Kencan yang Kebetulan
Malam minggu yang menyedihkan,
karena aku menonton Running Man episode terbaru sendirian (ada Akane, sih),
tertawa-tawa sambil bertepuk tangan, bahagia sendirian. Bahagia untuk mengusir
kesedihan. Tetapi rupanya Running Man tidak berefek terlalu lama, karena
beberapa menit setelah aku mematikan laptop dan beringsut ke kasur, aku terdiam
lagi, dan aku menangis diam-diam lagi. Aku merasa menyedihkan. Itu saja.
Pukul sebelas keesokan harinya
aku keluar setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam setengah bicara dengan
Mama di telepon (tentu saja kami tidak membicarakan Satria atau Raga atau
bahkan pacar Satria). Sambil menguatkan diri, kupasang headphone berwarna hitam dengan garis merah yang kebetulan sama
dengan milik Satria itu di kepalaku. Kemudian kuputar lagu LeeSSang untuk
menemaniku mengayuh sepeda menuju S-Mart, sebuah hypermarket di dekat perumahanku.
“Mama pergi dulu ya,” kataku pada
Akane yang mengeong dari dalam rumahnya.
Kupijakkan kakiku (yang sudah
sembuh) di pedal sepeda, dan mulai meluncur dengan santai keluar rumah,
melewati taman yang masih ramai orang, kemudian keluar gerbang perumahan.
Sekitar lima-enam menit kemudian
aku sudah sampai di S-Mart. Aku langsung mengambil keranjang warna ungu setelah
memarkir sepedaku di tempat parkir sepeda.
Hypermart itu tidak terlalu ramai di pagi
menjelang siang hari. Aku membuka handphone,
melihat catatan belanjaan yang sudah kubikin tadi pagi.
Facial
foam
Sereal
Buku
tulis (buat diari)
Mouthwash
Madu
Pewangi
baju
Menuju rak-rak peralatan mandi, aku
menelusuri deretan facial foam dengan
jariku, mencari merek yang biasanya kupakai. Setelah ketemu, tanpa berpikir
panjang aku langsung memasukkannya ke keranjang dan langsung pergi mencari mouthwash tanpa melirik ke rak lain. Dengan
cara ini biasanya aku akan terfokus pada barang-barang yang aku butuhkan saja
dan tidak kepingin membeli barang yang tidak perlu.
Mouthwash berada di balik rak facial foam, sederet dengan sikat gigi
dan pasta gigi. Nah, khusus bagian ini, aku biasanya membandingkan kandungan
fluoride pasta gigi ini dan itu, terutama yang di iklan dikatakan kalau pasta
gigi anu bisa memutihkan gigi setelah sekali gosok gigi. Tidak penting memang,
tapi aku senang melakukannya.
Kupilih mouthwash yang tidak mengandung alkohol dan memasukkannya ke
keranjang belanja.
“Sereal... sereal... sereal!” aku
menemukan rak sereal. Kutaruh sekotak sereal cokelat ke keranjang, memberinya
sedikit jarak dengan facial foam dan mouthwash.
Selanjutnya aku mencari madu. Aku
selalu lupa dimana tempat madu-madu diletakkan, karena aku jarang membeli madu.
Aku menjelajahi rak-rak yang kupikir ada madunya, tetapi tidak ketemu. Dan aku
pun kebingungan.
“Mau cari apa, Mbak?” tanya
seorang laki-laki.
“Madu, Mas...” jawabku otomatis, sambil
memandang si penanya yang baik hati. Wajah itu menampilkan eye smile yang mengagumkan. Raga.
“Lho, Raga? Kamu kerja disini?”
aku heran sekali, tetapi tak bisa dipungkiri, senang. Setidaknya aku tahu bahwa
ada orang di duniaku yang akhir-akhir ini cuma sendirian.
Raga terbahak. “Nggak Kak, aku mau
beli cukuran jenggot,” dia mengelus-elus dagunya.
