Phone-versation
Seorang teman menelepon saya malam itu.
“Halo?”
“Halo...”
“Kangen saya ya?”
“Dasar bodoh.”
“Kamu tidak berubah.”
“Kamu berubah.”
“Anggaplah... sedikit lebih dewasa.”
“Apa yang terjadi?”
“Oh, seseorang memberikan pelajaran buat saya baru-baru ini. Tentang pentingnya mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain.”
“Kamu tahu saya orangnya galauan.”
“Nah, kamu berubah. Kamu yang saya kenal bukanlah orang yang galauan.”
“Mungkin saya berubah sejak ditinggal seseorang.”
“....”
“Hahahahaha.”
“Sindiranmu pedas, ya.”
“Lho, saya kan bilang mungkin. Kamu saja yang terlalu sensitif...”
“Sebut sajalah saya begitu. Tidak sibuk?”
“Tidak, sama sekali tidak... saya selalu punya waktu luang.”
“Oh, baguslah...”
“...kenapa?”
#kemudianhening
“....I miss you.”
Saya tidak bisa bicara, tidak ingin bicara, tidak ingin memecah suasana seperti ini.
“Halo?”
“Ya, saya mendengarkan.”
“Kamu dengar?”
“Saya dengar.”
“Tidak perlu saya ulang?”
“Kamu serius?”
“Saya serius.”
“Kamu tidak pernah serius.”
“Kali ini saya serius.”
“Saya tidak bisa percaya kamu.”
“Saya tidak minta kamu percayai. Saya cuma bilang saya rindu kamu.”
“Bagaimana saya bisa membalas perasaan rindu kamu kalau saya tahu sudah ada orang lain yang akan merindukan kamu.”
“Saya tidak minta dibalas. Saya cuma mau bilang saya rindu kamu.”
“Saya merasa terbebani dengan perasaan kamu.”
“Jangan dijadikan beban. Anggap ini hanya perasaan yang tertinggal dari dua tahun yang lalu.”
“Tapi saya terbebani.”
“Maaf, saya tidak bermaksud...”
“Karena saya juga merindukan kamu.”
Malam itu seorang teman menyatakan perasaannya pada saya, dan saya menyatakan perasaan saya kepadanya. Tidak ada rasa bersalah diantara kami berdua, meski saya tahu dia sudah bertunangan sekalipun. Dan dia juga tahu saya sudah punya pacar. Tidak ada yang salah dengan perasaan kami – perasaan #kangenmantan.
Yogyakarta, 8 Januari 2012