6 Jan 2012

Januari 2011

“Apa? Aku?” tanya Meira tak percaya.

“Orang-orang mengusulkan kamu, soalnya hasil foto yang kamu ambil pasti bagus...” kata Farda, koordinator publikasi-dokumentasi.

“Aku bahkan tidak mengajukan lamaran untuk masuk seksi ini,” sahut Meira heran.

“Jadi, Mei,” kata Rubi, sang ketua, turun tangan. “Perekrutan panitia untuk acara ini dilakukan dengan dua macam sistem, yaitu open recruitment dan picking. Dan kamu masuk dengan proses picking... dan voting yang dilakukan koor-koor.”

“Aku bahkan tidak kenal dunia fotografi!” protes Meira.

“Itulah yang namanya bakat,” kata Farda. “Kamu punya bakat...”

“Aku bahkan nggak tertarik jadi panitia acara ini!”

* * *

Kinan benar-benar menyemburkan es tehnya ketika Meira menceritakan kejadian ini padanya.

“KAMU BILANG BEGITU?” tanyanya tak percaya.

“Ho.”

“Terus reaksi mereka?”

“Mereka berpandangan dan bilang, ‘hmm... tapi kalau misalnya kamu berubah pikiran... kapan saja hubungi kami, ya’. Gitu.”

Meira menyodorkan tisu pada Kinan.

Kinan menatap Meira tidak percaya.

“Yah,” Meira mengangkat bahu. “Aku kan jujur apa adanya.”

“Astaga, Meira...” gumam Kinan, mengusap mulutnya. “Kesempatan ini harusnya nggak kamu sia-siakan...”

“Kesempatan apa?”

“Oh, kau tahulah,” Kinan memutar matanya. “Misalnya mengambil foto orang yang kau sukai.”

Meira tertawa. “Jadi itu yang ada dalam pikiranmu? Ahahahahahaha.”

“Itu yang ada dalam pikiranku,” Kinan mengangkat bahunya.

“Kak Arkaz tidak ikut makrab ini kan?”

“Oh iya, berarti aku yang salah, maaf, harusnya ‘mengambil foto orang yang aku sukai’.” Mata Kinan berbinar-binar, Meira mencibir.

“Leif?”

“Jangan keras-keras,” Kinan memohon. “Aku maluuu.”

Meira memandang Kinan geli.

“Kalau kamu begitu ingin menjadi seksi pubdok kenapa kamu tidak ikut seleksi panitia kemarin?”

“Aku tak punya keahlian apapun di bidang fotografi, Mei sayang. Coba saja kamu lihat siapa koor pubdok makrab kita. Farda. Dia runner-up lomba fotografi di kota ini bahkan waktu dia masih kelas 3 SMA. Nah, aku kan jadi minder.”

“Ah, kalau kamu punya keinginan kuat sih...”

“Bukan itu maksudku. Dia pasti mencari anggota yang sepantaran dengannya.”

Meira mengangkat alis. “Apa kau mencoba mengatakan kalau aku...”

“Kamu dianggap sepantaran dengan dia. Setidaknya itulah yang coba aku utarakan padamu.”

Setelah itu, Leif berjalan melewati meja mereka, dan perhatian Kinan teralihkan sepenuhnya pada punggung Leif, dan Meira tidak melakukan apapun untuk mengembalikan perhatian Kinan padanya. Meira memikirkan perkataan Kinan. Dan memikirkan perkataan Farda.

* * *

Meira terengah di depan pintu ruang klub fotografi, setelah lelah mencari ruang klub itu di dalam gedung kampusnya yang tinggi dan luas. Dia bahkan tak tahu apa yang merasukinya hingga ia rela berlari di setiap lantai hanya untuk menemukan ruang tempat Farda berada.

Diketuknya pintu kayu yang dicat abu-abu itu dengan pelan. Kemudian ia menunggu.

Farda yang membuka pintu. “Meira?”

“Hai,” gumam Meira dengan napas pendek-pendek. “Bisakah aku minta segelas air?”

“Oh, tentu saja, masuklah,” Farda minggir untuk  memberi Meira jalan masuk ke ruangan itu.

“Di ujung ada dispenser,” kata Farda lagi. “Pakai saja gelasku, yang warna hijau di atas galon.”

Meira mematuhi Farda. Kemudian setelah menenggak airnya sampai habis, ia menghela napas panjang, dan kemudian duduk setelah dipersilakan Farda.

Sekarang setelah Meira bisa melihat dengan tenang keadaan di sekelilingnya, ia menemukan wajah-wajah yang dia kenal, dan yang ia tidak kenal. Kebanyakan tidak kenal, dan ia menyadari bahwa mereka adalah kakak angkatannya.
“Maaf aku masuk begitu saja,” sahut Meira, mendadak merasa malu. “Aku kesini untuk...”

“Bilang iya?” tebak Farda tepat.

“Umm.”

Farda berdiri dari kursinya dan langsung memeluk Meira hangat. “Kyaaa! Aku sudah tahu kamu pasti mau, Mei.”

Meira tersenyum seadanya.

We need you, Mei. We definitely need you,” kata Farda serius, senyumnya tidak lepas dari paras manisnya.

Well, I’m here for you,” kata Meira.

Tanpa sadar ada senyuman kecil di sudut bibir Meira melihat betapa bahagianya Farda mendapatkannya sebagai anggota seksi publikasi-dokumentasi.

* * *

Malam keakraban 2011 diadakan di tempat kemah di sebuah bukit yang agak jauh dari kampus mereka. Sesuai namanya, acara ini bertujuan untuk mengakrabkan angkatan mereka yang baru saja menjadi mahasiswa baru di kampus itu. Diadakan 3 hari 2 malam, cukup bagi mereka untuk saling mengenal satu sama lain, dan mendekatkan diri dengan alam.

Kinan benar-benar tidak sabar menunggu acara utama – api unggun dan kembang api.

“Maksudku, Leif, Leif! Leif, Mei! Kamu tidak lihat dia hari ini? Ya Tuhan... dia tampan sekali dengan jaketnya...”

“Dia atau jaketnya, yang tampan?” kata Meira tak acuh, sambil menyortir foto-foto di kameranya. “Astaga... kapan aku mengambil foto ini?” gumamnya, kemudian menekan tombol delete.

“DIA! Dia dengan jaketnya... dan sneakersnya... komplit, Mei... kamu sudah foto dia kan?”

“Sudah, sudah, waktu kita baru saja datang di tempat ini, kemarin.”

“Yah, itu kan waktu kita foto rame-rame. Maksudku kamu foto dia waktu dia lagi sendiri, Mei.”

“Hah... untuk apa,” kata Meira, masih tak peduli.

“Untuk arsip!”

Meira menoleh ke arah Kinan. “Arsip?” tanyanya heran, bingung.

“Arsipku...”

Meira mencubit lengan Kinan. “Genit!”

“Biar...”

“Meira! Bisa kesini sebentar?” panggil Oki, salah satu anggota pubdok.

“Sebentar ya,” ujar Meira pada Kinan. Ia berdiri dari duduknya, membersihkan celananya yang kotor karena ia menduduki batu tadi.

BRUK.

Tabrakan tidak sengaja antara Meira dan Leif. Karena baru saja berdiri dan masih belum mendapatkan keseimbangannya, Meira terjatuh. Leif sedang membawa tikar untuk dibawa ke tenda P3K.

“Mei!” kata Kinan cemas.

Are you okay?”

I’m fine...” kata Meira. Ketika Meira menoleh, ia kemudian menyadari bahwa yang bertanya tadi bukan Kinan, tetapi Leif. Leif yang sudah meletakkan tikarnya di tanah, dan sudah berjongkok di sampingnya.

Dan matanya... mata yang dalam dan menenangkan itu – Meira bisa melihatnya – ada kecemasan didalamnya. Meira tidak yakin – tetapi mata tidak bisa berbohong. Tapi Meira mengabaikannya, dan ia menganggapnya hanya efek cahaya matahari yang terpantul di mata Leif... yang indah itu.

“Kameramu?” tanya Leif.

“Eh?” Meira tidak sadar sudah memandangi Leif selama sepersekian detik. “Tidak terbentur apa-apa, kok.”

“Bisa berdiri?” tanya Kinan. “Sini...” Kinan mengulurkan tangannya untuk membantu Meira bangkit.

Thanks,” gumam Meira, merasakan tangan Kinan gemetaran, yang Meira tebak, karena berada dekat dengan Leif.

Leif mengangguk pada mereka berdua, mengambil tikarnya, kemudian berjalan menuju tenda P3K.

Meira menyenggol Kinan. “Kamu mau melepaskan kesempatan ini?”

Kinan terperangah, kemudian berlari menyusul Leif, dan berjalan beriringan dengannya, mengajak ngobrol Leif.

Meira tersenyum, lalu menghampiri Oki, yang berdiri menyaksikan seluruh kejadian tadi.

“Kenapa kamu senyum-senyum?”

“Hah?”

Ketika sampai di tempat Oki dan laptopnya, Meira baru sadar bahwa jantungnya berdebar begitu kencang. 

Dan ia tidak berhenti tersenyum.

Meira tahu bahwa itu bukan senyuman karena melihat Kinan akhirnya mempunyai kemajuan dengan Leif.

Itu senyuman dari dalam hati Meira, senyuman tanpa sadar, karena melihat Leif. Leif yang terlihat cemas setelah menabraknya.

* * *

“Leif was soooooooo gorgeous...” gumam Kinan senang, matanya berbinar, mukanya merah. Senyumnya tidak lepas sedari tadi.

Meira ingin mengutarakan hal yang sama, tetapi ia menahannya. “Kalian bicara apa saja tadi?”

“Mmm... dikit sih. Dia tidak begitu banyak bicara. Tapi sekali dia bicara... aaaaa aku mati mati mati, Mei.”

“Memangnya dia bicara apa?”

“Itu...” bisik Kinan, “rahasia.”

Meira mengacak rambut Kinan. “Dasar!”

“Makasih loh tadi udah ngingetin,” senyum Kinan.

Meira mendadak dirasuki rasa bersalah. “Oh,” katanya, “sama-sama.”

“Malam ini Kak Arkaz datang kan?”

“Oh.”

Malam ini, di acara puncak, yakni malam inaugurasi dengan api unggun dan kembang api, ada kakak angkatan mereka yang akan datang, angkatan 2009, angkatan 2008, dan seterusnya. Masing-masing angkatan akan mengisi acara inaugurasi dengan penampilan tertentu.

“Dia main drum bukan?” tanya Kinan memastikan.

“Mmm-hmm.”

“Kenapa kamu terdengar not-so-excited?”

“Benarkah? Ahahaha tidak apa-apa, mungkin aku lelah...”

“Tidurlah sebentar.”

“Momen yang bagus itu tidak akan muncul kedua kalinya. Aku harus menunggu setiap saat.”

“Ck, dasar fotografer.”

Meira nyengir.

“Kamu dipanggil Farda,” tegur Kinan, membuyarkan Meira yang sedang berkonsentrasi mengambil foto anak-anak yang berseliweran menyiapkan api unggun.

Meira dan anggota seksi pubdok yang lain dipanggil untuk rapat sejenak dengan koor mereka – Farda. Kemudian Rubi masuk dan memberi pengarahan juga.

Lalu Meira kembali duduk di sebelah Kinan.

“Kenapa? Rapat ya?”

“He eh. Bagi tugas, siapa yang nanti foto-foto angkatan 2009, 2008...”

“Kamu?”

“Fotoin angkatan kita. Hehehehe.”

“Aaaaa kecewa tuh. Pengen fotoin angkatan 2009 kan?”

“Nggak kook.”

“Ngaku deeh.”

Meira menggeleng. Memang sih, sedikit banyak ia menginginkan diberi kewajiban mendokumentasikan kegiatan anak-anak angkatan 2009 malam ini... terutama, tentu saja, Kak Arkaz.

“Hei, Leif,” tegur Kinan tiba-tiba.

Meira menoleh. Hatinya mencelos, dan entah kenapa dilanda keinginan yang besar untuk memandang si pemilik nama itu.

Leif lewat, dan memandang Kinan serta Meira. Ia mengangguk, dan tersenyum, kecil sekali.

Kinan tersenyum manis, sampai punggung Leif hilang di balik pohon.

“Dingin sekali,” Kinan yang pertama kali menghilangkan keheningan yang muncul sejenak tadi.

“Siapa, dia?” tanya Meira, mencoba bersikap biasa.

“Hm... tersenyum saja tidak, lho,” kata Kinan.

“Eh?”

Meira yakin seratus persen, kalau Leif tadi tersenyum. Apa hanya Meira yang bisa melihatnya? Atau – Meira mengabaikan kemungkinan ini – Leif hanya tersenyum pada Meira?

* * *

Malam itu benar-benar ramai. Api unggun dinyalakan, jagung-jagung sudah dibakar. Di dekat panggung, riuh rendah. Anak-anak terhanyut dengan musik yang dinyalakan, semua menari, meloncat-loncat, sejenak melupakan masalah-masalah di dunia nyata.

Meira mengabadikan setiap momen yang terjadi. Ketika Kak Arkaz tampil, Meira berlari ke segala arah untuk mencari sudut yang pas demi membuat foto Kak Arkaz bagus.

Oki menegurnya.

“Mei... just... relax,” katanya, tertawa.

“Hahaha. Keliatan ya dari sini?”

“Banget lah.”

Mereka sedang menyusun tripod penyangga kamera untuk foto dari jarak jauh.

You seem so busy,” kata Rubi, melewati mereka.

“Dia doang kali,” sahut Oki nyengir.

“Kak Arkaz ya hahahaha semangat ya Mei,” kata Rubi, menepuk-nepuk bahu Meira.

“Apaan sih,” kata Meira, pipinya memerah.

“Kesempatan dalam kesempitan, Mei...” kata Oki lagi.

“Diem nggak.”

“Oke.”

Meira kemudian memutuskan untuk duduk bersama Oki dan mengambil foto-foto anak-anak yang lewat.

“Oh, it’s the time?” kata Oki tiba-tiba.

“Kembang api?”

“Iya!”

Kemudian, dari ujung lapangan itu, terdengar bunyi melengking, kemudian meledak di udara. Kembang api.

Anak-anak bersorak.

Lalu musik menyala, makin menghentak, dan anak-anak semua turun ke lapangan untuk menari mengikuti suara musik.

Meira melihat Kinan menari dengan semangat di tengah lapangan bersama teman-temannya, Rubi di tengah, terlihat bahagia. Oki yang tersenyum sembari mengabadikan momen-momen itu, juga tak luput dari kamera Meira.

Mata Meira menyusuri lapangan dengan kameranya. Kemudian... Leif masuk ke dalam lensa Meira, tak sengaja. Dia lewat, dan punggungnya masuk ke lensa kamera Meira. Mendadak Meira merasa jantungnya berdebar.

‘Mei... masa kamu mau sia-siakan kesempatan ini?’

Dalam benak Meira, suara Kinan berdengung.

“Leif,” kata Meira, tetapi ia sadar suaranya terlalu kecil. Kembang api meledak lagi di udara, dan musik masih menghentak keras. Belum suara teriakan anak-anak.

“LEIF?” ujar Meira, agak keras. Leif belum menoleh.

“LEIF!” teriak Meira semakin keras.

Leif menoleh, Meira mengangkat kameranya, isyarat untuk Leif agar mau difoto. Meira berdebar, menunggu jawaban Leif, yang ia kira tidak ingin difoto...

Tetapi Leif mengangkat alis, dan tersenyum kecil, lagi, dan berbalik menampilkan keseluruhan badannya ke arah Meira - menghasilkan gambaran yang indah, di lensa Meira, dengan latar belakang panggung dan kembang api itu.

Meira mengangkat kameranya, perlahan, tangannya gemetar, memandang pemuda dengan mata indah itu di lensa kameranya.

KLIK. Meira menekan tombol kameranya dengan penuh perjuangan. Kemudian, seperti biasa, ia melihat ke layar kameranya, melihat hasilnya.

Nice,” gumam Meira, tersenyum pada Leif.

“Baguslah,” kata Leif, yang membalas tersenyum.

Meira ingin sekali mengambil foto Leif lagi, tetapi Leif mendekatinya, dan mengambil kamera dari tangan Meira.

“Eh?” tanya Meira heran.

“Tidak berarti anggota pubdok tidak punya foto-foto makrab, kan?” kata Leif hangat, kemudian menarik Meira ke sebelahnya, mengangkat kamera ke atas dengan lensa kamera menghadap mereka, dan berkata, “cheese.” Berbarengan dengan kembang api yang meledak di udara, Leif menekan tombol kamera Meira.

Meira shock berat.

Ketika mereka melihat hasilnya – Meira yang tersenyum kaget dan Leif yang senyumnya memesona dengan latar belakang kembang api yang berpijar indah – Meira tidak bisa berkata apa-apa, tetapi Leif terlihat puas dengan itu.

“Simpanlah,” kata Leif singkat. “Bye.”

Dan dengan lambaian tangannya yang cool itu, ia masuk ke dalam kerumunan anak-anak, menghilang dari pandangan Meira.

Meira masih tidak bisa mempercayai ‘keberuntungan’nya tadi.

Dilihatnya lagi foto-foto di dalam kameranya, satu persatu... hingga ia menemukan foto-foto Leif yang diambil Meira tanpa Leif sadari. Bahkan Meira pun tidak sadar... ia hanya merasa punya objek foto yang bagus untuk diabadikan. Leif waktu tertawa, Leif waktu makan, Leif waktu berdiri tanpa arti di pinggir lapangan, Leif waktu duduk di tepi danau...

Meira tersenyum pahit.

Aku tahu sampai kapanpun aku tak akan bisa melihatmu... sehingga hanya melihatmu dari lensa kameraku pun aku sudah cukup senang... anyway, thanks for tonight, L...

Kembang api berbentuk hati berpijar, dan anak-anak berteriak seru. Meira tersenyum, dan ketika ia menoleh, ia mendapati Leif tersenyum padanya.

Sialan kau, L! Berapa kali sehari kau harus membuat jantungku berdebar?

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates