Seseorang yang Memanggilku Noona*
Obrolan tentang bulan
olahraga yang diadakan oleh kampus masih terdengar di sudut-sudut kelasku. Anak-anak
fakultasku makin optimis setelah pertandingan futsal kemarin menang dengan
sukses. Futsal masuk semifinal, badminton masuk perempat final, basket juga
masuk perempat final. Kalau tidak salah sore ini akan diadakan semifinal sepak
bola. Sayang sekali jurusanku tidak masuk semifinal sepak bola.
Anak-anak tim futsal
masih sering datang ke rumahku untuk bermain atau mendiskusikan taktik – dengan
Hannah yang dengan cerianya membawakan cemilan buatannya. Kadang dia menyiapkan
bekal khusus untuk Oki, yang tidak menolak.
Dan tentang kejadian terkilirnya Satria beberapa minggu lalu itu, memang agak parah sampai dia harus diperban selama sekitar lima hari. Tetapi kemudian dia sembuh total.
Sepulang dari dokter
(yang kami kunjungi bersama) dia tersenyum menang kepadaku.
“Sudah kubilang kan
tidak apa-apa?” katanya.
Aku diam saja,
membiarkannya menang.
Sebenarnya, kejadian
seharian itu bisa aku tulis di catatan ‘Hal-Hal
Yang Membuatku Bahagia Hari Ini’, termasuk kejadian dimana sepulang kuliah aku
dan dia berjalan berdampingan (yah, dengan anak-anak yang lain di depan dan di
belakang kami berdua) dan mengobrolkan segala hal, termasuk gigi geraham
bungsunya yang baru akan tumbuh. Gigi geraham bungsu Satria yang kanan atas
ternyata tidak bisa tumbuh dengan normal. Giginya tumbuh ke samping, menabrak gigi
geraham sebelahnya2. Dia mengeluhkan hal ini yang membuatnya sakit.
“Biasanya memang sakit
sekali,” kataku, yang sudah menumbuhkan
tiga gigi geraham bungsuku dengan sukses, tanpa operasi3. Syukurlah,
rahangku cukup besar, jadi ada tempat untuk tumbuh gigi baru.
“Tapi kalo nggak sakit
banget atau nggak kenapa-napa, nggak usah operasi kan? Aku males,” kata Satria
cuek.
Aku manyun,
mengangguk-angguk.
“Operasi hati boleh
tuh,” sambar Wira di belakang kami, yang sepertinya mendengarkan cerita Satria
sedari tadi.
“Buat apa?” tanyaku,
senyum-senyum karena sudah bisa menduga jawabannya.
“Biar pintu hatinya
bisa kebuka buat kamu...” Oki yang menjawabnya.
“Sialan.”
“Jijik banget sih!”
Kami tertawa-tawa.
Setelah itu, mereka
bahkan belum selesai. Rasanya belum cukup mereka kalau tidak bersorak-sorai mengiringi
kami yang berjalan menuju mobil Oki (mobil ayahnya, sebenarnya) yang kupinjam
dengan izin. Dengan muka memerah (tapi teramat senang) aku mempercepat
langkahku menuju tempat parkir. Selain itu, juga karena aku melihat Marisa
(lagi!) di kantin dengan teman-teman cantiknya.
Tak akan kuberi dia
kesempatan melihat Satria lama-lama.
(Phew, barusan aku terdengar
seperti pemeran wanita antagonis yang biasanya ada di film-film.)
Bersama Satria, ada
percakapan-percakapan tidak penting yang menjadi penting karena aku
melakukannya dengan orang yang penting. Aku yang biasanya diam, bisa jadi talkative gara-gara omongan Satria. Kebanyakan
dia mengutarakan sesuatu, kemudian aku yang tidak setuju memprotesnya.
Dan sebuah keajaiban – ketika
selesai periksa di tempat praktek dokter itu dengan hasil yang melegakan –
Satria memintaku menemaninya makan
siang.
“Warung Padang aja
nggak apa-apa, kok,” kata Satria. “Laper...”
Aku tentu saja setuju.
Dia lalu meminta gantian menyetir mobil Oki, aku di kursi penumpang di
sebelahnya. Awalnya aku mengkhawatirkan kakinya, tetapi dia bilang tidak
apa-apa, jadi aku terpaksa mengalah. Lagipula aku tidak tahu ke arah mana
warung makan Padang yang mana yang dia maksud.
Aku tidak biasanya
mengalah untuk suatu hal yang aku ingin orang lain lakukan untuk kebaikannya.
Cara menyetir Satria –
mungkin karena aku benar-benar
menyukainya – sangat kukagumi. Berkali-kali dia menyelip mobil atau motor di
depan kami dengan cepat dan dalam kondisi yang nyaris berselisih dengan mobil dari arah berlawanan. Berkali-kali
pula aku berseru untuk menghindar, tetapi dengan tenang ia mengendalikan mobil
Oki kembali ke lajur yang benar. Berkali-kali aku dibuatnya deg-degan (seperti
biasa!) dan berkali-kali pula aku dibuatnya menghela napas lega.
“Jangan ngebuut,”
pintaku.
“Nggak, nggak...”
“Lima puluh tiga
kilometer perjam kamu bilang nggak ngebut? Kalo ada undakan gimana? Kalo ada
polisi tidur gimana? Kita bisa kelempar ke atas.”
“Kan kita pake seatbelt.”
Aku mendengus jengkel,
lalu membanting punggungku ke kursi, berusaha menikmati lagi cara Satria
mengemudi; yang persis Papa. Biasanya kalau Papa menyetir seperti itu, Mama di
sebelahnya akan protes sepertiku, dan aku
yang duduk di belakang hanya tertawa-tawa, bisa menolerir kecepatan
mengemudi Papa.
Ternyata duduk di kursi
belakang dan duduk di samping kursi pengemudi memang punya sensasi yang
berbeda.
Terlebih kalau yang
duduk di kursi pengemudi adalah orang yang kau sukai.
Sambal di warung makan
Padang langganan Satria sama sekali tidak pedas. Bukannya aku melebih-lebihkan,
tapi sambalnya lebih terasa asin. Ketika aku mengutarakan hal ini pada Satria,
dia menjawab, dengan santai dan percaya diri.
“Masa asin sih? Liatin
aku lah biar agak manis.”
Aku melongo
memandanginya.
“Ini pedes tau, May.”
Aku masih melongo.
“May ini pedes banget.”
Aku tetap melongo.
“Uda, minta es teh lagi!”
Aku baru menutup
mulutku dan menarik napas lega. Sepertinya niatku untuk memandangi Satria
selama sekian detik waktu dia makan bisa tertutupi karena aku masih terlihat melongo karena kalimatnya yang
tadi itu, yang kusetujui di dalam hati.
Ketika kami sudah
selesai makan, dia mengusulkan untuk berlomba menghabiskan es teh kami, yang
sama-sama masih terisi tiga perempat gelas. Bedanya, itu gelas es teh
ketiganya, sementara es tehku masih gelas pertama.
Usulan tentang lomba
menyedot minuman ini mengingatkanku pada pasangan Seohyun SNSD dan Yonghwa CN
Blue waktu mereka masih di reality show ‘We
Got Married’.
Oh, Maya, pikiranmu
sungguh kekanakan.
“Kalo menang apa?”
tanyaku, semangat bertandingku muncul.
“Bayarin makan siang
ini,” ujar Satria, yang kukira bercanda.
“Oke,” kutanggapi
dengan serius dan tanpa berpikir.
Satria tampak kaget,
tapi dia tertawa.
“1, 2, 3,” hitung kami
berbarengan, lalu menyedot es teh dengan kecepatan yang nyaris sama.
Fortunately, aku yang menang. Satria tampak kecewa.
“Yeay,” aku senang,
“yeay!”
“Es tehku dingin banget!”
protes Satria. “Es tehmu kan esnya udah ada yang cair.”
“Oh, don’t be so immature, a
game is a game,” kataku, “tapi tetep harus ada yang menepati janjinya sebelum
lomba tadi.”
Pada akhirnya Satria
membayari makan siang kami hari itu. Sampai sekarang aku tidak tahu apakah dia sengaja kalah atau dia memang kalah. Aku sama sekali tidak
ingin memikirkan kemungkinan pertama atau kedua. Aku hanya tahu aku menang. Itu
saja.
