20 Jan 2012

Februari 2011

“Are you okay?” tanyaku pada cewek berwajah pucat yang kutemui di perpustakaan.

Gadis itu mendongak, memandangku, kemudian melihat ke sekelilingnya. Mungkin dia mengira aku berbicara pada orang lain.

Ia mengernyit, tampaknya menahan sakit, yang entah-apa, aku tidak tahu. Lalu ia menggeleng, pelan sekali.

“Mau ke klinik?” tanyaku lagi. “Aku bisa mengantarmu...”

“Ah,” katanya, “it’s okay, I’m fine.”


Di mataku dia sama sekali tidak terlihat baik-baik saja.  Tetapi aku mengalah.

Okay then...”

Aku beranjak dari mejanya, sudah akan membuka pintu perpustakaan, ketika tiba-tiba aku mendengar derit kursi yang tergeser, dan sesuatu – seseorang – yang terjatuh.

Dan seseorang yang lain berteriak dengan cemas.

“Meira!”

* * *

“Dis... apa tadi dok?” tanyaku bingung, mendengar sebuah kata yang belum pernah kudengar sebelumnya.

“Dysmenorrhea,” ulang dokter di klinik.

“Oh,” gumamku, masih bingung.

“Kamu tahu pre-menstrual syndrome?”

“PMS?” tebakku asal, mengingat kakak perempuanku sering mengeluhkan ini tiap sebulan sekali. “Tapi itu terjadi sebelum... eh... menstruasi, kan, Dok?”

“Ya,” kata dokter yang kulihat bernama Dokter Rina. “Tapi ini terjadi waktu dia sedang haid, jadi namanya dysmenorrhea,” ujar Dokter Rina, tersenyum padaku.

Aku salah tingkah.

“Hanya sedikit informasi untukmu yang terlihat cemas karena tidak tahu kenapa dia tiba-tiba pingsan,” kata Dokter Rina, mungkin melihat ekspresiku yang aneh. “Tenang saja, dia akan baik-baik saja dengan selimut hangat di perutnya. Mungkin membiarkan dia tidur sejenak...”

Aku mengangguk. “Saya akan menungguinya.”

Dokter Rina tersenyum. “Kalau ada apa-apa, saya ada di ruangan depan... kalau dia terbangun, beri dia teh manis panas ini, ya.”

Beliau lalu beranjak keluar, meninggalkan kami berdua.

Meira terlihat pucat sekali. Aku tidak bisa sedetik saja mengalihkan pandanganku darinya; dia bisa kapan saja terbangun dan kebingungan... seperti beberapa minggu yang lalu ketika ia terkena lemparan bola basketku.

Kemudian aku melihatnya: setetes air mata yang turun dari sudut mata kanannya, mengalir perlahan.

Aku terhenyak. Apa yang dia pikirkan sebegitu besarnya hingga bahkan di alam bawah sadarnya pun ia menangis?

“Mei?” panggilku pelan. Aku mengangkat tanganku, pelan, menghapus air mata di pelipisnya. Itu air mata sungguhan... dan Meira memang benar-benar menangis.

“Meira...”

Jujur, aku benar-benar ingin tahu seberat apa beban yang menimpa gadis ini.

Dan aku ingin menolongnya.

* * *

Aku ketiduran!

Dan ketika aku terbangun mendadak, Meira sudah terbangun dan bersandar di kepala tempat tidur.

“Kenapa,” katanya, suaranya bergetar. “Dari sekian banyak mahasiswa di kampus ini, dari sekian angkatan, dari sekian kelas, kenapa mesti kamu lagi yang menolongku?”

“Kebetulan?” jawabku, melempar senyum. “Kamu tak apa-apa? Masih sakit?”

Dia menggeleng.

“Ah, Dokter Rina memintaku menyuruhmu minum ini ketika kamu bangun,” aku mengambil segelas teh hangat dari meja di belakangku dan menyodorkannya pada Meira.

Thank you,” kata Meira lemas, menyeruput tehnya.

You should take some rest, Mei,” gumamku sembari mengawasinya minum.

I’m okay,” katanya.

Why did you cry?” tanyaku, tidak bisa kutahan.

“Hah?”

I asked you why did you cry in your sleep.”

Did I?”

Yes.”

I don’t know.”

You don’t know.”

“Mmm.”

Terdengar suara Meira menyeruput tehnya lagi. Kemudian Dokter Rina masuk.

“Halo, Meira, sudah baikan?” tanyanya ramah.

“Sudah, Dok,” gumam Meira. “Terima kasih.”

Well you should thank him,” kata Dokter Rina, yang mengangguk padaku.

Meira memandangku dengan matanya yang sayu.

It’s been two times already, isn’t it? Well... is this what they say... fate?” kata Dokter Rina dengan suara yang menggoda.

“Ah, bukan seperti itu, Dok...” kata Meira buru-buru. “Mungkin cuma kebetulan.”

“Nah, kebetulan kan tidak sering terjadi,” ujar Dokter Rina dengan senyumnya yang – manis sekaligus membuat salah tingkah. “Mei, saya beri kamu beberapa obat penghilang rasa sakit untuk dysmenorrhea-mu, kalau-kalau kamu merasa nyeri sekali, minumlah obat ini, ya?”

Meira mengangguk. “Terima kasih, Dok.”

“Istirahatlah sejenak... tehnya dihabiskan, lho,” senyum Dokter Rina, kemudian kembali ke ruangannya.

“Terima kasih, Dok,” kataku.

Meira menoleh padaku secepat kilat. “Kenapa kamu yang berterima kasih?”

Manners,” jawabku.

Meira mendengus.

“Kuantar kau pulang,” kataku.

“Kalau aku menolak?” tanyanya.

“Aku memaksa,” sahutku tegas. “Temanmu – Kinan – sudah pulang sedari tadi, kan?”

“Bagaimana kau tahu?”

I just saw her. Before I met you at the library.

“Kau melihatnya bersama Kak Arkaz?”

“Siapa?”

“Ah. Lupakan,” kata Meira langsung.

“Tidak, dia sendirian,” kataku melihat ekspresinya. 


Ia terlihat gelisah sekali. Hal berikutnya yang aku tahu, ia turun dari tempat tidur, mengambil tasnya, merogoh ke dalam tasnya, mencari-cari sesuatu.

“Ini,” ucapnya, menyodorkan saputangan. “Aku tidak pernah punya waktu yang tepat untuk mengembalikannya padamu, jadi...”

“Simpanlah,” kataku.

“Tidak bisa,” dia meraih tanganku, dan menyelipkan saputangan itu di genggamanku. “Terima kasih untuk semuanya.”

Dan dengan itu, ia pergi. Aku meremas saputangan itu.

Mei... why... why can’t you just trust me?

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates