It Hurts
Attention: when you’re going to read this, you’d
better listen to Song Ji Eun’s Going
Crazy and EXO’s El Dorado. If you
don’t have these songs on your music player... well then keep reading :p
Akane menjerit keras di telingaku – tidak, bukan menjerit, dia mengeong – dan membangunkanku seketika yang sedang terlelap di karpet, pingsan seusai membereskan rumah.
“Kenapa, Akane-sama?”
tanyaku kesal. Kupandangi kotak kotorannya yang penuh. Oh, benar, aku lupa
membersihkan kotak kotoran Akane sebelum tertidur di karpet dengan iringan lagu
Infinite.
“Oh, maaf, maaf,” kataku, mengelus Akane yang
mendengkur.
Aku bangkit dengan enggan, menggeliat, kemudian menenggak
segelas penuh air yang sebelumnya kusimpan di kulkas – mendadak tenggorokanku
jadi super gatal dan aku terbatuk-batuk. Sial, padahal Senin depan aku harus
menjalani ujian tengah semester. Aku tidak boleh sakit.
Karena kalau aku sakit, aku pasti merepotkan banyak
orang. Hal ini tidak sesuai dengan prinsipku yang tidak ingin merepotkan orang
lain, minta tolong orang lain kalau aku sendiri masih bisa melakukannya. Aku
tidak ingin tergantung pada orang lain – lagi.
Sudah sekitar setahun ini aku belajar – tentang
kemandirian. Bahwa yang dikatakan oleh Jodie Starling di Detective Conan itu
benar: jangan keburu mengandalkan
seseorang dulu, kalau kita masih bisa lakukan sendiri; bagaimana kalau suatu
saat tidak ada orang yang bisa kita andalkan? Pernyataan ini sungguh benar
adanya, meski aku terlambat menyadarinya. Kehilangan seseorang yang dulu sangat
aku andalkan membuatku benar-benar terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam,
dan nyaris tak ada orang yang bisa membantuku keluar dari lubang itu. Butuh
waktu lama untukku belajar memanjat sendiri, dan itupun aku harus berkali-kali
terjatuh, dan terluka, bahkan ketika aku sudah sanggup memanjat hingga setengah
kedalaman lubang itu. Hingga akhirnya, aku, sendirian, berhasil mencapai atas
lubang itu; kau tak tahu betapa bahagianya aku melihat cahaya putih terang yang
biasanya hanya aku lihat setitik dari dasar lubang. Keluar dari lubang itu, aku
benar-benar menjadi seorang yang baru, orang yang dikenal oleh teman-temanku
akhir-akhir ini.
Mereka bilang aku berubah, dan aku tidak memprotes
mereka dengan mengatakan ‘AKU NGGAK BERUBAH, KOK’ – tidak, aku memang berubah,
aku sendiri menyadarinya. Yes, I’ve
changed. Pain does that to people.
Sebuah quote yang kutemukan di
internet, dan aku menyukainya tanpa bahkan mengetahui dari siapa quote itu berasal.
Aku mengecek stok madu di kulkas. Masih cukup
banyak, mungkin sampai akhir bulan. Kuminum dua sendok madu penuh-penuh, lalu
kuambil buku kuliahku. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu, apalagi kalau
badanku sedang tidak enak begini.
Dulu, aku biasanya belajar dengan ditemani sekotak
coklat yang senantiasa dikirimkan oleh – yah, kau tahulah – seseorang yang dulu
kuandalkan, sampai aku sadar bahwa coklat-coklat itu membuat berat badanku naik
3 kilo dalam sebulan. Maksudku, kalau begitu apa gunanya aku bersepeda
sementara aku makan coklat setiap hari?
Memang sih, coklat-coklatnya enak dan membuatku senang terus, apalagi kalau
yang mengirimkan adalah...
Baiklah, bagaimana kalau kita mulai cerita ini?
Mendadak kenangan tentang ini muncul di kepalaku ketika aku sedang membaca
tanggal di binderku.
Pacarku waktu SMA, namanya Yuda – atau haruskah
kusebut mantan pacar? – kebetulan berada di kota yang sama denganku, disini, di
kampus yang sama, hanya saja dengan jurusan yang berbeda. Segalanya masih
berjalan lancar selama bulan-bulan awal kami berkuliah – seperti yang kubilang
tadi, dia selalu mengirimkan kotak cokelat ke rumahku, dia sering mengagetkanku
dengan sebuket mawar di depan pintuku
ketika aku membuka pintu rumah untuk memasukkan udara segar di pagi buta. Dia
juga pernah membuatku melting, super melting, dengan berada di depan pagarku
membawa gitarnya dan menyanyikan Love
Light milik CN Blue, yang dulu benar-benar aku sukai. Dia datang ke rumah,
membawakanku bubur ayam panas, ketika aku mengeluh di telepon tentang tidak
enak badan.
Intinya, dia itu romantis. Super romantis.
Sewaktu masih pacaran, aku dan dia selalu
menghabiskan waktu bersama-sama. Aku selalu meminta tolong dia mengantarku
kalau aku ada acara di kampus, meminta dia menemaniku belanja, meminta dia
mengantarku membeli kado untuk temanku... aku benar-benar tergantung padanya,
satu hal yang sangat kusesalkan. Seharusnya aku tidak selalu bersandar padanya
untuk semua hal, karena kalau Yuda tidak ada, aku harus bersandar pada siapa?
Suatu hari ia menghilang.
Aku benar-benar bingung waktu itu, dia tak
mengabariku selama seharian penuh, padahal biasanya ponselku tak pernah
berhenti berbunyi, mengabarkan kalau aku mendapat sms dari dia. Kutelepon semua
temannya, teman-teman SMA-ku yang masih dekat dengan dia, tapi benar-benar tak
ada yang tahu. Akhirnya sebuah telepon masuk ke ponselku.
Telepon itu dari rumah sakit, mengabarkan bahwa Yuda
kecelakaan. Dengan segera aku memanggil taksi dan meminta sopir taksi itu
melaju kencang ke rumah sakit. Bercucuran air mata, tapi menangis tanpa suara,
aku menanyakan kondisi Yuda pada suster di UGD. Suster itu berkata bahwa kondisi
Yuda parah sekali, dan aku memaksa masuk, yang tentu saja tidak diperbolehkan
oleh suster itu. Perasaanku campur aduk, aku tak tahu harus bagaimana, aku
tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa berdoa, dan berharap, waktu itu. Aku juga
tak bisa memikirkan kenapa Yuda bisa sampai kecelakaan, padahal biasanya dia
sangat berhati-hati mengendarai motornya – kencang, memang, tapi tetap dalam
batas aman.
Kemudian, waktu aku masih dalam kondisi shock berat,
muncullah seorang gadis yang tak kukenal, bersama dua orang cowok teman
sejurusan Yuda, yang juga teman SMA-ku. Aku heran melihat gadis itu sepertinya
sama shock-nya denganku, bahkan wajahnya juga memerah, meski air matanya belum
separah air mataku.
Salah seorang teman Yuda, entah kenapa, tampak
terkejut melihatku duduk di UGD. Dia bahkan bertanya kenapa aku disini. Aku
dengan jelas, dan terisak, menjelaskan bahwa telepon dari rumah sakit-lah yang
memanggilku kesini. Kemudian aku balik bertanya padanya kenapa mereka ada disini. Dia juga bilang bahwa
ada telepon dari rumah sakit juga yang menelepon... ke nomor ponsel gadis yang
tak kukenal itu. Dengan mata tajam aku memandangi gadis itu, mencoba menebak
apa hubungannya dengan Yuda, dan aku tahu pasti bahwa mereka lebih dari sekedar
teman.
Teman Yuda yang lain menanyakan hal yang membuatku
terkesiap selama sekian detik.
“Kamu masih pacaran sama Yuda?”
Aku mengernyit tak mengerti. “YA IYALAH!” teriakku.
“Tapi... kata Yuda...”
Dia disenggol oleh temannya yang lain.
“Kata Yuda apa?” tanyaku pada mereka berdua –
bertiga sebenarnya, karena gadis yang tampaknya juga teman sejurusan mereka
tadi sudah bergabung.
Tapi aku tak sempat mengetahui apa yang Yuda
ucapkan, dengan tiba-tiba pintu UGD terbuka dan seorang dokter muncul, membawa
berita amat buruk. Hal yang paling kutakutkan ternyata terjadi...
Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya duduk terdiam,
menghela napas, bengong untuk beberapa saat. Kedua teman Yuda berteriak-teriak
pada dokter, memintanya untuk mengembalikan Yuda pada mereka, tapi dokter itu
benar-benar menggeleng, wajahnya terlihat amat sedih. Gadis yang tadi menangis
di kursinya.
Aku tak ingat apa-apa lagi, kemudian aku sadar di
sebelahku sudah duduk gadis yang sudah kubenci bahkan saat dia baru masuk UGD
tadi.
“Maya...?” tanyanya perlahan, wajahnya yang cantik
dibasahi air mata.
Aku mengangguk singkat.
“Aku Mandy,” ujarnya, mengulurkan tangan, yang tidak
kusambut. Dia menariknya lagi dengan cepat. “Kamu... pacarnya Yuda?”
“Sepertinya begitu.”
“Maaf. Aku...” dia mulai menangis lagi, yang aku
benci melihatnya. “Aku tak tahu...”
“Jangan menangis. Aku nggak bisa denger,” kataku
jujur, meski aku tak berniat sama sekali mendengar curhatan gadis cantik ini.
“Aku... aku sama saja dengan membunuh Yuda...”
Mendengar ini aku menoleh padanya. “APA?”
“Yuda... Yuda kecelakaan... waktu mau membuat
kejutan untuk ulang tahunku sore ini...” isak Mandy. “Dia... dia... buru-buru
dari toko kue... begitu cerita Wira...”
Aku memandang Wira, salah satu dari teman Yuda yang
sekarang sedang memukul-mukul dinding, tak percaya kalau teman dekatnya sudah
tidak ada.
“Yuda... pedekate denganku, sudah tiga bulan ini...”
cerita Mandy yang terisak berlanjut. “Dia bilang... dia sudah putus denganmu...
maaf... aku...”
Bahkan Mandy belum lagi selesai, aku sudah bangun perlahan
dari dudukku, pikiranku kosong, tak mengindahkan Mandy yang memanggil-manggilku,
dan berjalan, pelan sekali, keluar UGD. Air mataku merebak seketika, ketika
melihat Oki yang berlari dari arah tempat parkir menuju UGD. Aku ingat aku
terjatuh tepat ketika Oki sampai di pintu UGD, aku ingat aku menangis
sekeras-kerasnya di bahunya, aku ingat Oki menepuk-nepuk kepalaku, memelukku. Lalu
aku tak ingat apa-apa lagi. Oki bilang aku pingsan.
Setelah kejadian itu aku tak masuk kuliah selama lima
hari – bukannya aku menginginkan ini, tapi aku benar-benar menghabiskan waktu di rumah dengan menangis, menangis,
dan menangis. Aku jatuh sakit di hari ketiga, demamku sampai 40oC, ibu
Oki-lah yang dengan baik hati merawatku hingga aku sembuh total di minggu
berikutnya.
Fisikku memang sembuh, tapi tidak dengan psikisku,
yang terguncang oleh beban yang bertubi-tubi menimpaku dalam satu hari – bahkan
tidak satu hari, beberapa jam – tentang Yuda, dan Mandy, dan semuanya... aku
sempat menyesal kenapa semua ini terjadi padaku.
Hampir setiap malam dalam sisa bulan itu aku
menghabiskannya dengan menangisi Yuda – aku heran sendiri kenapa aku bisa
menangisi orang yang pergi meninggalkanku untuk menemui orang lain. Tapi jauh,
jauh di dalam hatiku, aku bisa merasakan dia memanggil-manggil Yuda, untuk
kembali, untuk menyanyikan lagi Love
Light, untuk meletakkan lagi sebuket mawar, untuk membawakanku bubur – atau
membuatkan bubur super asin lagi, untuk mengirimkan lagi coklat-coklat yang
membuat aku gendut itu, untuk... untuk menyayangiku lagi seperti sebelumnya.
Rasa sakit yang berlipat-lipat. Itu yang membuatku
jatuh ke dalam lubang yang dalam.
Ketika aku masuk ke lubang itu, aku merasa aku sudah
tidak bisa merasakan sakit lagi. Aku tertawa bahkan, ketika jariku teriris
pisau roti. Tapi sedetik kemudian aku menangis, karena teringat – siapa lagi? –
Yuda, yang pasti langsung panik mencarikan plester dan betadine di kotak P3K-ku.
