Wonderful Tonight
“Ah,” gumamku. Sial, jariku teriris pisau ketika
sedang memotong bawang putih. Buru-buru kucuci jariku, lalu kutempeli plester. Darahku
terkadang memutuskan untuk mengalir lebih cepat dari orang normal kebanyakan.
Akane
melompat ke meja dapur, yang langsung aku tepis hingga ia jatuh.
Sialnya, baskom tempat kangkung yang sudah kucuci tadi ikut jatuh – bersama
kangkung-kangkung warna hijau itu.
“Berapa kali sudah kubilang, Akane, jangan naik ke
meja dapur!” bentakku, kesal. Akane mengeong marah, lalu dia berjalan menuju
ruang televisi untuk mengaso.
Astaga. Kenapa setiap aku sedang kedatangan tamu
secara rutin tampaknya situasi benar-benar tidak berpihak padaku?
Kupungut, dengan mengomel, kangkung yang bergeletakan di lantai, lalu kucuci lagi bersih-bersih. Bagaimanapun, makan malamku hari ini harus siap sebelum pukul tujuh, karena Oki baru saja menelepon (dari rumahnya yang sedang kosong karena ayah dan ibunya pergi ke Jakarta) untuk minta makan malam di rumahku. Mereka bilang akan datang setelah latihan futsal, yang berakhir pukul tujuh malam.
“Berapa orang?” tanyaku waktu Oki menelepon, pukul
lima tadi.
“Enam, enam,” kata Oki, terdengar buru-buru. “Eh
tujuh ding sama aku!”
Bodohnya dia tidak menghitung dirinya sendiri.
“Aku, Brian, Satria, Robi, Ary, Wira, sama Wahyu...”
dia menyebut nama teman-teman sekelas kami. “Makasih lho, May.”
“Iya, sama-sama.”
Mendengar nama Satria akan datang ke rumahku untuk
makan malam malah membuatku tidak santai sama sekali.
Kuputuskan untuk membuat smoothies dingin juga, sudah pasti mereka kehausan setelah latihan
futsal. Mereka akhir-akhir ini memang sering latihan, mengingat sebentar lagi akan
ada pekan olahraga se-kampus, yang mengharuskan setiap jurusan mengirimkan
wakilnya untuk setiap cabang olahraga yang dipertandingkan.
Setelah kupikir-pikir – sambil menumis kangkungku – mungkin
aku bisa jadi manajer mereka. Sudah dua kali mereka datang ke rumahku untuk
pertemuan mendadak soal pertandingan futsal dua minggu lagi. Yang pertama
mereka membicarakan taktik dan semacamnya, yah, aku sih tidak keberatan, aku
juga tidak begitu peduli. Aku menghabiskan waktu bermain dengan Akane sementara
mereka berkumpul di ruang tamuku, menghabiskan kerupuk udangku. Mereka tidak
bisa pergi ke rumah Oki karena kedua orangtua Oki sibuk, dan mereka tidak mau
diganggu dengan keramaian para cowok penggila wanita dan olahraga. Lagipula,
hanya rumahku dan rumah Oki yang paling dekat dengan tempat mereka latihan
futsal.
Yang kedua mereka mampir datang – sangat mendadak – siang hari bolong ketika aku
sedang menarikan Gee dengan girang di
ruang televisiku. Mereka bilang ingin mampir sebentar menunggu jam tiga sore
untuk latihan rutin. Aku membuka pintu dengan peluh bercucuran dan ketika
mereka masuk rumahku, mereka terperangah melihat SNSD ada di televisiku – tidak
lupa dengan lagu Gee yang bergaung
keras. Kali itu mereka menghabiskan kacang mete yang baru sehari yang lalu aku beli.
Tumis kangkung sudah selesai, selagi aku menggoreng
mendoan – yang super banyak. Untung tadi pagi aku berbelanja besar-besaran
ditemani Oki, karena aku tidak bisa membawa
belanjaan itu dengan sepedaku sendiri, jadi Oki meminjam mobil ayahnya.
Aku juga mulai memotong-motong tahu untuk kugoreng
begitu saja. Mereka toh tak akan protes, mereka pasti lelah dan akan memakan
apapun yang tersaji di meja makanku.
Pukul tujuh kurang, aku selesai mengangkat tahu-tahu
itu dari wajan yang minyaknya sudah sangat panas. Kumatikan kompor, lalu
meletakkan piring berisi tahu di meja. Kututup dengan tudung saji. Kemudian aku
mandi.
Ya, ya, ya, tolong jangan bertanya kenapa aku baru
mandi sekarang.
Tepat ketika aku selesai mandi dan sedang
mengelus-elus Akane di sofa, Oki menelepon.
“May, otewe otewe,” katanya, terdengar bahagia. Tampaknya
dia sedang berada di mobil Brian, karena terdengar suara berisik para lelaki di
telepon.
“Ooh, oke oke...” gumamku, lalu menunggu sembari
menonton televisi.
Tak lama, terdengar bunyi klakson mobil yang sudah
lama aku tunggu-tunggu.
“Oh, mereka,” kataku, melompat dari sofa dan membuka
pintu rumah. Aku berlari untuk membuka pintu pagar, tanpa sandal.
“Lama ya?” tanya Oki, yang pertama kali keluar dari
mobil.
“Nggak kook,” kataku. “Ah, kalian ganti baju.
Thanks.”
Aku memang khusus
meminta mereka berganti baju biasa dulu sebelum datang ke rumahku.
“Hai, Maya,” sapa Satria, mengagetkanku, seperti
biasa.
“Oh, halo,” ujarku, tersenyum pada kapten futsal
itu.
“Sendalmu...” tunjuk Wira.
“Ah, males, cuma buka pager ini,” kataku tak peduli,
mendahului masuk rumah dengan berjinjit.
“Misi...”
“Woooh...”
“Beda ya sama kamarnya Oki, as expected...”
“Sialan lo.”
Aku tertawa. Kusuguhkan smoothies-ku duluan, baru mereka menyerbu meja makanku untuk
mengambil makanan dan pindah ke ruang televisi untuk makan.
“Itadakimasu1!!”
terdengar dari ruang televisi. Kalau kudengar dari cerita Oki, ternyata Wahyu,
Ary, dan Robi baru saja mengikuti les Bahasa Jepang. Aku terkikik.
“Maaf ya, makanannya cuma ini...” ujarku, mendadak
merasa makananku kurang sekali.
Lalu terdengar sahutan ramai dari ruang televisi.
“Nggak papa, nggak papa...”
“Enak enak!”
“Cukup kok...”
Aku tersenyum puas.
Aku sedang menyuap kangkung di sudut sofa ketika
Satria yang baru mencomot mendoan lagi datang dan mendadak duduk di sebelahku. Aku
terkesiap.
“Kenapa? Itu tadi tempatku,” kata Satria tanpa
ekspresi.
“Oh, maaf,” aku tanpa sengaja menduduki tempat
Satria sebelum dia pergi mengambil mendoan. Habis gimana? Tak ada tempat lagi
di sisi yang lain, yang tidak berdekatan dengan para cowok yang baru saja
kembali dari tiga jam latihan futsal.
“Nggak papa,” ujar Satria, kali itu tertawa.
Kami berdua makan dalam diam; lebih tepatnya aku yang makan dalam diam, mengawasi
cowok-cowok itu makan dengan ramai, berteriak-teriak menonton pertandingan
sepak bola yang kebetulan sedang ditayangkan ulang di televisiku. Satria tidak
diam, dia bertingkah seperti cowok kebanyakan, ikut mengeluh keras ketika gol
yang dilayangkan salah satu pemain tidak masuk. Akane, seolah tahu rumahnya kedatangan
cowok-cowok ganteng menurut anggapannya, berkeliling ruang televisi sambil
mengeong, mencari perhatian.
Mereka baru benar-benar diam ketika pertandingan
diselingi iklan.
“Tanganmu kenapa?” tanya Satria tiba-tiba, tepat
ketika aku sedang berkonsentrasi mengunyah tahu.
“Ini?” aku mengacungkan jariku yang diplester.
“Keiris tadi.”
“Baru belajar masak, ya?” dia nyengir.
“Enak aja,” aku manyun. “Keiris bisa terjadi pada
siapa saja, tahu.”
Satria manggut-manggut.
Kenapa sih dia santai sekali membuatku deg-degan?
Pertandingan sepak bola di televisi masih
berlangsung setelah kami selesai makan. Kukeluarkan cemilan dari kulkas –
biasalah, kacang – dan kusajikan di depan mereka.
“Waaah.”
“Ini nih.”
“Makasih lho, Maya.”
“Kopi mana kopi...”
Ruang nontonku mendadak dipenuhi tawa. Kupeluk
Akane, yang mendengkur.
“Sekali-sekali seperti ini tidak apa-apa, ya?”
gumamku di telinga Akane. Seolah mengerti, ia mengeong dengan tatapan
mengiyakan.
Setelah tinggal untuk beberapa saat – membicarakan
strategi lagi – mereka bertujuh pulang, mengucapkan banyak-banyak terima kasih
padaku.
“Lain kali tahu tempe bacem, May!” usul Wira.
Aku tertawa. “Pesen dulu malem sebelumnya, ya.”
Mereka mengacungkan jempol mereka. Brian mendahului
masuk mobilnya, diikuti Robi, Wira, dan Ary. Wahyu – dia mengambil satu mendoan
dari meja makanku.
“Just one,”
katanya. “Trims.”
Entah disengaja atau tidak, Satria baru keluar
ketika yang lain-lain sudah masuk mobil. Dia sedari tadi bermain dengan Akane
dan bolanya.
“Siapa nama kucingmu?” tanyanya, di teras rumahku.
“Akane, kenapa?”
“Cute,”
katanya, entah kenapa membuat wajahku memerah, padahal pujian itu ditujukan
untuk Akane. Mungkin karena yang mengatakan adalah orang yang kusukai, dan dia
mengatakannya tepat di depanku.
“Thanks,” gumamku, keceplosan seperti biasa.
“Akane, Akane!”
Aku tertawa bersama Satria – suatu hal yang jarang
sekali terjadi, pembaca.
“Brian nganterin kalian?” tanyaku, mengiringi Satria
berjalan menuju pintu pagar.
“Ke rumah Oki, kami nyimpen motor disana...”
katanya. “Duluan, May. Makasih makanannya. Enak.” Dia mengacungkan dua
jempolnya, dengan senyumnya yang tidak kentara.
Aku tak bisa menyembunyikan perasaan senangku,
sungguh.
Brian membunyikan klaksonnya.
“Oi! Buruan napa!” dia terdengar kesal karena selama
sekitar tiga menit ini mesin mobilnya menyala tanpa arti.
“Udah, ntar aja pacarannya!” terdengar teriakan Ary.
Aku melotot ke arah jendela mobil, dimana Ary
barusan melongokkan kepalanya untuk berteriak, kemudian berpura-pura
mengacungkan tinju. Mereka terbahak.
Mereka tidak tahu betapa aku mengharapkan itu
terjadi.
Satria hanya mendengus tertawa, lalu keluar pintu
pagarnya. Sesaat aku merasa ingin sekali menangkap lengannya yang bebas,
menahannya untuk tidak pergi.
“Yuk,” ujarnya, melambaikan tangan sebelum masuk
mobil Brian.
Brian membunyikan klaksonnya, kali ini dengan riang.
“Makasih, May!” terdengar di seisi mobil, yang kurasa bisa didengar satu
komplek. Aku ingin sekali menyuruh mereka segera berhenti berseru sebelum
tetangga-tetanggaku datang dan protes.
Kurasa aku akan mimpi indah malam ini, gumamku
sembari mengunci pagar, sadar kalau masih ada senyum yang tersungging di
bibirku.
* * *
1 = 'selamat makan' - Bahasa Jepang
done at 23 April 2012