Absence
“Bulan.”
“Ya.”
“Berjanjilah padaku kamu tidak akan pergi.”
Bulan tersenyum, memandangku sedih. “Aku
tidak bisa menjanjikanmu sumpah yang tak pasti.”
Kala itu aku hanya bisa cemberut, mencubit
pipinya pelan. Merasa tidak adil karena aku sendiri sudah berjanji untuk tidak
akan meninggalkan dia.
“Bukan begitu,” ujarnya pada suatu pagi,
ketika aku mengutarakan hal ini lagi padanya, sembari menyuap sereal di meja
makan. Aku menengadah dan menatap punggung Bulan yang telah menghentikan
kegiatannya membersihkan gelas di wastafel. “Aku takut memberimu harapan palsu.”