Hal ini juga sangat pantas masuk catatan ‘Hal-Hal Yang Membuatku Bahagia Hari Ini’.
Aku dan Hannah juga
sering datang ke latihan futsal rutin mereka jam empat sore setiap Kamis – dan
sekarang karena ada pertandingan, mereka latihan tiga kali seminggu,
Rabu-Kamis-Jumat. Sabtu dan Minggu mereka ingin senang-senang sendiri.
Jadi, aku menyaksikan
perkembangan mereka yang semakin pesat, meski aku sama sekali tidak tahu dan
tidak mengerti sepak bola ataupun futsal. Aku hanya tahu mereka semakin cekatan
menggiring bola, memasukkannya ke gawang, dan menghadapi tekanan yang datang
dari lawan.
Dan dari situlah aku
tahu bahwa ternyata ada dua orang dari mereka yang juga ikut tim basket yang
bertanding di bulan olahraga kampus: Wahyu dan Robi. Aku sama sekali tidak
perhatian soal ini, karena tahu sendiri kan, yang aku perhatikan hanyalah
Satria.
Mereka memberitahuku
bahwa tim basket memang kebanyakan
junior-junior, yang kalau aku lihat-lihat, memang berbadan tinggi (keuntungan
sekali bagi tim basket fakultasku). Mereka tidak menyalahkanku kalau aku tidak
terlalu mengikuti perkembangan tim basket.
“Aduh, maaf banget
lho,” ujarku menyesal. “Kalau tahu kan aku bisa dateng jadi suporter...”
“Nggak apa-apa sih,”
Robi tertawa. “Minggu ini perempat final loh, nonton ya? Lawannya berat.”
“Siapa?”
“Anak hukum.”
Mereka semua
mengangguk-angguk. Aku dan Hannah ikut-ikutan.
Oki membisikiku.
“Serius kamu nggak merhatiin tim basket?”
Aku meyakinkan Oki
hingga dia yakin seyakin-yakinnya.
“Junior loh padahal.”
“Lho emang kenapa?”
“Biasanya kan matamu
berbinar kalo ngeliat berondong.”
* * *
Hari Jumat siang itu aku
pulang seperti biasa, mengendarai sepedaku dengan headphone terpasang di kepala, memutar lagu Epik High yang berjudul
One. Salah satu lagu lama yang aku
suka, yang aku baru mengenalnya sejak aku mengenal Infinite. Aku menyesal tidak
mengenal Epik High sebelumnya.
Aku melewati jalan yang
tidak biasanya kulewati untuk pulang-pergi kampus, sebuah jalan agak ke dalam
yang bisa dilewati dua mobil. Sedang ingin mendapatkan suasana baru, pikirku.
Tetapi entah aku yang
kurang konsentrasi atau apa, terlalu terbawa oleh musik yang kudengarkan,
tetapi mendadak sepedaku oleng. Aku tidak bisa mengendalikannya dengan baik
ketika menghindari mobil yang berjalan agak pelan, sepertinya dia hendak
berbelok ke kanan. Kuarahkan sepedaku ke kiri, melewati mobil itu, tepat ketika
sebuah motor melintas kencang di sebelah kiriku. Aku kaget, kemudian tanpa
sadar aku mengarahkan sepedaku ke trotoar
dengan bodohnya dan tentu saja hasilnya aku menabrak trotoar
itu. Aku terjatuh, sepedaku jatuh. Beberapa pengendara melintas dan memandang
dengan penasaran.
Beberapa pejalan kaki
menghampiriku untuk membantu mengangkat sepedaku yang menimpa kakiku tanpa
perasaan. Sialan, kakiku sakit. Mungkin keseleo, karena ketika aku berusaha
meluruskan kakiku, rasa sakit berkepanjangan mendadak menusuk-nusuk. Aku nyaris
menangis menahan sakitnya. Ditambah lagi rasa sakit di pinggangku yang mungkin terbentur
trotoar.
Aku terduduk di trotoar.
Seorang ibu muda duduk di sampingku, mengelus-elus punggungku sembari
menawarkan air di botol yang dibawanya. Orang-orang berkerumun di sekitarku.
“Nggak papa, Mbak?”
tanya ibu muda itu. “Minum dulu...”
Aku tersenyum lemah
pada ibu itu dan menerima airnya.
“Mananya yang sakit?”
tanya ibu itu kemudian.
“Pinggang, Bu... sama
kaki...”
“Mau ke rumah sakit?”
“Ah, nggak usah, Bu...”
tolakku halus. “Rumah saya dekat...”
“Kak Maya?” mendadak
terdengar suara seseorang. “Kak Maya, kan?”
Aku mendongak mendengar
namaku dipanggil. Seorang cowok berwajah manis muncul dari orang-orang yang
berkeliling.
“Ya?” jawabku bingung.
“Saya Raga, Kak,”
katanya, memperkenalkan diri. “Adek angkatan...”
“Ooh...” gumamku, ingat
wajahnya sewaktu makrab.
“Kakak nggak apa-apa?”
tanyanya, berjongkok di depanku.
“Sakit, sih...”
“Keseleo?” tanyanya.
“Ng,” jawabku.
“Rumah Kakak dimana?”
tanyanya.
Aku menyebutkan
perumahan tempat rumahku berada. Dan selagi kami mengadakan tanya-jawab itu, orang-orang
yang berkeliling perlahan beranjak pergi. Mungkin mereka menganggap korban
kecelakaan pribadi ini sudah memiliki teman yang bisa membawanya ke rumah sakit
– atau tempat yang lebih layak daripada trotoar dan jalanan yang agak ramai. Tetapi
ibu muda tadi dan seorang pria yang tampaknya suaminya masih tinggal.
“Cek dulu ke rumah
sakit, takutnya organ dalamnya kenapa-napa,” saran ibu muda itu. “Tadi kamu
bilang pinggang kamu sakit, kan?”
“Aku antar, Kak, aku
bawa mobil,” katanya, menunjuk ke mobil di tepi kanan jalan, dan saat itulah
aku tahu, bahwa mobil yang hendak berbelok ke kanan tadi, yang aku hindari ke
kiri, adalah mobil Raga.
“Kami ikut dari
belakang, ya,” kata ibu muda yang baik hati sekali.
“Ah, nggak usah, Bu...”
“Nggak apa-apa.”
Ibu itu tersenyum
menenangkan.
“Sepedanya dimasukin
bagasi saya saja...?” saran Raga, adik angkatanku yang baru kukenal hari itu. “Bapak
punya tali?” dia bertanya pada suami ibu muda itu.
Pria itu mengangguk, kemudian
mencari tali di bagasinya. Raga dibantu pria dewasa itu memasukkan sepeda ke
bagasi mobil Raga, sementara aku dibantu ibu muda yang tadi menaiki mobil Raga,
bertahan dalam kesakitan yang menerjang.
Di kursi belakang aku
berbaring sembari meringis, menyesali kebodohanku.
“Sebentar ya, Kak,”
kata Raga, begitu masuk mobil dan menyalakan mobilnya. “Tahan dulu sakitnya.”
“Iya, nggak sakit kok.”
Aku terbiasa berbohong
pada orang yang baru aku kenal.
Sesampainya di rumah
sakit barulah aku tahu kalau ibu muda dan suaminya yang tadi adalah dokter di rumah sakit itu. Para perawat
menyapa dengan ramah kepada mereka berdua dan langsung mematuhi apa yang mereka
perintahkan untuk mengembalikanku ke kondisi normal.
“Mbak Maya ya?” tanya
ibu muda itu. “Tidur dulu disini.”
Aku merebahkan diriku
dengan susah payah di ranjang yang ditunjuk beliau.
“Maaf terlambat memperkenalkan
diri, saya Tiara...”
Aku mengangguk dan
tersenyum. “Ibu... dokter disini, ya?”
“Kebetulan,” jawab
Dokter Tiara tersenyum, cantik sekali. “Saya cek tekanan darahnya dulu, ya...”
Aku sudah menduga
kemungkinan terburuk untuk hasil tes tekanan darahku, mengingat sedari tadi
detak jantungku berdebar kencang sekali.
“Hm, lumayan tinggi,”
kata Dokter Tiara. “Seratus lima puluh per sembilan dua.”
Seorang suster yang
membantu mencatat ini di kertas yang dibawanya. Rekam medis, mungkin.
Dia lalu memeriksaku
dengan stetoskopnya.
“Pinggangnya sakit?”
“Iya, Dok...”
“Dilihat dulu, ya...”
Beliau menyingkap kemeja
yang kukenakan setelah suster menutup sekeliling ranjang dengan gorden biru.
“Nggak ada luka luar,
tapi cek dulu ya, takutnya yang kena yang dalam. Suster, siapkan rontgen ya.”
“Baik, Dok...”
“Mbak Maya kuliah
dimana?”
Aku menyebutkan kampus
dan fakultasku.
“Oh, memang sering
pulang-pergi kuliah naik sepeda?”
“Iya, Dok. Cuma tadi
kayaknya agak ngelamun sedikit, jadi nabrak trotoar...”
Dokter Tiara tertawa.
“Motornya tadi kenceng
banget, Dok... saya sampai kaget.”
“Anak muda jaman
sekarang, ya. Saya yang lihat dari belakang juga kaget...” komentar Dokter
Tiara. “Yuk, May, rontgennya udah siap.”
Aku dibawa dengan kursi
roda lagi, menuju ruang rontgen. Melewati Raga yang (tak kusangka) menunggu di
luar UGD, yang sedang bicara dengan suami Dokter Tiara.
“Kak, gimana?”
tanyanya.
“Mau rontgen dulu...”
jawabku.
“Takutnya kena organ
dalam,” tambah Dokter Tiara tersenyum. Raga mengangguk-angguk.
Hasil rontgen
menunjukkan, untunglah, tidak ada kerusakan pada organ dalamku. Tidak ada
fraktur yang kutakutkan, atau tulang yang bergeser, atau apalah.
“Syukurlah, mungkin
hanya akibat benturan keras tadi,” kata Dokter Tiara. “Saya perban keseleomu,
ya. Kamu harus pakai tongkat penyangga
selama kira-kira tiga hari sampai lima hari...”
“Apa, Dok?” ujarku
dramatis.
“Tongkat penyangga...”
Raga yang mengulang perkataan Dokter Tiara.
“Saya nggak bisa naik
sepeda lagi, dong?”
“Ya, kamu terpaksa nebeng
temenmu dulu...” ujar Dokter Tiara yang terdengar menyesal karena aku tidak
bisa naik sepeda selama lima hari ke depan.
Dokter Tiara memberikan
resep obat untuk kuminum, rata-rata obat penghilang rasa sakit. Aku hendak
beranjak untuk mengurus administrasi, ketika kemudian Dokter Tiara mencegahku
berdiri.
“Nggak perlu, Maya,”
kata Dokter Tiara ramah.
“Ini pertolongan,” ujar
suaminya, yang aku tahu bernama Fajar.
“Tapi...”
“Sudah, nggak apa-apa! Sebagai
saksi kecelakaan itu kami senang tidak terjadi apa-apa yang membahayakan
nyawamu.”
Luapan rasa terima
kasih yang besar sangat aku haturkan pada pasangan dokter muda yang baik hati
serta mulia ini. Aku menyalami Dokter Tiara dan Dokter Fajar berkali-kali,
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Raga – yang tidak sengaja terlibat
dalam hal ini – mendadak terlihat sudah dekat dengan Dokter Fajar.
“Terima kasih banyak,
Dokter...” aku nyaris menangis ketika Dokter Tiara mendadak memelukku.
“Kamu mirip adikku,”
kata Dokter Fajar tersenyum.
“Ah,” ujarku, entah
harus berbicara apa.
Dokter Tiara dan Dokter
Fajar mengantarku sampai keluar gedung rumah sakit. Raga berhenti mendorong
kursi rodaku (yang kurasa sangat ganjil sekali, diperlakukan seperti itu oleh
seorang yang baru kau kenal selama satu jam) dan berlari untuk mengambil
mobilnya (dengan sepedaku masih terikat erat di bagasinya).
“Hati-hati, ya, Maya?”
kata Dokter Tiara. “Semoga cepat sembuh. Kalau masih sakit jangan dipaksain
naik sepeda.”
Aku mengangguk
sementara dibantu masuk mobil oleh beberapa suster.
“Terima kasih sekali,
Dokter Tiara, Dokter Fajar...”
Raga menyalami kedua
dokter itu dan mengangguk singkat sebelum mobilnya melaju keluar gerbang rumah
sakit.
“Jadi,” ujarku, setelah
lima menit hening. “Kamu kebetulan saja lewat, atau...?”
“Kosanku di dekat sana,
Kak. Pas aku mau belok kanan itu, aku liat dari spion... Kak Maya jatuh,
jelas Raga tersenyum.
jelas Raga tersenyum.
“Pasti aku kelihatan
bodoh sekali...” ujarku, lebih kepada diriku sendiri.
“Nggak, kok,” Raga
tersenyum padaku sesaat.
Membuatku nyaris sesak
napas. Kenapa senyum anak ini cemerlang sekali?
“Pemandumu waktu makrab
itu...” aku mencoba mencari topik yang agak sedikit universal, sebelum menggali
lebih jauh tentang anak manis ini.
“Kak Kelly,” jawab
Raga, yang mengemudikan mobilnya dengan santai, berbeda dengan Satria kemarin
dulu. Raga tidak pernah mencapai 50 km/jam. Selalu 40-an. Cara mengendarainya
juga sangat halus.
“Oh iya, si Kelly... kamu
kelompok lima kan?”
“Iya, yang pas
inaugurasi bikin drama musikal,” Raga tertawa renyah.
Detik itu, aku langsung
suka tawanya.
“Aku suka kok drama
musikalnya,” ujarku spontan, jujur.
“Really?” Raga
memandangku sejenak. “Thanks.”
Aku mengangguk.
Kemudian hening.
“Masih sakit, Kak?” tanya Raga kemudian.
“Hm? Sedikit.”
“Rumah Kakak sebentar lagi kok.”
“Mmm-hmm.”
Awkward sekali rasanya, duduk di sebelah orang yang baru kamu kenal
beberapa saat, apalagi dia adik angkatanmu, yang lebih muda sekian tahun di
bawahmu. Tetapi entah kenapa aku merasa nyaman. Sama ketika aku berada bersama
Satria.
Akhirnya kami sampai di
depan rumahku, setelah kutunjukkan jalannya pada Raga. Mpok Imah sudah pulang,
hari Jumat memang jadwalnya hanya sampai jam dua belas siang. Tidak ada yang
bisa membukakan pagar.
“Aku bukain pagarnya,
Kak,” Raga meminta kunci rumahku. “Kakak belum bisa jalan, kan?”
“Nih, yang bulet kunci
pager, yang kotak kunci pintu depan.”
Aku menyerahkan kunciku
pada Raga, mengawasinya membuka pagarku, masuk halamanku, dan membuka pintu
rumahku lebar-lebar.
Dia lalu membuka pintu
mobil yang ada di sebelahku. Anehnya, dia berjongkok di luar mobil, apa aku
berpikir seperti yang dia pikirkan?
“Naik, Kak,” dia
memintaku naik ke punggungnya.
Hatiku detik itu
menolak, namun detik berikutnya, sakit melanda kakiku yang keseleo. Aku tak
punya pilihan lain selain digendongnya. Perlahan (tapi pasti) aku memposisikan
diriku agar mudah dibawa olehnya.
Kupegang kedua bahu
Raga erat-erat – masih belum berani untuk melingkarkan lenganku di lehernya – dan
kuusahakan agar tidak membebani anak ini.
“Noona,” kata Raga tiba-tiba, benar-benar mengagetkanku, “gwaenchana4?”
“Hah?” tanyaku.
“Oh, maaf, maaf,” kata
Raga buru-buru. “Aku suka nonton Running
Man, nggak sadar kebawa ke keseharian...”
“...gwaenchana,” jawabku, menahan rasa malu.
Aku bisa melihat
senyuman Raga dari sisi serong wajahnya.
Salah satu impian
terbesarku adalah untuk dipanggil dengan panggilan noona oleh seseorang (yang pasti lelaki!). Oleh karena Satria tidak
mungkin memanggilku noona maka aku
mengubur impianku dalam-dalam.
Tapi aku benar-benar
tidak menyangka orang ini, anak ini, adik angkatanku ini, yang baru saja dua
jam berkenalan, yang sudah bisa menggendongku di punggungnya, adalah orang
pertama yang memanggilku noona.
Oki saja mungkin tidak
berani menggendongku, padahal kami sudah kenal belasan tahun.
Tolong pikirkan
bagaimana perasaanku sekarang.
Raga menurunkanku tepat
di depan pintu rumah, lalu dia kembali ke mobilnya untuk mengambil tongkat
penyanggaku – yang aku bahkan sama sekali tidak ingat, karena dia sudah
mengacak-acak pikiranku dengan suara manisnya yang memanggilku noona.
Aku tidak mungkin
menyukai anak ini hanya dalam dua jam kami berkenalan, kan? Dia memang manis,
terlalu manis bahkan untuk seorang cowok.
Tapi wajahnya itu tipe
yang tidak membosankan untuk dilihat terus-terusan.
“Kak,” dia sampai di
terasku dengan kedua tongkat penyangga. “Besok jangan naik sepeda, ya?”
“I don’t even know how,” kataku. “Kamu bisa turunin sepedanya
sendiri...?”
“Of course,” katanya, melempar senyum manisnya lagi, yang membuat
matanya jadi agak sipit, melengkung ke bawah, membuatnya semakin manis. Doh!
Dan dengan cekatan dia
melepas tali pengikat sepedaku di bagasinya dan menurunkan sepedaku, lalu
memasukannya ke garasiku tanpa aku minta.
“Terima kasih banyak...
kamsa hamnida,” kataku.
“Why using banmal5?” ujarnya tertawa. “I’m so much younger than you, Noona.”
Lagi. Panggilan itu
lagi. Panggilan yang membuat benakku diacak-acak lagi. Panggilan yang memaksa
aku untuk tersenyum senang. Bahagia.
Bahagia.
“How much?” tanyaku.
“Aku delapan belas
tahun lewat enam bulan,” jawabnya.
Aku dua puluh tahun,
terima kasih banyak.
“Ah,” ujarku. “Well anyway, thanks a lot... untung aku
ketemu kamu.”
“Nggak, aku yang untung
ketemu Kakak.”
Dia senyum lagi. Oke,
itu barusan apa maksudnya? Gombal?
“O...ke,” ujarku pelan.
Dia berjalan menuju
pagar. Setelah menutup pintu pagar, dia berbalik menghadapku, tersenyum sesaat,
lalu mengucap,
“Take care, Noona.”
* * *
Catatan
Hal-Hal
Yang Membuatku Bahagia Hari Ini
1.
Sarapan oatmeal tambah strawberry dan susu cokelat. Yum.
2.
Pergi ke kampus diiringi suara seksi Lee Joon ._.v
3. Ketemu
Satria pagi-pagi di tempat parkir.
4.
Satria bilang dia pengen smoothies lagi.
5. Ketemu
pasangan dokter muda yang super baik (lot of thanks and kisses for them both!)
6.
Ketemu adik angkatan cowok (manis!) yang nolongin waktu aku jatuh dari sepeda
7.
Adik angkatan ini memanggilku NOONA.
8.
Ada yang memanggilku dengan sebutan NOONA.
9.
Seseorang memanggilku NOONA.
10.
SESEORANG MEMANGGILKU NOONA.
* * *
Done at 22:55
1 Mei 2012
*FYI*
noona = (Bahasa Korea) panggilan dari
laki-laki untuk perempuan yang lebih tua
2 = istilah kesehatannya IMPAKSI. Gigi geraham bungsu (molar 3) biasanya
mengalami impaksi, tidak bisa tumbuh sempurna keluar dari gusi karena tempat
yang kurang untuk tumbuh (biasanya karena rahang kecil). Gigi molar 3 biasanya
akan muncul pada usia kira-kira 17-22 tahun.
3 = operasi untuk mengeluarkan gigi
geraham bungsu yang impaksi dinamakan odontektomi.
4 = (Bahasa Korea) ‘baik-baik saja?’
5 = (istilah Korea) ucapan formal, dipakai
ketika berbicara dengan orang yang lebih tua