6 Jan 2012

Pagi itu dingin, dingin sekali, jenis pagi yang membuatmu malas bangun dan memintamu untuk menarik selimut lagi untuk menikmati sensasi sejuk dan hangat di saat yang bersamaan.

Alarmku berbunyi. “Cock-a-doodle-doo,” begitu katanya.

Aku tidak beranjak dari kasurku, masih tenggelam dalam selimut tebal unguku. Tidak berniat sedikitpun mematikan alarm ayam yang berteriak keras di meja nakas sebelah tempat tidur.

Setiap pagi, alarm itu, kicauan ayam mekanik itu, terdengar seperti melodi yang membangunkanku dari tidur. 

Aku tak pernah ingin melodi itu berhenti, maka aku membiarkannya.
Oh, seandainya saja ia tahu bahwa aku memikirkannya begitu sering. Setiap hari. Setiap pagi. Setiap pukul empat lewat lima belas.

Maka aku menarik selimutku lagi, berniat melanjutkan mimpiku yang tertunda tadi. Kebetulan, mimpi tentang dia. Orang yang pernah menyayangiku. Dan orang yang selalu aku sayangi. Sampai saat ini, sampai detik ini. 

* * *

Tiap pagi, pukul empat lewat lima belas.

Aku selalu terbangun karena suara alarm ayam yang berisik.  Kemudian aku akan mengejapkan mataku, mengumpulkan nyawa, dan kemudian terdiam. Terdiam, mendengarkan suara alarm. Tidak sedikitpun menyentuh alarm untuk mematikannya. Tidak, tidak perlu. Aku hanya cukup menunggunya selama semenit, kemudian ia akan mati sendiri.

Dengungan suara ayam itu seperti lantunan lagu yang mengusik memoriku – tentang pukul empat lewat lima belas dan kado anniversary pertama – berbulan-bulan yang lalu. Bulan-bulan yang penuh kemesraan dan kasih sayang.

Sayang, apa kabar kau disana?

Aku mendengus kecil, suara hatiku barusan terdengar seperti lirik lagu.

Nah, suara ‘cock-a-doodle-doo’ yang berkepanjangan itu sudah berhenti.

Jam meja berbentuk ayam itu menunjukkan pukul empat lewat enam belas. Aku kembali tidur, dengan senyuman pahit setelah semenit yang lama. Semenit yang cukup mengingatkan aku akan semua kejadian-kejadian berharga dalam kisahku bersamanya.

Hari ini, pagi ini, pukul empat lewat lima belas, aku mengenang waktu pertama kali nonton di bioskop, bersamanya. Film itu Sherlock Holmes, dan kami berdua membeli dua popcorn, satu cola, dan satu milkshake cokelat.

Tiket film itu masih kusimpan di kotak berwarna ungu pemberiannya.

* * *

Tiap pagi, pukul empat lewat lima belas.

Aku terbangun dengan mendadak, sebuah mimpi buruk benar-benar membuatku ketakutan. Aku menyibakkan selimut unguku, bersandar di kepala tempat tidurku, duduk memeluk lutut. Aku gemetaran, aku gelisah. Napasku ngos-ngosan.

Sayup sayup aku mendengar bunyi ‘cock-a-doodle-doo’ yang bersahut-sahutan.

Aku menutup mataku, membiarkan kenanganku mengalir. Aku menutup mataku, membiarkan kenangan tentangnya masuk kembali ke masa kini.

Sayang, aku takut. Aku takut sendirian. Aku... butuh kamu.

Hari ini, pukul empat lewat pukul lima belas, aku mengingatnya yang memelukku dengan erat setelah kurang lebih tiga jam aku terkurung di gudang sekolah, setelah aku lelah berteriak, menangis, menggedor pintu yang terkunci karena kuncinya rusak, setelah aku putus asa karena ponselku mati. Aku mengingatnya, yang cemas, karena tanganku lecet akibat tekanan yang terus-terusan akibat memukul pintu. Aku mengingatnya, wajahnya yang pucat, dan kata-katanya...

”Sekali lagi kamu membuatku khawatir,” katanya, sambil memelukku, “sekali lagi kamu membuatku khawatir...”

Tetapi ia tidak pernah menyelesaikan kalimatnya, atau aku yang tidak terlalu memperhatikan, karena aku sibuk menangis di bahunya.

Selama semenit, aku merindukan pelukannya yang hangat.

* * *

Tiap pagi, pukul empat lewat lima belas.

Aku menemukan diriku terbangun sambil memeluk boneka kelinci besar berwarna putih dengan pita ungu di sekeliling lehernya. Dia tahu aku begitu sayang pada boneka kelinci ini. Boneka kelinci hadiah dari kakak laki-lakiku yang kuliah di Eropa.

Dia tahu aku begitu menyukai kelinci. Dia juga memberiku phonestrap berbentuk kelinci sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-16. Dia memberiku buku catatan lucu bergambar kelinci sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17.

Dia memberiku kue berbentuk kelinci untuk hadiah ulang tahunku yang ke-17.

Dia memintaku menjadi pacarnya waktu ulang tahunku yang ke-17.

Tanggal lima belas bulan keempat.

Sore itu hujan, sepulang sekolah. Jam setengah empat sore, tepat setelah bunyi bel yang menandakan berakhirnya jam sekolah, aku sudah ingin sekali pulang dan menenggelamkan diriku di selimut unguku. Tetapi beberapa teman mengajakku untuk duduk sebentar di kantin sekolah.

Jam empat sore, mendadak mataku hanya bisa melihat warna hitam. Teman-temanku menutup mataku dengan kain. Kemudian entah kemana aku dibimbing mereka pergi. Aku hanya sadar aku didudukkan di sebuah kursi. Sekitar tiga-lima menit mataku ditutup, mereka masih mengajakku bicara, aku tanpa tahu apa-apa, dan tanpa protes apa-apa, hanya pasrah.

Beberapa saat kemudian kain penutup mataku dibuka, dan aku menyadari aku duduk di bangku taman sekolah, dan aku melihat, dia – orang yang sudah berminggu-minggu ini aku sayangi, tanpa tahu apakah ia menyayangiku balik atau tidak – duduk di sebelahku.

Hei.

Suaranya yang dalam, berat, dan menghanyutkan. Aku merasakan debaran jantungku mencapai maksimal.

Would you be my girlfriend?

Begitu saja. Simpel. Tidak ada basa-basi. Kemudian terdengar bunyi alarm jam tangan. Jam tangannya.

Kami berdua melihat ke jam tangan itu:

04:15 PM

“Luckily, we make it on time,” katanya waktu itu, sambil nyengir. “Happy birthday, dear. Semua yang terbaik untukmu.”

Dan begitulah ia menyerahkan kadonya dan menembakku disaat yang sama.

* * *

Tiap pagi, pukul empat lewat lima belas.

Alarm ‘cock-a-doodle-doo’-ku berdering, seperti biasanya. Aku bangkit dari kasurku, kemudian berjalan menuju meja belajarku.

Tidak berniat belajar, tidak. Aku bukan tipe yang seperti itu.

Aku memandang lurus ke arah bingkai foto berwarna putih yang selama dua tahun ini setia berada di meja belajarku. Tidak, bukan ke bingkai fotonya. Melainkan ke fotonya. Fotoku dan dia, di ulang tahun pertama hubungan kami. Di sebuah karnaval di pusat kota. Dengan tanganku memegang lolipop dan permen kapas, dan tangannya merangkulku. Fotoku dan dia yang terakhir kali kami ambil.

Dan maksudku benar-benar terakhir.

“Would you miss me when I’m gone?” ia berbisik di telepon, sore hari, setahun yang lalu.

“What are you talking about?” ujarku terkekeh. “Yeah, of course.”

“Kamu tahu, melegakan mendengar itu darimu,” ujarnya. Aku bisa mendengar ia tersenyum.

Tetapi aku juga bisa mendengar nada suaranya yang tidak seperti biasa.

Malamnya yang aku tahu, dia kecelakaan.

Malam itu aku tahu, aku bahkan tidak bisa menangis. Aku tidak bisa bicara. Aku tidak bicara dengan siapapun. Aku tidak ingat apa-apa setelah melihat wajah dokter yang keluar dari ruang operasi itu.

Keesokan harinya aku tahu, aku memakai gaun hitamku dan membawa setangkai mawar putih ke sebuah pemakaman. Aku juga tahu ketika aku menoleh, aku melihat foto seseorang yang amat kusayangi. Dengan senyumnya yang indah. Matanya yang tajam, yang dihiasi kacamata tipisnya.

Setelah itu aku tahu, aku benar-benar menangis. Aku menangis di pelukan ibuku, aku menangis hingga gaun hitamku basah, aku membasahi mawar putihku. Aku ingin berhenti, tetapi tidak bisa berhenti. Tidak tahu caranya berhenti. Air mataku seolah menolak untuk berhenti mengalir.

Sayang, kamu nggak benar-benar ada disana, kan?

Aku menolak mempercayainya. Satu tahun lalu, aku tidak bisa mempercayainya.

Satu tahun setelah kejadian itu, aku masih belum bisa mempercayainya.

Aku meraih foto itu pelan-pelan. Kuelus wajahnya, seolah dengan begitu perasaanku bisa sampai kepadanya. Nun jauh disana.

“Selamat ulang tahun kedelapan belas, sayang,” kubisikkan kalimat itu perlahan. Aku melirik ke kalender yang tergantung di sebelah meja belajar:

Hari ini, tanggal 15 bulan April.

* * *

#kangenmantan project :)

Yogyakarta, 6 Januari 2012

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates