Absence
“Bulan.”
“Ya.”
“Berjanjilah padaku kamu tidak akan pergi.”
Bulan tersenyum, memandangku sedih. “Aku
tidak bisa menjanjikanmu sumpah yang tak pasti.”
Kala itu aku hanya bisa cemberut, mencubit
pipinya pelan. Merasa tidak adil karena aku sendiri sudah berjanji untuk tidak
akan meninggalkan dia.
“Bukan begitu,” ujarnya pada suatu pagi,
ketika aku mengutarakan hal ini lagi padanya, sembari menyuap sereal di meja
makan. Aku menengadah dan menatap punggung Bulan yang telah menghentikan
kegiatannya membersihkan gelas di wastafel. “Aku takut memberimu harapan palsu.”
“Harapan palsu?” tanyaku tidak mengerti. “Bulan,”
panggilku.
Dia tidak berbalik menghadapku, tidak juga
menoleh. Hanya berhenti.
“Bulan, apa perasaanmu padaku sudah memudar?”
tanyaku ragu-ragu.
“Tentu saja tidak, Maya,” ia menjawab. “Perasaanku
padamu masih sama. Sejak dulu. Kamu tahu itu, kan?”
Aku mengangguk, kemudian sadar bahwa ia
tidak bisa melihatnya. Aku bangkit dari kursi dan berjalan pelan mendekati Bulan.
“Aku takut kehilangan lagi, Maya. Orang-orang
yang berjanji padaku, orang-orang yang kujanjikan.”
Mentari, ya,
pikirku sedih. Orang yang tidak bisa benar-benar dilupakan Bulan. Orang yang
selamanya tidak akan terganti di hati Bulan, meski aku berusaha keras mengisi
kekosongan itu.
Kupegang lengannya yang mencengkeram
pinggiran wastafel.
“Aku takut... kamu hilang,” ujar Bulan,
berbalik menghadapku, dan aku bisa melihat butir-butir air mata di bulu matanya,
nyaris jatuh.
“Oh, Bulan,” aku menariknya ke dalam
pelukanku. “Maaf...”
Ia menyandarkan kepalanya di pundakku. “Maaf,
Maya...” ia lalu melingkarkan lengannya ke punggungku. “Aku sayang kamu.”
Aku mengerjap, mengusir air mata yang
mulai turun. Kuelus pelan kepala Bulan yang terbenam di pundakku. “Aku juga
sayang kamu.”
Saat itu, aku benar-benar berharap waktu
berhenti. Agar aku punya cukup waktu untuk menemaninya.
Agar aku punya cukup waktu untuk menyayanginya.
* *
*
“Maya.”
“Ya.”
“Lili atau aster?”
“Lili,” jawabku, sambil merapikan blazer
yang kukenakan. Aku mengawasi Bintang memilih-milih lili, kemudian meminta
penjaga toko bunga merangkainya.
Bintang menyodorkan kertas dan pena
padaku. Aku mengangkat alis.
“Kau mau tulis sesuatu?” tanyanya. “Hari
ini genap dua tahun, kan?”
Ah, bahkan dia lebih ingat daripada aku
sendiri. Aku bergumam pelan, lalu mengambil kertas dan pena dari tangan
Bintang, yang tersenyum, menepuk kepalaku.
Aku menghabiskan waktu terdiam memandang
keluar jendela selama perjalanan, tanganku memegang rangkaian bunga lili di
pangkuanku.
Memikirkan rangkaian bunga terakhir yang
ia berikan padaku dua tahun lalu.
“Maya,” panggil Bintang dari kursi
pengemudi, “kita sampai.”
Tempat itu sepi, hanya satu-dua orang yang
sedang berkunjung. Bintang menggenggam tanganku, memasuki ruangan penuh lemari
kaca yang berisi rak-rak berukuran serupa.
Ah, itu dia. Sebentuk kotak berukuran tiga
puluh kali tiga puluh sentimeter yang menyimpan seluruh kenangan orang-orang
dengan dirinya.
Bintang sudah menyalakan dupa. Kuambil
bingkai foto yang diletakkan disamping guci kecil, memandang wajah tersenyum di
dalam foto.
“Hai,” ucapku samar, tersenyum pada wajah
itu. “Aku rindu, Bulan.”
Orang yang tidak bisa benar-benar
kulupakan. Orang yang selamanya tidak akan terganti
dihatiku, meski aku tahu Bintang berusaha keras mengisi kekosongan itu.
Orang yang akan selalu kusayangi. Orang yang tidak pernah berjanji untuk tidak
pergi, karena ia takut tidak bisa menepati janji.
Orang yang akhirnya benar-benar pergi.
Waktunya
memang telah berhenti.
* *
*
to: Byul
from: Ann
(You are my galaxy)