“Nggak ada jenggotnya gitu,”
kataku bingung.
“Ya nanti kalau udah tumbuh.” Dia
tersenyum. “Tadi mau cari apa?”
“Madu.”
“Oh, aku tahu tempatnya.”
Raga menggamitku menuju rak-rak
makanan. Sebenarnya ia tidak perlu melakukan itu, karena mbak-mbak yang
berseragam di tepi rak terlihat senyum-senyum melihat perlakuan Raga padaku.
Raga mempertemukanku dengan
sebotol madu yang biasa kubeli. Tersenyum, aku melihat tanggal kedaluwarsanya,
lalu meletakkannya di keranjang.
“Apa lagi?” tanya Raga, melongok
ke layar handphone-ku.
“Ngng, pewangi. Buat setrika,” kataku
membaca daftar.
“Oke oke,” aku dibawa lagi oleh
Raga.
“Kok kamu hapal jalan sih?”
tanyaku.
Dia mendengus. “Nggak juga, kok. Ini
dia,” dia menunjuk ke rak berisi deretan pewangi dan pelembut. Lagi-lagi aku
mengambil merek yang biasa kupakai.
“Kamu cuma mau beli cukuran?”
tanyaku lagi, ketika kami menyusuri rak.
“Ada lagi sih...”
“Ya beli punya kamu juga dulu
deh,” aku melihat keranjang Raga yang masih kosong. Mungkin dia baru saja
datang dan langsung bertemu denganku.
Tanpa suara, Raga berjalan menuju
rak-rak susu yang ada di seberang rak sereal tempat aku mengambil sereal
cokelatku tadi. Ia mendadak berbalik, lalu nyengir padaku.
“Kenapa?” tanyaku bingung, tak
mengerti.
Dia menggeleng dan tersenyum,
lalu menghadap ke kotak-kotak susu khusus cowok yang membantu mereka membentuk
badan yang bagus. Tahu kan, susu-susu semacam itu. Stimulan otot atau apalah. Aku
tak heran melihatnya, karena ada kotak susu itu juga di meja makanku di rumah
orangtuaku, milik Kak Nathan.
“Kamu minum itu juga rupanya,” ujarku
menyimpulkan.
“Mm, iya,” dia tampak malu. Aku
mengawasinya memilih-milih.
“Kamu nge-gym juga kah?”
Raga mengangguk. “Tapi nggak
rutin, gara-gara semester ini padet banget.” Dia memasukkan sekotak susu ke
keranjangnya. “Cuma sekali seminggu...”
“Itu udah cukup, lagian kamu juga
main basket kan,” komentarku, dan kami berjalan lagi mencari barang-barang yang
hendak dibeli. “Mau beli apa lagi?”
“Parfum,” katanya, dan tepat
waktu kami berbelok, deretan parfum muncul.
Secara otomatis aku meraih sebotol
parfum cowok dan menciumnya. “Wangi Papa...” kataku tanpa sadar.
“Ng?” Raga menoleh padaku. “Papa?”
Aku meletakkan parfum kembali ke
raknya. “Iya, Papa sering pake parfum itu. Kalau Kak Nathan...” mataku
menyusuri deretan parfum, “...yang ini.” Tersenyum tanpa sadar, aku mencium
wangi kakakku di botol parfum itu.
Dengusan seseorang membuatku menoleh.
Raga sedang tersenyum memandangku.
“Kenapa ketawa?” tanyaku
pura-pura kesal.
Raga menggeleng, masih tersenyum.
“Enak ya, punya saudara? Bisa berbagi apa aja...”
Aku lupa kalau Raga anak tunggal.
“Kamu anak tunggal ya?” tanyaku,
agar tak terkesan kalau aku sudah tahu sebelumnya dari hasil stalking.
“Iya,” katanya.
“Dimanja, dong?” ujarku spontan.
“Nggak juga, soalnya aku cowok,”
Raga menciumi botol-botol parfum, memilih wangi yang pas. “Disuruh mandiri...”
Aku manggut-manggut. “Wajar,
sih...”
“Yang ini aja,” katanya puas, “wangi
nggak Kak?” dia menyodorkan botol itu padaku.
“Wangi lah, namanya parfum,” aku
tertawa, tetapi tetap mencium botol itu. Wanginya lembut, tidak terlalu
menyengat. Aku menyukainya. Parfumnya,
maksudku. Kuanggukkan kepalaku tanda setuju.
“Kakak mau beli apa lagi?”
“Buku
tulis,” jawabku. “Atau note-note gitu deh. Kamu?”
“Kopi...
sama mi instan.”
Standarnya
anak cowok yang ngekos sendirian.
Kami
berjalan lagi menuju rak minuman sachet.
Raga mengambil lima sachet kopi hitam.
Aku mengusulkannya membeli gula, tetapi dia bilang gulanya masih banyak.
“Lagian,
nggak usah pake gula pun, sambil liat Kakak aja pasti udah manis...”
Kupukul
bahunya.
Setelah mengambil
beberapa bungkus mi instan, kami menemukan testing
corner sebuah bakery, yang
dipenuhi orang-orang.
“Mari
Mbak, Mas, dicoba...” kata petugasnya ramah, menyodorkan nampan berisi
potongan-potongan croissant yang
masih berasap.
Aku
selalu tidak tahan dengan wangi bakery–rasanya
ingin kuborong semua roti-roti itu, dan menghabiskannya di rumah. Kucomot
sepotong dan kumasukkan ke mulut. Bagian luar rotinya keras, tetapi bagian
dalamnya lembut sekali, dan ternyata ada isi cokelatnya, yang lumer di mulutku.
“Mmm,
cokelatnya enak,” komentarku.
“Lho?
Punyaku keju,” kata Raga bingung, sementara dia memandangi potongan roti di nampan.
Ternyata croissant itu dipisahkan
menjadi dua bagian, bagian kiri nampan berisi roti keju dan di sebelah kanan
berisi roti cokelat.
“Eh, mau
mau,” kataku langsung, memandangi nampan, memilih-milih croissant.
“Nih,
Kak,” mendadak Raga mencomot satu potong dari bagian kiri nampan dan
menyodorkannya padaku, nyaris mendekati mulutku. Petugas yang membawa nampan
tersenyum penuh arti melihat tindakan Raga. Aku bisa merasakan tatapan banyak
orang yang ada di testing corner seolah
mengharapkan reaksiku yang tepat.
Agak
kaget, tetapi aku membiarkan Raga menyuapiku. Wajah manisnya terlihat puas.
“Enak
ya?” kata Raga memastikan.
Aku
mengangguk. “Saya mau cokelat sama keju masing-masing dua bungkus ya, Mbak,”
pintaku pada petugas yang ramah itu.
“Kok
banyak banget?” tanya Raga bingung.
“Setengah
buat kamu,” kataku. “Jangan makan mi instan terus.”
“Tapi...”
“Nih,” aku
mengangsurkan kantung plastik putih yang berisi sebungkus croissant cokelat, dan sebungkus croissant keju. “Buat makan malam ini.”
“Trims,
Kak,” Raga nyengir, meraih plastiknya.
Aku tersenyum. Lalu mataku tak
bisa menahan keinginan untuk melihat-lihat deretan cake di rak berpendingin. Warnanya menggoda sekali. Kupandangi
dengan mata berbinar-binar. Tetapi aku langsung menyadarkan diriku sendiri dan
aku mundur perlahan. Kususul Raga yang sedang memandangi beaugette.
Setelah
menghabiskan banyak waktu di bagian alat tulis untuk memilih note yang bagus, akhirnya pilihanku
tertuju pada sebuah note dengan
ukuran A3, halaman cukup tebal, dengan sampul artistik dan harga yang masih
tergolong murah. Sambil menertawakan sebuah pulpen dengan hiasan SpongeBob yang
berwajah aneh yang ditemukan Raga, kami berjalan menuju kasir untuk membayar.