Waktu itu, entah bagaimana Oki merangsek masuk rumahku dan menemukanku terduduk
di lantai dapur, dengan jari masih berdarah dan wajah basah penuh air mata.
“Aku mendengar Akane,” kata Oki, selagi dia
menempelkan plester pada lukaku.
Akane tadi mengeong keras-keras begitu dia melihat
aku menangis.
“Pintu depanmu tidak terkunci. Kamu ini kenapa sih?”
tanya Oki. “Kupanggilkan Ibu, ya?”
Aku menggeleng. “Aku... nggak mau ngerepotin...”
“Kamu nggak ngerepotin, Maya...” ujar Oki, sabar,
seperti kakakku.
“Aku mau Kakak...” kataku, mendadak, tanpa sadar.
“Aku teleponin Kakak,” kata Oki, lalu dia menelepon
kakakku.
Sekitar satu jam lebih aku menggunakan ponsel Oki
untuk bercakap-cakap – ah, bukan, lebih tepatnya menangis pada Kakak. Oki tidak
melakukan apa-apa, dia hanya duduk di sebelahku di sofa, mendengarkanku, bermain
dengan Akane. Ketika akhirnya aku harus menghentikan percakapanku dengan Kakak,
barulah Oki bergerak ke dapurku.
“Nih,” katanya, menyodorkanku air.
“Kakak mau kesini,” ujarku, menyodorkan ponselnya. “Trims.”
“Sama-sama. Kapan?”
“Malem ini.”
Oki tertawa. “Dasar sister complex...”
Aku mengusap air mataku, tertawa. Kalau kuingat itu
adalah pertama kalinya aku tertawa dengan tulus setelah empat minggu sejak
kejadian itu.
“Smile, please,”
pinta Oki. “You’re the prettiest when you
smile...”
Sebelum dia selesai bicara aku sudah menggebuknya
dengan bantal, keras-keras. “Jangan gombal pake liriknya Jinyoung, dong!”
“Lho, itu kan gombal yang biasa...”
Aku bersyukur memiliki Oki (dan keluarganya) di sisiku
di saat-saat terkelamku itu.
Bagaimanapun Oki, Kakak, kedua orang tuaku, kedua
orang tua Oki, dan yang lain-lain membantuku menerima kenyataan, tetap saja, sakit
hatiku belum bisa disembuhkan. Teman-temanku bilang sejak kejadian itu aku
menjadi lebih pendiam, dan lebih penyendiri – aku sebenarnya lebih suka
menyebutnya lebih mandiri, karena aku
belajar untuk tidak mengandalkan orang lain lagi, termasuk Oki. Aku tak mau
kehilangan orang yang bisa kuandalkan lagi.
“Meong,” Akane naik ke meja dimana aku menelungkup
di dalam lenganku, terbawa masa lalu. Kurasakan kaki Akane menginjak
punggungku. Kubiarkan dia lewat.
Aku bangun, mendapati mejaku yang penuh
kertas-kertas. Mendadak aku tak ingin membaca catatan kuliah lagi. Kupasrahkan
saja lah UTS besok pada Yang Maha Kuasa.
Biasanya juga begitu.
* * *
APA-APAAN INI!
Aku berteriak dalam hati, mengutuk soal UTS hari
itu. Semua soalnya benar-benar diluar perkiraanku, yang mempelajari text book karena dosen pernah bilang
bahan UTS adalah seluruh materi sampai UAS – aku sendiri bingung ketika dosenku
bilang begitu – TAPI NYATANYA, soal UTS diambil benar-benar dari materi kuliah
sebelum UTS, dan seluruhnya ada di slide
dosen – YANG MANA TIDAK KUBACA DI MALAM SEBELUMNYA.
Kulihat teman-temanku yang lain juga berseru-seru
kesal, ada yang sambil tertawa pasrah, cemberut, tentang soal UTS barusan. Aku
sendiri, sambil mengomel pada teman di sebelahku, sedang membetulkan tali
sepatuku yang terlepas sebelum ada orang yang menginjaknya dan membuatku
terjatuh karena sepatuku sendiri.
Ketika aku mendongak dan berdiri, kudapati Satria
dan teman-temannya sedang berkumpul – seperti biasalah – di depan ruang kuliah,
memblokir jalan.
“Misii,” aku berseru, meminta jalan untuk lewat.
Mendadak sepi, karena tadinya mereka ramai berkicau.
Sekarang mereka semua menoleh padaku.
“Eeh, silakan Mbak...” kata Brian.
Aku memandangnya heran. Kemudian lewat dengan
menaikkan daguku, percaya diri seperti biasa.
Karena aku tahu, seperti biasa dari sudut mataku,
ada Satria yang memandangku. Kau tahu kan, kau harus terlihat percaya diri
apapun yang kau kenakan – apalagi di depan orang yang kau sukai. Akhir-akhir
ini aku membaca artikel-artikel semacam itu, lumayan berguna juga untuk membuat
dirimu sendiri dihargai orang lain.
Aku memutar lagu-lagu yang bisa membangkitkan
semangatku, bukan lagu-lagu galau seperti yang sering kudengarkan setahun yang
lalu, ketika aku masih berada dalam fase gelap. Lagipula, di saat seperti ini
yang kubutuhkan adalah suara Kim Myungsoo dan Jung Jinyoung. Mereka selalu bisa
membuat mood-ku yang sehancur apapun menjadi naik lagi. Bukan lagu-lagu galau
yang kubutuhkan sekarang, yang bisa membuatku kembali mengingat masa-masa itu,
dan kemudian membanjiri timeline
followers twitter-ku dengan status-status galau yang dipertanyakan semua
orang, dan semua orang memberitahuku agar tidak galau lagi, semua orang
menyampaikan ucapan turut berduka cita, tapi mereka tidak tahu perasaanku.
“Habis nangis?” tanya Oki, terdengar jelas meski aku
sedang mengenakan headphone.
“Hem?”
“Inget Yuda?”
Aku tidak menjawab, karena aku merasa mataku mulai
menghangat.
“Hari ini hari peringatan kematiannya...” kata Oki
kemudian, setelah kami berjalan dalam diam.
Tentu saja aku tahu. Tidak perlu menggunakan alarm
di ponsel sekalipun. Aku selalu ingat. Tanggal keramat itu. Tanggal dimana aku
mengetahui segalanya sekaligus kehilangan segalanya.
“Mau nyekar?” ajak Oki.
“Mau.”
Di makam Yuda ternyata sudah ada karangan bunga,
tampak-baru. Tanahnya juga basah, jelas sekali barusan ada yang berkunjung
kesini juga.
Aku dan Oki berdoa di sisi makam. Bagaimanapun air
mataku menetes tanpa bisa kutahan. Rasanya ingatan yang kemarin kukenang itu
jelas sekali. Seperti baru terjadi kemarin, padahal sudah satu tahun setengah,
kurang-lebih.
Ketika bangkit untuk menabur bunga dan menyiram
tanah, aku memperhatikan ada secarik surat di atas makam Yuda, dari kertas
berwarna pink. Sepertinya aku bisa menebak siapa yang baru saja menyekar ke
makam Yuda.
“Dari Mandy,” baca Oki, membuka surat itu. “Mau
baca...?”
“Nggak,” aku menggeleng, tersenyum. “Cukup...”
“Oke.”
Di perjalanan pulang menyusuri deretan makam, Oki
menggenggam tanganku.
“Takut?” sindirku bercanda.
“Kamu bercanda.”
Aku tahu dia hanya berusaha menguatkanku.
Di dekat pintu masuk makam, kami bertemu dengan
beberapa alumni SMA kami, yang tampaknya juga hendak menyekar Yuda. Mereka
mengenaliku sebagai – entahlah, mantan pacar? Tapi kami tidak pernah benar-benar putus – orang yang dekat
dengan Yuda, maka mereka mengucapkan belasungkawa padaku. Aku hanya mengangguk
pelan.
“Mau makan?” tanya Oki, di perjalanan pulang.
“Nggak.”
“Mau pulang?”
“Iya.”
“Makan dulu ya.”
“Nggak mau.”
“Maya.”
Dan itulah, suara Oki yang selalu bisa membuatku
takut – untuk melawannya. Seperti nada suara Ayah ketika memanggilku untuk
dimarahi – ditegur. Aku pun mengkeret, dan membiarkan Oki membawaku ke sebuah
warung makan untuk makan siang.
“Sepedaku di kampus,” kataku begitu sampai di warung
itu. “Aku...” aku terdiam. Mataku membelalak melihat orang-orang yang memasuki
warung itu.
Satria dan teman-temannya, mungkin bermaksud makan
di warung itu juga. Tentu saja, Maya.
Tampaknya otakku sesaat tidak bisa berpikir jernih.
“Sat!” panggil Oki, tampak bahagia melihat
teman-teman yang dikenalnya.
“Weeeh dia pacaran disini...” ejek Brian,
menghampiri Oki duluan.
Aku hanya tersenyum lemah.
“Tumben nih berduaan? Ada angin apa?” tanya Wahyu.
“Habis nyekar temen SMA,” jawab Oki, tersenyum
bijak.
Mendadak gerombolan itu hening.
“Oh,” tampaknya Sony tahu sesuatu, dan dia melirik
tanggal di arlojinya.
“Mantanku,” jawabku, memecah awkwardness yang terjadi diantara kami. “Hari ini peringatan
kematian dia.”
“Turut berduka cita,” ujar Satria, setelah sepuluh
detik – aku benar-benar menghitung. Kemudian mendadak yang lain ikut
menyampaikan duka cita mereka.
Aku memandang Satria, berterima kasih.
“Pantesan sedih banget tadi, gara-gara inikah?”
tanya Satria kemudian, membuatku kaget.
“Nggak juga, kan udah setahun lebih,” aku dengan
cepat menyesuaikan debaran jantungku yang maksimal, “aku juga udah move on kali,” kataku tertawa.
“Merhatiin Sat?” sindir Wira.
“Anjir lo Sat, udah Marisa, sekarang Maya...” tawa
Robi.
“Pilih satu lah!” seru Iman.
“Suka banget ya sama cewek yang depannya M?” tambah Ary.
“Sialan,” Satria tertawa.
Mereka tertawa. Aku berusaha keras tidak
mengeluarkan suara apapun dari jantungku yang sekarang berdetak kencang. Mereka benar-benar tidak memikirkan
perasannku.
“Tapi iya May, kamu bete banget tadi pas bilang
‘misiii’ gitu,” kata Brian.
“Gara-gara soal UTS kali tuh,” kata Sony.
“Sial banget ya soal tadi?”
“Gue nggak nyentuh handout slide dosen sama sekali padahal...”
Dan begitulah topik tentang soal UTS tadi pagi
muncul ke permukaan dan disambar semua orang. Aku mengamati menu warung makan
dengan seksama, sesekali melirik Satria yang duduk di seberang kananku.
Benarkah aku terlihat sedih seharian? Aku? Apa benar
cuma gara-gara soal UTS? Atau gara-gara kemarin seharian aku mengenang Yuda?
Tapi kenapa Satria menanyakan ini padaku? Bukankah
hal ini berarti sama saja dengan... Satria memperhatikanku?
Jangan, Maya,
jangan terpengaruh. Mungkin saja dia heran melihatmu yang biasanya gembira
terlihat sedih. Siapa saja bisa menanyakan hal seperti itu. Itu biasa, Maya.
Biasa. Pertanyaan biasa.
Aku memesan sup ayam, tanpa nasi. Oki memaksaku
makan nasi, tapi aku benar-benar tidak nafsu makan siang itu, setelah
berkunjung ke makam Yuda dan menemukan karangan bunga serta surat dari gadis
lain di atasnya.
“Setengah dari nasiku aja ya?” tawar Oki.
Aku mengernyit.
“Makan lah, May... kamu nanti naik sepeda kan,
pulang ke rumah?”
“Aku nggak laper, Ki...”
“May.”
“Iya, iya.”
Kutuang separo nasi dari piring Oki ke mangkuk
supku.
“Kamu sakit ya?” tanya Oki kemudian.
“Nggak kok,” aku menyuap supku. “Kenapa?”
“Pucet.”
“Biasa, pancaroba...”
“Nanti beli obat flu...”
“....iya.”
Aku tahu tak ada gunanya membantah. Kedua orang
tuaku sepertinya sudah mewanti-wanti Oki – mungkin sejak kejadian Yuda – agar dia
merawatku baik-baik seperti di rumah.
“Iri ya, iri...” kata Wahyu tiba-tiba.
“Cepetan jadian, Ki...” saran Brian.
“Mumpung udah move
on, Ki...” tambah Satria.
Mereka tertawa-tawa.
“Nggak lah,” kata Oki, setelah menumbuk Wira di lengannya.
“Maya punya orang lain yang dia suka.”
Mereka membicarakanku seolah-olah aku tidak ada
disana. Wajar lah, toh biasanya pun aku tidak mungkin ada di antara mereka,
seperti ini. Aku jadi ingat, aku pernah menulis di diariku, rela memberikan
segalanya – apa saja – untuk bisa berada di antara Satria dan teman-temannya.
“Eh? Siapa?”
“Siapa, SIAPA?”
Antusiasme mereka mengingatkanku pada gerombolan
gadis yang sedang mengelilingi cewek yang sedang bercerita tentang seorang cowok
cakep dari angkatan atas.
“Tau Infinite? Boyband Korea... Maya suka Kim
Myungsoo, personilnya...”
“Hee.”
Oki dilempari gumpalan tisu. Aku tertawa.
“Penting banget ya tahu siapa cowok yang aku suka?”
kataku.
“Penting dong, May, biar Oki nggak galau,” sambar
Ary.
Aku tertawa. Tapi tidak melanjutkan kalimatku. Kubiarkan
para lelaki itu mengobrol bebas sesuka hati mereka. Aku tidak berhak masuk
dalam dunia mereka.
Aku juga tak mungkin mengatakan pada mereka kalau
Satria adalah cowok yang sedang aku sukai, kan?
“Habisin tehnya,” kata Oki, yang tadi memesankan teh
hangat untukku. Dia tahu betul kalau aku flu, pasti akibat tenggorokanku yang
meradang. Kakakku sudah mengajarkan kepadanya segala hal tentangku. Aku
mengangguk. Kuseruput tehku, lalu kutopang pipi kiriku dengan tangan kiri,
memandang ke arah kanan dimana Satria dan yang lain sedang mengobrol seru.
Pemandangan yang indah. Kuharap aku bisa melihat
pemandangan ini lagi lain kali.
“...tanya Maya tuh tanya Maya!”
Aku mendengar namaku dipanggil.
“May, Jocelyn udah putus belum?” tanya Iman.
“Hah? Jocelyn? Mana aku tahu,” kataku jujur.
“Lagipula, kalian ini mengharapkan dia putus sama cowoknya?”
“Si Robi ngantri nih,” kata Brian, menyikut perut
Robi, ditertawakan semuanya.
“Kamu sendiri masih ngegantung cewekmu,” tegurku.
Terdengar bunyi ‘wooo’ di meja kami.
“Nanti, tunggu saat yang tepat...” kata Brian santai.
“Kamu juga, Sat,” kataku, memberanikan diri memandang
mata Satria, yang balik memandangiku. Astaga... rasanya seperti masuk ke laut
yang amat dalam, di saat yang bersamaan memberikan ketenangan. Dipandangi
begitu membuat pipiku menghangat. Dengan segera kualihkan pandanganku.
“Marisa?” kata Satria, memainkan sedotan es
jeruknya. “Yah, liat dulu lah...”
“Jangan digantung kelamaan, ntar kering,” senyumku.
“Kamu lagi sakit bisa aja ngomong gitu,” ujar Oki.
Satria tersenyum. Kemudian tak sengaja aku melihat
dia mengeluarkan ponselnya dan melakukan sesuatu dengan ponselnya.
Ini mungkin saatnya. Kalau dia mengetik sms dan
mengirimkannya ke nomorku, aku pasti akan langsung mendapat sms. Buru-buru
kuambil ponselku dari dalam tas, karena hari itu aku tidak menyimpan ponsel di
saku baju atau celanaku.
Tapi ternyata sudah ada satu sms yang belum kubaca. Kupandangi
Satria, dia masih mengutak-atik ponselnya.
Ah, mungkin bukan dia. Sudah kubilang sia-sia saja berharap, Maya.
+628693003xxxx
18/04/12 11:01
Seriously, I’m
curious.
* * *
Theme song: Song Ji Eun – Going Crazy, EXO – El
Dorado, 2NE1 – It Hurts
Created by Antiq
18 April 2012