Pertandingan
Pagi tanggal 12 Mei 2012. Pukul tujuh pagi, aku
terbangun karena telepon dari Mama yang membangunkanku. Dengan kepala super
berat dan suara serak aku menjawab telepon itu, yang penuh dengan pembicaraan
penuh-kasih-sayang khas Mama. Aku masih malas-malasan di tempat tidur, tidak
berniat sama sekali untuk bangun. Mendadak aku merasakan serangan mual yang
teramat sangat, sampai aku benar-benar
berlari menuju kamar mandi.
Ah, makan malamku kemarin keluar semua. Morning sickness? Tidak, ini terjadi di
setiap waktu.
Di hari Sabtu seperti ini biasanya Mpok Imah datang
pukul delapan tepat – dia selalu tepat waktu – dan langsung membersihkan rumah
atau memasak. Aku memutuskan untuk menunggu Mpok Imah datang dan memintanya
membuatkanku bubur, atau sesuatu untuk kumakan.
Air hangatku sudah jadi. Aku mandi, berganti baju,
dan duduk manis di sofa menonton televisi.
Jam setengah delapan lewat, bel rumahku berbunyi. Kupikir
Mpok Imah memutuskan untuk datang lebih awal.
Namun betapa kagetnya aku ketika tidak melihat Mpok
Imah di depan pagar rumahku. Malah sesosok pemuda yang ada di depan pagarku.
Bukan Oki. Bukan juga Kakak – meski aku sangat mengharapkannya.
“Oh, Maya,” sapa Satria, nyengir.
Aku hanya bisa terbengong-bengong, mendadak diserang
sakit kepala. Dia, cowok itu, membawa bungkusan plastik di tangan kanannya. Mungkin
ini tidak seperti yang aku pikirkan.
“Kamu ngapain?” tanyaku tak ramah.
“Hee,” Satria mendengus. “Sudah datang pagi-pagi,
disambut dengan nada seperti itu...”
“Kamu ngapain?” tanyaku, lebih ramah.
“Buka dulu deh pagernya.”
Aku baru sadar kalau aku belum membukakan pagar
untuk Satria yang sudah menunggu di luar dengan udara dingin sehabis hujan pagi
tadi.
“Haa,” dia masuk rumahku dengan senang. “Gimana,
udah mendingan?”
Aku menggeleng. “Aku muntah lagi tadi,” kataku.
“Lagi? Yang pertama kapan?”
“Kemarin siang.”
Satria mendecak. “Kalau gini kamu mestinya nggak
usah maksain bilang mau dateng nanti.”
“Aku kan udah janji.”
“As expected,
from you...”
“Itu maksudnya apa sih?” tanyaku, tak mengerti
kenapa Satria senang sekali menggunakan kalimat itu untuk mengomentari
tindakanku.
“Nope,”
Satria tersenyum. “Aku bawa bubur.”
“HAH?” aku tercengang. Seorang Satria, membawa bubur
panas untukku? Ini benar-benar seperti
yang aku pikirkan.
“Kupikir kamu pasti malas sarapan, jadi...”
“Memang,” ujarku. “Tapi nggak perlu gini juga.”
“Aku kebetulan emang mau ada urusan juga, jadi ya
sekalian keluar aja...”
Dia sudah mendekati meja makanku dan meletakkan bungkusan
plastik yang dibawanya di meja. “Pinjem mangkuk...” pintanya. “Dua.”
Aku mengambilkannya dua mangkuk melanin.
“Kamu belum sarapan?” tanyaku bingung.
“Belum,” jawabnya santai, menuang bubur dari plastik
ke mangkukku. Diambilnya sendok dari tempat sendok di atas meja dan ditaruhnya
di mangkuk. “Nih.”
“Aku cuma makan sedikit, lho,” kataku, menerima
mangkuk berisi bubur itu. “Mungkin ini nggak habis, lho.”
“Ya nggak papa, kan buat minum obat,” ujarnya riang.
“Kamu kayak Oki,” kataku, melangkah menuju ruang
televisi. Sofa di ruang ini adalah tempat favoritku untuk makan.
“Oh, ya?” dia tampak tak terlalu peduli.
“Hmm.”
Aku menyuap sesendok bubur itu. Mimpi apa aku
semalam sampai didatangi Satria yang dengan baik hatinya membawakan bubur
untukku?
Oh, aku ingat, aku mimpi pergi ke karnaval bersama
Satria. Bukan hal penting.
Satria selesai menuang buburnya sendiri dan dia
bergabung denganku di sofa ruang televisi. Dia duduk di sebelahku, tidak duduk di karpet seperti yang biasa Oki
lakukan.
Setengah bahagia setengah bingung, aku ternyata
berhasil menyelesaikan buburku – meski dalam waktu setengah jam. Satria, yang
sudah selesai lima belas menit yang lalu, tidak bergerak dari duduknya untuk
menaruh mangkuk kosongnya di bak cuci piring, tetapi tetap menungguku sampai
aku menghabiskan buburku. Ketika aku memasukkan suapan terakhir ke dalam
mulutku, dia bertepuk tangan.
“Well done,”
katanya senang, entah apa yang membuatnya senang. “Tuh, habis juga kan?”
Tentu saja,
kamu memandangiku terus.
Aku nyaris saja mengutarakan perasaanku padanya,
tetapi aku tertahan teh hangat yang sedang kuminum. Satria menaruh
mangkuk-mangkuk di atas meja makan, dan dia menenggak segelas air di dapurku.
Aku mengawasinya dengan senang. Pemandangan Satria yang mendongak untuk meneguk
segelas air itu cukup untuk mengalihkan perhatianku selama sekian menit.
Mpok Imah sudah datang, dan dia langsung masuk
kamarku untuk membereskannya. Dia juga mencuci baju-baju, dan menjemurnya di
halaman belakang.
“Mbak udah makan ya?” dia bertanya hanya untuk
memastikan, karena aku tahu pasti, ketika Mpok Imah datang dia melihat kami
berdua makan dalam diam di ruang televisi. Bahkan tidak ada pembicaraan di
antara kami berdua.
Aku mengangguk sembari merobek bungkus obat yang
harus kuminum setelah makan. Satria bermain dengan Akane di ruang televisi
sementara televisiku menyiarkan acara masak rutin setiap Sabtu pagi.
Aku tak tahu perasaanku sekarang bagaimana. Kurasa
ini seperti mimpi. Tapi rasa sakit yang kurasakan ini nyata.
“Pusing?” tanya Satria samar-samar, ketika aku
membenamkan mukaku ke bantal sofa.
Aku keluar dari bantal dan menggeleng. “Nggak.”
“Tidur lagi aja?” saran Satria, dan dia bangkit
seolah bersiap pergi.
“Tidur kebanyakan juga nggak bagus, kali,” kataku,
setengah berharap bisa berani mengatakan sesuatu untuk menahannya pergi secepat
ini.
“Right,” katanya, dan dia memutar-mutar badannya yang
bagus.
Aku berkedip beberapa kali agar tidak mengkhayal
dengan badan indah Satria.
“Nggak latihan futsal?” tanyaku.
“Nanti jam sepuluh...” jawab Satria, fokus
memandangi Farah Quinn di televisi. “Pie apel enak juga, ya...” dia berkomentar
soal masakan yang dibuat Farah hari itu.
“Mau aku bikinin? Buat nanti...” usulku.
“Eh, nggak usah...” tolak Satria halus. “Asal ngomong,
kok.”
“Aku ada sih bahan-bahannya...”
“Nggak usah,” kali ini Satria menolak dengan tegas.
“Kamu istirahat saja. Hannah dateng kan?”
“Dateng, tapi kan janjinya Hannah dateng bareng
aku...” ujarku, mengernyitkan dahi. “Nanti aku bawain smoothies apel deh, biar sepaket sama pie apel...”
“Aku nggak tahu gimana caranya buat nahan kamu,”
Satria mengangkat bahu, mengalah.
Aku tertawa.
“Cek bahan dulu deh,” aku bangkit dari sofa dan (niatnya)
berjalan menuju kulkas dan lemari penyimpananku di dapur. Sayang sekali niat
ini tidak kesampaian, karena begitu berjalan lima langkah, kepalaku mendadak
berat dan kakiku tak kuasa menahan berat badanku. Aku terjatuh begitu saja,
terduduk di lantai.
“May?” aku tidak ingin berharap, tetapi rasanya aku
mendengar nada cemas di suara Satria barusan. “Nggak papa?” dia membantuku
berdiri.
“Ngng,” gumamku, menahan kepalaku yang semakin aku
pikirkan, semakin pening.
“Lho, kenapa Mbak? Kenapa Mas?” terdengar suara Mpok
Imah yang datang dari halaman belakang, melihatku dituntun Satria menuju sofaku.
“Cuma jatuh, Mpok...” jawabku, mencoba terdengar
tenang.
“Nggak papa, Mbak? Pusing ya?” tanya Mpok Imah
cemas.
“Nggak papa, Mpok...”
“Saya bikinkan kompres, ya...”
“Iya, tolong ya Mpok,” Satria menyahut duluan
sebelum aku bisa mencegah.
Manisnya Satria, dia memegangi kedua bahuku seolah
aku ini orang tua berusia lanjut yang tidak bisa berjalan sendiri menuju sofa. Dia
lalu mendudukkan aku di sofa.
“Oke?” tanya Satria.
Aku menggeleng, memejamkan mataku, menahan sakit di
kepalaku. Kenapa sih aku? Masa hanya masuk angin saja sampai seperti ini.
“Ngantuk?” tanya Satria lagi.
Aku mengangguk.
“Obatnya ada efek sampingnya,” terdengar suara
Satria kemudian, dari kejauhan. Aku membuka mataku. Satria ada di meja makan,
sedang melihat bungkus obat yang dibelikan Oki kemarin, yang kuminum setelah
makan. “Ngantuk... kamu disuruh tidur tuh.”
Aku mengerutkan dahi. “Aku baru bangun.” Tetapi kemudian
aku berselonjor di sofa, dengan lengan terjuntai mengelus-elus Akane.
Mpok Imah muncul membawa sebaskom air dan handuk
kecil. Dia menyuruhku berbaring di sofa, kemudian dengan telaten mengompresku. Satria
memandangi dari meja makan.
Mungkin efek obatnya memang bekerja, atau kompres
Mpok Imah yang merilekskanku, atau – aku tak tahu – pandangan hangat Satria yang
sekarang duduk di karpet, membuat mataku berat dan perlahan menutup. Aku tak
ingat apa-apa lagi.
Pagi itu aku benar-benar tidak tahu apa mimpiku,
atau aku memang tidak bermimpi, dan mengalami tidur yang sangat nyenyak. Ketika
aku bangun, aku masih ada di sofa, tetapi dengan Satria yang duduk di sampingku,
Mpok Imah tidak terlihat di jarak pandangku, tampaknya Satria yang gantian
mengompresku sementara Mpok Imah membereskan rumah. Seseorang juga telah
menyelimutiku dengan selimut favoritku. Kuharap itu Mpok Imah, karena aku tidak
bisa membayangkan Satria masuk kamarku dan mengambil selimutku lalu
menyelimutiku. Benar-benar tidak bisa, meskipun aku sungguh-sungguh berharap.
“Halo,” sapa Satria. “Tidur nyenyak?”
“Ng?” aku mengernyitkan dahi, separuh terbangun dan
masih bingung. “Ngng.”
Satria mengangkat handuk basah dari dahiku dan
merendamnya dalam baskom, memerasnya, lalu kembali meletakkannya pada posisi
semula – dahiku. Kutarik selimutku sampai ke leher, lalu menguap kecil.
Tak ada yang bicara sementara menunggu kompresnya
bekerja. Satria dan aku sama-sama memandangi acara televisi, sesekali diselingi
suara Akane.
“Udah setengah sebelas,” kataku serak, ketika
program televisi yang kami tonton diselingi iklan. Aku melirik jam dinding di
atas televisi. “Sori...”
“Sori apa?” tanya Satria, mengganti kompresku lagi.
“Latihannya?”
“Bisa ditunda,” kata Satria kalem.
“Kamu kan kapten.”
“Justru itu, jadwal latihannya kan jadi terserah
aku,” ujar Satria, nyengir.
“Nggak bisa gitu, dong...”
“Aku juga nggak bisa ninggalin kamu, kan.”
Aku kehilangan minat berdebat dengannya begitu
mendengar kalimatnya yang terakhir.
“Ada Mpok Imah...” kataku pelan. “Pergilah.”
Tepat ketika aku mengatakan itu, kudengar dering telepon.
Rupanya ponsel Satria.
“Ary,” Satria memberi info, membaca pesan
singkatnya. “Dia nanya aku dimana...”
“Pergilah...” gumamku, merasa tak enak hati, “nanti
mereka marah sama kamu.”
Mungkin Satria menganggap kalimatku barusan
terdengar lucu, karena dia tertawa.
“Oke, oke...” ujar Satria. “Aku pergi dulu.”
“Pergilah, jangan balik lagi kesini, bertanding yang
benar,” kataku jengkel, karena dia terdengar seperti hanya akan pergi sesaat
lalu kembali lagi ke rumahku.
“Fine,”
ujar Satria. “Get well soon...” dia
mencari Mpok Imah, pamit padanya, lalu kudengar suara motornya di luar.
Aku masih mengira aku bermimpi. Kemudian mendengar
dering telepon yang lain, intro Baby I’m
Sorry, aku bangkit perlahan dan mencari-cari ponselku.
Hannah yang meneleponku. Kubilang aku benar-benar
sakit – aku juga tidak pernah mengharapkan ini terjadi tepat di hari
pertandingan – dan tidak bisa datang ke pertandingan. Hannah menyesalkan ini.
Dia bilang akan menjengukku sebelum dia pergi ke tempat pertandingan. Aku
mengiyakan.
Beberapa saat kemudian setelah Hannah selesai
meneleponku, muncul pesan singkat dari Oki, menanyakan keadaanku. Aku baru saja
hendak menekan tombol kirim untuk membalas pesan Oki, ketika Oki meneleponku
langsung.
“Aku baru mau bales,” kataku, menjawab telepon Oki.
“Kata Satria kamu muntah lagi pagi ini, kata Hannah
kamu nggak bisa dateng nanti,” sahut Oki dari ujung sana. “Satria dari
rumahmu?” tanyanya.
“Kamu nggak lewat rumahku ya?” aku balas bertanya,
karena kalau Oki melewati rumahku pasti dia akan melihat motor Satria terparkir
di halaman depan rumahku.
“Aku muter, beli minum dulu tadi. Jadi iya atau
tidak?”
“Iya, dia bawa bubur. Aku nggak bisa dateng
kayaknya...” ujarku menyesal. “Maaf...”
“Sudah kubilang jangan memaksakan. Istirahat, May...
kalau perlu tidur seharian.”
“Iya. Satria udah disana ya.”
“Pantesan kenapa dia telat banget, ternyata ngurusin
kamu.”
“Aduh, maaf ya, maaf banget...” aku semakin tak enak
hati. “Aku bikinin smoothies deh.
Nanti aku titipin Hannah...”
“Nggak usah,”
tolak Oki. “Kamu istirahat aja.”
Bagaimanapun, aku harus melakukan sesuatu untuk
menebus kesalahanku membuat Satria telat datang latihan untuk pertandingan
penting hari ini.
Maka dengan perlahan aku bangkit – tidak ingin
bangkit mendadak dan membuat kepalaku pening lagi – dan menuju dapur untuk
membuat smoothies. Dibantu Mpok Imah,
smoothies apel itu jadi kubuat.
Aku merangkak menuju tempat tidur untuk
mengistirahatkan pikiranku dari dunia nyata. Aku juga tak ingin mengingat
peristiwa tadi pagi, atau mimpiku, atau apapun, aku hanya ingin pikiranku
kosong.
“Mbak, ada mas yang tadi pagi,” Mpok Imah mengetuk
pintu kamarku.
Mas yang tadi
pagi? Satria?
Kulirik jam di ponselku. Jam setengah dua belas.
Mereka jelas hanya latihan sekali, lalu kembali pulang untuk bersiap-siap.
Aku mendapati Satria muncul di ruang tamuku dengan wajah
suram.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak apa-apa, cuma ngecek...” kata Satria. “Kan
udah janji mau balik lagi?”
Dia memang bilang ‘aku pergi dulu’ tadi.
“Cepet siap-siap,” aku setengah mendorongnya keluar
ruang tamu. “Nanti telat.”
Satria pergi dengan motornya, setelah mengucapkan
semoga lekas sembuh dan banyak-banyak istirahat (lagi) padaku.
Tak lama setelah aku melihat motor Satria
meninggalkan rumahku, sebuah mobil menghampiri pagarku.
“Kak Maya!” kata Hannah, keluar dari mobil dengan aura
tuan putri-nya. “Kakak nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa...” ujarku, menyilakan Hannah masuk
ke rumah. “Kamu masak apa?”
“Sandwich,” katanya, sesuai dengan cerita Oki
kemarin. “Kakak baik-baik aja?”
Aku mengangguk. “Aku bikin smoothies...” ceritaku.
“Kakak nggak perlu...”
“Aku harus,” selaku. “Itu ada di kulkas, bawain ya
buat mereka.”
Aku melambaikan tangan pada gadis pirang itu ketika
dia melaju dengan mobilnya menuju tempat pertandingan futsal jam satu siang
nanti.
Kuharap hasilnya bagus.
* * *
Pukul tiga sore, aku terbangun karena getar dan
dering sms masuk. Ketika aku mengecek ponselku yang kusimpan di bawah bantal,
ada delapan sms yang masuk. Aku tidak ingat terakhir kali aku mendapat lima
atau lebih pesan singkat di ponselku, maka aku membuka pesan itu satu-satu
dengan senang.
Hannah
13/05/12 14:00
Kita menang,
Kak! Kak Oki menang! ><
Oki
13/05/12 14:12
WE WIN! \(^^)/
Satria
13/05/12 14:28
7-3...
pertandingan yang keras buat teknik :p
Hannah
13/05/12 14:30
Smoothies-nya
abis, Kak... -___-“
tapi
sandwichnya masih ada, aku sisain buat Kak Maya yang cantik ^^
Satria
13/05/12 14:50
Sayang kamu nggak
ikut, rame banget tadi yang nonton.
Anyway,
smoothiesnya enak.
+6285664134xx
13/05/12 14:56
MAKASIH
SMOOTHIESNYA. WE WIN. \m/
-WIRA-
+628954653xx
13/05/12 15:00
Smoothiesnya enak,
May! Makasih yaa :D
Kita menang
lho!
Oh iya, ini
Wahyu ._.
+628547436xx
13/05/12 15:04
May, ini Robi.
Lagi sakit ya? Sayang banget nggak dateng... kita menang loh :p
Cepet sembuh
ya, bikinin smoothies lagi nanti :D
Aku senang mendapat pesan-pesan itu, tapi heran juga
kenapa Wira, Wahyu, dan Robi memutuskan untuk mengirimiku pesan singkat juga
tentang smoothies-ku. Mungkin Oki
atau Satria atau Hannah menyuruh anak-anak tim futsal berterima kasih karena
aku sudah membuatkan mereka smoothies.
Aku sampai bingung harus membalas pesan yang mana
duluan. Tapi rupanya aku tak harus membalas mereka, karena mendadak bel rumahku
berbunyi. Mpok Imah, yang masih tinggal untuk menjagaku, membukakan pintu
rumah. Lalu terdengar bunyi-bunyian ramai di ruang tamu, suara cowok dan
terdengar suara Hannah. Akane juga mengeong, sepertinya untuk menyambut mereka.
“Mayaaaaa!” teriak Oki.
“Mbak Maya,” Mpok Imah tiba di pintu kamarku, tempat
aku sedang berusaha turun dari tempat tidur. “Temen-temennya dateng...”
Mendadak pusingku hilang, dan aku nyaris berlari
menuju ruang tamu. Tujuh orang cowok berdiri disana, Hannah dengan rambut
pirang yang dikuncir dua duduk di kursi, Akane di pangkuannya.
“Hai,” ujarku.
Hannah bangkit dan memelukku erat sekali. “Kakaak,”
katanya dengan suara melengking. “Miracle
banget lho kita bisa menang...”
“Pertandingannya...?”
“Tadinya seri, 3-3, terus Kak Satria dijegal anak
teknik sampe jatuh,” cerita Hannah, membuatku cemas. “Panas banget tadi
pertandingannya...”
“Terus?”
“Tapi terus Kak Oki,” aku bisa melihat rona merah di
pipi Hannah ketika dia menyebutkan nama cowok yang ditaksirnya itu dan melirik
Oki sedikit, “dia ngegolin lagi dua, habis itu pertandingannya kita yang
kuasai,” cerita Hannah bahagia.
“Syukurlah,” kataku, senang. “Baguslah...”
“Kamu oke?” tanya Oki.
Aku mengangguk.
Anak-anak tim futsal beramai-ramai mengucapkan
terima kasih padaku atas smoothies
yang sengaja kubuat meski aku sedang sakit. Dan ternyata setelah itu mereka tidak
berniat langsung pulang, tetapi malah menyetel DVD playerku dan memutar video
SNSD. Mendadak ruang televisiku jadi arena dance. Aku menghindar dan duduk di
kursi ruang tamu.
Mpok Imah membuatkan es jeruk untuk mereka semua –
Oki tidak mengizinkan aku ikut minum es jeruk – dan es jeruk itu habis dalam
waktu semenit. Mpok Imah tergesa-gesa membuat es teh – yang lebih gampang
dibuat.
Aku menyeruput teh hijau panas dan duduk dengan
posisi favoritku di sofa – duduk memeluk lutut. Kupandangi Oki dan Hannah yang
sedang bernyanyi riang, dan aku ikut senang melihat mereka.
Tak lama, Satria muncul membawa segelas es teh. Tampaknya
ia juga berniat menghindari keramaian dan duduk di sebelahku di ruang tamu.
“Udah baikan?” tanya Satria duluan, sebelum aku
mengangkat topik dirinya yang dijegal lawan.
“Aku tidur seharian, kayaknya sih oke,” kataku. “Nggak
enak juga tapi tidur seharian...”
Dia menenggak es tehnya.
“Kakimu... nggak apa-apa?” tanyaku.
Kaki Satria dibalut perban.
“Terkilir sedikit,” jawab Satria pelan. “But I’m fine.”
“You told me
not to hurt myself,” kataku, “tapi kamu sendiri...”
“Ini kan kecelakaan,” Satria nyengir.
“Tapi tetap saja,” ujarku, jengkel, menyeruput teh
hijauku.
“Tetap saja?”
Aku menggeleng, tapi menjawab dalam hati: Tetap saja membuatku cemas.
Kami berdua duduk dalam diam, sesekali terdengar dia
yang meneguk es tehnya, dan aku yang menyeruput teh hijauku. Sama-sama sibuk
dengan pikiran masing-masing, sama-sama melihat kegaduhan di ruang televisiku,
sama-sama tertawa melihat Ary menarikan Sorry,
Sorry.
Tapi memang tak ada hal lain yang aku inginkan
selain ini.
Just stay
here, please. And don’t go anywhere.
* * *
Done at 11:12, Rabu, 25 April 2012