“Bayarnya digabung, Mas?” tanya kasir yang
melayani Raga. Aku yang antri di belakang Raga mengernyit heran.
“Oh,
enggak, Mas,” kata Raga tersenyum.
Mas-mas
itu tersenyum balik. Entah apa yang dipikirkannya.
Sementara
aku sedang menunggu belanjaanku dibungkus di kasir, Raga menunggu di dekatku. Aku
agak merasa risih karena tak tahan dengan pandangan orang-orang atau karena aku
memikirkan apa yang orang-orang pikirkan tentang dua anak yang berbelanja
bersama ini.
“Kakak
mau langsung pulang?” tanya Raga begitu kami keluar dari S-Mart yang dingin dan
kembali merasakan panas matahari.
Aku
mengangguk sambil mengerutkan kening, mengurangi intensitas cahaya matahari
yang menyilaukan.
“Nggak
mau makan siang dulu bareng aku?” tanya Raga.
“Aku
bawa sepeda. Gimana caranya?”
“Diiket
di bagasi mobilku...”
Aku
mendengus tertawa, tak percaya dengan usul Raga.
“Yuk,
Kak. Lagipula, panas gini...”
Iya sih. Aku sih juga malas kalau
terik-terik begini bersepeda menyusuri jalan raya.
“Emang
kamu punya tali?” tanyaku ragu.
Anehnya,
Raga mengangguk dengan pasti. “Ada.”
Tali
itu, tergulung rapi, terletak di sudut bagasi mobilnya.
“Well-prepared,” komentarku.
Susah
payah, aku dan Raga memasukkan sepedaku ke dalam bagasi mobil Raga. Untung saja
dua orang tukang parkir S-Mart melihat, dan langsung membantu kami mengikat
sepeda itu dengan tali hingga kencang. Raga berterima kasih dan memberi uang
parkir tambahan, yang ditolak tukang parkir itu.
Di dalam
mobil memang selalu dingin. Tetapi dengan ada Raga di sampingku, malah
membuatku hangat... aku hanya bercanda,
kok!
“Kakak...
nangis lagi ya semalem?” tanya Raga selagi dia membelokkan mobilnya ke kiri.
Aku
menoleh dengan cepat. Kupandangi bayanganku sendiri di spion luar mobil yang
terlihat dari dalam. Untuk memperjelas, kugunakan layar handphone-ku yang memantulkan bayangan. Lingkaran hitam di mataku
ternyata masih ada. “Begadang doang, kok,” kataku menjawab pertanyaan Raga.
“Begitu?”
kata Raga manggut-manggut, tidak memandangku dan berkonsentrasi ke jalanan di
depannya, tetapi tersenyum.
“Oke,
aku ngaku, aku nangis seharian, karena aku nggak tahu harus ngapain,” kataku.
“Masih
belum rela, ya?”
“Nggak
akan pernah.”
Aku
membenci percakapan ini, dan aku memandang keluar jendela. “Kita mau kemana?”
tanyaku. “Dengan sepeda terikat di bagasimu, dan kita berputar-putar keliling Jogja...”
“Nasi
goreng deket kampus,” jawab Raga pelan. “Pernah?”
Aku mengangguk.
“Nggak takut... ketemu anak-anak?”
“Buat
apa?” kata Raga tertawa. “Buat apa... mikirin kata-kata orang. Hidup ini kita
yang ngejalanin...”
Aku
langsung suka pada kalimat terakhirnya.
* * *
Warung nasi goreng itu masih sama
seperti terakhir kali aku berkunjung untuk makan disana. Masih ramai, penjualnya
masih ramah, dan porsinya masih besar. Tapi nafsu makanku masih sedikit. Sehingga
aku meminta pada penjual untuk mengurangi porsi menjadi setengah saja.
“Nggak nafsu makan ya?” tanya
Raga.
“Akan kucoba untuk makan,”
jawabku.
Aku mengunyah pelan-pelan sekali.
Mataku memandang tumpukan kerupuk di depanku, tetapi pikiranku kosong. Aku
melamun.
“Aku nggak bisa bayangin kalau
Kakak kayak gini pas lagi ngayuh sepeda...” celetuk Raga tiba-tiba.
Aku tersentak. “Iya ya,”
senyumku. “Bahaya...”
Kusuapkan sesendok nasi goreng
lagi ke mulutku. Kukunyah dengan amat pelan. Ternyata setengah porsi nasi gorengku
habis juga, dalam waktu tiga puluh menit. Raga menungguku dengan sabar, tersenyum
ketika aku mendongak melihatnya dan menyadari bahwa dia memandangiku.
“Sudah?” tanya Raga, begitu aku
meletakkan tisu bekasku mengusap mulutku di piring yang kosong.
Aku mengangguk.
“Bayarnya gabung, Mbak?” tanya
penjual begitu kami menghampirinya. Lagi-lagi pertanyaan yang sama.
“Oh, sendiri-sendiri aja, Mbak,”
kataku, mengeluarkan dompet dan membayar makanan yang sudah kumakan sendiri.
Tanpa suara aku memasuki mobil
Raga, disusul pemiliknya yang masuk dan duduk di sebelahku.
“Capek ya, Kak?” tanya Raga.
“Langsung pulang, ya...”
“Iya,” kataku, memakai seatbelt.
Keheningan menyelimuti perjalanan
pulang kami. Aku menghela napas panjang.
“Kenapa, Kak?”
“Aku... minta maaf ya karena
kayak gini seharian. Bukan maksudku...”
“Nggak apa-apa. Aku ngerti kok
perasaan Kakak...”
“Maaf ya aku nggak mikirin
perasaanmu,” kataku bersalah.
“Nggak apa-apa, Kak,” Raga
tersenyum padaku. “Nah, kita sudah sampai.”
Dia menghentikan mobilnya tepat
di depan pagar rumahku. Dia langsung turun dan beranjak ke bagasi untuk
melepaskan sepedaku dari ikatan yang kencang. Aku membantunya, tapi dia menolak
dan hanya menyuruhku tenang saja.
“Aku bukain pager, ya,” kataku,
lalu melangkah menuju pagar dan membuka gemboknya. Kubuka sedikit pagarnya, lalu
masuk ke halaman, naik ke teras dan membuka pintu. Akane mengeong-ngeong waktu
aku masuk ruang tamu. Rupanya dia tidak tidur.
“Halo, Akane,” aku menggendongnya
ketika dia menghampiriku di pintu depan. “Sepi?”
Karena Raga tidak muncul-muncul
juga, maka aku keluar lagi, penasaran apakah dia tidak bisa menurunkan
sepedaku. Ternyata dia sudah masuk halamanku, dengan sepedaku disisinya, dan
ada sebuket bunga mawar pink di keranjangku.
“Apa...” aku terpaku di terasku.
Raga mendadak mendorong sepedaku mendekati
teras, memarkirnya, mengambil bunga dari keranjang, dan berjalan menuju terasku.
“Apa...”
“Aku tidak pernah meminta secara
benar,” kata Raga kemudian, setelah dia berada di hadapanku. “Kuharap ini bisa
menunjukkan kalau aku...”
“Aku juga tidak pernah meminta,
Raga,” kataku setengah berteriak.
“Aku sayang Kakak,” kata Raga
pelan. “Serius.”
“...”
“And I missed your smile.”
Salahkan seseorang yang sudah
menghilangkan senyumanku.
“Noona, please let me be yours,”
ujar Raga, menyodorkan buket bunga padaku.
Akane mengeong dalam keheningan
yang menyusul.
*
* *