24 Apr 2012


“Ah,” gumamku. Sial, jariku teriris pisau ketika sedang memotong bawang putih. Buru-buru kucuci jariku, lalu kutempeli plester. Darahku terkadang memutuskan untuk mengalir lebih cepat dari orang normal kebanyakan.
Akane  melompat ke meja dapur, yang langsung aku tepis hingga ia jatuh. Sialnya, baskom tempat kangkung yang sudah kucuci tadi ikut jatuh – bersama kangkung-kangkung warna hijau itu.
“Berapa kali sudah kubilang, Akane, jangan naik ke meja dapur!” bentakku, kesal. Akane mengeong marah, lalu dia berjalan menuju ruang televisi untuk mengaso.
Astaga. Kenapa setiap aku sedang kedatangan tamu secara rutin tampaknya situasi benar-benar tidak berpihak padaku?

Kupungut, dengan mengomel, kangkung yang bergeletakan di lantai, lalu kucuci lagi bersih-bersih. Bagaimanapun, makan malamku hari ini harus siap sebelum pukul tujuh, karena Oki baru saja menelepon (dari rumahnya yang sedang kosong karena ayah dan ibunya pergi ke Jakarta) untuk minta makan malam di rumahku. Mereka bilang akan datang setelah latihan futsal, yang berakhir pukul tujuh malam.
“Berapa orang?” tanyaku waktu Oki menelepon, pukul lima tadi.  
“Enam, enam,” kata Oki, terdengar buru-buru. “Eh tujuh ding sama aku!”
Bodohnya dia tidak menghitung dirinya sendiri.
“Aku, Brian, Satria, Robi, Ary, Wira, sama Wahyu...” dia menyebut nama teman-teman sekelas kami. “Makasih lho, May.”
“Iya, sama-sama.”
Mendengar nama Satria akan datang ke rumahku untuk makan malam malah membuatku tidak santai sama sekali.
Kuputuskan untuk membuat smoothies dingin juga, sudah pasti mereka kehausan setelah latihan futsal. Mereka akhir-akhir ini memang sering latihan, mengingat sebentar lagi akan ada pekan olahraga se-kampus, yang mengharuskan setiap jurusan mengirimkan wakilnya untuk setiap cabang olahraga yang dipertandingkan.
Setelah kupikir-pikir – sambil menumis kangkungku – mungkin aku bisa jadi manajer mereka. Sudah dua kali mereka datang ke rumahku untuk pertemuan mendadak soal pertandingan futsal dua minggu lagi. Yang pertama mereka membicarakan taktik dan semacamnya, yah, aku sih tidak keberatan, aku juga tidak begitu peduli. Aku menghabiskan waktu bermain dengan Akane sementara mereka berkumpul di ruang tamuku, menghabiskan kerupuk udangku. Mereka tidak bisa pergi ke rumah Oki karena kedua orangtua Oki sibuk, dan mereka tidak mau diganggu dengan keramaian para cowok penggila wanita dan olahraga. Lagipula, hanya rumahku dan rumah Oki yang paling dekat dengan tempat mereka latihan futsal.
Yang kedua mereka mampir datang – sangat  mendadak – siang hari bolong ketika aku sedang menarikan Gee dengan girang di ruang televisiku. Mereka bilang ingin mampir sebentar menunggu jam tiga sore untuk latihan rutin. Aku membuka pintu dengan peluh bercucuran dan ketika mereka masuk rumahku, mereka terperangah melihat SNSD ada di televisiku – tidak lupa dengan lagu Gee yang bergaung keras. Kali itu mereka menghabiskan kacang mete yang baru sehari yang lalu aku beli.
Tumis kangkung sudah selesai, selagi aku menggoreng mendoan – yang super banyak. Untung tadi pagi aku berbelanja besar-besaran ditemani Oki, karena aku tidak bisa membawa  belanjaan itu dengan sepedaku sendiri, jadi Oki meminjam mobil ayahnya.
Aku juga mulai memotong-motong tahu untuk kugoreng begitu saja. Mereka toh tak akan protes, mereka pasti lelah dan akan memakan apapun yang tersaji di meja makanku.
Pukul tujuh kurang, aku selesai mengangkat tahu-tahu itu dari wajan yang minyaknya sudah sangat panas. Kumatikan kompor, lalu meletakkan piring berisi tahu di meja. Kututup dengan tudung saji. Kemudian aku mandi.
Ya, ya, ya, tolong jangan bertanya kenapa aku baru mandi sekarang.
Tepat ketika aku selesai mandi dan sedang mengelus-elus Akane di sofa, Oki menelepon.
“May, otewe otewe,” katanya, terdengar bahagia. Tampaknya dia sedang berada di mobil Brian, karena terdengar suara berisik para lelaki di telepon.
“Ooh, oke oke...” gumamku, lalu menunggu sembari menonton televisi.
Tak lama, terdengar bunyi klakson mobil yang sudah lama aku tunggu-tunggu.
“Oh, mereka,” kataku, melompat dari sofa dan membuka pintu rumah. Aku berlari untuk membuka pintu pagar, tanpa sandal.
“Lama ya?” tanya Oki, yang pertama kali keluar dari mobil.
“Nggak kook,” kataku. “Ah, kalian ganti baju. Thanks.”
Aku memang khusus meminta mereka berganti baju biasa dulu sebelum datang ke rumahku.
“Hai, Maya,” sapa Satria, mengagetkanku, seperti biasa.
“Oh, halo,” ujarku, tersenyum pada kapten futsal itu.
“Sendalmu...” tunjuk Wira.
“Ah, males, cuma buka pager ini,” kataku tak peduli, mendahului masuk rumah dengan berjinjit.
“Misi...”
“Woooh...”
“Beda ya sama kamarnya Oki, as expected...”
“Sialan lo.”
Aku tertawa. Kusuguhkan smoothies-ku duluan, baru mereka menyerbu meja makanku untuk mengambil makanan dan pindah ke ruang televisi untuk makan.
Itadakimasu1!!” terdengar dari ruang televisi. Kalau kudengar dari cerita Oki, ternyata Wahyu, Ary, dan Robi baru saja mengikuti les Bahasa Jepang. Aku terkikik.
“Maaf ya, makanannya cuma ini...” ujarku, mendadak merasa makananku kurang sekali.
Lalu terdengar sahutan ramai dari ruang televisi.
“Nggak papa, nggak papa...”
“Enak enak!”
“Cukup kok...”
Aku tersenyum puas.
Aku sedang menyuap kangkung di sudut sofa ketika Satria yang baru mencomot mendoan lagi datang dan mendadak duduk di sebelahku. Aku terkesiap.
“Kenapa? Itu tadi tempatku,” kata Satria tanpa ekspresi.
“Oh, maaf,” aku tanpa sengaja menduduki tempat Satria sebelum dia pergi mengambil mendoan. Habis gimana? Tak ada tempat lagi di sisi yang lain, yang tidak berdekatan dengan para cowok yang baru saja kembali dari tiga jam latihan futsal.
“Nggak papa,” ujar Satria, kali itu tertawa.
Kami berdua makan dalam diam; lebih tepatnya aku yang makan dalam diam, mengawasi cowok-cowok itu makan dengan ramai, berteriak-teriak menonton pertandingan sepak bola yang kebetulan sedang ditayangkan ulang di televisiku. Satria tidak diam, dia bertingkah seperti cowok kebanyakan, ikut mengeluh keras ketika gol yang dilayangkan salah satu pemain tidak masuk. Akane, seolah tahu rumahnya kedatangan cowok-cowok ganteng menurut anggapannya, berkeliling ruang televisi sambil mengeong, mencari perhatian.
Mereka baru benar-benar diam ketika pertandingan diselingi iklan.
“Tanganmu kenapa?” tanya Satria tiba-tiba, tepat ketika aku sedang berkonsentrasi mengunyah tahu.
“Ini?” aku mengacungkan jariku yang diplester. “Keiris tadi.”
“Baru belajar masak, ya?” dia nyengir.
“Enak aja,” aku manyun. “Keiris bisa terjadi pada siapa saja, tahu.”
Satria manggut-manggut.
Kenapa sih dia santai sekali membuatku deg-degan?
Pertandingan sepak bola di televisi masih berlangsung setelah kami selesai makan. Kukeluarkan cemilan dari kulkas – biasalah, kacang – dan kusajikan di depan mereka.
“Waaah.”
“Ini nih.”
“Makasih lho, Maya.”
“Kopi mana kopi...”
Ruang nontonku mendadak dipenuhi tawa. Kupeluk Akane, yang mendengkur.
“Sekali-sekali seperti ini tidak apa-apa, ya?” gumamku di telinga Akane. Seolah mengerti, ia mengeong dengan tatapan mengiyakan.
Setelah tinggal untuk beberapa saat – membicarakan strategi lagi – mereka bertujuh pulang, mengucapkan banyak-banyak terima kasih padaku.
“Lain kali tahu tempe bacem, May!” usul Wira.
Aku tertawa. “Pesen dulu malem sebelumnya, ya.”
Mereka mengacungkan jempol mereka. Brian mendahului masuk mobilnya, diikuti Robi, Wira, dan Ary. Wahyu – dia mengambil satu mendoan dari meja makanku.
Just one,” katanya. “Trims.”
Entah disengaja atau tidak, Satria baru keluar ketika yang lain-lain sudah masuk mobil. Dia sedari tadi bermain dengan Akane dan bolanya.
“Siapa nama kucingmu?” tanyanya, di teras rumahku.
“Akane, kenapa?”
Cute,” katanya, entah kenapa membuat wajahku memerah, padahal pujian itu ditujukan untuk Akane. Mungkin karena yang mengatakan adalah orang yang kusukai, dan dia mengatakannya tepat di depanku.
“Thanks,” gumamku, keceplosan seperti biasa.
“Akane, Akane!”
Aku tertawa bersama Satria – suatu hal yang jarang sekali terjadi, pembaca.
“Brian nganterin kalian?” tanyaku, mengiringi Satria berjalan menuju pintu pagar.
“Ke rumah Oki, kami nyimpen motor disana...” katanya. “Duluan, May. Makasih makanannya. Enak.” Dia mengacungkan dua jempolnya, dengan senyumnya yang tidak kentara.
Aku tak bisa menyembunyikan perasaan senangku, sungguh.
Brian membunyikan klaksonnya.
“Oi! Buruan napa!” dia terdengar kesal karena selama sekitar tiga menit ini mesin mobilnya menyala tanpa arti.
“Udah, ntar aja pacarannya!” terdengar teriakan Ary.
Aku melotot ke arah jendela mobil, dimana Ary barusan melongokkan kepalanya untuk berteriak, kemudian berpura-pura mengacungkan tinju. Mereka terbahak.
Mereka tidak tahu betapa aku mengharapkan itu terjadi.
Satria hanya mendengus tertawa, lalu keluar pintu pagarnya. Sesaat aku merasa ingin sekali menangkap lengannya yang bebas, menahannya untuk tidak pergi.
“Yuk,” ujarnya, melambaikan tangan sebelum masuk mobil Brian.
Brian membunyikan klaksonnya, kali ini dengan riang. “Makasih, May!” terdengar di seisi mobil, yang kurasa bisa didengar satu komplek. Aku ingin sekali menyuruh mereka segera berhenti berseru sebelum tetangga-tetanggaku datang dan protes.
Kurasa aku akan mimpi indah malam ini, gumamku sembari mengunci pagar, sadar kalau masih ada senyum yang tersungging di bibirku.
* * *

1 = 'selamat makan' - Bahasa Jepang

done at 23 April 2012

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates