A Shy Confession
Untuk beberapa detik aku merasa
bodoh. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan detak jantungku yang dipacu kencang
hanya karena tulisan hangul di bola
berwarna oranye itu. Pelemparnya sekarang sudah melakukan sign yang biasanya
dia lakukan padaku, tersenyum manis sekali, lalu kembali ke teman-temannya.
Gimana,
gimana?
Jadi Raga tadi lempar bola basket
dia, ada tulisannya, bacaannya saranghaeyo,
noona. Kalau aku tidak salah ingat, kata-kata itu berarti aku mencintaimu, kakak.
Diulang dalam bahasa Indonesia
rasanya agak aneh.
Aku masih terdiam memegang bola
basket dari Raga, bahkan belum duduk. Rasanya seperti ada yang menekan tombol mute untukku, karena aku tidak bisa
mendengar apa-apa, sampai aku merasa ada yang menepuk bahuku keras. Lalu aku
bisa mendengar siulan-siulan dari atas, kanan, kiri, dan bawahku, tempat
teman-teman, senior, dan juniorku duduk.
Tampangku pastilah kelihatan
kebingungan sekali karena Oki membisikiku, “Paling enggak kamu duduk dulu deh,
May.”
Aku lalu duduk, merasakan mukaku
menghangat.
“Bisa aja tuh orang, ya...” kata
Brian yang duduk bangku di atasku, nyengir.
“Kalah romantis lo, Yan...”
terdengar suara Ary.
Mereka pastilah sudah diberitahu
Oki apa arti hangul yang tertulis di
bola basket itu.
“Apa kubilang,” ujar Oki,
terdengar menang. “Cepat atau lambat dia bakal nembak kamu, kan?”
“Ini kan bukan nembak, dia nggak
minta, dia cuma bilang,” kataku penuh kesadaran.
Tanpa sadar pula aku melirik ke
arah orang yang duduk di sebelah Oki–Satria–dengan diam-diam, ingin melihat
ekspresinya. Sekali saja, kuharap ada raut penyesalan di wajah tenang itu.
Sekali saja.
Tetapi sebelum aku melirik lebih
lama, aku buru-buru mengalihkan lirikanku dari Satria ke lapangan. Aku sudah
berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lebih menyakiti hati lagi, kan?
Lagipula, dulu, dulu sekali, Satria kan yang bilang
begitu padaku?
Don’t
hurt yourself too much.
Kenapa ya, menyakitkan sekali
rasanya mengingat hal ini?
*
* *
“Final pertandingan basket dalam
rangka bulan olahraga tahun 2012 ini dimenangkan oleh... Fakultas Kedokteran
Gigi!”
Kami menyambut pengumuman yang
terdengar itu dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Raga dan timnya maju ke
tengah lapangan untuk menerima medali dan piala yang diserahkan oleh wakil
rektor universitas kami. Ketika Raga mengangkat pialanya, aku ikut berteriak
kencang dan bertepuk tangan keras sampai tanganku panas.
“Dan most valuable player kali ini jatuh kepada... Raga Bhakti
Priandika, nomor punggung 8, dari Fakultas Kedokteran Gigi!”
Aku berseru-seru kegirangan lagi
ketika Raga mendapat sebuah medali lagi. Kuperhatikan cewek-cewek di kursi
barat GOR juga menggoyang-goyangkan pom-pom mereka begitu nama Raga disebut.
Rasanya seisi GOR bergetar karena pekikan keras cewek-cewek yang menonton dan
sudah menetapkan Raga sebagai idola mereka. Rasa banggakah ini, yang ada dalam
hatiku, karena merasa bahwa anak yang menyabet gelar MVP itu adalah milikku, bukan milik mereka?
MVP tahun lalu bernama Ardi, dari
Fakultas Ekonomika dan Bisnis... iya, kau tahu, Ardi yang itu. Ardi temanku itu. Kuperhatikan dia muncul dari barisannya dan
secara pribadi menyerahkan piala yang tahun sebelumnya diberikan padanya itu ke
tangan Raga, kemudian menjabat tangan Raga dengan erat.
Kalau aku tidak salah lihat, Raga
menatap pandanganku padanya dan dia kelihatan nyengir puas.
Aku sungguh tidak sabar untuk
segera bertemu muka dan bicara langsung padanya.
“Pesta nih, pesta!” seru Oki pada
teman-temannya di belakang, yang langsung menyetujui.
“Anterin aku dulu,” pintaku pada
Oki, karena merasa ditinggalkan.
“Kamu ini ngomong apa,” kata Oki
nyengir. “Pestanya di tempatmu.”
“Enak aja!” seruku kesal.
“Iya May, tempatmu, tempatmu,
udah lama nggak minum smoothies nih,”
kata Ary.
“Tapi...”
“Tapi kan dia mesti ketemu sama
Raga dulu,” dan satu kalimat itu sukses membuatku menatap orang yang
mengatakannya–dan aku lega karena bisa diberi alasan untuk memandangnya
dalam-dalam–yaitu Satria. “Buat memastikan. Ya nggak, May?” dia melirik ke
arahku–yang sedang memegang bola dari Raga tadi–dan dia tertawa.
Aku merasa wajahku memanas. “Hah?
Err.”
“Oke, pindah tempat! Kosan Brian!”
ujar Ary, dan aku tidak mengingat pembicaraan mereka setelah itu, karena aku
terlalu kaget akibat lirikan Satria padaku.
Aku diseret Oki untuk berdiri dan
keluar dari GOR begitu sudah terdengar kata-kata perpisahan dari pihak panitia.
Kami berjalan beriringan, kemudian Oki dan kawan-kawannya berhenti ketika
melihat ada penjual kebab di dekat tempat parkir GOR. Aku menggeleng ketika
mereka menawariku untuk ikut membeli. Kuperhatikan Oki mendapat sebuah
panggilan di ponselnya. Kupikir siapa.
“Hannah nih,” mendadak Oki
menyodorkan ponselnya padaku, setelah bicara selama beberapa menit.
Kebingungan, aku menerima
ponselnya dan bicara dengan Hannah. “Halo?”
“KAKAK! DITELEPONIN NGGAK
DIANGKAT, KIRAIN ADA APA-APA...”
“Sori sori, hapenya di-silent. Kenapa kenapa?”
“Gimana pertandingannya?”
“Ngapain nanya,” kataku mencibir.
“Udah dikasih tahu Oki, kan?”
Aku bisa mendengar Hannah salah
tingkah. “Err, iya. Terus Raga gimana, Kak?”
“Gimana apanya, kamu pasti udah
bisa liat di status BBM-nya anak-anak kan?” kataku, dengan nada yang nyaris
mirip dengan kalimatku sebelumnya.
Karena aku sempat meminjam ponsel
Oki tadi dan melihat status BBM teman-temanku (dan beberapa senior, dan junior
teman Raga) yang penuh dengan komentar mereka tentang pelemparan bola Raga yang
sensasional.
Hannah tertawa. “Kok tahu sih,
Kak. Iya, rame banget di status BBM, di Twitter. Cieee Kak Maya.”
“Cie apanya...” aku menghela
napas. “Dasar. Bikin deg-degan.”
“Aih, sudahlah Kak, kalau begitu
terima saja...”
“Dia nggak minta, dia cuma
bilang,” aku mengutarakan hal yang sama dengan yang kukatakan pada Oki tadi.
“Lho? Tapi tadi ada yang bilang
Raga nembak Kak Maya...”
“Info yang kamu dapat salah,
berarti.”
Aku juga masih mencoba menyalahpahamkan kata-kata yang ditulis di bola basket yang
dilempar Raga.
“Yaah, kirain,” Hannah terdengar
menyesal. “Padahal di kelas udah rame lho, Kak...”
“Rame gimana?”
“Ya, dia bilang mau nembak
seseorang begitu final basket ini selesai.”
“Oh iya?”
“Aku langsung mikir itu Kakak–nggak
cuma aku sih, satu kelas tahu; ah bukan, satu angkatan juga kayaknya tahu.”
“Pantesan,” ucapku, mengingat
antusiasme yang berlebihan begitu para penonton dari pihak FKG melihat bola
yang dilemparkan Raga padaku.
“Dia emang blak-blakan sih, Kak.”
“I know,” ujarku, tersenyum simpul begitu melihat orang yang sedang
kami bicarakan muncul dari pintu GOR. “I
know.”
Raga menggaruk kepalanya begitu
dia tiba di depanku. Pandangannya tertuju pada bola basket yang kupeluk dengan
tangan kiriku.
“Hannah, ini Oki mau bicara,”
bisikku di ponsel Oki, kemudian kuserahkan smartphone
itu pada Oki yang sedang membeli kebab di sebelahku.
“Eh?” aku sempat mendengar satu
kata itu dari Hannah, tetapi dengan segera aku dialihkan perhatiannya oleh
cowok tinggi nan manis di depanku. Baunya wangi–Raga sudah mengganti bajunya dengan
kaus biasa dan jaket fakultas.
“So,” ujarku memecah keheningan.
”So,” kata Raga, tampak santai. “We
won.”
“Congrats,” senyumku, menyerahkan bola basket padanya.
”Itu buat Kakak,” Raga menolak
pemberianku.
“Dan maksud hangul ini adalah...?” tanyaku meminta kepastian.
“Adalah perasaanku yang
sejujur-jujurnya,” gumam Raga, dan baru pertama kali itulah aku melihatnya
malu-malu. Dia bahkan tidak berani memandangku.
Meski sudah menduga pembicaraan
ini, aku tidak bisa menahan detak jantung yang memutuskan untuk melaju lebih
cepat. Aku memandang ke sekelilingku dan ternyata Oki dan teman-temannya yang
sampai tadi masih ada di sebelahku untuk membeli kebab sudah berjalan menjauh–termasuk
Satria yang ada di antara mereka.
“Benar, jujur?” tanyaku, hanya
untuk mengisi keheningan.
“Kakak tahu sendiri,” dia
tertawa. “Siapa ‘Ima’ yang kusebutkan dalam profil Twitter-ku.”
Aku mendengus tertawa. “Dasar...”
Selama beberapa detik, kami
terdiam.
“Tapi, aku suka orang lain...”
Kalimat itu muncul begitu saja
dari mulutku tanpa bisa kutahan. Dua detik setelah mengatakannya aku merasa
menyesal.
Tetapi Raga tersenyum dan
mengangguk-angguk. “Aku tahu.”
“Kamu tahu?”
Dia mengangguk. “Aku kan pembaca
setia blog Kakak.”
Info yang ini benar-benar
membuatku bahagia.
“Kakak suka Kak Satria, kan?”
Aku melongo sesaat begitu Raga
mengungkapkan fakta yang sebenarnya hendak kuhindari ini. “Mungkin,” gumamku,
memandang punggung Satria yang bisa kulihat dari jauh. “Tapi, aku kan tidak
gembar-gembor. Kamu tahu darimana?”
Raga mengangkat bahunya. “Aku kan
selalu memperhatikan Kakak.”
Tanpa perlu melihat cermin, aku
sudah bisa menduga bahwa pipiku memerah. “How...?”
“Sejak dulu,” ujar Raga,
meneruskan pengakuannya, “mataku cuma ngeliat Kakak...”
“Heh, jangan gombal deh,” aku
memukul bahunya, kesal.
Dia tertawa dengan tawanya yang adorable. “Aku sungguhan,” katanya.
“Mulai ospek... makrab... papasan di kampus... sampai waktu kecelakaan itu...”
“Ospek?” tanyaku tak percaya,
mengingat waktu ospek aku menjabat sebagai seksi konsumsi yang tidak
berkeliaran di antara mahasiswa-mahasiswa baru. “Makrab?”
“Iya.”
“Tapi aku kan bukan orang yang
eksis, kayak...”
“Tapi aku cuma bisa ngeliat
Kakak.”
Aku tertawa terbahak-bahak
mendengar ini. “Raga!”
“Dari dulu ini yang aku suka dari
Kakak,” kata Raga akhirnya. “Cara Kakak ketawa.”
Aku berhenti tertawa dan heran.
“Gimana emangnya?”
“Setiap Kakak ketawa, selalu dari
dalam hati. Nggak pernah dipaksain, dan Kakak nggak pernah ngetawain orang
lain...”
“Tapi... sudah selama itukah?”
tanyaku tak percaya.
Raga mengangguk. “I’ve always been looking for you since one
year ago.”
Raga benar-benar membuatku speechless kali ini.
“Raga...” kataku dalam perjalanan
ke tempat parkir.
“Ya?”
“Aku minta maaf...”
“Nggak perlu minta maaf, Kak.”
“Aku...”
“Aku tahu.”
“...”
Kupegangi piala bergilir MVP yang
tahun ini menjadi milik Raga sampai kami tiba di mobilnya. Dia meletakkan tas
olahraganya di bagasi. Kuserahkan pialanya secara formal.
“Selamat,” ujarku, lalu menjabat
tangannya.
Raga mengangguk, menyambut
tanganku, lalu–membuatku kaget–menarikku ke arahnya. Samar-samar kudengar ada
pekikan dan sorakan nun jauh disana. Kami berdua sama-sama mengabaikannya.
“Saranghaeyo, noona,” katanya sambil memelukku. “Aku nggak keberatan
kok nunggu... sampai noona mau aku
panggil ‘kamu’.”
Aku tertawa. “Tolong, kamu
terdengar seperti Song Joong Ki di Running Man episode 15.”
Raga ikut tertawa. “Keliatan
banget, ya?”
“Jangan bilang kamu belajar nulis
hangul dari Running Man,” tebakku.
“Mau bagaimana lagi, aku suka
Running Man,” ujar Raga jujur.
Aku mendengus di dada Raga,
merasa terharu, tetapi di saat yang bersamaan merasa sangat bersalah. Sebenarnya
aku ingin lebih lama berada di pelukannya; tetapi Raga sudah melepasku.
Kudengar juga sahutan dari kejauhan–Raga sudah dipanggil pelatihnya untuk
berkumpul sejenak dengan timnya.
“Ah,” kataku, teringat sesuatu.
“Kamu... nggak boleh panggil aku ‘kamu’.”
Raut muka Raga berubah begitu
mendengar kalimatku.
“Because I love the way you call me ‘noona’.”
*
* *