29 Mei 2020

“Bulan.”
“Ya.”
“Berjanjilah padaku kamu tidak akan pergi.”
Bulan tersenyum, memandangku sedih. “Aku tidak bisa menjanjikanmu sumpah yang tak pasti.”
Kala itu aku hanya bisa cemberut, mencubit pipinya pelan. Merasa tidak adil karena aku sendiri sudah berjanji untuk tidak akan meninggalkan dia.
“Bukan begitu,” ujarnya pada suatu pagi, ketika aku mengutarakan hal ini lagi padanya, sembari menyuap sereal di meja makan. Aku menengadah dan menatap punggung Bulan yang telah menghentikan kegiatannya membersihkan gelas di wastafel. “Aku takut memberimu harapan palsu.”
“Harapan palsu?” tanyaku tidak mengerti. “Bulan,” panggilku.  
Dia tidak berbalik menghadapku, tidak juga menoleh. Hanya berhenti.
“Bulan, apa perasaanmu padaku sudah memudar?” tanyaku ragu-ragu.
“Tentu saja tidak, Maya,” ia menjawab. “Perasaanku padamu masih sama. Sejak dulu. Kamu tahu itu, kan?”
Aku mengangguk, kemudian sadar bahwa ia tidak bisa melihatnya. Aku bangkit dari kursi dan berjalan pelan mendekati Bulan.
“Aku takut kehilangan lagi, Maya. Orang-orang yang berjanji padaku, orang-orang yang kujanjikan.”
Mentari, ya, pikirku sedih. Orang yang tidak bisa benar-benar dilupakan Bulan. Orang yang selamanya tidak akan terganti di hati Bulan, meski aku berusaha keras mengisi kekosongan itu.
Kupegang lengannya yang mencengkeram pinggiran wastafel.
“Aku takut... kamu hilang,” ujar Bulan, berbalik menghadapku, dan aku bisa melihat butir-butir air mata di bulu matanya, nyaris jatuh.
“Oh, Bulan,” aku menariknya ke dalam pelukanku. “Maaf...”
Ia menyandarkan kepalanya di pundakku. “Maaf, Maya...” ia lalu melingkarkan lengannya ke punggungku. “Aku sayang kamu.”
Aku mengerjap, mengusir air mata yang mulai turun. Kuelus pelan kepala Bulan yang terbenam di pundakku. “Aku juga sayang kamu.”  
Saat itu, aku benar-benar berharap waktu berhenti. Agar aku punya cukup waktu untuk menemaninya.
Agar aku punya cukup waktu untuk menyayanginya.

* * *

“Maya.”
“Ya.”
“Lili atau aster?”
“Lili,” jawabku, sambil merapikan blazer yang kukenakan. Aku mengawasi Bintang memilih-milih lili, kemudian meminta penjaga toko bunga merangkainya.
Bintang menyodorkan kertas dan pena padaku. Aku mengangkat alis.
“Kau mau tulis sesuatu?” tanyanya. “Hari ini genap dua tahun, kan?”
Ah, bahkan dia lebih ingat daripada aku sendiri. Aku bergumam pelan, lalu mengambil kertas dan pena dari tangan Bintang, yang tersenyum, menepuk kepalaku.
Aku menghabiskan waktu terdiam memandang keluar jendela selama perjalanan, tanganku memegang rangkaian bunga lili di pangkuanku.
Memikirkan rangkaian bunga terakhir yang ia berikan padaku dua tahun lalu.
“Maya,” panggil Bintang dari kursi pengemudi, “kita sampai.”
Tempat itu sepi, hanya satu-dua orang yang sedang berkunjung. Bintang menggenggam tanganku, memasuki ruangan penuh lemari kaca yang berisi rak-rak berukuran serupa.
Ah, itu dia. Sebentuk kotak berukuran tiga puluh kali tiga puluh sentimeter yang menyimpan seluruh kenangan orang-orang dengan dirinya.
Bintang sudah menyalakan dupa. Kuambil bingkai foto yang diletakkan disamping guci kecil, memandang wajah tersenyum di dalam foto.
“Hai,” ucapku samar, tersenyum pada wajah itu. “Aku rindu, Bulan.”
Orang yang tidak bisa benar-benar kulupakan. Orang yang selamanya tidak akan terganti dihatiku, meski aku tahu Bintang berusaha keras mengisi kekosongan itu.
Orang yang akan selalu kusayangi. Orang yang tidak pernah berjanji untuk tidak pergi, karena ia takut tidak bisa menepati janji.
Orang yang akhirnya benar-benar pergi.
Waktunya memang telah berhenti.

* * *

to: Byul
from: Ann
(You are my galaxy)

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates