9 Okt 2012


Untuk beberapa detik aku merasa bodoh. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan detak jantungku yang dipacu kencang hanya karena tulisan hangul di bola berwarna oranye itu. Pelemparnya sekarang sudah melakukan sign yang biasanya dia lakukan padaku, tersenyum manis sekali, lalu kembali ke teman-temannya.
Gimana, gimana?
Jadi Raga tadi lempar bola basket dia, ada tulisannya, bacaannya saranghaeyo, noona. Kalau aku tidak salah ingat, kata-kata itu berarti aku mencintaimu, kakak.
Diulang dalam bahasa Indonesia rasanya agak aneh.


Aku masih terdiam memegang bola basket dari Raga, bahkan belum duduk. Rasanya seperti ada yang menekan tombol mute untukku, karena aku tidak bisa mendengar apa-apa, sampai aku merasa ada yang menepuk bahuku keras. Lalu aku bisa mendengar siulan-siulan dari atas, kanan, kiri, dan bawahku, tempat teman-teman, senior, dan juniorku duduk.
Tampangku pastilah kelihatan kebingungan sekali karena Oki membisikiku, “Paling enggak kamu duduk dulu deh, May.”
Aku lalu duduk, merasakan mukaku menghangat.
“Bisa aja tuh orang, ya...” kata Brian yang duduk bangku di atasku, nyengir.
“Kalah romantis lo, Yan...” terdengar suara Ary.
Mereka pastilah sudah diberitahu Oki apa arti hangul yang tertulis di bola basket itu.
“Apa kubilang,” ujar Oki, terdengar menang. “Cepat atau lambat dia bakal nembak kamu, kan?”
“Ini kan bukan nembak, dia nggak minta, dia cuma bilang,” kataku penuh kesadaran.
Tanpa sadar pula aku melirik ke arah orang yang duduk di sebelah Oki–Satria–dengan diam-diam, ingin melihat ekspresinya. Sekali saja, kuharap ada raut penyesalan di wajah tenang itu. Sekali saja.
Tetapi sebelum aku melirik lebih lama, aku buru-buru mengalihkan lirikanku dari Satria ke lapangan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lebih menyakiti hati lagi, kan?
Lagipula, dulu, dulu sekali, Satria kan yang bilang begitu padaku?
Don’t hurt yourself too much.
Kenapa ya, menyakitkan sekali rasanya mengingat hal ini?
* * *
“Final pertandingan basket dalam rangka bulan olahraga tahun 2012 ini dimenangkan oleh... Fakultas Kedokteran Gigi!”
Kami menyambut pengumuman yang terdengar itu dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Raga dan timnya maju ke tengah lapangan untuk menerima medali dan piala yang diserahkan oleh wakil rektor universitas kami. Ketika Raga mengangkat pialanya, aku ikut berteriak kencang dan bertepuk tangan keras sampai tanganku panas.
“Dan most valuable player kali ini jatuh kepada... Raga Bhakti Priandika, nomor punggung 8, dari Fakultas Kedokteran Gigi!”
Aku berseru-seru kegirangan lagi ketika Raga mendapat sebuah medali lagi. Kuperhatikan cewek-cewek di kursi barat GOR juga menggoyang-goyangkan pom-pom mereka begitu nama Raga disebut. Rasanya seisi GOR bergetar karena pekikan keras cewek-cewek yang menonton dan sudah menetapkan Raga sebagai idola mereka. Rasa banggakah ini, yang ada dalam hatiku, karena merasa bahwa anak yang menyabet gelar MVP itu adalah milikku, bukan milik mereka?
MVP tahun lalu bernama Ardi, dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis... iya, kau tahu, Ardi yang itu. Ardi temanku itu. Kuperhatikan dia muncul dari barisannya dan secara pribadi menyerahkan piala yang tahun sebelumnya diberikan padanya itu ke tangan Raga, kemudian menjabat tangan Raga dengan erat.
Kalau aku tidak salah lihat, Raga menatap pandanganku padanya dan dia kelihatan nyengir puas.
Aku sungguh tidak sabar untuk segera bertemu muka dan bicara langsung padanya.
“Pesta nih, pesta!” seru Oki pada teman-temannya di belakang, yang langsung menyetujui.
“Anterin aku dulu,” pintaku pada Oki, karena merasa ditinggalkan.
“Kamu ini ngomong apa,” kata Oki nyengir. “Pestanya di tempatmu.”
“Enak aja!” seruku kesal.
“Iya May, tempatmu, tempatmu, udah lama nggak minum smoothies nih,” kata Ary.
“Tapi...”
“Tapi kan dia mesti ketemu sama Raga dulu,” dan satu kalimat itu sukses membuatku menatap orang yang mengatakannya–dan aku lega karena bisa diberi alasan untuk memandangnya dalam-dalam–yaitu Satria. “Buat memastikan. Ya nggak, May?” dia melirik ke arahku–yang sedang memegang bola dari Raga tadi–dan dia tertawa.
Aku merasa wajahku memanas. “Hah? Err.”
“Oke, pindah tempat! Kosan Brian!” ujar Ary, dan aku tidak mengingat pembicaraan mereka setelah itu, karena aku terlalu kaget akibat lirikan Satria padaku.
Aku diseret Oki untuk berdiri dan keluar dari GOR begitu sudah terdengar kata-kata perpisahan dari pihak panitia. Kami berjalan beriringan, kemudian Oki dan kawan-kawannya berhenti ketika melihat ada penjual kebab di dekat tempat parkir GOR. Aku menggeleng ketika mereka menawariku untuk ikut membeli. Kuperhatikan Oki mendapat sebuah panggilan di ponselnya. Kupikir siapa.
“Hannah nih,” mendadak Oki menyodorkan ponselnya padaku, setelah bicara selama beberapa menit.
Kebingungan, aku menerima ponselnya dan bicara dengan Hannah. “Halo?”
“KAKAK! DITELEPONIN NGGAK DIANGKAT, KIRAIN ADA APA-APA...”
“Sori sori, hapenya di-silent. Kenapa kenapa?”
“Gimana pertandingannya?”
“Ngapain nanya,” kataku mencibir. “Udah dikasih tahu Oki, kan?”
Aku bisa mendengar Hannah salah tingkah. “Err, iya. Terus Raga gimana, Kak?”
“Gimana apanya, kamu pasti udah bisa liat di status BBM-nya anak-anak kan?” kataku, dengan nada yang nyaris mirip dengan kalimatku sebelumnya.
Karena aku sempat meminjam ponsel Oki tadi dan melihat status BBM teman-temanku (dan beberapa senior, dan junior teman Raga) yang penuh dengan komentar mereka tentang pelemparan bola Raga yang sensasional.
Hannah tertawa. “Kok tahu sih, Kak. Iya, rame banget di status BBM, di Twitter. Cieee Kak Maya.”
“Cie apanya...” aku menghela napas. “Dasar. Bikin deg-degan.”
“Aih, sudahlah Kak, kalau begitu terima saja...”
“Dia nggak minta, dia cuma bilang,” aku mengutarakan hal yang sama dengan yang kukatakan pada Oki tadi.
“Lho? Tapi tadi ada yang bilang Raga nembak Kak Maya...”
“Info yang kamu dapat salah, berarti.”
Aku juga masih mencoba menyalahpahamkan kata-kata yang ditulis di bola basket yang dilempar Raga.
“Yaah, kirain,” Hannah terdengar menyesal. “Padahal di kelas udah rame lho, Kak...”
“Rame gimana?”
“Ya, dia bilang mau nembak seseorang begitu final basket ini selesai.”
“Oh iya?”
“Aku langsung mikir itu Kakak–nggak cuma aku sih, satu kelas tahu; ah bukan, satu angkatan juga kayaknya tahu.”
“Pantesan,” ucapku, mengingat antusiasme yang berlebihan begitu para penonton dari pihak FKG melihat bola yang dilemparkan Raga padaku.
“Dia emang blak-blakan sih, Kak.”
I know,” ujarku, tersenyum simpul begitu melihat orang yang sedang kami bicarakan muncul dari pintu GOR. “I know.”
Raga menggaruk kepalanya begitu dia tiba di depanku. Pandangannya tertuju pada bola basket yang kupeluk dengan tangan kiriku.
“Hannah, ini Oki mau bicara,” bisikku di ponsel Oki, kemudian kuserahkan smartphone itu pada Oki yang sedang membeli kebab di sebelahku.
“Eh?” aku sempat mendengar satu kata itu dari Hannah, tetapi dengan segera aku dialihkan perhatiannya oleh cowok tinggi nan manis di depanku. Baunya wangi–Raga sudah mengganti bajunya dengan kaus biasa dan jaket fakultas.
So,” ujarku memecah keheningan.
So,” kata Raga, tampak santai. “We won.”
Congrats,” senyumku, menyerahkan bola basket padanya.
”Itu buat Kakak,” Raga menolak pemberianku.
“Dan maksud hangul ini adalah...?” tanyaku meminta kepastian.
“Adalah perasaanku yang sejujur-jujurnya,” gumam Raga, dan baru pertama kali itulah aku melihatnya malu-malu. Dia bahkan tidak berani memandangku.
Meski sudah menduga pembicaraan ini, aku tidak bisa menahan detak jantung yang memutuskan untuk melaju lebih cepat. Aku memandang ke sekelilingku dan ternyata Oki dan teman-temannya yang sampai tadi masih ada di sebelahku untuk membeli kebab sudah berjalan menjauh–termasuk Satria yang ada di antara mereka.
“Benar, jujur?” tanyaku, hanya untuk mengisi keheningan.
“Kakak tahu sendiri,” dia tertawa. “Siapa ‘Ima’ yang kusebutkan dalam profil Twitter-ku.”
Aku mendengus tertawa. “Dasar...”
Selama beberapa detik, kami terdiam.
“Tapi, aku suka orang lain...”
Kalimat itu muncul begitu saja dari mulutku tanpa bisa kutahan. Dua detik setelah mengatakannya aku merasa menyesal.
Tetapi Raga tersenyum dan mengangguk-angguk. “Aku tahu.”
“Kamu tahu?”
Dia mengangguk. “Aku kan pembaca setia blog Kakak.”
Info yang ini benar-benar membuatku bahagia.
“Kakak suka Kak Satria, kan?”
Aku melongo sesaat begitu Raga mengungkapkan fakta yang sebenarnya hendak kuhindari ini. “Mungkin,” gumamku, memandang punggung Satria yang bisa kulihat dari jauh. “Tapi, aku kan tidak gembar-gembor. Kamu tahu darimana?”
Raga mengangkat bahunya. “Aku kan selalu memperhatikan Kakak.”
Tanpa perlu melihat cermin, aku sudah bisa menduga bahwa pipiku memerah. “How...?”
“Sejak dulu,” ujar Raga, meneruskan pengakuannya, “mataku cuma ngeliat Kakak...”
“Heh, jangan gombal deh,” aku memukul bahunya, kesal.
Dia tertawa dengan tawanya yang adorable. “Aku sungguhan,” katanya. “Mulai ospek... makrab... papasan di kampus... sampai waktu kecelakaan itu...”
“Ospek?” tanyaku tak percaya, mengingat waktu ospek aku menjabat sebagai seksi konsumsi yang tidak berkeliaran di antara mahasiswa-mahasiswa baru. “Makrab?”
“Iya.”
“Tapi aku kan bukan orang yang eksis, kayak...”
“Tapi aku cuma bisa ngeliat Kakak.”
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ini. “Raga!”
“Dari dulu ini yang aku suka dari Kakak,” kata Raga akhirnya. “Cara Kakak ketawa.”
Aku berhenti tertawa dan heran. “Gimana emangnya?”
“Setiap Kakak ketawa, selalu dari dalam hati. Nggak pernah dipaksain, dan Kakak nggak pernah ngetawain orang lain...”
“Tapi... sudah selama itukah?” tanyaku tak percaya.
Raga mengangguk. “I’ve always been looking for you since one year ago.”
Raga benar-benar membuatku speechless kali ini.
“Raga...” kataku dalam perjalanan ke tempat parkir.
“Ya?”
“Aku minta maaf...”
“Nggak perlu minta maaf, Kak.”
“Aku...”
“Aku tahu.”
“...”
Kupegangi piala bergilir MVP yang tahun ini menjadi milik Raga sampai kami tiba di mobilnya. Dia meletakkan tas olahraganya di bagasi. Kuserahkan pialanya secara formal.
“Selamat,” ujarku, lalu menjabat tangannya.
Raga mengangguk, menyambut tanganku, lalu–membuatku kaget–menarikku ke arahnya. Samar-samar kudengar ada pekikan dan sorakan nun jauh disana. Kami berdua sama-sama mengabaikannya.
Saranghaeyo, noona,” katanya sambil memelukku. “Aku nggak keberatan kok nunggu... sampai noona mau aku panggil ‘kamu’.”
Aku tertawa. “Tolong, kamu terdengar seperti Song Joong Ki di Running Man episode 15.”
Raga ikut tertawa. “Keliatan banget, ya?”
“Jangan bilang kamu belajar nulis hangul dari Running Man,” tebakku.
“Mau bagaimana lagi, aku suka Running Man,” ujar Raga jujur.
Aku mendengus di dada Raga, merasa terharu, tetapi di saat yang bersamaan merasa sangat bersalah. Sebenarnya aku ingin lebih lama berada di pelukannya; tetapi Raga sudah melepasku. Kudengar juga sahutan dari kejauhan–Raga sudah dipanggil pelatihnya untuk berkumpul sejenak dengan timnya.
“Ah,” kataku, teringat sesuatu. “Kamu... nggak boleh panggil aku ‘kamu’.”
Raut muka Raga berubah begitu mendengar kalimatku.
Because I love the way you call me ‘noona’.”
* * *

The Antique Tales . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates