18 Jan 2012

Februari 2011.

Argh.

Kepalaku sakit luar biasa. Seperti habis dihantam sesuatu. Aku mengangkat badanku perlahan, setelah terasa, tetapi kemudian nyeri itu datang lagi, lebih sakit dari sebelumnya. Aku meringis.

“Jangan bergerak dulu...” kata seseorang, suaranya kukenal.

Suaranya benar-benar kukenal.

Setelah aku membuka mata, aku baru menyadari siapa orang yang mencegahku untuk bangun tadi, dan kenapa aku merasa mengenal suara itu.

Tetapi kenapa wajahnya kelihatan cemas?


“Maaf ya,” katanya, dan terdengar merasa bersalah.

“Maaf buat apa?” ujarku bingung.

“Kamu tidak ingat?” tanyanya heran. “Aku melempar bola basket dan kena kepalamu.”

Sekarang setelah ia mengatakannya, aku langsung bisa mengingat semuanya. Tapi, aku tidak ingat kalau aku melihat dia...

“Dan kamu langsung terjatuh,” dia mengangkat bahu.

Aku menelengkan kepalaku ke kanan, sambil mengangkat selimutku sampai ke hidung. “Lalu?”

Lalu seorang dokter masuk ke dalam ruangan itu. “Halo,” katanya, manis. “Sudah bangun? Berterima kasih lah pada dia, yang sudah membawamu kesini dengan cemas...”

“Ah,” kata dia, tersenyum cool, seperti biasa.

“Sudah kukatakan dia akan baik-baik saja, kan?” kata dokter muda itu, tertawa. “Minumlah ini,” katanya padaku, menyodorkan segelas air dan satu tablet obat. “Agar sakitnya mereda.”

Aku mengangguk.

Kulihat dari sudut mataku, Leif memandangku.

* * *

Keluar dari klinik, aku menguap. Sepertinya obat yang diberikan dokter tadi punya efek samping.

You’ll be okay?” tanya Leif, yang keluar di belakangku.

Aku nyaris tersedak. “Yeah, sure...”

“Kamu mau panggil Kinan dulu, atau siapa, untuk menemanimu...”

“Tidak, aku bisa sendiri,” senyumku, ngeri membayangkan ekspresi Kinan kalau ia tahu bahwa Leif membopongku sampai klinik dan menemaniku hingga aku terbangun.

“Syukurlah,” senyumnya.

Aku benar-benar harus  menahan keinginanku untuk menciumnya.

Well, then, see you later,” katanya. “Take care.”

Aku mengangguk. Kemudian aku sadar satu hal.

“Leif,” panggilku, sebelum Leif berjalan lebih jauh.

Ia menoleh.

“Terima kasih.”

Ia melambaikan tangannya.

Gosh, kenapa ia harus bersikap cool sepanjang waktu sih?

Aku kan jadi tidak bisa tidak perhatian padanya...

* * *

Sialnya, begitu aku sampai di lantai satu gedung kampus, hujan mendadak turun dengan sangat lebat.

“Ah sial, payungku ketinggalan di kelas...” aku mengingat meletakkan payungku di laci meja.

Terpaksa aku menunggu hujan mereda di lobby gedung. Aku mengeluarkan novel Agatha Christie-ku, lalu mulai membacanya.

Kemudian aku melihat sesuatu.

Dari lift, muncul Kak Arkaz beriringan dengan Kinan. Mereka tersenyum sambil mengobrol riang.

Kepalaku mendadak pusing berat. Pandanganku kabur, tetapi masih memegangi And Then There Were None. Menutupi wajahku agar tidak ketahuan mereka.

Kupandangi lagi mereka dari atas novelku yang bergetar hebat karena tanganku gemetaran. Mereka terlihat bahagia... dan kenyataan itu membuat sesuatu di dalam diriku bergejolak. Cemburukah?

Bodoh, batinku. Tentu saja kau cemburu! Orang yang kau sukai terlihat bahagia bersama sahabatmu sendiri!

Mereka keluar dari gedung, melewati lobby, dan sepertinya tidak melihatku disana. Kak Arkaz mengeluarkan payungnya, dan kemudian mereka berdua dalam satu payung, berjalan ke arah tempat parkir, masih dengan senyuman yang tersungging di bibir mereka.

Sesuatu sudah menstimulasi kelenjar air mataku untuk mengeluarkan cairannya, tetapi aku masih menahannya.

“Kenapa kau kelihatan seperti mau menangis?”

Aku benar-benar terlonjak dari kursiku dan menoleh ke arah pemilik suara.

Leif lagi.

“Kau mengagetkanku!” kataku, jujur. “Kenapa sih kau sering sekali membuatku kaget?”

Leif manyun. Jujur, melihat Leif malah mengingatkanku pada Kinan, yang kemudian membuat mataku menghangat lagi, yang kemudian membuat Leif bertanya lagi.

“Kenapa kau terlihat seperti mau menangis?”

“Tidak, kok,” kataku, kali ini berbohong.

“Bohong,” ujar Leif tepat.

Aku memandangnya sinis. “Cih. Jangan  bersikap seperti kau tahu betul aku begitu lah.”

“Tidak, kok,” ujarnya, nadanya persis seperti nadaku tadi.

Aku mendengus, kemudian mengalihkan pandanganku keluar jendela... dan kemudian aku melihat mobil yang sangat kukenal, yang aku selalu berhenti di parkiran setiap aku melewatinya, seolah dengan memandangnya bisa menyampaikan perasaanku pada si pemilik mobil itu... dan aku melihat sahabatku duduk di bangku penumpang – saat itu hujan, memang – tetapi aku bisa dengan jelas melihat mereka berdua.

Sedetik kemudian, aku merasakan luapan kebencian yang amat besar.

Beberapa detik kemudian, aku melihat secarik sapu tangan disodorkan kepadaku.

“Aku menang,” kata Leif, yang menyodorkan sapu tangan berwarna putih itu.

“Menang apa?” tanyaku, mengambil sapu tangannya, dan menutul-nutul mataku.

“Tebakanku tadi,” dia nyengir.

Aku memandangnya tidak percaya.

“Kamu kenal mereka, ya...” katanya, yang sudah berjalan mendekati jendela dan memandangi mobil Kak Arkaz yang melaju menembus hujan, keluar gerbang kampus.

Aku tidak ingin bicara.

“Hei,” tegur Leif, yang tiba-tiba duduk di dekatku, “jangan lupa kembalikan sapu tangan itu, ya.”

Kemudian ia tersenyum, dan beranjak pergi.

Aku bengong. Bengong dengan air mata yang hampir mengering di kedua pipiku. Dan sapu tangan yang ternodai oleh lunturan bedak yang bercampur dengan air mataku.

Well, at least, kalau dia mencoba membuatku tersenyum dengan tingkahnya, dia berhasil. Dia sungguh-sungguh berhasil.

* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates