” komentar Robi
jujur.
Aku tertawa, menyetujui. Syukurlah, ternyata
restoran ini (tampaknya) paham dengan nasib dompet mahasiswa.
Hampir semua orang memesan satu makanan yang
berharga di atas lima belas ribu, karena tidak mau melewatkan kesempatan
mendapat lemonade gratis. Kecuali Hannah, yang memesan mashed potatoes, ayam
goreng, salad, serta jus jambu merah. Masing-masingnya berharga kurang dari
lima belas ribu.
“My Mom always
made this,” katanya, dengan riang memperkenalkan mashed potatoes pada kami.
“Kenapa begitu masuk restoran ini kamu jadi orang
Eropa begini sih?” komentar Oki.
Hannah tertunduk malu.
Begitu melihat ada omelette rice di daftar makanan, aku langsung memesannya. Harganya
pas lima belas ribu, ditambah dua lapis daging asap dan sepotong kecil keju. Tak
lupa pelayan memberikan aku parutan keju.
Semua orang terdiam begitu makanannya masing-masing
sudah tiba dan masing-masing menguyah tanpa suara. Entah karena lapar atau
mereka doyan...
“May, coba belajar masak ini May,” kata Satria yang
duduk di seberangku. Dia memesan chicken
cordon bleu. “Enak lho,” promosinya.
“Masa sih?”
Dan aku pun terkejut ketika dia memotongkan aku
sesendok dari makanannya dan menyodorkannya tepat di depanku. Kuambil sendoknya
dan kusuapkan ke mulutku.
Semua orang yang melihat langsung mengajukan protes.
“Eyy...”
“Kenapa jadinya kamu yang ngambil sendoknya, May...”
“Satria kan mau nyuapin, May...”
“Kak Maya nggak kooperatif nih...”
“Kecewa tuh Satria, kecewa.”
“Iri nih, iriiii.”
Kuabaikan mereka, dan aku mengunyah chicken cordon bleu itu dengan senang
dan perlahan, mencoba menebak bahan-bahannya yang membuat rasanya khas.
“Enak ya,” komentarku, bahagia di dalam hatiku.
“Ya kan?” sahut Satria.
“Omrice3-nya
enak nggak?” tanya Oki di sebelahku.
Aku mengangguk, lalu menggeser piringku, agar Oki bisa
mengambilnya. Dia mengunyahnya dengan wajah menilai.
“Hmm... 9 out
of 10,” kata Oki.
Aku manggut-manggut. “Omrice bikinanku berapa?”
“Enam,” jawab Oki kejam.
Kupukul-pukul dia. Lagi-lagi orang-orang yang
melihat mengajukan protes.
“Heeeiiii...”
“Bingung mesti envy
sama siapa,” kata Hannah polos.
Aku mendadak merasa sangat bersalah pada Hannah.
“Satria kecewa tuh, kecewa...” Wahyu mengulangi
kalimatnya tadi.
Dipandangi dengan tajam oleh teman-teman sendiri
membuatku gugup, lalu kusendokkan omelette
rice-ku dan kusodorkan pada Satria dengan agak miring dengan harapan dia
akan melakukan hal yang sama denganku tadi.
Dan untuk yang kedua kalinya pria ini mengagetkanku
– dia memiringkan badannya agar mulutnya menghadap mulut sendokku, dan dia
melahap sesendok omrice itu.
Sialan. Sialan. Sialan.
Sekarang semua orang menyerukan bahwa mereka iri.
Mereka
benar-benar tidak memikirkan perasaanku.
Lemonade-nya benar-benar menyegarkan siang yang
panas itu. Aku memberi nilai 10. Aku ingin pesan lagi, tapi dompetku
meneriakkan tolong sementara aku makan, jadi aku tidak tega. Oh, lemonade-nya
juga mendinginkan hatiku yang panas sedari tadi.
Aku tidak tahu bagaimana wajahku ketika keluar dari
restoran yang dingin itu.
“Ouh, panasnya,” komentar Hannah, mukanya jadi pink.
Dia secara otomatis membuka pintu penumpang di bagian depan, tanpa kusuruh.
Aku masuk duluan lewat pintu belakang bagian kanan.
Robi masuk lewat pintu belakang bagian kiri, tampak senang dengan perut
penuhnya. Satria – menyusul – masuk lewat pintu belakang bagian kanan, masuk
sambil masih bicara tertawa-tawa dengan Ary yang naik mobil Brian.
Dia tak sadar
tampaknya, kalau dia menggeserku ke kursi belakang bagian tengah. Dia juga tak sadar kalau dia baru saja membuat
aku dan dia duduk bersebelahan.
“Oh?” gumam Hannah, sadar akan kenyataan ini, karena
dia baru saja melirik ke belakang. Dia mendadak bertepuk tangan senang, membuat
Robi juga menoleh dan menyadari hal ini. Cowok ini nyengir senang.
Bukannya aku tidak bahagia, aku sangat bahagia, hanya saja... hanya saja... aku takut tidak bisa
mengontrol perasaanku.
Ingat kan, aku sedang tidak ingin salah paham?
Oki masuk mobil, dan menyalakan mesin, lalu mengatur
letak spion depan ke posisi yang pas, kemudian tanpa sengaja melihatku dan Satria, dan dia tertawa.
Aku nyaris saja mengacungkan tinjuku padanya.
“Kakimu masih sakit?” tanyaku pelan, di tengah
perjalanan menuju kembali ke kampus.
Satria menoleh. “Ha? Oh... sedikit.”
Kutendang kakinya, pelan. Dia tak bisa
menyembunyikan rasa sakitnya.
“Ke dokter lah.”
“Males...”
“Kalo kenapa-kenapa gimana?”
“Nggak lah, terkilir dikit doang ini.”
“Periksa aja, nanya, ngecek!”
“Kamu kemarin sakit juga nggak ke dokter kan?”
“Soalnya aku biasa sakit kayak gitu, nah ini kan
terkilir, nggak biasa...”
“Wira kemarin dulu keseleo, tiga hari sembuh. Dia
nggak ke dokter.”
“Tiga hari kan? Tiga hari? Kamu udah lebih dan masih
sakit!”
Aku setengah memaksa, setengah cemas. Ketiga orang
di mobil entah berpura-pura tidak mendengar, atau benar-benar memperhatikan.
Mungkin setuju denganku, bahwa Satria harus dibawa ke dokter.
“Oke,” kata Satria akhirnya, membuatku lega dan
melepaskan pandangan kamu-harus-ke-dokter-secepatnya
darinya. “Kapan?”
Aku mengerutkan dahi. “He?”
“Ey... ngajak kencan dia,” kata Robi tertawa, yang
lima menit terakhir ini aku tahu dia memandang jendela, tapi rupanya dia
mendengarkan dengan jelas.
“Lho, kan Maya yang ngajak,” Satria membela diri.
Hannah tertawa.
“Hari ini aja!” seru Oki. Melihat wajah Oki dari
kaca spion benar-benar ingin kupukul.
“Tapi...”
“Oh kamu bareng aku ya?” kata Oki, tersadar bahwa
pagi tadi aku nebeng dia pergi ke kampus – dia memaksa – karena menganggap aku
masih lemah untuk mengayuh sepeda. “Besok aja, May, hari ini bikin janji sama
dokternya...”
“Hah...” aku masih berusaha menangkap kenyataan yang
terjadi.
“Besok pulang kuliah, kan agak pagi tuh, jam
sebelasan...” saran Robi.
Aku bisa mendengar Hannah terkikik.
“Boleh juga,” kata Satria. “Aku juga kosong...”
“Kamu nggak boleh bawa motor,” kataku, setelah
menyesuaikan diri dengan kenyataan. “Ki, besok aku boleh pinjem mobil papamu?”
Oki mengangguk-angguk dengan terlalu bersemangat.
“Aku nggak bisa bawa motor,” ujarku menjelaskan, meski
tak ada yang bertanya.
“Well then,”
sahut Satria, dengan gaya akan memberi kesimpulan. “See you after school.”
* * *
*keterangan
1 = ‘APA?’ – Bahasa Korea
2 = ‘nggak’ – Bahasa Korea
3 = singkatan untuk omelette rice